Hasil Pencarian

Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133253 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Abirianty Priandani Araminta
"Latar Belakang: Dengan kesintasan lima tahun sebesar 18%, menempatkan karsinoma sel hati (KSH) sebagai kanker paling mematikan setelah kanker pankreas. Salah satu faktor yang diperkirakan berperan dalam menentukan prognosis KSH adalah kompsosisi tubuh pasien. Namun demikian, berbagai studi yang menilai sarkopenia sebagai faktor prognostik pasien KSH memberikan hasil yang inkonsisten.
Tujuan: Menilai peran sarkopenia terhadap kesintasan dan kekambuhan pasien KSH.
Sumber Data: Pencarian utama dilakukan pada basis data PubMed, ProQuest, EBSCOhost, Embase, dan Scopus hingga 1 September 2020. Pencarian sekunder dilakukan secara snowballing pada sitasi studi terkait dan perpustakaan elektronik serta pengumpulan informasi melalui Perhimpunan Peneliti Hati Indonesia.
Seleksi Studi: Studi kohort yang menilai prognosis dengan melaporkan perbandingan kesintasan, mortalitas, dan/atau periode bebas penyakit pasien KSH berdasarkan ada atau tidak adanya sarkopenia serta periode observasi minimal tiga bulan akan diikutsertakan. Tidak ada batasan terhadap tahun publikasi dan bahasa. Penilaian terhadap judul, abstrak, dan studi dilakukan oleh dua peninjau independen. Dari 990 studi, 44 di antaranya memenuhi kriteria eligibilitas.
Ekstraksi Data: Ekstraksi data dilakukan oleh kedua peninjau. Konfirmasi data studi dilakukan dengan menghubungi peneliti. Tidak ada data tambahan yang didapatkan.
Hasil: Studi yang melaporkan kesintasan kumulatif dirangkum secara kualitatif. Studi yang melaporkan Cox proportional hazard ratio (HR) dimasukkan ke dalam meta-analisis. Hasil meta-analisis menggunakan random-effects model dari 39 studi menunjukkan sarkopenia berhubungan dengan kesintasan yang lebih rendah (HR 1.74, IK 95% 1.49-2.02) dibandingkan pasien KSH non-sarkopenia pada seluruh stadium. Sarkopenia juga berhubungan dengan kekambuhan yang lebih tinggi (HR 1.42, IK 95% 1.15-1.76) dibandingkan pasien KSH non-sarkopenia yang menjalani terapi kuratif. Analisis subgrup berdasarkan tujuan terapi (kuratif dan paliatif), jenis intervensi yang diberikan, serta parameter diagnostik yang digunakan tidak memengaruhi arah hasil luaran.
Kesimpulan: Sarkopenia berhubungan dengan kesintasan pasien KSH yang lebih rendah dan periode bebas penyakit yang lebih singkat pada pasien yang menjalani terapi kuratif.

Background: With overall 5-year survival of 18%, HCC is the second most lethal cancer after pancreatic cancer. One of the factors compromising prognosis in HCC patients is body composition. Nonetheless, studies evaluating sarcopenia as prognostic factor in HCC show inconsistent results.
Objective: To assess the role of sarcopenia in overall survival and disease-free survival of HCC patients.
Data Source: We searched PubMed, ProQuest, EBSCOhost, Embase and Scopus through September 1, 2020. Secondary searching was done by snowballing method including references of qualifying articles and manual searching through e-library and information gathering through Indonesian Association for the Study of Liver.
Study Selection: Cohort studies evaluating prognosis and reporting comparation of overall survival, all-cause mortality, and/or disease-free survival of HCC patients with and without pre-existing sarcopenia and minimum observation period of three months were included. No restriction regarding year of publication and language. Titles, abstracts, and articles were reviewed by two independent reviewer. Of 990 studies identified in our original search, 44 articles met our eligibility criteria.
