Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 11632 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Priyoth Kittiteerasack
"In the US, lesbian, gay, bisexual, and transgender (LGBT) individuals report higher rates of depression compared with heterosexual and cisgender persons. To date, little is known about the mental health of LGBT adults in Thailand. Here, we examined rates and correlates of depression among a volunteer sample of Thai LGBTs. Data were collected as part of a larger cross-sectional survey study. Standardized measures of sexual orientation and gender identity, stress, coping style, and minority stressors were completed. Of the 411 participants, 40.3% met the criteria for depression. In multivariate analyses, the combined influences of sociodemographic factors, general stress, coping strategies, and minority-specific stress variables explained 47.2% of the variance in depression scores (F[16,367]= 20.48, p<.001). Correlates of depression included coping strategies and minority-specific stressors, including experiences of victimization, discrimination, and level of identity concealment. Study findings have implications for psychiatric nursing practice and the development of intervention research."
Jakarta: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
610 UI-JKI 23:1 (2020)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Firli Ashari
"Di Indonesia, komunitas lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) masih dianggap sebagai ancaman atas budaya nasional hingga penyebab terjadinya bencana alam. Kenyataan ini membuat mereka memilih menjadi diaspora di luar negeri. Jika demikian, bagaimana strategi komunitas LGBT diaspora Indonesia untuk mengartikulasikan identitasnya? Apa saja bentuk persekusi yang mereka terima? Penelitian ini mengeksplorasi strategi kedua anggota komunitas LGBT diaspora Indonesia dalam menghadapi persekusi ketika mengartikulasikan identitasnya. Penelitian ini menemukan bahwa anggota komunitas LGBT diaspora Indonesia mengartikulasikan identitasnya melalui TikTok dengan menunjukkan identitasnya secara gamblang sebagai pria gay. Selain itu, mereka juga menggunakan strategi lain seperti membuat video-video parodi tentang identitasnya sebagai pria gay, membuat video menari dan melakukan lip-sync dengan mengikuti lagu-lagu yang viral, menunjukkan kebersamaan dengan keluarganya, memperlihatkan keseharian yang tidak berhubungan dengan homoseksual, mengedukasi pengguna TikTok tentang aspek yang tidak berhubungan dengan homoseksual, menjelaskan momen-momen penting sebagai pria gay yang tinggal di negara yang melegalkan komunitas LGBT, hingga merespons secara serius pertanyaan atau pernyataan yang hadir dari netizen asal Indonesia. Artikulasi identitas yang menghasilkan persekusi ini dihadapi dengan menggunakan dua strategi: visibilitas sebagai gay dengan menjelaskan pandangan anggota komunitas LGBT tentang betapa “anehnya” penampilan atau perilaku mereka serta melakukan mock impoliteness sebagai upaya yang memerlukan interaksi berupa percakapan atau perilaku yang dapat dievaluasi sebagai ketidaksopanan oleh komunitas LGBT.

In Indonesia, the lesbian, gay, bisexual, and transgender (LGBT) community is still considered a threat to national culture and as a cause of natural catastrophes. As a result, many have chosen to migrate to other nations and become diasporas. How do LGBT Indonesian diaspora members articulate their identities in this instance? What sorts of persecution were they subjected to? This study investigates how two Indonesian LGBT diaspora individuals articulate their identities in response to persecution. This study found that gay men in the Indonesian diaspora utilize TikTok to articulate their identities. They also make parody videos about their gay men identities, dance and lip-sync to viral songs, show togetherness with their families, show aspects of daily life unrelated to homosexuality, educate TikTok users about non-homosexual aspects, explain significant moments as gay men living in a country where the LGBT community is legal, and take negativity seriously. Two strategies are employed to combat the articulation of identities that leads to persecution: visibility as gay by explaining how “strange” their appearance or behavior is in the eyes of the LGBT community and mock impoliteness by engaging in conversation or behavior that the LGBT community would consider impolite."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
"Hak Asasi Manusia (HAM) yang telah disepakati hukum internasional dan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara ideal harus bersifat universal. Akan tetapi, dalam implemantasinya, atas nama kepentingan dalam negeri, kedaulatan negara, agama, ataupun budaya, keuniversalitasan HAM ini dibatasi oleh negara atau pihak-pihak tertentu, sehingga HAM menjadi relatif dalam pelaksanaanya. Termasuk pada isu LGBT yang masih menuai perdebatan baik di tingkat lokal maupun nasional. Padahal pengakuan, perkindungan dan pemenuhan HAM LGBT menjadi tanggung jawab negara. Tulisan ini akan mengurai bagaimana hak asasi manusia LGBT dilaksanakan dalam kebijakan dalam negeri Indonesia."
