Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 154593 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Devina Permatasari
"Latar belakang: Amenore primer merupakan gangguan pada siklus menstruasi wanita. 11,1% wanita remaja menunjukkan keluhan ginekologi terkait menstruasi. Prevalensi kasus amenore primer terjadi pada 0,1–2% wanita usia reproduksi.
Amenore primer dapat disebabkan sex reversal female (kromosom 46XY) atau
sindrom Turner (45X). Abnormalitas perkembangan genitalia eksterna merupakan
manifestasi dari gangguan kromosom. Belum ada penelitian yang mengkaji hubungan antara presentasi genitalia eksterna dengan genotip kromosom seks pada pasien amenore primer di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta.
Tujuan: Mengetahui tampilan genitalia eksterna pada pasien amenore primer di RSCM, Jakarta dan hubungannya dengan kejadian ambiguitas genitalia. Metode: Penelitian ini dilakukan desain studi dengan potong lintang secara retrospektif menggunakan rekam medis pasien amenore primer Departemen
Obstetri dan Ginekologi RSCM periode Januari tahun 2018-2020. Data diolah
menggunakan program Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 20.
Uji hipotesis akan dilakukan menggunakan uji Chi-Square atau Fisher’s exact test.
Hasil: 65 rekam medis amenore primer yang melakukan analisa genetika berhasil dikumpulkan. 90,77% (n=59) kasus amenore primer bergenitalia eksterna normal dan 9,23% (n=9) bergenitalia ambigu. Seluruh kasus genitalia ambigu
berkarakteristik pembesaran klitoris dengan 1 kasus juga diamati phallus genital. Hanya 53,8% kasus yang memiliki kromosom perempuan normal, 46XX. Hubungan signifikan didapatkan antara ambiguitas genitalia eksterna dan
abnormalitas kromosom seks (p=0,042) Simpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara ambiguitas genitalia eksterna serta tidak normalnya hasil analisa kromosom seks pada pasien amenore primer di Departemen Obstetri dan Ginekologi RSCM periode Januari tahun 2018-2020.

Background: Primary amenorrhea is a disorder of a woman's menstrual cycle. 11.1% of adolescent women showed gynecological complaints related to
menstruation. The prevalence of primary amenorrhea cases occurs in 0.1–2% of women of reproductive age. Primary amenorrhea can be caused by female sex reversal (chromosome 46XY) or Turner syndrome (45X). Abnormalities in the development of external genitalia are a manifestation of chromosomal disorders. There are no studies that have examined the relationship between external genitalia presentation and sex chromosome genotypes in primary amenorrhea patients at Cipto Mangunkusumo Hospital (RSCM), Jakarta. Goal: Finding the characteristic the appearance of external genitalia in primary amenorrhea patients at RSCM, Jakarta and its relationship with the incidence of genital ambiguity Method: This study was conducted with a retrospective cross-sectional study design using the medical records of primary amenorrhea patients from the Department of Obstetrics and Gynecology RSCM January 2018-2020. Data were processed using the Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) program version 20. Hypothesis testing will be carried out using the Chi-Square test or Fisher's exact test. Result: 65 medical records of primary amenorrhea that performed genetic analysis were collected. 90.77% (n = 59) cases of primary amenorrhea with external genitalia were normal and 9.23% (n = 9) had ambiguous genitalia. All cases of ambiguous genitalia were characterized by clitoral enlargement with 1 case also observed for the genital phallus. Only 53.8% of cases had a normal female chromosome, 46XX. There was a significant relationship between external genital ambiguity and sex chromosome abnormalities (p = 0.042). Conclusion: There is a significant relationship between external genital ambiguity and abnormal results of sex chromosome analysis in primary amenorrhea patients in the Obstetrics and Gynecology Department of RSCM for the period January 2018-2020 (p<0,05)."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melliza Xaviera Putri Yulian
"