Data extraction: Data extraction was done by two reviewer. We contacted authors for data confirmation and no additional information were obtained.
Result: Studies reporting cumulative survival were summarized qualitatively. Studies reporting Cox proportional hazard ratio (HR) were combined in a metaanalysis. A random-effects model meta-analysis of 35 studies showed that sarcopenia was associated with an reduced overall survival HR of 1.59 (95% CI 1.42-1.77) and increased recurrence with HR of 1.10 (95% CI 1.03-1.17) after curative treatment compared with non-sarcopenic HCC patients through all stages. Subgroup analyses showed aim of treatment (curative vs palliative), type of interventions, and parameter used to define sarcopenia did not modify both clinical outcomes.
Conclusion: Sarcopenia is associated with reduced overall survival and shorter disease-free survival in HCC patients."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chris Tanto
"Latar Belakang. Prediksi mortalitas pada kelompok lanjut usia yang semakin meningkat jumlahnya akan memberikan banyak manfaat bagi kesehatan. Cystatin C ditunjukkan memiliki kemampuan sebagai prediktor mortalitas pada beberapa studi. Studi-studi mengenai kemampuan prediksi cystatin c masih sangatlah beragam dan belum ada telaah sistematis untuk menilai kemampuannya dalam memprediksi mortalitas jangka panjang pada kelompok lansia.
Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk menilai kemampuan cystatin c sebagai prediktor mortalitas semua sebab dan mortalitas kardiovaskular jangka panjang pada kelompok lanjut usia.
Metode. Studi ini merupakan telaah sistematis dan meta-analisis dari studi kohort prospektif observasional. Pencarian studi dilakukan di PubMed, Cochrane, Scopus, EBSCOHost, dan Proquest serta pencarian menual. Kriteria inklusi berupa lansia minimal berusia 65 tahun dengan data cystatin c serum tercantum, kematian semua sebab sebagai luaran. Waktu follow up minimal 5 tahun. Seleksi studi dilakukan berdasarkan alur dari PRISMA. Penilaian kualitas studi dan risiko bias dinilai menggunakan Newcastle Ottawa Scale untuk studi kohort. Hasil studi ditampilkan dalam bentuk deskriptif serta Forest plot.
Hasil. Dari 609 studi hasil pencarian, didapatkan 12 studi yang memenuhi kriteria: 5 studi menilai kematian semua sebab, 3 studi menilai kematian kardiovaskular saja, dan 4 studi menilai keduanya. Sebanyak 6 studi dengan kualitas baik dan 6 studi kualitas sedang setelah dilakukan penilaian. Hasil meta-analisis menunjukkan kadar Cystatin C yang tinggi meningkatkan risiko mortalitas jangka panjang akibat semua sebab [HR: 1,74 (95% CI: 1,48 – 2,04); p < 0,00001)] dan mortalitas jangka panjang kardiovaskular [(HR: 2,01 (95% CI: 1,63 – 2,47); p < 0,00001)] pada lansia. Kemampuan prognostik cystatin c tergolong moderat [AUC 0,70 (95% CI: 0,68-0,72); p = 0,02)].

Background. Prediction of mortality in growing aged-population will offer several benefits for health sector. Cystatin C, which has long been known as biomarker to more accurately evaluate glomerular filtration rate in elderly, has also been shown to predict mortality from several studies. Studies regarding its predictive ability were vastly varied and there has not been systematic review to examine its ability in predicting long-term mortality in elderly population.
Objectives. This study aimed to evaluate Cystatin C performance as predictor for all-cause and cardiovascular mortality among elderly population.
Methods. A systematic review of prospective cohort studies was performed. Literature searching was done in major databases such as PubMed, Cochrane, Scopus, EBSCOhost, and Proquest. Manual searching was also performed. Inclusion criteria were studies involving elderly age 65 or older, cystatin c serum levels available, all-cause mortality as outcome, and 5-years minimum of follow-up. Study selection was performed according to PRISMA algorithm. Newcastle Ottawa Scale for cohort study was used to assess primary studies’ quality and risk of bias. Study results were presented in descriptive tables and Forest plot.