362 JP 20:4 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Aurelia Putri Dehars
"Tesis ini membahas mengenai bagaimana media massa membingkai LGBT sehingga menimbulkan stigma di berbagai institusi masyarakat Jepang. Stigma yang ada membuat berbagai institusi melakukan kontrol terhadap LGBT agar tatanan sosial tetap terjaga. Penelitian dilaksanakan dengan tujuan menjelaskan kaitan dari cara media massa menyajikan isu LGBT dengan stigma yang timbul di masyarakat serta reaksi berbagai institusi masyarakat Jepang dalam mengontrol LGBT. Konsep kontrol sosial, framing, dan stigma digunakan sebagai dasar untuk menganalisa. Penelitian menggunakan metode kualitatif dengan studi literatur dari berbagai situs kementerian Jepang, artikel koran Jepang dan internasional, jurnal internasional serta situs video. Dari data-data yang didapat dan dianalisa, disimpulkan bahwa media massa Jepang menonjolkan aspek hiburan dan menghilangkan unsur lain dalam menayangkan LGBT. Media juga tidak menayangkan bahwa LGBT bisa memasuki berbagai institusi di masyarakat. Ini menimbulkan stigma terhadap LGBT dan membuat berbagai institusi menerapkan kontrol bagi LGBT. Pemerintah pun memberikan kontrol berupa undang-undang agar LGBT Jepang tidak bisa bergerak bebas. Ini dilakukan supaya tatanan sosial di masyarakat tetap terjaga.

This thesis discuss on how mass media depict LGBT so that stigma on LGBT appear in different institutions in Japanese society. The stigma makes those institutions control LGBT in order to maintain social order. The researchs purpose is to explain the connection between the ways mass media depict LGBT with the stigma about them in Japanese society. This research also explains about the reactions of institutions within society to control LGBT. The concepts used to analyze are social control theory, framing theory, and stigma theory.
This thesis uses qualitative method and literature study from Japanese ministries websites, Japanese and international news article, international journal, and video website. From the data that has been gathered and analyzed, it can be concluded that Japanese mass media highlights the entertainment aspect of LGBT and eliminate other aspects. They also dont inform that LGBT can be found inside different institutions in the society. This makes stigma on LGBT appear and makes those institutions control LGBT. The government also controls them by applying laws so Japanese LGBT cant act as free as they want. This is done to maintain social order within Japanese society."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Kajian Wilayah Jepang, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Abdurahman Isfiuno
"ABSTRAK
Fenomena LGBT di dunia sudah kental terasa, banyak dari Negara besar sudah membebaskan warganya untuk menikah dengan sesama jenis. Indonesia sendiri berada diperingkat 3 terendah sebagai Negara yang toleran terhadap kaum LGBT, banyak kaum LGBT di Indonesia yang akhirnya terpaksa menikah dengan lawan jenis, hal tersebut mereka lakukan karena faktor lingkungan dan stereotipe yang ada di Indonesia akan LGBT, banyak masyarakat yang melihat dari kacamata agama dan mengatakan bahwa mereka adalah pendosa. Beberapa dari mereka ada yang takut untuk mengungkapkan namun beberapa berani atau yang biasa disebut fase coming out, dimana mereka telah jujur terhadap orientasi seksualnya dan telah membeberkannya ke publik, salah satunya adalah Dena Rachman yang merupakan seorang transgender. Dena dianggap berhasil dalam mem-branding dirinya sehingga membuat komentar negatif yang berada di kolom komen menjadi berkurang serta meningkatkan komen positif, bahkan beberapa dari netizen membela Dena saat banyak komen negatif di kolom komentarnya. Tulisan ini akan melihat fenomena yang dialami Dena Rachman sebagai salah satu kaum LGBT dalam sudut pandang ilmu komunikasi, khususnya teori personal branding dengan menggunakan konten-konten yang diunggah Dena Rachman pada media sosialnya sebagai medium acuan.