Latar belakang: Masa remaja adalah bentuk peralihan dari masa anak-anak menuju dewasa yang diiringi oleh munculnya fase pubertas. Pada perempuan, fase ini ditandai oleh karakteristik seks primer berupa proses menstruasi dan berkembangnya karakteristik seks sekunder seperti payudara dan rambut pubis yang muncul di usia 11-13 tahun. Dalam beberapa kasus ditemukan keterlambatan onset pada karakteristik seks tersebut, hal ini disebut dengan amenore primer. Kelainan ini dapat dikaitkan dengan adanya abnormalitas pada kromosom seks. Keterlibatan kromosom Y menjadi suatu indikator yang penting. Diagnosis yang tepat dengan melakukan penapisan etiologi diharapkan dapat menunjukkan tata laksana yang sesuai. Tujuan: Mengetahui hubungan antara karakteristik seks sekunder dengan jenis kromosom seks pasien amenore primer di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. Metode: Sebuah studi potong lintang yang dilakukan pada 65 subjek amenore primer yang dipilih secara non-randomized consecutive sampling di RSCM serta telah memenuhi kriteria inklusi dan menapis kriteria eksklusi yang telah ditetapkan. Data yang dianalisis berasal dari informasi pada rekam medis pasien amenore primer periode Januari 2018-2020. Hasil: Sebagian besar subjek memiliki karakteristik seks sekunder yang tidak berkembang, pada payudara (52,3%) maupun rambut pubis (58,5%). Dari analisis kromosom, didapatkan 84,6% sampel tanpa kromosom seks Y dan 15,4% sampel dengan kromosom seks Y. Nilai p yang didapat tidak menunjukkan adanya hubungan yang signifikan secara statistik antara karakteristik seks sekunder mencakup pertumbuhan payudara (p=0,174) dan rambut pubis (p=0,729) terhadap jenis kromosom seks pasien amenore primer di RSCM. Simpulan: Tidak ditemukan hubungan yang signifikan (p>0,05) antara karakteristik seks sekunder dengan jenis kromosom seks pasien amenore primer di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta. 


Background: Adolescence is a form of transition from childhood to adulthood accompanied by the emergence of the puberty phase. In women, this phase is characterized by primary sex characteristics in the form of the menstrual process and the development of secondary sex characteristics such as breasts and pubic hair that appear at the age of 11-13 years. In some cases, there is a delay in onset of these sex characteristics, called primary amenorrhea. This disorder can be associated with an abnormality on the sex chromosomes. The involvement of the Y chromosome is an important indicator. Correct diagnosis by performing etiological screening is expected to show appropriate treatment. Aim: To determine the correlation between secondary sex characteristics and sex chromosome type of primary amenorrhea patients at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta. Methods: A cross sectional study conducted on 65 primary amenorrhea subjects selected by non-randomized consecutive sampling in RSCM who has met the inclusion criteria and filtered by the exclusion criteria. The data analyzed came from information in the medical records of primary amenorrhea patients. Results:Most of the subjects have undeveloped secondary sex characteristics, both breast (52.3%) and pubic hair (58.5%). From chromosome analysis, this study discovered 84.6% samples without Y-chromosome related and 15.4% samples with Y-chromosome related. The p value obtained did not show a statistically significant correlation between secondary sex characteristics including breast growth (p = 0.174) and pubic hair (p =0.729) on the sex chromosome type of primary amenorrhea patients at RSCM. Conclusions: There is no significant correlation (p>0.05) between secondary sex characteristics and the sex chromosome type of primary amenorrhea patients at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Linda Rizki Rahayu
"Latar belakang: Amenorrhea primer didefinisikan sebagai tidak adanya siklus menstruasi hingga usia 16 tahun pada kondisi pertumbuhan dan perkembangan karakteristik seksual sekunder yang normal atau pada usia 14 tahun tidak adanya perkembangan dari karakteristik seksual sekunder. Penyebab amenorrhea primer dapat dibagi menjadi tiga kategori yaitu, obstruksi outflow tract, disfungsi ovarium, disfungsi hipotalamus-pituitari. Adanya abnormalitas pada kromosom dapat menyebabkan gangguan perkembangan saluran reproduksi. Menjadi perhatian adalah pasien fenotipe wanita yang memiliki kromosom Y mempunyai peluang 25% untuk mengembangkan tumor gonad.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara tampilan sonografi uterus dengan jenis kromosom seks pada pasien amenore primer di RSCM.
