Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 4433 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Nakano Makibi
"This paper examines the ecological cognition of Sama-Bajau fishermen by analyzing the naming of fish, fishing grounds, and landmarks used by those who engage mainly in open-sea fishing in the Banggai Islands, Central Sulawesi, Indonesia. The field survey assumed that reef rocks and celestial bodies are landmarks used only by Sama-Bajau fishermen because their Sama-Bajau names have been shared among the fishermen until the present day along with their detailed origins. Compared to these landmarks, capes and bays are spread over relatively long distances, so minute differences are difficult to discern. Sama-Bajau fishermen have an equal interest in the names of capes, bays, and reef rocks. The study also clarifies that the background to the naming and folk taxonomy of landmarks is related to differences in the appearance of landmarks and living spaces used by Sama-Bajau and non-Sama-Bajau groups. Therefore, folk taxonomies attract greater and lesser interest or an intermediate level of interest. The study clarifies that Sama-Bajau folk taxonomies have similar features to landscape recognition from a fisherman’s perspective. This is the first attempt to comprehensively classify fish, fishing grounds, and targets based on indigenous knowledge of the sea."
Japan: Southeast Asian Studies, Kyoto University, 2021
330 JJSAS 58:2 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Pekka Leviäkangas
"This paper discusses mobility pricing concepts from viewpoint of ecological targets and sustainable development. The current Finnish mobility pricing system is used as a starting point, and then proceeding along the lines of discussion towards its strengths and weaknesses with regard to environmental policy agenda. Since the Finnish practice has a long tradition of internalizing the external costs of ecological and environmental costs, it serves as a good spring board towards eco-pricing. If eco-pricing would be adopted, there would be necessary economic trade-offs. Hence, the question turns into political and social one: how much are we willing to pay for ecological mobility? The technological issues are considered in the end, as eco-pricing will require the employment of different technologies. However, the technological challenges are probably easier to tackle than the political, social and institutional ones. Finally, some aspects of advanced vs. developing economies are discussed."
Depok: Faculty of Engineering, Universitas Indonesia, 2011
UI-IJTECH 2:2 (2011)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Haward, Ambrosius S.
"Today’s ecological crisis is getting worse, and human activities might have been the main cause of the crisis. From a theological point of view, the spiritual crisis among the modern people can be thought of as the source of the devastating human activities. Pope Francis in his encyclical Laudato Si’ believes that mistaken anthropocentrism and technocratic paradigm are the main cause, while theologian Leonardo Boff points on the modern science experimental perspective and the attitude of negligence as the triggering characteristics that govern the modern people. Facing the ecological crisis which has its roots in human spiritual crisis, Pope Francis offers a model of an integral ecology, while Boff offers an eco-spirituality concept, as basis for human relation to the cosmos. Both concepts emphasise on the unity of all components that exist in the cosmos as God’s creation."
Bandung: Department of Philosophy, 2021
105 MEL 37:2 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Mostafavi, Mohsen
Switzerland: Lars Muller Publishers, 2010/2011
307.76 ECO
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Seoul Korea: Seoul University Press, 1977
307.7 SAN k
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Simanjuntak, Angel Theresia Rouli
"Penghidupan meliputi orang-orangnya, aset, kemampuan, pendapatan, dan aktivitas untuk kehidupan. Penghidupan dikatakan berkelanjutan ketika teratasi dari tekanan, bertahan serta meningkatkan kapasitasnya untuk sekarang dan masa depan, sementara tidak merusak alam. Pendekatan penghidupan berkelanjutan merupakan salahsatu jenis pendekatan dalam intervensi penghidupan untuk mencapai keberlanjutan. Pulau Mare dan sekitarnya merupakan kawasan lindung yang memiliki keanekaragaman hayati dan potensi tinggi untuk kegiatan perikanan dan kelautan. Ada peraturan dan batasan yang diberlakukan dalam pemanfaatan maupun pengelolaan kawasan lindung. Pada Pulau Mare dan sekitarnya juga terdapat desa-desa pesisir yang memungkinkan adanya perbedaaan karakteristik ruang. Pentingnya keberadaan kawasan lindung berimbas pada penghidupan manusia di sekitar desa sebagai tempat tinggal nelayan. Pembangunan desa dan kondisi perairan potensial menjadi karakteristik terbentuknya tipologi desa nelayan. Tipologi desa nelayan terbagi menjadi desa berkembang dan desa belum berkembang, serta desa dengan jarak dekat (< 4 mil) dan jarak jauh (>4 mil) terhadap perairan potensial. Variasi spasial tipologi desa nelayan menjadi dasar dari pola penghidupan berkelanjutan nelayan di Pulau Mare dan sekitarnya. Nelayan yang tinggal pada tipologi desa yang sama, belum tentu memiliki aset, strategi dan hasil penghidupan yang sama. Fenomena pada penelitian ini adalah nelayan pada desa berkembang dengan jarak dekat terhadap perairan potensial, paling banyak merupakan nelayan dengan tingkat kesejahteraan tinggi.

