Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 79758 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Lambok Marisi Jakobus Sidaburat
"Pelaksanaan eksekusi pembayaran uang pengganti oleh Kejaksaan dihadapkan pada persoalan harta benda korporasi yang dijadikan sebagai jaminan utang kepada kreditor. Pada kondisi ini, eksekusi harta benda korporasi sebagai pembayaran uang pengganti melalui jalur pidana tidak dapat berperan optimal karena dihadapkan pada persoalan hukum tertentu. Artikel ini berfokus untuk mengetahui hambatan yang dihadapi oleh Kejaksaan dalam mengeksekusi uang pengganti perkara tindak pidana korupsi. Selain itu, untuk mengetahui penggunaan hukum kepailitan sebagai instrumen hukum dalam mengeksekusi harta benda korporasi sebagai bentuk pembayaran uang pengganti. Penggunaan instrumen hukum kepailitan dalam mengeksekusi harta benda korporasi telah memenuhi syarat kepailitan sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Kejaksaan harus dapat mencegah terjadinya tunggakan pembayaran uang pengganti dengan mendata dan menyita harta benda korporasi yang sudah harus dilakukan sejak penyidikan."
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2019
364 INTG 5:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Efi Laila Kholis
Depok: Solusi, 2010
345.023 EFI p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Sembiring, Rosnidar
"Apakah hukum keluarga dan perkawinan itu? Apakah yang dimaksud dengan harta dalam perkawinan? Bagaimanakah status anak di luar perkawinan? Adakah hak waris bagi anak yang lahir di luar perkawinan? Bagaimanakah sebetulnya hubungan hukum antara orangtua dan anak? Apakah pengangkatan anak (adopsi) itu dan adakah akibat hukum yang ditimbulkan dari pengangkatan anak itu?
Buku ini menyajikan jawaban atas perlbagai pertanyaan di atas dan pertanyaan-pertanyaan lainnya terkait hukum keluarga dan perkawinan. Sebelum masuk ke pembahasan utama, buku ini menjelaskan secara singkat terlebih dahulu ihwal hukum perdata. Setelah itu dijelaskan mengenai pengertian hukum keluarga dan hukum perkawinan dan hal-hal yang sehubungan dengannya. Lalu disambung dengan pembahasan mengenai harta dalam perkawinan, anak di luar perkawinan dan harta anak yang lahir di luar perkawinan. Selanjutnya dipaparkan mengenai anak yang lahir selama perkawinan dan pengangkatan anak. Di bagian akhir dipaparkan mengenai hukum waris yang meliputi hukum waris perdata (BW), hukum waris dalam Islam dan hukum waris adat.
Buku ini dapat dibaca oleh para mahasiwa dari Fakultas Hukum di berbagai perguruan tinggi di Indonesia. Di samping itu, dapat dibaca pula oleh para akademisi atau tenaga pengajar dari Fakultas Hukum, praktisi hukum dan mereka yang berminat atau ingin mengetahui perihal hukum keluarga dan perkawinan."
Depok: Rajawali Press, 2020
346.015 SEM h
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Untsa Humaira Awliya Asyadda
"Tindak pidana korupsi adalah kejahatan luar biasa yang dapat merusak moral bangsa dan menurunkan kualitas hidup masyarakat serta negara. Diperlukan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi, salah satunya melalui penjatuhan pidana tambahan bagi pelaku korupsi. Pidana tambahan ditujukan tidak hanya untuk menghukum pelaku korupsi, tetapi juga mencegah pelaku mengulangi perbuatan korupsi di kemudian hari. Salah satunya, dengan cara merampas seluruh hasil korupsi melalui pidana tambahan pembayaran uang pengganti. Seringkali terjadi kecurangan oleh aparat penegak hukum dalam pelaksanaan eksekusi pidana tambahan pembayaran uang pengganti ini, salah satunya terkait dengan penyitaan seluruh harta benda milik Terpidana sebagai jaminan pelunasan pembayaran uang pengganti. Oleh sebab itu, penulis memandang perlu untuk melakukan tinjauan hukum terhadap pengaturan terkait penyitaan dalam mekanisme eksekusi pembayaran uang pengganti untuk ketepatan pengaturan terkait penyitaan sebagai bagian dari eksekusi pembayaran uang pengganti. Penelitian ini menggunakan metode doktrinal, yakni penelitian dilakukan melalui kegiatan menganalisis aturan hukum, doktrin hukum, dan prinsip hukum yang berlaku dan hasil penelitian akan disajikan secara deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyitaan harta benda milik Terpidana sebagai jaminan pelunasan pembayaran uang pengganti tidak beralasan hukum yang jelas dan pasti, karena pengaturannya berbenturan dengan pengaturan terkait penyitaan di dalam KUHAP. Selain itu, penyitaan tersebut tidak memiliki urgensi dalam pelaksanaannya dan justru dikhawatirkan dapat menimbulkan kesewenang-wenangan aparat penegak hukum yang menyebabkan ketidakadilan bagi Terpidana. Dengan demikian, pada akhir penelitian penulis memberikan saran agar sebaiknya pengaturan terkait penyitaan harta benda milik Terpidana dalam mekanisme eksekusi pembayaran uang pengganti dihapuskan.