Metode: Penelitian ini akan menggunakan desain cross-sectional pada 65 subjek dengan teknik consecutive dalam pengambilan sampel. Pengambilan data dari rekam medis pasien amenore primer di RSCM periode Januari 2018 hingga Januari 2020. Data akan diolah menggunakan program Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 20.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan tampilan sonografi uterus mayoritas memiliki hipoplasia uterus 70.7% (n=46). Pada jenis kromosom seks mayoritas memiliki kromosom seks tanpa Y 84.6% (n=55). Hasil menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan secara statistik (p=0.015) antara tampilan sonografi uterus dengan jenis kromosom seks pada pasien amenore primer di RSCM. Dengan persentase terbesar pada kromosom seks tanpa Y memiliki tampilan hipoplasia uterus (n=42).
Simpulan: Terdapat hubungan yang signifikan secara statistik (p<0.05) antara tampilan sonografi uterus dengan jenis kromosom seks pada pasien amenore primer di RSCM.

Background: Primary amenorrhea was defined as the absence of a menstrual cycle until the age of 16 years in conditions of normal growth and development of secondary sexual characteristics or at 14 years of absence of development of secondary sexual characteristics. The causes of primary amenorrhea can be divided into three categories: outflow tract obstruction, ovarian dysfunction, and hypothalamic-pituitary dysfunction. The presence of chromosomal abnormalities can cause impaired development of the reproductive tract. The concern is that phenotypic female patients who have a Y chromosome have a 25% chance of developing gonadal tumors.
Aim: To determine the correlation between uterine sonography appearance and sex chromosome types od primary amenorrhea patients at RSCM
Methods: A cross-sectional study conducted on 65 subjects with consecutive techniques of sampling. Data were collected from the medical records of primary amenorrhea patients at RSCM from January 2018 to January 2020. Data were processed using the Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) program version 20.
Results: In this study, uterine sonography was found that 70.7% (n=46) had uterine hypoplasia. In the type of sex chromosome that 84.6% (n=55) has a sex chromosome without Y. The results showed that there was a statistically significant relationship (p = 0.015) between uterine sonographic appearance and sex chromosome type of primary amenorrhea patients at RSCM. The largest proportion of sex chromosomes without Y had the appearance of uterine hypoplasia (n = 42).
Conclusions: There is significant correlation (p>0.05) between uterine sonographic appearance and the sex chromosome type of primary amenorrhea patients at RSCM
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harsya Dwindaru Gunardi
"Pendahuluan: Dalam 2 dekade terakhir ini, berbagai penelitian epidemiologi menunjukkan adanya kecenderungan peningkatan angka insidens dan prevalensi diabetes mellitus (DM) tipe-2 di berbagai penjuru dunia. Selain itu, DM tipe 2 kini juga diketahui menjadi salah satu faktor risiko penyakit tuberkulosis (TB) paru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh jenis kelamin terhadap prevalensi TB paru pada pasien DM tipe 2.
Metode: Dengan desain cross-sectional, pengambilan sampel dilakukan terhadap seluruh pasien DM tipe 2 yang menderita infeksi paru (TB dan bukan TB) di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo tahun 2010.
Hasil: Hasil menunjukkan dari 125 pasien DM tipe 2 yang menderita TB paru, 82 berjenis kelamin laki-laki (67%) dan 43 berjenis kelamin perempuan (33%).
Kesimpulan: Dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin mempengaruhi prevalensi TB pada penderita DM tipe 2 secara bermakna.

Background: In the last 2 decades, many epidemiological studies showed increment tendency of incidence and prevalence of type 2 diabetes mellitus (DM) in many regions of the world. Besides, type 2 DM has also known as a risk factor for lung tuberculosis (TB). The study purpose is to find out the effect of gender to lung TB prevalence in type 2 DM patients.
Method: With cross-sectional design, sampling was taken from all type 2 DM patients with lung infection (TB and non-TB) in Cipto Mangunkusumo Hospital in year 2010.
Result: Result show that amongst 125 type 2 DM patients who had lung TB, 82 of them are males (66%) and the 43 are females (33%).