Livelihood includes people, assets, abilities, income, and activities for life. Livelihoods are said to be sustainable when they are overcome from pressure, survive, and increase their capacity for the present and future, while not destroying nature. The sustainable livelihood approach is one type of approach in livelihood interventions to achieve sustainability. Mare Island and its surroundings are protected areas that have high biodiversity and high potential for fisheries and marine activities. There are rules and restrictions that apply to the use and management of protected areas. On Mare Island and its surroundings there are also coastal villages which allow for different spatial characteristics. The importance of the existence of protected areas has an impact on the livelihoods of people around the village as a place for fishermen to live. Village development and potential water conditions characterize the formation of a fishing village typology. Typology of fishing villages is divided into developing and underdeveloped villages, as well as villages with short distances (<4 miles) and long distances (> 4 miles) to potential waters. The spatial variations in the typology of fishing villages are the basis for the sustainable livelihood patterns of fishermen in Mare Island and its surroundings. Fishermen who live in the same village typology do not necessarily have the same assets, strategies, and livelihood outcomes. The phenomenon in this study is that fishermen in developing villages with a close distance to potential waters are mostly fishermen with a high level of well-being."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nathania Orlana Halim
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh volume penerbitan green bonds, sebagai proksi dari green finance, yang diterbitkan oleh beberapa pihak, yakni perusahaan, pemerintahan, instansi, organisasi supranasional serta non-US munis, secara signifikan mempengaruhi tingkat ecological footprint pada 25 negara di Kawasan Eropa dan 11 negara di Kawasan Asia dari tahun 2014 hingga 2022. Pengambilan periode sampel pada penelitian ini bergantung pada ketersediaan data mengenai green bonds, ecological footprint, serta energy consumption. Hasil penelitian dengan data panel balance dan metode pengolahan data OLS fixed-effect model dengan robust function menemukan bahwa penerbitan green bonds secara keseluruhan dapat mengurangi nilai ecological footprint. CBI Aligned green bonds dinilai sebagai jenis obligasi yang paling efektif dalam menurunkan ecological footprint karena “praktis” untuk emiten. Disisi lain, self-labeled green bonds tidak signifikan dalam menurunkan ecological footprint, memberikan indikasi adanya greenwashingdan signaling effect yang negatif. Corporate green bonds memaikan peranan yang lebih besar dalam pengurangan ecological footprint. Peneliti menguji robustness test dengan menggunakan emisi gas rumah kaca (GHG) sebagai pengukuran alternatif ecological footprint. Terlebih, temuan ini juga mendukung validitas teori hipotesis EKC berbentuk inverted U-shaped relationship. Penggunaan pengolahaan data dengan estimasi regresi OLS tidak dapat menjelaskan pengaruh green bonds pada ecological footprint di masing-masing negara sehingga memiliki implikasi penelitian yang terbatas.