Corruption is an extraordinary crime that can damage the moral fabric of a nation and lower the quality of life for its people and country. Efforts to prevent and eradicate corruption are necessary, one of which is through the imposition of additional penalties on perpetrators of corruption. Additional penalties are intended not only to punish corrupt offenders but also to prevent them from repeating acts of corruption in the future. One of these measures is the confiscation of all proceeds of corruption through the additional penalty of replacement money payments. However, irregularities often occur among law enforcement officials in the execution of replacement money payments, particularly regarding the confiscation of all assets owned by convicted individuals as collateral for repayment. Therefore, the author considers it necessary to conduct a legal review of the regulations governing asset confiscation within the mechanism of executing replacement money payments, to ensure accurate regulations on this matter. This study employs a doctrinal method, analyzing legal rules, legal doctrines, and applicable legal principles, with the findings presented descriptively. The results of the research indicate that the confiscation of assets owned by convicted individuals as collateral for replacement money payments lacks clear and definitive legal justification, as its regulations overlap with those governing confiscation under the Indonesian Criminal Procedure Code (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana - KUHAP). Moreover, such confiscation lack urgency in their implementation and raise concerns about potential abuse of authority by law enforcement, leading to injustice for the convicted individuals. Therefore, this study concludes with a recommendation to abolish regulations concerning the confiscation of assets owned by convicted individuals in the mechanism for executing replacement money payments. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hibnu Nugroho
"ABSTRAK
Indonesia sebagai negara yang sedang giat membangun
membutuhkan biaya yang sangat besar, tetapi di sisi lain terjadi
kebocoran dana yang ditimbulkan oleh tindak pidana korupsi. Tindak
pidana korupsi menimbulkan kerugian yang sangat besar sehingga sejak
lama Pemerintah berupaya memeranginya. Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1971 merupakan salah satu upaya Pemerintah untuk mencegah
terjadinya korupsi yang makin merajalela. Undang-undang itu memberikan
ancaman yang berat bagi si pelaku.
Di samping pidana pokok dan denda yang berat, undang-undang
itu juga mengancam pelaku dengan pidana tambahan berupa
pembayaran uang pengganti yang diatur pasal 34 sub c. Dari hal-hal
tersebut di atas, pengkajian permasalahan yang timbul karenanya
menjadi penting yaitu sebagai berikut.
Pertama, dalam hal bagaimanakah pelaku tindak pidana korupsi
dijatuhi pidana tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti.
Kedua, bagaimanakah fungsi dan kedudukan pidana
tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti dalam tindak pidana korupsi. Ketiga, faktor-faktor apakah yang menyebabkan pidana
pembayaran uang pengganti ini tidak dapat dilaksanakan.
Keempat, bagaimanakah prospek penerapan pidana pembayaran
uang pengganti dalam tindak pidana korupsi.
Dari penelitian yang dilakukan, terhadap permasalahan tersebut di
atas ternyata diketemukan fakta-fakta sebagai berikut.
a. Pidana tambahan yang berupa pembayaran uang pengganti dijatuhkan
hakim pada terdakwa yang terbukti melakukan tindak pidana korupsi,
besarnya uang pengganti ditentukan berdasarkan kerugian negara
yang timbul oleh karenanya. Namun, apabila selama proses
penyidikan, penuntutan dan peradilan terdakwa berhasil mengembalikannya,
hakim tidak akan menjatuhkannya. Selama tahun 1988 s.d.