Conclusion: From this study, we can conclude that gender affect the TB lung prevalence in type 2 DM patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Akbar
" ABSTRAK
Latar Belakang: Thalassemia merupakan hemoglobinopati herediter yang menyebabkan anemia kronis, sehingga pasien membutuhkan transfusi darah secara rutin yang dapat menyebabkan kelebihan besi. Kelebihan besi dapat memicu beberapa komplikasi, salah satunya adalah gangguan pertumbuhan. Tujuan: Mengetahui hubungan antara kadar hemoglobin dan profil besi dengan gangguan pertumbuhan pada pasien thalassemia. Metode: Studi cross-sectional pada 102 pasien thalassemia di Pusat Thalassemia RSCM Jakarta. Hasil: Empat puluh lima 44,1 subjek adalah perempuan dan 57 55,9 subjek adalah lelaki dengan rentang usia 9-14 tahun. Tiga puluh sembilan 38,2 subjek memiliki perawakan pendek dan 63 61,8 subjek memiliki perawakan normal. Nilai median kadar feritin serum pada pasien perawakan pendek adalah 2062 318-8963 ng/mL dan pada pasien perawakan normal adalah 3315 422,9-12269 ng/mL p.

ABSTRACT
Background Thalassemia is a hereditary hemoglobinopathy which causes chronic anemia, thus the patients need regular blood transfusion which can cause iron overload. It leads to some complications, one of them is growth retardation. Aim To determine the association between hemoglobin level and iron profile with growth retardation on thalassemia patients. Methods cross sectional study on 102 patients in Thalassemia Center of RSCM Jakarta. Results Forty five 44.1 subjects are girls and 57 55.9 subjects are boys. Their age range was 9 14 years old. Thirty nine 38.2 subjects had short stature and 63 61.8 subjects had normal stature. Median of serum ferritin level in the short stature patients was 2062 318 8963 ng mL and normal stature was 3315 422.9 12269 ng mL p 0.001 . Median of transferrin saturation in the short stature patients was 88 19 100 and normal stature was 83 35 100 p 0.94 . Mean of pra transfusion hemoglobin level in the short stature patients was 8.14 SD 0.93 g dL and normal stature was 8.07 SD 0.86 g dL p 0.68 . Conclusion there is a significant association between serum ferritin level and growth retardation, but there is no significant association between transferrin saturation and pra transfusion hemoglobin level with growth retardation."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizky Aniza Winanda
"Pendahuluan: Luka bakar adalah cedera berat akibat kerusakan atau kehilangan jaringan yang disebabkan oleh kontak dengan sumber panas serta berpengaruh pada seluruh fungsi sistem tubuh. Pada luka bakar, cedera mengakibatkan kerusakan pada penampilan seseorang dan citra tubuhnya sehingga perasaan negatif yang dialami juga dapat diikuti masalah lainnya yang menyebabkan psikopatologi atau gejala masalah kejiwaan.
Metode: Studi potong lintang dengan metode pengambilan sampel secara konsekutif yang melibatkan pasien luka bakar di poliklinik Bedah Plastik serta Unit Luka Bakar RSCM, Jakarta dilakukan antara April-Mei 2017. Responden mengisi kuesioner self-report berupa Kuesioner Biodata untuk mendapat profil demografi, SRQ-20 titik potong ge;6 untuk melihat gejala psikopatologi, Kuesioner WHOQoL-BREF untuk melihat skor kualitas yang meliputi domain fisik, psikologis, sosial, dan lingkungan. Data yang didapat diolah menggunakan analisis korelasi Spearman.
Hasil: 56 pasien luka bakar berpartisipasi dalam penelitian ini. 30.4 pasien tidak bekerja serta 48.2 memiliki penghasilan sangat rendah per bulannya. 67.9 pasien mengalami luka bakar akibat api dengan 44.6 mengalami luas luka bakar 10-30 TBSA dan mayoritas individu 80.4 mengalami luka bakar kombinasi derajat 2 3. Berdasarkan analisis yang dilakukan, 57.1 pasien mengalami psikopatologi dan rerata penilaian kualitas hidup yang rendah domain fisik 48.1, domain psikologis 51.5 . Didapatkan korelasi negatif yang bermakna p le; 0.05 antara domain psikologis dengan gejala depresi, cemas, dan penurunan energi; domain fisik dengan gejala penurunan energi, serta domain sosial dengan gejala cemas.
Pembahasan: Penelitian yang dilakukan mendapatkan berbagai hasil yang bermakna untuk membuktikan adanya korelasi antara psikopatologi dengan berbagai domain kualitas hidup yang terpengaruh.