ABSTRACT
LGBT is one of phenomenon that has lots of controversials. Few countries have legalized same sex mariage. One of the greatest researcher in this world said that Indonesia is in the bottom three for tolerance of LGBT, there is a few negative stereotipe of LGBT in Indonesia, people seems very judgemental when they are talking about LGBT, they think that LGBT are the worst sin that history ever made. Some of LGBT in Indonesia are scared for telling the truth about their sexual orientation, but some of them are brave enough to tell to the public the truth about their sexual orientation, one of part of LGBT is Dena Rachman as known as a successful transgender. Dena Rachman considered as a succesful public figure in his social media, he has 216k followers on Instagram, he makes people who writes negative comments decreasing and increasing positive comments on his Instagram. This paper analyze the phenomenon experienced by Dena Rachman in communication theory point of view, personal branding theory in particular, using the uploaded content by Dena Rachman himself on his social media as the medium of reference."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Sakinatuzzahra
"Tesis ini membahas representasi media bagi kelompok minoritas Amerika Serikat dengan menganalisis fenomena kemunculan gerakan LGBT Fans Deserve Better pasca kematian tokoh Lexa dalam serial televisi The 100. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode analisis konten berbasis resepsi untuk melihat faktor yang menyebabkan tokoh Lexa sangat berpengaruh bagi kelompok LGBT dan pentingnya representasi media bagi kelompok minoritas Amerika Serikat.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa besarnya pengaruh Lexa merupakan hasil dari keberhasilan serial televisi The 100 merepresentasikan kelompok LGBT melalui penokohan Lexa. Keberhasilan ini ditunjukkan oleh kemampuan Lexa menunjukkan visibilitas kelompok LGBT yang membantu upaya mencari pengakuan dan membenarkan misrecognition seperti yang terlihat dari pemaknaan Lexa oleh kelompok LGBT melalui lsquo;bahasa rsquo; yang beredar. Gerakan LGBT Fans Deserve Better merupakan imbas dari kekecewaan dan kemarahaan akan terenggutnya representasi yang dianggap terbaik dan ekspektasi besar yang digantungkan kepada tokoh Lexa.

This study examines the importance of media representation for minority groups in The United States of America based on a character in the TV series, The 100. The death of the character, Lexa, initated a movement called LGBT Fans Deserve Better, which demands for positive LGBT representations on television. This study uses qualitative approach and a reception based content analysis method to examine the reasons why the LGBT community is strongly affected by the character and her death. The data collected include tweets, tumblr posts, and website content.
The findings show that Lexa rsquo s powerful influence is the result of The 100 rsquo s success in representing LGBT community through her character. This success is demonstrated by her ability to show LGBT community visibility, which in turns helps them find a recognition and rectify the misrepresentaion of their community. LGBT Fans Deserve Better movement is a result of the disappointment and the outrage of the community brought by Lexa rsquo s death, for Lexa is perceived as the best representation for the community.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Tulisan ini menganalisis bagaimana gay dan transgender dalam dua dunia yang berbeda, secara sosial dan politik, yaitu Indonesia dan Eropa Barat, aktif berparitsipasi dalam pembentukan subjektivitasnya. Subjektivitas gender dalam kajian ini terkait dan tak dapat dipisahkan dari seksualitas, agam, hubungan romatis mereka dengan laki-laki dari Eropa Barat dan tali ikatan persaudaraan mereka dengan keluarga mereka di Indonesia. Mereka berjuang menegosiasikan norma dan nilai masyaralat yang diproyeksikan oleh masyarakat terhadap mereka. Kajian ini menyimpulkan bahwa sunjektivitas gender dan seksual sesorang yang minoritas ditentukan oleh struktur yang dominan di dalam masyarakat."
