Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 51647 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hasna Wahida
"UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) Indonesia mengatur ancaman pidana denda dengan nilai yang ditentukan dalam rumusan delik. Artikel ini menganalisis dan membandingkan konsep pidana denda dalam UU Tipikor Indonesia, Foreign Corrupt Practices Act Amerika Serikat, Bribery Act Inggris, dan Wetboek van StrafrechtBelanda. Studi ini menemukan bahwa masing-masing dari ketentuan antisuap Amerika Serikat, Inggris, dan Belanda tersebut memiliki konsep yang berbeda untuk mengatasi masalah kekakuan ancaman pidana denda dalam rumusan delik, yang dapat digunakan dalam pembaruan UU Tipikor Indonesia."
Jakarta: Komisi Pemberantasan Korupsi, 2019
364 INTG 5:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Elwi Danil
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012
345.023 23 EIW k (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
K. Wantjik Saleh
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1974
364.132 3 WAN t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
K. Wantjik Saleh
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1977
345.023 23 WAN t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Hartanti
Jakarta: Sinar Grafika, 2006
345.023 EVI t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Evi Hartanti
Jakarta: Sinar Grafika, 2007
345.023 EVI t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
I Ketut Hasta Dana
"Tesis ini membahas tentang penjatuhan pidana bersyarat oleh hakim terhadap tindak pidana korupsi dengan menggunakan metode penelitian doktrinal (yuridis normatif), yaitu penelitian terhadap norma-norma hukum pidana yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan pidana Indonesia. Dari hasil penelitian tersebut diperoleh kesimpulan bahwa penjatuhan pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi bertentangan dengan undang-undang, kemudian yang menjadi dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat terhadap tindak pidana korupsi adalah demi terciptanya keadilan, baik bagi terdakwa maupun masyarakat. Selanjutnya terhadap putusan pidana bersyarat yang dijatuhkan oleh Mahkamah Agung dalam perkara tindak pidana korupsi bukan merupakan yurisprudensi yang diikuti oleh peradilan-peradilan di bawahnya dan sampai saat ini belum ada satu pun putusan berupa pidana bersyarat dalam tindak pidana korupsi yang ditetapkan menjadi suatu yurisprudensi.

This thesis discusses the imposition of parole by a judge of the criminal offense of corruption by using the method of doctrinal studies (juridical normative), the study of criminal law norms contained in the criminal laws of Indonesia. From the results of these studies concluded that the imposition of parole in the criminal offense of corruption contrary to law, then that becomes the basis of consideration of the judge in imposing conditional punishment on corruption is for creating justice for both defendant and the public. Subsequent to a conditional punishment sentences imposed by the Supreme Court in a case of corruption is not a jurisprudence which is followed by a justice-court below and until this day there has not been a single verdict of conditional punishment on criminal offense of corruption set into a jurisprudence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
T31306
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Surempi Rahardjo
"ABSTRAK
Korupsi sangat merugikan keuangan negara maupun perekonomian negara dan telah merajalela di bumi Indonesia sejak masa Orde Lama hingga masa Orde Baru sekarang. Oleh karena itu sudah sewajarnya jika pelaku tindak pidana korupsi itu dihukum yang setimpal dengan perbuatannya menurut hukum yang berlaku. Pemerintah dalam menghadapi tindak pidana korupsi, telah melakukan berbagai upaya yang antara lain adalah dengan membentuk UU No.3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang memuat ketentuan-ketentuan yang eksepsional baik di bidang hukum materiil maupun di bidang hukum formil. Ketentuan-ketentuan yang eksepsional itu diciptakan denganĀ·maksud untuk mempermudah pembuktian dan mempercepat prosedur penyidikan, penuntutan serta pemeriksaan di sidang pengadilan. Sekarang tinggal pelaksanaannya, yang semua itu sangat bergantung kepada faktor manusianya, yaitu para penegak hukum. Dengan demikian diharapkan agar para penegak hukum dapat bertindak tegas tanpa pandang bulu, sehingga tindak pidana korupsi di tanah air kita ini dapat diberantas dengan tuntas."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1988
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elwi Danil
"Tingkat pertumbuhan dan perkembangan korupsi di Indonesia telah menjadi sebuah fenomena yang sulit dibantah dengan- argumentasi apapun. Perilaku menyimpang ini tidak saja taelah berlangsung secam sisbematis dan bersifat institusional, melainkan juga telah masuk ke dalam wilayah institusi peradilan pidana yang semestinya bediri sebagai tulang penyangga.
Sekalipun laporan resmi pemerintah mengindikaslkan adanya peningkatan intensitas penanganan kasus korupsi secara slginifikan; namun itu belum merefleksikan fakta yang sesungguhnya. Ungkapan "dark number of corruption! diperkirakan jauh Iebih besar daripada 'officially recorded corruplians" Oleh sebab itu, ketika Indonsia dinobatkan ke dalam kategori negara terkorup di dunia, tidak ada yang hefan, seolah-olah fenomena itu sudah "being taken for grantee", sehingga tidak periu diperdebatkan. Fenomena korupsi telah menimbulkan ketidakpercayaan publlk terhadap hukum dan sistem peradilan pidana, dan dikhawatirkan dapat mengakibatkan disfungsionalisasl hukum pidana. Penelitian ini mengungkapkan, sekalipun korupsi "merajalela" di Indonesia, namun hanya sedikit kasus korupsi yang diteruskan ke pengadilan. Kalaupun ada yang sampai di pengadilan, tidak jarang pula hakim menjatuhkan pidana yang terlalu ringan bila dibandingkan dengan tuntutan masyarakat agar kejahatan seperti itu dijatuhi pidana berat.