Introduction: Burns result in severe injuries that cause damage or loss of tissue due to contact with sources of heat resulting in injuries to all body systems. Injuries of the skin, which functions as a barrier to protect internal organs, may cause patients to experience damage to one's physical appearance and body image causing negative feelings that may lead to other problems such as psychopathology and symptoms of mental illness.
Method: A cross sectional study with consecutive sampling method of burn patients who were treated at the Plastic Surgery Outpatient Clinic and Burn Unit of RSCM was conducted between April May 2017. Subjects were asked to fill in self report questionnaires including patient identity form, SRQ 20 cutoff point ge 6 for presence of psychopathology, and WHOQoL BREF to obtain mean scores of quality of life that include four domains of physical, psychological, social, and environment assessment. Data collected was analyzed using correlation analysis.
Result: 56 burn patients were included in the study. 30.4 did not work and 48.2 had very low income per month. 67.9 patients experienced burns due to fire and 44,6 had burns 10 30 of the TBSA with a majority of patients 80.4 experiencing a combination of second third degree burns. Based on the analysis, 57.1 of patients had a form of psychopathology and low mean scores of quality life physical domain 48.1, psychological domain 51.5. Significant negative correlations p le 0.05 were obtained between the psychological domain and symptoms of depression, anxiety, low energy physical domain and low energy and social domain with anxiety.
Discussion: This study obtained significant results to identify the correlation between psychopathology and various domains of quality of life affected.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Henni Kusuma
"Kualitas hidup pada pasien HIV/AIDS sangat penting untuk diperhatikan karena penyakit infeksi ini bersifat kronis dan progresif sehingga berdampak luas pada segala aspek kehidupan baik fisik, psikologis, sosial, maupun spiritual. Masalah psikososial khususnya depresi dan kurangnya dukungan keluarga terkadang lebih berat dihadapi oleh pasien sehingga dapat menurunkan kualitas hidupnya. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengidentifikasi dan menjelaskan hubungan antara depresi dan dukungan keluarga dengan kualitas hidup pada pasien HIV/AIDS. Penelitian ini menggunakan rancangan studi potong lintang dan merekrut sampel sebanyak 92 responden dengan teknik purposive sampling.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar responden mempunyai kualitas hidup kurang baik (63,0%), mengalami depresi (51,1%), dukungan keluarga non-supportif (55,4%), berjenis kelamin laki-laki (70,7%), berpendidikan tinggi (93,5%), bekerja (79,3%), berstatus tidak kawin (52,2%), mempunyai penghasilan tinggi (68,5%), berada pada stadium penyakit lanjut (80,4%), rata-rata usia 30,43 tahun, dan rata-rata lama mengidap penyakit 37,09 bulan. Pada analisis korelasi didapatkan adanya hubungan yang bermakna antara depresi dan dukungan keluarga dengan kualitas hidup (p=0,000 & p=0,000, α=0,05).
Selanjutnya, hasil uji regresi logistik menunjukkan responden yang mengalami depresi dan mempersepsikan dukungan keluarganya non-supportif beresiko untuk memiliki kualitas hidup kurang baik setelah dikontrol oleh jenis kelamin, status marital, dan stadium penyakit. Selain itu, diketahui pula bahwa dukungan keluarga merupakan faktor paling dominan yang berhubungan dengan kualitas hidup dengan nilai OR=12,06.
Rekomendasi dari penelitian ini adalah perlu dilakukan intervensi untuk memberdayakan keluarga agar dapat senantiasa memberikan dukungan pada pasien HIV/AIDS dan upaya pencegahan serta penanganan terhadap masalah depresi agar dapat memperbaiki kualitas hidup pasien HIV/AIDS.

Quality of life of patients with HIV/AIDS become a main concern since this chronic and progressive illness may impact in all aspects of patient?s life: physical, psychological, social, and spiritual. Psychosocial problems especially depression and lack of family support are frequently faced of this patients which effect in reducing their quality of life. The purpose of this study was to identify and to explain the relationship between depression and family support with quality of life in patients with HIV / AIDS. This study used cross-sectional study design, with a total sample is 92 respondents that recruited by purposive sampling technique.