This study aims to analyze the effect of green bonds issuance, as a proxy of green financing, issued by several parties, namely companies, governments, agencies, supernatural organizations, and non-US munis, which significantly influences the level of ecological footprint in 25 countries in the European Region and 11 countries in Asia region from 2014 to 2022. The sampling period for this study depends on the availability of data regarding green bonds, ecological footprint, and energy consumption. The results of research using panel balance data and the OLS fixed-effect model data processing method with robust functions found that the issuance of green bonds as a whole can reduce the value of the ecological footprint. CBI Aligned green bonds are considered the most effective type of bond in reducing the ecological footprint because they are "practical" for the issuer. On the other hand, self-labeled green bonds are not significant in reducing the ecological footprint, indicating the existence of greenwashing and negative signaling effects. Corporate green bonds play a greater role in reducing the ecological footprint. Researchers tested the robustness test by using greenhouse gas (GHG) emissions as an alternative measurement of ecological footprint. Moreover, these findings also support the validity of the EKC hypothesis theory in the form of an inverted U-shaped relationship. The use of data processing with OLS regression estimation cannot explain the influence of green bonds on the ecological footprint in each country so it has limited research implications."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Aery Lovian
"Tesis ini membahas tentang Kearifan Ekologis masyarakat Petalangan dalam Ritual Menumbai. Fokus penelitian ini untuk mencari ketertikatan antara ritual Menumbai dengan Ekologi, guna mengetahui kearifan masyarakat Petalangan dalam memperlakukan lingkungan ekologi. Perubahan yang terjadi terhadap ruang hidup masyarakat Petalangan sekarang sudah berubah, dari sebelumnya dikelilingi hutan yang menjadi sumber budaya dan ekonomi mereka, menjadi wilayah hutan industri dan kelapa sawit. Perubahan tersebut tentu saja mengancam ekspresi-ekspresi budaya mereka, termasuk Menumbai. Penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi. Teknik pengumpulan data yaitu bersifat observasi, wawancara, dan perekaman audio-visual. Data tersebut diklasifikasikan untuk dianalisis dan ditafsirkan berdasarkan konsep-konsep, pendekatan, dan teori-teori dalam kajian tradisi lisan. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa ritual Menumbai memiliki proses penciptaan, formula dan variasi dan konteks; semuanya itu tertanam jauh di dalam pandangan dunia mereka tentang alam sebagai makhluk yang sama seperti manusia.

This thesis is an analytical discuss on the ecological wisdom of Petalangan community in the Menumbai, that is a specific ritual to take bees honey that built their nests in the branches of a Sialang tree. This study is focus to search on relations between Menumbai ritual and ecology, with the goals to understand the ecological wisdom in the activities of Petalangan community. In facts, the living space of Petalangan has change now, from the area that covered by forests with the rich of economic and cultural resources to the areas of monoculture industrial forest and palm oil trees. Its change of course endangered their traditional cultural expressions, included Menumbai. In case of Menumbai, it sustainability threatened by quantity degradation of Sialang trees. The data collected by observations, interviews, and audio-visual recording. It data classified, for the analyses and interpreted base on concepts, methods and theories in the study of oral traditions. These research, analyses and interpretations resulted a general conclusion that Menumbai ritual have: a specific creating process, formulas, variations, and contexts; all of those rooted in the deep of their world view about nature as a Creature as well as humanity.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurhayati Amir
"Lingkungan hidup dengan seluruh komponennya yang saling bergantung satu sama lain haruslah selalu dalam keadaan seimbang. Upaya pemenuhan kebutuhan penduduk meningkatkan pembangunan gedung dan perkerasan di seluruh penjuru kota sehingga lugs lahan yang diperuntukkan bagi hutan, jalur hijau, taman, dan jenis RTH lainnya semakin berkurang. Ketidakseimbangan antara lingkungan alam dan lingkungan binaan ini tentu mengakibatkan timbulnya masalah lingkungan, seperti iklim mikro yang tidak menyenangkan, karena Iuas permukaan yang menimbulkan suhu tinggi (struktur dan perkerasan) semakln bertambah sementara luas permukaan yang menimbulkan suhu rendah (tumbuhari dan air) semakin berkurang.