Perbedaan persepsi tentang penafsiran terhadap subyek dan rumusan tindak pidana korupsi temyata telah menimbulkan problem yuridis. Oleh karena itu, sudah sepatutnya dilakukan revisi dan reorientasi kebijakan pemberantasan korupsi dalam konteks pembaharuan hukum pidana. Seberapa jauh hal itu dapat dilakukan adalah titik berat permasalahan dalam disertasi ini. Pembaharuan hukum pidana dalam penanggulangan kompsi harus dilakukan secara komprehensif, yang meliputi legal substance legal structure dan legal culture? sebagai unsur utama sistem hukum sebagaimana di kemukakan Lawrence M. Friedman. Meskipun undang-undang merupakan aspek penting yang akan menentukan bekerjanya sistem peradilan pidana, namun keberadaan undang-undang saja tidak akan menjadi 'sufficient condition" Sekalipun ia merupakan suatu '"necessary condition" akan tetapi adanya 'political will' perilaku aparat penegak hukum, konsistensi penerapan hukum, dan budaya hukum adafah 'determining factors.?
Oleh karena itu, pembentukan UU No. 31 Tahun 1999 sebagai pengganti UU No. 3 Tahun 1971 dapat dijadikan sebagai titik pangkal untuk melakukan pembenahan terhadap sistem hukum. Undang-undang korupsi tidak saja memenuhi karakteristik sebagai undang-undang pidana khusus; melainkan juga sebagai hukum pidana khusus karena korupsi merupakan perbuatan yang bersifat khusus (bijzonderlijk feiten). Tindak pidana korupsi tergolong sebagai "extraordinary crime" sehingga untuk memberantasnya dibutuhkan "extraordinary instrumen".
Dalam hubungan ini, penerapan konsep "materiele wederrechtelijkheid, reversal of the burden of proof? (omkering van de bewijslast), dan pembentukan institusi khusus sebagai 'anti corruption agency? yang independen menjadi penting dan relevan dalam kerangka pembaharuan hukum pidana. Hal yang terakhir ini merupakan solusi untuk mengakhiri konflik antara penegak hukum dalam bidang penyidikan. Namun demikian, pembaharuan hukum yang hanya tertuju pada substansi dan struktur hukum saja tidak akan berhasil tanpa adanya upaya untuk mengubah budaya hukum dalam pemberantasan korupsi. Hanya saja, periu diperhatikan agar instrumen-instmmen khusus itu tidak digunakan secafa sewenang-wenang, sehingga tidak menjadi "monster" yang menakutkan yang merupakan ?dun? dalam hukum pidana, karena dapat melahirkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan.

The growth and rate of corruption in Indonesia have become a phenomena that is very difficult to rebuff with any argument whatsoever. This deviant behavior has not only taken place systematically and institutionally, but also has created problems in the area of criminal justice institution which actually should stand as "the guarofan pillion" Although formal government report has indicated a significant increase of corruption case processes, however, it has not yet similar increase in the judicial decision as expected.
The level of "dark number of com/prions" is estimated to be much larger than the 'officially recorded carruptionsf Therefore, when Indonesia is identified as the most corrupt country in the world, nobody is surprised, it is as if the phenomena is being taken for granted, that does not need further argument. The corruption phenomena is one of the main factors inflicting public distrust against the law and criminal justice system, that resulted in the possible disfunction of the criminal law. This research revealed that eventhough corruption is rampant in Indonesia, only a small number of corruption cases reached the court. Moreover, the lnfliction of punishment, if any, is considered as lenient in comparison with the public clamour for severe punishment for such crimes. Apparently there is a problem of different perception as to the interpretation of 'legal subject? and "legal formulalion?in corruption law.
Based on the above, it is deemed appropriate to have revision and reorientation of eradication policy of cormption within the context of criminal law reform. Thus, how far it can be carried out becomes the focus in this dissertation. Criminal law reform for solving corruption problems shall be conducted comprehensively, to include ?legal substance legal smicture and legal culture" as there are the main elements of legal system, as proposed by Lawrence M. Friedman. Although laws are important aspects to determine the mechanism of criminal justice system, their existence alone will not be sufficient, since the presence of ?poHtical will good behavior of /aw enforcement officers, consistency of /aw implementation, and legal cu/ture are equally slgnihcant.
Nevertheless, the formulation of Law No. 31 of 1999 to replace Law No. 3 of 1971 may serve as a starting point to conduct correction of the legal system. Anti corruption act not only meets the characteristics as special criminal act, but also at the same time functions as special criminal law, because corruption has specific nature (byzonderlijk feiten). Corruption is classified as 'extra ordinary crime' so that to eradicate it needs ?extra ordinary instrument? In this relationship, the application of ?materiele wederrrechtelijkheid" reversal of the burden of proof" (omkering van de bewijslast), and formulation of special institution as ?and corruption agency? which is independent become very important and relevant in the frame of criminal law reform. The latter is a proposed solution for the ecisting institution conflict on investigative authority of corruption.
Last but not least, all refomrs conducted in conjunction with laws and structures would not be succesful, unless the present legal culture is simultaneously improved to combat corruption. However, it is necessary to observe that those special instruments should not be ?tnonsbe/? that becomes ?an obstacle? in criminal law. If such instruments are used arbitrarily, lt may, instead create the issues of legal uncertainty and injustices.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2001
D1017
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
K. Wantjik Saleh
Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983
364.132 3 WAN t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>