1996 di Pengadilan Negeri Purwokerto hanya delapan perkara yang
dijatuhi pidana ini.
b. Pidana tambahan pembayaran uang pengganti berfungsi melindungi
dan menyelamatkan dana pembangunan nasional dari kebocoran
akibat tindak pidana korupsi. Adapun kedudukannya adalah
sebagai pidana tambahan yang bersifat fakultatif, sehingga hakim
bebas memilih untuk menjatuhkan atau tidak. c. Faktor-faktor penyebab tidak dapat dilaksanakan pidana ini adalah
adanya keragu-raguan penegak hukum untuk menerapkan dalam
kasus yang dihadapi karena kesulitan eksekusinya; belum adanya
ketentuan pelaksanaan setingkat undang-undang; adanya birokrasi
yang bertele-tele untuk dapat langsung menjerat pelaku.
d. Pembayaran uang pengganti mempunyai prospek yang sangat baik,
tetapi permasalahan essensiil yang menghadang harus dipecahkan
terlebih dahulu.
Sehifigga disarankan agar secara yuridis pembuat undang-undang
mengubah ketentuan yang ada dalam penjelasan Pasal 34 sub C undangundang
Nomor 3 Tahun 1971 serta adanya.
Upaya pemerintah untuk meningkatkan sumber daya manusia khususnya
bagi para jaksa (eksekutor) agar dapat mengantisipasi sedini mungkin
teijadinya pengalihan aset-aset pelaku tindak pidana korupsi sebelum
dilakukan penyitaan oleh negara."
1997
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isis Ihkwansyah
Bandung: Keni Media, 2012
346.078 ISI h
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Persatuan harta benda yang berupa harta bawaan dan harta
bersama dalam sebuah perkawinan, terkadang menjadi pemicu
terjadinya perselisihan rumah tangga yang telah dibina sekian
lama yang mengakibatkan perceraian. Timbulnya perselisihan
terhadap harta bersama yang dikaitkan dengan pihak ketiga
dalam penyelesaian masalah utang akan berakibat pada harta
benda milik suami atau harta milik isteri pada saat sebelum
dan sesudah perkawinan berlangsung. Harta bersama dapat
dijadikan sebagai barang jaminan oleh salah satu pihak atas
persetujuan pihak lainnya, hal itu didasarkan pada Pasal 91
ayat (4) KHI. Terhadap harta bawaan, suami atau isteri
mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum
terhadap hartanya tersebut, sebagaimana didasarkan pada Pasal
87 ayat (2) KHI. Apabila ada hubungan hukum salah satu pihak
baik suami atau isteri dengan pihak ketiga dalam masalah
utang, maka pertanggungjawaban terhadap utang tersebut
menjadi tanggungan suami atau isteri yang dibebankan pada
hartanya masing-masing, hal itu didasarkan pada Pasal 93 ayat
(1) KHI. Persoalan yang timbul adalah perbedaan pendapat
mengenai mekanisme pengaturan harta bersama dalam KHI, adanya
akibat hukum apabila salah satu pihak yang tunduk pada hukum
yang berbeda serta prosedur penyelesaian kewajiban para pihak
mengenai utang kepada pihak ketiga menurut KHI. Oleh karena
itu untuk meneliti masalah tersebut digunakan metode
penelitian kepustakaan dan studi lapangan. Kesimpulannya
adalah bahwa harta bersama diatur menurut hukum saat kali
pertama para pihak melakukan perkawinan, jika salah satu
pihak tunduk pada hukum yang berbeda, maka penyelesiannya
diserahkan kepada para pihak hukum mana yang berlaku atau
berdasarkan kali pertama mereka melangsungkan pernikahan,
sehingga masing-masing pihak mendapat keadilan yang wajar.
Sementara penyelesaian masalah utang bergantung pada status
utang tersebut, jika utang tersebut merupakan utang bersama
maka penyelesaiannya menjadi tanggungjawab suami isteri,
akan tetapi jika utang tersebut merupakan utang pribadi,
penggunaan harta bersama dimungkinkan sepanjang ada
persetujuan pihak lainnya."
[Universitas Indonesia, ], 2005
S21180
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Penjatuhan pidana dapat dilakukan karena adanya suatu
tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang atau lebih
yang sudah diputus oleh putusan pengadilan yang sudah
berkekuatan hukum tetap. Salah satu dari tindak pidana
tersebut yaitu tindak pidana korupsi yang diatur di dalam
Undang-undang No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-undang No. 31 tahun 1999
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Tindak pidana
korupsi merupakan tindak pidana khusus yang mempunyai
dampak yang besar pada keuangan negara. Keuangan negara
dapat dirugikan dengan adanya suatu tindak pidana korupsi.
Dengan begitu tindak pidana korupsi dapat dianggap sebagai
kejahatan yang serius. Untuk itulah maka penghukuman yang
berat dapat dijatuhkan kepada pelaku tindak pidana korupsi.