Karena nilai lahan di kawasan perkotaan semakin tinggi dan tidak nyaman untuk menjadi kawasan permukiman, maka semakin banyak kawasan permukiman dibangun dl pinggir kota, contohnya Kota Taman Bintaro Jaya (KTBJ), Tangerang, Banten. Walau banyak pengembang berlomba menawarkan konsep hunian yang ramah lingkungan, kenyataannya, perencanaan RTH masih memprioritaskan aspek estetika dibandingkan aspek ekologis. Untuk mengefektifkan fungsi ekologis dari RTH, khususnya fungsi pengendalian iklim mikro (biasa dlsebut fungsi klimatologis), maka kualitas RTH ini perlu ditingkatkan karena mempertimbangkan kecukupan dari aspek luas saja tidak memadai.
Dengan demikian, dalam penelitian ini dapat dirumuskan masalah sebagai berikut:
Bagaimana kondisi faktor-faktor penentu efektivitas fungsi ekologis RTH di kawasan permukiman KTBJ?
Apa tanggapan warga KTBJ terhadap RTH yang sudah ada berkaitan dengan efektivitas fungsi ekologlsnya?
Bagaimana memperbaiki kondisi faktor-faktor penentu efektivitas fungsi ekologis RTH di kawasan permukiman?
Mempertimbangkan keterbatasan sumberdaya waktu, tenaga, dan Jana fungsi ekologis yang akan diteliti dibatasi pada fungsi pengendalian iklim mikro (fungsi klimatologis) karena lebih sesuai dengan permasalahan yang ada di lokasi studi.
Tujuan dari penelitian ini adalah:
Mengevaluasi faktor-faktor penentu efektivitas fungsi ekologis RTH (seperti luas, distribusi, struktur, bentuk tajuk, kerapatan potion, dan perkerasan) dengan membandingkan terhadap literatur yang ada.
Mengetahui tanggapan warga tentang kondisi RTH di kawasan permukiman yang diteliti berkaitan dengan efektivitas fungsi ekologisnya.
Mencari konsep penataan RTH yang bisa meningkatkan efektivitas fungsi ekologis yang sesuai bagi kawasan permukiman.
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pemerintah dan pengembang dalam pengelolaan RTH di kawasan permukiman.
Penelitian ini adalah penelitian penilaian yang bertujuan untuk menilai suatu program, dalam hal ini adalah program pembangunan RTH di kawasan permukiman. Obyek yang akan dinilai RTH di kawasan permukiman balk secara keseluruhan maupun beberapa jenis RTH secara individu. Varlabel penelitian ini adalah faktor-faktor penentu efektivitas fungsi ekologis, khususnya fungsi klimatologis, yaitu Iuas, distribusi, struktur, bentuk tajuk, kerapatan pohon dan perkerasan. Penilaian akan mengacu pada kriteria penliaian yang dibuat berdasarkan literatur.
Lokasi penelitian adalah kawasan permukiman terencana yang akan berkembang menjadi permukiman berskala besar, yaitu Kota Taman 8intaro Jaya. Data sekunder diperoleh dari berbagai sumber seperti jurnal, buku teks, laporan seminar, lembaga terkait, maupun data dart pengelola. Data primer dikumpulkan melalui pengamatan lapangan dan wawancara (wawancara intensif dengan pihak pengelola kawasan permukiman, serta tenaga ahli yang berkaitan dengan studi dan wawancara dengan warga yang dipandu dengan daftar pertanyaan).