The results showed that the majority of respondents have poor quality of life (63.0%), depression (51.1%), lack of family support (55.4%), male (70.7% ), higher education level (93.5%), work (79.3%), unmarried (52,2%), have higher income (68.5%), in advanced stage of disease (80.4% ), with an average age of 30.43 years, and the average length of illness 37.09 months. Analysis of the correlation showed any significant relationship between depression and family support with quality of life (p=0,000 & p=0,000, α=0,05).
Further analysis with logistic regression test demonstrated that respondents who perceive depressed and family non-supportive are at risk to have poor quality of life after being controlled by gender, marital status, and stage of disease. In addition, this analysis showed that family support is the most influential factors to the quality of life with OR=12,06.
Recommendations from this study is necessary to empower family in order to continously giving support to patients with HIV/AIDS and also needs to prevent and resolve problem of depression in order to improve quality of life of patients with HIV/AIDS.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2011
T-Pdf
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
R.M. Suryo Anggoro K. Wibowo
"Latar Belakang. Hemofilia selama ini diketahui menimbulkan komplikasi muskuloskeletal dan penurunan densitas tulang adalah salah satunya. Faktor risiko penurunan densitas tulang pada hemofilia belum diketahui secara pasti. Profil pasien hemofilia dengan penurunan densitas tulang di Indonesia juga belum diketahui.
Tujuan. Mengetahui proporsi penurunan densitas tulang pada hemofilia dan karakteristik pasien hemofilia dengan penurunan densitas tulang.
Metode. Studi ini merupakan studi deskriptif potong lintang yang dilakukan pada bulan Juni-November 2012. Subyek penelitian adalah pasien hemofilia dewasa berusia 19-50 tahun yang berobat ke Poliklinik Hematologi Onkologi Medik RS Cipto Mangunkusumo atau yang terdaftar di Tim Hemofilia Terpadu berdomisili di area Jabodetabek. Variabel yang dinilai adalah densitas massa tulang, usia, indeks massa tubuh, aktivitas fisik, artropati, penggunaan terapi substitusi, infeksi HIV dan HCV. Densitas tulang diukur dengan Lunar GE Scan. Penurunan densitas tulang didefinisikan sebagai Z-score -2 atau kurang. Aktivitas fisik dinilai dengan kuesioner Hemophilia Activities List. Artropati secara klinis dinilai dengan Hemophilia Joint Health Score. Artropati secara radiologis dinilai pada sendi lutut menggunakan Skor Arnold-Hilgartner. Data numerik dinyatakan dalam mean + SD atau median. Data kategorik dinyatakan dalam n dan persentase.
Hasil. Sejumlah 63 subyek hemofilia dewasa berusia 19-46 tahun mengikuti studi ini dengan median usia 26 tahun. Proporsi penurunan densitas tulang pada hemofilia didapatkan sebesar 6,3%. Fraktur terjadi pada 14,3% subyek. Subyek dengan densitas tulang menurun memiliki usia lebih muda (19 tahun vs 26 tahun). Subyek dengan densitas tulang menurun memiliki IMT lebih rendah (18,6 + 2,8 kg/m2 vs 21,5 + 3,8 kg/m2). Subyek dengan densitas tulang menurun menggunakan terapi substitusi lebih banyak daripada subyek dengan densitas tulang normal (4047 IU/bulan vs 2000 IU/bulan). Infeksi HCV terjadi pada 25% subyek dengan densitas tulang menurun sedangkan pada densitas tulang normal sebesar 55,9%. Infeksi HIV hanya terjadi pada 1,6% subyek. Skor aktivitas ditemukan sama antara subyek dengan densitas tulang normal dan menurun. Skor artropati klinis ditemukan lebih baik pada subyek dengan densitas tulang menurun (18,7 + 4,4 vs 23,1 + 11,8).
Simpulan. Penurunan densitas tulang pada subyek hemofilia ditemukan sebesar 6,3%. Subyek dengan densitas tulang menurun berusia lebih muda, memiliki IMT lebih rendah, skor sendi lebih baik, lebih sedikit mengalami infeksi transfusi, dan mengalami perdarahan lebih banyak dibandingkan subyek dengan densitas tulang normal.