Results. Initial searching revealed 609 hits with 12 studies eligible for the review: five studies evaluated all-cause mortality, three studies evaluated cardiovascular mortality, and four studies evaluated both. Meta-analysis showed that high cystatin c levels increasing risk of long-term all-cause mortality [(HR: 1.74 (95% CI: 1.48 – 2.04); p < 0.0001)] and cardiovascular mortality [HR: 2.01 (95% CI: 1,63 – 2,47); p < 0,0001)]. The prognostic ability of cystatin c was considerably moderate [AUC 0.70 (95% CI: 0.68-0,72); p = 0.02].
Conclusion. Cystatin C was able to predict long-term mortality in elderly population.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Winson Jos
"Latar belakang: Deteksi dini dengue berat dapat mengurangi mortalitas akibat infeksi dengue. Saat ini, observasi harian terhadap keadaan klinis dan laboratorium pasien merupakan cara yang paling lazim dipakai dalam mendeteksi kejadian dengue berat. Namun demikian, cara ini biasanya terlambat mendeteksi kebocoran plasma berat. Laktat serum adalah salah satu penanda yang lazim dipakai dalam menilai hipoksia atau hipoperfusi jaringan akibat penyakit sistemik sehingga dipikirkan dapat dipakai sebagai prediktor kejadian dengue berat.
Tujuan: Menilai kemampuan laktat darah sebagai prediktor kejadian dengue berat.
Metode: Telaah sistematis ini disusun berdasarkan standar PRISMA. Pencarian primer dilakukan melalui penulusuran artikel secara daring di PubMed/Medline®, Cochrane Library, Embase, dan Scopus®. Penelusuran sekunder dilakukan secara daring menggunakan Google Scholar® dan portal lokal di Indonesia serta secara manual dengan korespondensi dengan peneliti atau Institusi yang berhubungan. Artikel dicari dengan kata kunci “dengue” dan “laktat” dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Artikel yang diambil dan mencakup studi observasi prospektif dan retrospektif pada pasien dewasa (> 15 tahun) dengan infeksi dengue yang melaporkan hasil pemeriksaan laktat. Pencarian dilakukan tanpa membatasi waktu penelitian dan bahasa. Data dianalisis dengan RevMan dan Medcalc untuk mencari effect measure kemampuan laktat darah dalam prediksi kejadian dengue berat.
Hasil: Sebanyak enam artikel diinklusi ke dalam telaah sistematis ini dan lima diantara artikel tersebut diikutsertakan ke dalam meta-analisis. Dari analisis yang dilakukan, diketahui bahwa laktat darah merupakan prediktor kejadian dengue berat yang cukup baik dengan pooled OR 8,38 (95%CI: 2,13 – 32,93); I2 87%, p <0,00001 dan pooled AUC 0,749 (95%CI 0,687-0,81); I2 48,98%, p = 0,1176. Lebih jauh, laktat darah terutama lebih baik dalam prediksi kejadian renjatan dengue/gagal organ (pooled OR 21,27 (95%CI 11,05 – 40,91); I2 44%, p = 0,17) dibandingkan terhadap kejadian kebocoran plasma tanpa gagal organ/renjatan dengue (pooled OR 1,6 (95%CI 0,77 – 3,32); I2 0%, p = 0,33). Beberapa hal yang diketahui dapat mempengaruhi kemampuan prediksi laktat terhadap kejadian dengue berat antara lain, waktu pengambilan laktat darah, luaran yang dinilai, dan nilai ambang batas laktat yang dipakai.
Kesimpulan: Laktat darah merupakan prediktor kejadian dengue berat yang cukup baik, terutama terhadap kejadian renjatan dengue/gagal organ.