Evaluasi terhadap Iuas dan distribusi RTH dilakukan dengan menggunakan data citra satelit terhadap kawasan permukiman secara keseluruhan. Luas penutupan vegetasi di kawasan permukiman ini dominasi oleh pohon-pohon dan rumput. Areal berpohon lebih kurang 11,5% sedangkan rumput/semak lebih kurang 93% dan nilainya termasuk kategori sedang. Karena jumlah areal berpohon tersebut hanya 38 % dari Iuas minima! yang disarankan, maka daerah berpohon masih perlu ditambah. RTH jugs belum terdistribusi dengan baik. Penutupan tajuk pohon hanya dominan di sektor terbaru, yaitu sektor 9 di sektor lain, penutupan pohon hanya tampak di sepanjang saluran air sehingga nilai variabel ini termasuk rendah. Evaluasi terhadap faktor lain dilakukan melalui pengamatan pada beberapa jenis RTH yang dikelompokkan menjadi dua bentuk, yaitu bentuk jalur (jalur hijau jalan utama, jalur hijau jalan lingkungan, dan jalur hijau tepian air) dan bentuk zonal (taman kingkungan dan taman kota). Struktur sebagian besar RTH termasuk kategori sedang (strata 3). bentuk tajuk sebagian besar RTH termasuk kategorl sedang. Kerapatan pohon rata-rata RTH termasuk sedang. Satu-satunya faktor penentu yang nilainya tinggi adalah perkerasan pada area! RTH, yaitu kurang dari 10% untuk RTH berbentuk Jalur dan kurang dad 30% untuk RTH berbentuk zonal.
Evaluasi terhadap tanggapan warga menunjukkan bahwa hampir semua responden memilih tinggal di KTBj karena mengidamkan daerah hunian yang nyaman. Diantara responden yang diwawancarai, hanya sebagian kecil yang menyadari bahwa RTH bisa berfungsi sebagai pengendali iklim mikro, mereka lebih mempersepsikan RTH sebagai peneduh Baja. Namun, persepsi yang cukup balk tentang fungsi ekologis lain tampaknya cukup untuk membuat warga menyadari pentingnya RTH untuk menjamin keberlanjutan sebuah kawasan permukiman.
Hampir semua responden lebih menyukai jalan lingkungan yang diteduhi oleh pohon rindang daripada yang tidak diteduhi pohon, sementara preferensi untuk taman lingkungan hampir sama. Pemanfaatan jalur hijau jalan Iingkungan masih terbatas pada pagi dan sore harl, sementara berjalan kaki di jalan utama terbatas hanya untuk aktivitas sehari-hari pada beberapa responden. Kunjungan ke taman lingkungan masih terbatas pada aktivitas anak-anak balita, sedangkan taman kota yang selalu ramai pada had libur masih jarang dikunjungi oleh responden.
Semua responden menyadari pentingnya keterlibatan warga di dalam keberhasllan program penghijauan di kawasan permukiman namun hanya sebagian kecil yang benar-benar mau terlibat secara aktif. Sebagian menganggap hal itu sebaiknya dilakukan secara terkoordinir melalui RT misalnya. Secara umum seluruh responden juga menganggap perlu perbaikan di sana sini agar motto kawasan permukiman ini sesuai dengan kenyataannya.
Kondisi faktor-faktor penentu fungsi ekologis yang perlu dilakukan karena fungsi pengendalian iklim mikro yang tidak efektif bisa menimbulkan masalah Iingkungan yang lain sehingga perbaikan perlu segera dilakukan diantaranya dari aspek fisik maupun sosial.
Sintesis aspek fisik antara lain dengan pembangunan taman hutan, membangun sistem jaring RTH: perbaikan struktur, bentuk tajuk, dan kerapatan pohon, serta mernbuat zonasi pada ruang RTH berbentuk zonal, terutama taman kota.
Sintesis aspek sosial meliputi peningkatan peranserta masyarakat serta kampanye penghijauan yang dilaksanakan secara berkesinambungan.
Kesimpulan penelitian ini adalah:
Evaluasi faktor-faktor penentu efektivitas fungsi ekologis, dalam hal Ini fungsi klimatologis, pada RTH di kawasan permukiman menunjukkan bahwa luas termasuk kategori sedang, distribusi termasuk kategorl rendah, struktur termasuk kategori sedang, bentuk tajuk termasuk kategorl sedang, kerapatan palm termasuk kategori sedang, dan perkerasan termasuk kategori tinggi.
Evaluasi terhadap masalah warga menunjukkan bahwa kondisi RTH saat ini masih belum sesuai dengan motto "Hidup Ivyaman di Alam Segar' sehingga diperlukan banyak perbaikan dari segi kuantitas dan kualitas.