Background. Haemophilia can result in musculoskeletal complications and reduced bone density is one of the recently known musculoskeletal complications in haemophilia patients. Risk factors of reduced bone density in haemophilia have not been completely known yet. Moreover, profile of hemophilia patient with reduced bone density in Indonesia have not been studied.
Objectives. To know the proportion of reduced bone density and characteristics of hemophilia patient with reduced bone density.
Methods. A cross-sectional study on haemophilia patients aged 19-50 years old was conducted ini Haematology-Medical Oncology Clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital from June-November 2012. Bone density, age, body mass index, physical activity, arthropathy, amount of replacement therapy, HIV and HCV infection are analyzed variables. Bone density was measured with GE Lunar Scan. Reduced bone density was defined as Z-score -2 or less. Physical activity was measured with Haemophilia Activities List questionnaire. Joint involvement was measured clinically with Haemophilia Joint Health Score. Joint involvement of the knee was measured radiologically with plain X-ray and graded according to Arnold-Hilgartner Score. Numerical data will be presented in mean + SD or median. Categorical data will be presented as n and percentage.
Results. Sixty three haemophilia subjects aged 19-46 years old joined the study with median age 26 years old. Reduced bone density was found in 6,3% of the subjects. History of fractures was found in 14,3% patient. Subjects with reduced bone density have younger age (19 vs 26 years). Subjects with reduced bone density have lower BMI (18,6 + 2,8 kg/m2 vs 21,5 + 3,8 kg/m2). Subjects with reduced bone density used replacement therapy more than their normal counterparts (4047 IU/month vs 2000 IU/month). HCV infection happened in 25% of subjects with reduced bone density while only found in 55% of normal bone density subjects. HIV infection was only found in 1,6% patient. Activity score between normal and reduced bone density was about the same. Clinical arthropathy score was better in reduced bone density subjects (18,7 + 4,4 vs 23,1 + 11,8).
Conclusion. Reduced bone density was found in 6,3% subjects. Subjects with reduced bone density have younger age, lower BMI, better joint score, less infection, and experienced more bleeding than subjects with normal bone density."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
T32983
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Avy Retno Handayani
"Latar belakang: Patensi jalan napas merupakan hal paling penting dalam manajemen pasien di dalam kamar operasi maupun di luar kamar operasi. Kegagalan ataupun keterlambatan dalam manajemen jalan napas akan membawa dampak yang buruk terhadap morbiditas maupun mortalitas pasien. Prediksi kesulitan jalan napas dapat dilakukan dengan penilaian klinis maupun pemeriksaan penunjang. Cormack-Lehane grading telah lama digunakan sebagai prediksi kesulitan laringoskopi melalui visualisasi laring. Menurut penelitian yang sudah dilakukan oleh W Yao dan Bin Wang, dikatakan ukuran lebar lidah diatas 6.0 cm dapat menjadi prediksi terjadinya kesulitan intubasi. Salah satu faktor yang menyebabkan kesulitan intubasi adalah kesulitan laringoskopi yang ditandai dengan Cormack Lehane Grading ≥ 3. Penelitian ini bertujuan untuk mencari apakah terdapat hubungan ukuran lebar lidah dengan kesulitan laringoskopi yang ditandai dengan Cormack Lehane Grading.
Metode: Penelitian observasional prospektif dengan desain cross sectional ini dilakukan di Instalasi Bedah Pusat, CCC, dan Kirana RSUPN Cipto Mangunkusumo pada bulan Juli sampai September 2022. Populasi subjek adalah pasien yang akan menjalani pembedahan dengan pembiusan total dan menggunakan ETT. Ketebalan lidah diukur dengan menggunakan ultrasonografi. Penilaian Cormack Lehane Grading dilakukan melalui visualisasi laring pada saat laringoskopi dan sebelum dilakukan intubasi endotrakeal.
Hasil: Kelompok subjek dengan karakteristik sulit intubasi berdasarkan Cormack Lehane Grading (≥3) terbukti memiliki rerata ketebalan lidah yang lebih tebal dibandingkan kelompok mudah intubasi. Kelompok sulit intubasi juga terbukti memiliki Modified Mallampati Score yang lebih tinggi.
Kesimpulan: Ketebalan lidah dan Modified Mallampati Score berhubungan dengan sulit intubasi berdasarkan Cormack Lehane grading, sehingga dapat digunakan sebagai prediktor kesulitan jalan napas.