Background: Early detection of severe dengue may decrease mortality caused by dengue infection. Currently, daily observation of patient’s clinical and laboratorium parameter is the most common way to detect severe dengue. However, this common practice is lacking in punctuality to detect severe dengue. Serum lactate is one of common biomarkers to detect hypoxia or hypoperfusion due to systemic disease. Accordingly, serum lactate may be a valuable predictor of severe dengue.
Objective: Evaluate the value of blood lactate as a predictor of severe dengue.
Methods: This systematic review is conducted by following the PRISMA standard. PubMed/Medline®, Cochrane Library, Embase, and Scopus® were systematically searched for studies evaluating the value of blood lactate to predict severe dengue. Moreover, manual searching by searching Google Scholar® and local Indonesia journal database and by corresponding to some researchers or any institution that may have conducted research about the topic. “Dengue” and “lactate” in English and Bahasa were used as keywords. Prospective and retrospective cohort studies with samples of adult (> 15 y.o) with dengue infection and reported the blood lactate result of any language and publication years are included. Data analysiswas conducted by using RevMan and Medcalc to synthesis the pooled effect measure of blood lactate as a predictor of severe dengue.
Results: This systematic review included six articles. However, only five articles were included in the meta-analysis. The analysis showed that blood lactate was a fairly good predictor of severe dengue with a pooled OR: 8.38 (95% CI: 2.13 - 32.93); I2 87%, p <0.00001 and pooled AUC: 0.749 (95% CI 0.687-0.81); I2 48.98%, p = 0.1176. Furthermore, blood lactate was particularly better at predicting dengue shock/organ failure (pooled OR: 21.27 (95% CI 11.05 - 40.91); I2 44%, p = 0.17) compared to predict plasma leakage without organ failure/dengue shock (pooled OR 1.6 (95% CI 0.77 - 3.32); I2 0%, p = 0.33). Several things that are known to affect the ability of blood lactate to predict the incidence of severe dengue including the time of blood lactate examination, the outcome measured, and the value of lactate’s cut-off.
Conclusions: Blood lactate is a fairly good predictor of severe dengue, particularly good predictor to predict the incidence of dengue shock/organ failure.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Febian Sandra
"Latar belakang: Karsinoma papiler tiroid merupakan kanker endokrin tersering dengan angka kejadian yang terus meningkat. Agresivitas dari karsinoma papiler tiroid salah satunya dipengaruhi oleh adanya ekstensi ekstratiroid yang dapat meningkatkan risiko rekurensi, metastasis kelenjar limfe dan metastasis jauh, sehingga memerlukan tatalaksana yang lebih agresif. Ultrasonografi (USG) merupakan modalitas pilihan dalam mendeteksi ekstensi ekstratiroid karena resolusi serta ketersediaan yang luas, tetapi USG memiliki operator-dependent dengan hasil false positive dan false negative yang cukup tinggi. Magnetic Resonance Imaging (MRI) merupakan modalitas yang penggunaannya semakin meningkat dalam mengevaluasi kelenjar tiroid dengan keunggulan memiliki kontras jaringan lunak yang baik serta memiliki kemampuan multiplanar. Telaah sistematis dan meta-analisis ini dibuat dnegan tujuan untuk membandingkan akurasi diagnostik USG dan MRI dalam menentukan ekstensi ekstratiroid pada karsinoma papiler tiroid. Metode: Pencarian sistematis dilakukan untuk mengidentifikasi studi yang membandingkan akurasi diagnostik USG dan MRI dalam menentukan ekstensi ekstratiroid dengan referensi baku pemeriksaan histopatologi melalui basis data PubMed, Scopus, Neliti dan Sinta serta grey literature menggunakan kata kunci yang telah ditentukan. Temuan yang diektraksi dari