Peningkatan efektivitas fungsi ekoiogis RTH, dalarn hat ini fungsi klimatologis, dapat dilakukan dengan perbaikan secara fisik dengan meningkatkan kualitas RTH yang ada maupun dari aspek sosial untuk menjamin keberlangsungan perhatian warga terhadap keberhasilan program penghijauan yang dijalankan.

Environment, which it's components are depending on each other, must always be in a dynamic balance. Efforts to meet citizens needs have caused increasing development of structures dan pavements all around the cities so that woodlands, greenbelts, parks, street trees, and any kind of green open space have been decreasing. Disturbance to the balance can cause environmental problems, such as, mlcroclimatic problems due to the domain of high surface temperature (structures and pavements) is getting wider and the contrary, the domain of low surface temperature (plants and water) is getting less.
Since the price of land in cities is extremely expensive and on the other hand, comfortable is decreasing gradually, many new planned communities built In the hinterland, for example Kota Taman Bintaro Jaya (KTBJ), Tangerang, Banten. Although the developers compete to create ecological sound communities, the fact is, aesthetical aspect in green open space planning still has priority over ecological aspect. To activate the ecological functions of green open space, especially climatological functions, we have to enhance It's quality because the consideration of land size alone seems not enough.
Therefore, the problem statements are as follows: What is the condition of determinant factors of green open space ecological function effectiveness in KTBJ?
What is the inhabitants' comments about the current condition of green open space regarding their ecological function effectiveness?
How to improve the condition of determinant factors of greenspaces ecological function effectiveness in KTBJ?
Considering the limitation of resources, the evaluation of ecological functions is focused only on climatological functions which are more suitable with environmental issues in study area.
The aims of this study are: To evaluate the determinant factors of green open space ecological function effectiveness, such as area, distribution, structure, crown form, tree density, and pavement, by comparing them to the literature available.
To find out the inhabitant comments about the current condition of green open space regarding their ecological function effectiveness.
To look for suitable green open space planning concept to improve the effectiveness of ecological functions in KTBJ.
The results are expected to be useful for the consideration in green open space planning and development in planned communities.
This is an evaluation research with the objective is to evaluate the green open space development program in a settlement area. The objects evaluated are the community green open space in a total area and some kinds of green open space individually. The variables are determinant factors of green open space ecological functions effectiveness, especially, climatological functions, such as area, distribution, structure, canopy form, trees density and pavement. Evaluation will be based on conditions recommended by previous researches.
The study area was a planned community which growing into big scale community, Kota Taman Bintaro Jaya, Tangerang, Banten. Secondary data were collected from many sources, such as journals, text books, seminar proceedings, proper institution, etc. Primary data were collected from field observation and interviews (deep interview with the developers and professionals; structured interview with the inhabitants).
Evaluation on area and distribution of green open space was conducted by using the remote sensing visual data. Vegetation coverage is classified into two classes, trees and lawn/shrubs. Trees occupied the scene as much as 11,5%, white lawn/shrub occupied only 9,3%. Since tree coverage was only 38% from minimum percentage recommended, than it needs to be broadened. The green open space are not well distributed. The largest trees area was located only in newest sector (IX Sector). In other sectors, trees coverage appeared only along the water bodies.
Evaluation on other key factors were conducted by observing some kinds of green open space grouped into two forms. They were line (street trees in main and neighborhood streets, and stream corridors) and zonal (neighborhood and community parks). The structure in most of the green open space was medium level (consists of three-layered vegetation: lawn, shrubs and trees). The crown form was medium level. The trees density also was medium level. The pavement was high level (less than 10% for line and less than 30% for zonal) . Evaluation on inhabitants aspect showed that almost all of the inhabitants chose to live in this community to have a comfortable living. The motto "Comfortable Living in a Fresh Nature" itself, effected more to their expectation for a better quality of the green open space. Only some of the respondents aware that green open space have microclimatic functions, they percepted it only as shading. They know about other green open space ecological functions such as erosion controller, oxygen producers, Those perceptions seemed enough to build their awareness about the importance of
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2002
T548
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>