Salah satu jenis pidana yang dapat dijatuhkan kepada pelaku
tindak pidana korupsi yaitu hukuman pembayaran uang
pengganti. Dengan adanya hukuman pembayaran uang pengganti,
maka diharapkan jumlah kerugian negara yang terjadi akibat
adanya suatu tindak pidana korupsi dapat dikembalikan lagi
oleh pelaku tindak pidana korupsi. Dengan begitu, maka
posisi keuangan negara akan kembali lagi ke keadaan semula
seperti sebelum terjadinya tindak pidana korupsi tersebut.
Seperti kasus dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor
1344K/PID/2005, Abdullah Puteh dijatuhkan pidana yang salah
satunya yaitu berupa hukuman pembayaran uang pengganti.
Abdullah Puteh dijatuhkan pidana karena telah dianggap
bersalah melakukan tindak pidana korupsi dalam pembelian
helicopter model MI-2 sehingga merugikan keuangan negara.
Dengan adanya penjatuhan pidana berupa hukuman pembayaran
uang pengganti terhadap Abdullah Puteh, maka kerugian
negara akibat perbuatan Abdullah Puteh tersebut dapat
dikembalikan sepenuhnya. Tata cara eksekusi hukuman
pembayaran uang pengganti pun harus diberi perhatian yang
lebih, sebab dengan adanya proses dan tata cara yang jelas,
maka akan mengurangi kebingungan aparat penegak hukum dalam
melaksanakan eksekusi hukuman pembayaran uang pengganti."
Universitas Indonesia, 2007
S22289
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Soemarno
"Korupsi dianggap sebagai salah satu sebab terjadinya krisis ekonomi yang sangat komplek di Indonesia. Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 yang telah dirubah dan ditambah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi bertujuan untuk menghukum pelaku tindak pidana korupsi dengan hukuman penjara yang berat dan mengembalikan kerugian negara akibat tindak pidana korupsi. Pengembalian kerugian negara melalui pidana tambahan uang pengganti diatur didalam Pasal 18. Masalah yang timbul setelah adanya putusan pengadilan adalah banyak terpidana yang tidak membayar uang pengganti sehingga menjadi tunggakan kurang lebih sebesar 6,6 triliun rupiah. Tulisan dengan judul "Eksekusi Pembayaran Uang Pengganti Tindak Pidana Korupsi dalam Sistem Peradilan Pidana menggunakan metode penelitian. yuridis normatif dan empiris yang bersifat kualitatif. Tulisan tersebut menjelaskan kejaksaan sebagai subsistem peradilan pidana mempunyai tugas untuk melaksanakan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Penyelesaian uang pengganti dapat dilakukan melalui beberapa mekanisme yaitu Pertama penyelesaian uang pengganti melalui instrumen pidana yaitu menyetorkan uang pengganti yang telah dibayar terpidana ke kas negara, jika terpidana tidak membayar maka dilakukan penyitaan harta benda milik terpidana untuk dilelang guna membayar uang pengganti, yang terakhir diganti dengan pidana penjara yang telah dinyatakan dalam putusan pengadilan. Penyelesaian uang pengganti melalui instrumen pidana belum optimal, karena penyitaan tidak dapat dilakukan disebabkan harta benda terpidana sudah tidak ada lagi. Jaksa sebagai eksekutor harus dapat melacak aset milik terpidana yang disembunyikan. Apabila berhasil menemukan harta benda terpidana maka penyitaan dapat dilakukan sehingga tujuan mengembalikan kerugian negara dapat dicapai. Jika penyitaan tidak dapat dilakukan maka diganti dengan pidana penjara. Dalam praktek terpidana lebih banyak memilih pidana,penjara pengganti karena penjara pengganti yang rendah dibanding besarnya uang pengganti yang dijatuhkan, maka untuk mengoptimalkan harus dijatuhi pidana penjara pengganti yang tinggi. Kedua penyelesaian uang pengganti melalui instrumen perdata, yaitu penyelesaian diluar pengadilan (negosiasi dan mediasi) dan litigasi / gugatan perdata. Dalam praktek baru melalui non litigasi yang tidak mempunyai alat pemaksa dan tidak bersifat eksekutorial jika salah satu pihak tidak memenuhinya. Untuk mengoptimalkan pembayaran uang pengganti harus dilakukan gugatan perdata terhadap uang pengganti yang tidak dibayar."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
T24688
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>