setiap studi terpilih adalah positif benar, positif palsu, negatif benar dan negatif palsu untuk menentukan nilai sensitivitas, spesifisitas, likelihood ratio (LR), dan diagnostic odds ratio (DOR) masing-masing uji indeks. Penilaian kualitas metodologi studi dilakukan dengan metode QUADAS-2, sedangkan penilaian kualitas bukti dilakukan menggunakan GRADE. Hasil: Pencarian sistematis mengindentifikasi 8 studi. Tiga studi diantaranya memiliki risiko bias yang tinggi dan studi lain setidaknya memiliki satu risiko bias yang tidak jelas pada salah satu domain. Sensitivitas, spesifisitas, LR+, LR- dan DOR USG secara berurutan adalah 85% (95% CI, 63-95%), 80% (95% CI, 73-86%), 4,3 (95% CI 3,3-5,7), 0,19 (95% CI 0,07-0,49) dan 23 (95% CI 8-65). Sensitivitas, spesifisitas, LR+, LR- dan DOR MRI secara berurutan adalah 84% (95% CI, 77-89%), 92% (95% CI, 86-96%), 10,9 (95% CI 6,1-19,7), 0,17 (95% CI 0,12-0,25) dan 64 (95% CI 31-132). Kualitas bukti rendah. Kesimpulan: MRI dan USG memiliki performa diagnostik yang hampir sebanding dalam menentukan ekstensi ekstratiroid. USG memiliki sensitivitas yang lebih tinggi, sedangkan MRI memiliki spesifisitas yang lebih tinggi. Secara keseluruhan, USG tetap disarankan menjadi modalitas awal, sedangkan MRI disarankan menjadi modalitas selanjutnya apabila temuan pada USG inkonklusif. Akan tetapi, penerapan temuan telaah sistematis dan meta-analisis ini terbatas karena keterbatasan pada kualitas metodologi dan kualitas bukti.

Background: Papillary thyroid carcinoma is one of the most endocrine cancer with increasing cases over three decades. Aggressive behaviour of papillary thyroid cancer is affected by extrathyroidal extension which could increase reccurency, lymph node metastases and distant metastases, hence need more aggressive treatment. Ultrasonography (USG) has good resolution for superficial organs and are modality of choice to evaluate extrathyroidal extension, but it is operator-dependent with high false positive dan false negative value. The use of Magnetic Resonance Imaging (MRI) to evaluate thyroid gland has increase. MRI provides superior soft tissue resolution with multiplanar view. This systematic review and meta-analysis are written to compare diagnostic accuracy of USG and MRI to determine extrathyroidal extension in papillary thyroid carcinoma. Methods: Studies which compared diagnostic accuracy of USG and MRI to determine extrathyroidal extension in papillary thyroid carcinoma with histopathological examination as reference standard were identified through PubMed, Scopus, Neliti dan Sinta and other grey literature using pre-determined keywords. Findings extracted from each eligible study included true positive, true negative, false positive and false negative to obtain sensitivity, specificity, likelihood ratio (LR) and diagnostic odds ratio (DOR). Methodological quality assessed using QUADAS-2 and evidence quality decided by GRADE. Results: Systematic search identified 8 studies. Three studies indicated high risks of bias and other studies at least have one unclear risk of bias in one domain. Sensitivity, specificity, LR+, LR- and DOR of USG were 85% (95% CI, 63-95%), 80% (95% CI, 73-86%), 4,3 (95% CI 3,3-5,7), 0,19 (95% CI 0,07-0,49) and 23 (95% CI 8-65). Sensitivity, specificity, LR+, LR- and DOR of MRI were 84% (95% CI, 77-89%), 92% (95% CI, 86-96%), 10,9 (95% CI 6,1-19,7), 0,17 (95% CI 0,12-0,25) and 64 (95% CI 31-132). The quality of evidence was low. Conclusion: MRI and USG has comparable diagnostic performance. USG has higher sensitivity, while MRI has higher specificity. USG still recommended as first modality, and MRI suggested when USG are inconclusive. However, application of this systematic review and meta-analysis are limited since methodological and evidence quality are also limited."