362 JP 20:4 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Dominick Wulandhani
"ABSTRAK
Sebagai salah satu episode paling populer dari serial televisi fiksi ilmiah asal Inggris, San Junipero dipandang sebagai salah satu episode serial Black Mirror yang menarik untuk dianalisis, terlebih dari segi sains dan teknologi, karena adanya penggunaan teknologi virtual canggih didalamnya. Meskipun demikian, pembahasan tentang isu-isu LGBT dalam serial televisi fiksi seperti ilmiah Black Mirror masih jarang ditemukan. Dengan menggunakan metode analisis mise-en-scènes untuk menelaah aspek-aspek sinematografis seperti latar, warna, kostum, teknik kamera, serta akting, sekaligus metode analisis literatur untuk menelaah keberadaan serta karakteristik tokoh-tokoh LGBT di dalamnya, tulisan ini mencoba menelaah aspek-aspek heteronormatif yang masih bertahan di balik imej celebration of queerness yang diakui oleh para penggemar episode ini. Dari hasil analisis, nilai-nilai heteronormativitas masih tercermin di dalam episode ini karena, faktanya, kedua karakter LGBT di dalamnya masih ditampilkan secara stereotipikal. Eksistensi karakter-karakter LGBT di dalam episode ini juga ternyata sesuai dengan kritik Rich (1980) tentang latar belakang eksistensi lesbian yang berkaitan dengan heteronormativitas.

ABSTRACT
As one of the episodes from the famous sci-fi British TV series, San Junipero has become one of the most interesting episodes from Black Mirror series to be analyzed, specifically from the perspective of science and technology, for its mind-blowing VR-based invention. Nevertheless, the aspect of gender and LGBT issues has not been commonly explored in sci-fi literature like Black Mirror. Using mise-en-scène as an approach to analyze some of the cinematographic elements, (setting, color, costume, camera work and performance) as well as analyzing the queer characters, this article tries to identify the heteronormative elements that still persist under the image of a celebration of queerness the episode has received from the fans. Apparently, heteronormativity is still depicted in the episode for the fact that the queer characters are still portrayed rather stereotypically according to several studies about the representation of queer characters in the media discussed by Seifs (2013). As a heterotopia, according to Foucaults (1986), the establishment of the queer characters in San Junipero also fit Richs (1980) critique towards the lesbian existence in relation to compulsory heteronormativity that queer romance exists through melancholy. Nevertheless, not all aspects in the episode scream pure heteronormativity. Although at first glance it seems stereotypical, the queer characters appearance seem to help establishing a non-stereotypical identity in female-female relationship."
[Depok, Depok]: Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, 2019
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pfeffer, Charla A.
"A feminist sociologist by training, Carla A. Pfeffer studies women whose boyfriends and husbands have not always been recognized as men in the world. The transgender partners of the women Pfeffer interviews often-but not always-take testosterone and/or pursue masculinizing surgeries in order to bring their bodies and others views of them into greater alignment with their identities as men. This, however, may present a unique dilemma for their nontransgender (or cisgender) women partners, many of whom self-identify as lesbian or as queer. The women Pfeffer interviews describe being suddenly perceived as part of an unremarkably heterosexual couple once their transgender partners are recognized by others as men. This may result in social advantages such as inclusion in family gatherings, greater social acceptance by strangers, and the ability to join regulated social institutions. However, these women also describe feeling invisible as they are pushed out of gay and lesbian social spaces and sometimes left unsure of how to describe their own sexual identities and the relationships they have with their transgender partners. In this gripping set of narrative accounts, Pfeffer urges readers to rethink their assumptions about just who and what gets to count as a real family in the 21st century. Moreover, she considers what might be learned through closer attention to (and awareness of) various postmodern reconfigurations of embodiment, families, partnerships, and identity that may bring new meanings to contemporary social life not just for the partners of transgender people, but for everyone."
Oxford: Oxford University Press, 2017
e20470571
eBooks  Universitas Indonesia Library
cover
"Harus diakui reformasi membawa angin segar bagi setiap gerakan sosial dalam isu apapun, termasuk kelompok LGBT. Di era reformasi, publik dipaksa untuk terlibat secara aktif dalam pembangunan dengan beragam cara. Ada yang masuk ke politik formal, tetatpi ada yang memilih di luar jalur atau sistem politik. Semua peluang itu terbuka di era reformasi. Tetapi harus diakui, pada isu LGBT karena gerakan identitas masih relatif baru dalam gerakan sosial, maka peluang reformasi baru bisa ditangkap atau direspon untuk mengangkat isu LGBT dalam wacana publik. Tulisan ini menejelaskan perjalanan Suara Kita sejak berdiri sampai dengan sekarang sebagai organisasi LGBT yang konsisten menyuarakan keadilan sosial."
362 JP 20:4 (2015)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>