Background: Airway patency is a critical variable to maintain, either in perioperative or emergency setting. Failure or delay in airway management is associated with life-threatening complications. Prediction of difficult airway management can be done through bedside clinical examination and/or further investigations. Cormack Lehane grading has long been known as a parameter to assess difficult airway by visualization of the larynx. According to W Yao and Bin Wang, tongue thickness > 6.0 cm may be a predictor of difficult airway. One of the factors associated with difficult-to-intubate patients is difficult laryngoscopy as indicated by Cormack Lehane grading ≥ 3. This study aimed to investigate the correlation between tongue thickness and difficult laryngoscopy assessed through Cormack Lehane Grading.
Methods: This prospective observational study was conducted in Central Surgery Unit, CCC, and Kirana Unit of Cipto Mangunkusumo General Hospital in the period of July to September 2022. This study involved patients undergoing surgical interventions with general anesthesia and endotracheal intubation. Tongue thickness of each subject was assessed by ultrasonography. The assessment of Cormack Lehane grading in each subject was conducted through visualization of the larynx during laryngoscopy and prior to tracheal intubation.
Results: Difficult-to-intubate group characterized by Cormack Lehane grading ≥3 was associated with thicker tongue and higher Modified Mallampati score.
Conclusion: Tongue thickness and modified Mallampati score were associated with difficult laryngoscopy and endotracheal intubation based on Cormack Lehane grading. Therefore, tongue thickness may serve as a potential predictor of difficult airway.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Kevin Triangto
"Osteosarkoma digolongkan sebagai salah satu keganasan tersering pada usia remaja dan dewasa muda. Sampai saat ini, angka kesintasan osteosarkoma di Indonesia masih rendah. Penelitian sebelumnya menyatakan bahwa angka kesintasan bergantung pada diagnosis histopatologik. Selain itu, telah ditemukan sebuah pola insidens umum yang berhubungan dengan usia, jenis kelamin, dan lokasi tumor. Maka itu, penelitian ini dilakukan untuk membuktikan adanya hubungan antara usia dan lokasi tumor, juga untuk mengetahui profil osteosarkoma di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 2006-2011.
Desain penelitian ini adalah potong lintang, dan data diperoleh dari departemen Patologi Anatomi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo sebanyak 187 kasus osteosarkoma. Uji chi-square telah digunakan untuk menganalisis hubungan.
Dari hasil penelitian ini, ditemukan mayoritas pasien adalah laki-laki (58.8%) dan kebanyakan berusia remaja dan dewasa muda (61%). Predileksi tersering adalah bagian tulang panjang ekstremitas bawah (54.3%), telah ditemukan hubungan yang bermakna dengan usia remaja dan dewasa muda (p = 0.018). Selain itu, diagnosis yang tersering ditemukan adalah osteosarkoma konvensional sebanyak 93% dari populasi sampel.
Kesimpulan yang bisa diambil adalah pasien remaja memiliki kemungkinan dua kali lipat lebih tinggi untuk terkena osteosarkoma pada tulang panjang, disebabkan adanya keterlibatan dari lempeng pertumbuhan di tulang.

Osteosarcoma had been classified as one of the most common malignancy in the adolescents. Until recently, osteosarcoma survival rate in Indonesia is still considered low. Previous studies mentioned that survival rates are dependent on histopathologic diagnosis. Interestingly, a common incidence pattern was found and was associated to age, gender and sites. Therefore, this study was meant to describe the association between predilection site and age, as well as presenting the profile of osteosarcoma in Cipto Mangunkusumo hospital in 2006-2011.
This cross-sectional study took place in the Department of Anatomical Pathology Cipto Mangunkusumo hospital, where 187 osteosarcoma cases were found. Chisquare test was used to analyze the association.
It was revealed in the results that the sample was predominated by males (58.8%), and majority of the cases were adolescents (61%), The most common site affected is long bones of the lower extremities (54.3%), and this was found to be associated with the incidence in adolescents (p = 0.018). Accordingly, the most common diagnosis found was conventional osteosarcoma, accounting for 93% of the sample.
In conclusion, adolescent patients were found to be roughly two times more likely to develop conventional osteosarcoma on long bones, suggesting possible growth plate involvement.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2013
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>