Lengkap +
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maransdyka Purnamasidi
"Latar Belakang: Aktivasi komplemen dapat menyebabkan respon imun berlebihan dan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap morbiditas serta mortalitas pasien COVID-19. Beberapa penghambat aktivasi komplemen saat ini sedang dipelajari untuk menghambat aktivasi sistem komplemen yang berlebihan pada pasien COVID-19. Resiko, keuntungan, waktu pemberian dan bagian dari sistem yang akan ditargetkan perlu dipertimbangkan pada saat akan menggunakan penghambat komplemen, oleh karena itu telaah sistematis ini dibuat untuk mengambil kesimpulan apakah pemberian terapi penghambat sistem komplemen dapat menurunkan mortalitas pasien COVID-19 yang dirawat di Rumah Sakit berdasarkan penelitian-penelitian yang tersedia.
Tujuan: Mengetahui efek pemberian terapi penghambat sistem komplemen terhadap mortalitas pasien COVID-19 yang dirawat di Rumah Sakit.
Metode: Dengan menggunakan kata kunci spesifik, dilakukan pencarian artikel potensial secara komprehensif pada PubMed, Embase, Cochrane, dan Scopus database dengan pembatasan waktu 2019 sampai dengan sampai 31 Desember 2022. Protokol studi ini telah diregistrasi di PROSPERO (CRD42022306632). Semua penelitian pemberian terapi penghambat komplemen pada pasien COVID-19 dimasukkan. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Review Manager 5.4.
Hasil: 5 penelitian memenuhi kriteria dan dimasukkan dalam telaah sistematis serta meta-analisis dengan total 739 pasien COVID-19. Hasil analisis Forest plot menunjukan bahwa pemberian terapi penghambat sistem komplemen menurunkan mortalitas sebesar 28% pada pasien COVID-19 yang dirawat di Rumah Sakit (RR 0,72; 95% CI: 0,46 – 1,14, I2 = 61%, P-value = 0.16).
Kesimpulan: Pemberian terapi penghambat sistem komplemen secara statistik tidak signifikan menurunkan mortalitas pada pasien COVID-19 yang dirawat di Rumah Sakit

Background: Complement activation can cause an exaggerated immune response and is one of the factors that influence the morbidity and mortality of COVID-19 patients. Several complement activation inhibitors are currently being studied to inhibit excessive complement activation in COVID-19 patients. The risks, benefits, time of administration and the part of the system to be targeted need to be considered when using complement inhibition, therefore this systematic review was made to conclude whether the administration of complement system inhibition therapy can reduce the mortality of COVID-19 patients who are hospitalized based on available studies.
Objective: To determine the effect of complement system inhibitory therapy on the mortality of hospitalized COVID-19 patients
Methods: Using specific keywords, we comprehensively searched the PubMed, Embase, Cochrane, and Scopus databases for potential articles from 2019 to December 31, 2022. The research protocol was registered with PROSPERO (CRD42022306632). All studies administering complement inhibitory therapy to COVID-19 patients were processed. Statistical analysis was performed using Review Manager 5.4 software.
Result: 5 studies met the criteria and were included in a systematic review and meta-analysis of a total of 739 COVID-19 patients. The results of the Forest plot analysis showed that administration of complement system inhibitor therapy reduced mortality by 28% in hospitalized COVID-19 patients (RR 0.72; 95% CI: 0.46 – 1.14, I2 = 61%, P -value = 0.16).
Conclusion: Providing complement system inhibitor therapy did not statistically significantly reduce mortality in hospitalized COVID-19 patients
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ronal Yosua Limen
"Latar Belakang: Janus Kinase (JAK)-inhibitors telah digunakan untuk terapi beberapa penyakit inflamasi dan autoimun karena kemampuannya untuk mengendalikan respon imun dan cytokine release syndrome. Saat ini penggunaan baru dari Janus Kinase (JAK)-inhibitors diperuntukan untuk terapi coronavirus disease 2019 (Covid-19), namun bukti mengenai kegunaannya masih belum jelas. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisa efikasi dari Janus Kinase (JAK)-inhibitors untuk mengurangi mortalitas pasien Covid-19.
Tujuan: Mengetahui efek pemberian terapi Janus Kinase (JAK)-inhibitors terhadap mortalitas pasien Covid-19.
Metode: Dengan menggunakan kata kunci spesifik, dilakukan pencarian artikel potensial secara komprehensif pada PubMed, Europe PMC, and ClinicalTrials.gov database dengan pembatasan waktu sampai 2 Juni 2021. Semua penelitian tentang Covid-19 dan JAK-inhibitors dimasukan. Analisa statistik dilakukan denganReview Manager 5.4 software.
Hasil: 13 penelitian dengan 4339 pasien Covid-19 dimasukan dalam meta-analisis. Data kami menyimpulkan bahwa terapi JAK-inhibitors berhubungan dengan menurunnya mortalitas pasien Covid-19 (RR 0.52; 95%CI: 0.36-0.76, p=0.0006, I2 = 33%, random-effect modelling).
Kesimpulan: Penelitian ini menyimpulkan terapi JAK-inhibitors berhubungan dengan menurunnya mortalitas pasien Covid-19. Namun dibutuhkan randomized clinical trials yang lebih banyak untuk mengkonfirmasi hasil penelitian ini.

Background: : Janus Kinase (JAK)-inhibitors have been used for treating several inflammatory and autoimmune disease because of its ability to restrains immune systems and cytokine release syndrome. Currently, JAK-inhibitors are repurposed for the treatment of coronavirus disease 2019 (Covid-19), however the evidence regarding their benefit are still unclear. This study sought to analyze the efficacy of JAK-inhibitors in improving the mortality outcomes of Covid-19 patients.
Objective: To determine the effect of JAK-inhibitors as therapy in Covid-19 patients related to mortality.
Methods: Using specific keywords, we comprehensively searched the potential articles on PubMed, Europe PMC, and ClinicalTrials.gov database until June 2nd, 2021. All published studies on Covid-19 and JAK-inhibitors were retrieved. Statistical analysis was conducted using Review Manager 5.4 software.
Results: A total of 13 studies with 4,339 Covid-19 patients were included in the meta-analysis. Our data suggested that JAK-inhibitors was associated with reduction of mortality from Covid-19 (RR 0.52; 95%CI: 0.36 – 0.76, p=0.0006, I2 = 33%, random-effect modelling).
Conclusion: Our study suggests that JAK-inhibitors may offer beneficial effects on Covid-19 mortality. However, more randomized clinical trials warrant to confirm the findings of our study.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Astuti Tri Kusumawati
"Latar Belakang: Tingginya pertumbuhan kasus keganasan ginekologi dan organ panggul menyebabkan penggunaan terapi radiasi meningkat. Akan tetapi, terapi radiasi juga cukup banyak menimbulkan proktitis radiasi sebesar 30%. Tatalaksana menggunakan agen topikal seperti SCFA, sukralfat, steroid, formalin, dan 5-ASA diketahui memiliki hasil yang baik, namun belum banyak studi yang membandingkan terapi mana yang lebih superior. Tujuan: Menilai efektivitas beberapa terapi topikal terhadap perbaikan gejala klinis dan gambaran endoskopi pasien proktitis radiasi.
Sumber Data: Pencarian utama dilakukan secara elektronik pada basis data PubMed, Cochrane/CENTRAL, Scopus, dan Science Direct antara September hingga November 2020. Pencarian sekunder dilakukan secara snowballing pada referensi studi yang terkait, dan melalui register uji klinis yang tersertifikasi lainnya seperti Global Index Medicus, Garba Rujukan Digital (GARUDA), ClinicalTrial.gov, dan International Clinical Trials Registry Platform (ICTRP) WHO.
Seleksi Studi: Studi uji klinis acak terkontrol dengan intervensi terapi topikal dibandingkan plasebo atau terapi topikal lainnya atau kombinasi terapi medikamentosa, yang menilai luaran berupa respon gejala klinis dan gambaran endoskopi, serta dapat disertai luaran lain, ataupun tidak. Tidak ada batasan terhadap tahun publikasi dan bahasa. Penilaian judul, abstrak, dan studi dilakukan oleh dua orang peninjau independen. Dari total 1786 studi, didapatkan 9 studi memenuhi kriteria eligibilitas.
Ekstraksi Data: Ekstraksi data dilakukan oleh dua peninjau independen dan dikonfirmasi pada peninjau ketiga. Konfirmasi data dilakukan dengan menghubungi peneliti dari studi terkait. Tidak didapatkan data tambahan.
Hasil: Studi yang melaporkan efektivitas terapi berupa banyaknya jumlah subjek yang mengalami perbaikan atau penurunan skor klinis dan endoskopi dirangkum secara kualitatif. Masing-masing studi saling membahas antar terapi, dan memiliki heterogenitas yang tinggi. Dua studi mengenai formalin dapat dilakukan meta-analisis dengan hasil perbaikan klinis dan endoskopi, namun tidak bermakna terhadap dua studi tersebut (RR 0.97, 95% CI: 0.82-1.15) dan tidak terdapat terapi yang lebih superior dibanding terapi lain dalam meta-analisis tersebut. Empat studi yang membahas formalin 4% memiliki kualitas hasil studi menengah dengan risiko bias rendah. Terdapat 3 dari 9 studi yang membandingkan terapi SCFA dengan plasebo sehingga sulit untuk menyimpulkan terapi mana yang berefek lebih baik, dan memiliki risiko bias tidak jelas, namun dengan jumlah pasien yang sedikitsehingga kualitas studi rendah. Satu studi mengenai efektivitas sukralfat menunjukkan hasil bermakna dengan estimasi risiko rendah (RR 0.57, 95% CI: 0.35-0.92, P = 0.02). Akan tetapi studi mengenai 5-ASA topikal tidak ditemukan dalam inklusi telaah sistematis ini. Secara umum, kualitas hasil studi berdasarkan GRADE dapat dimasukkan ke dalam kategori sedang.
Kesimpulan: Penggunaan terapi SCFA enema, formalin topikal, steroid topikal, dan sukralfat enema efektif dalam memperbaiki gejala klinis dan gambaran endoskopi proktitis radiasi. Namun, hingga saat ini belum ada studi klinis berkualitas baik sehingga sulit untuk menilai terapi yang terbaik. Sedangkan dari 2 studi formalin 4% yang dapat dilakukan meta-analisis, menunjukkan bahwa tidak ada terapi yang lebih superior dibandingkan lainnya. Selain itu, tidak ditemukan tidak ditemukan efek samping berat pada penggunaan terapi SCFA enema, formalin topikal, steroid topikal, dan sukralfat enema dalam mengobati proktitis radiasi.

Background: The high incidence of gynecological and pelvic malignancies has led to the usage of radiation therapy. Nonetheless, radiation therapy also causes a significant complication, about 30% of radiation proctitis. Treatments using topical agents such as SCFA, sucralfate, steroids, formalin, and 5-ASA are known to have good results. However, there are only a few studies comparing the superiority of those therapies.
Objectives: To assess the effectiveness of topical therapies in the clinical and endoscopic improvement of radiation proctitis patients.
Data Sources: Primary searching was conducted on electronic databases such as PubMed, Cochrane/CENTRAL, Scopus, and Science Direct between September and November 2020. Secondary searching was done by snowballing method on the relevant study references and through other certified clinical trial registries (Global Index Medicus, Garba Digital Reference (GARUDA), ClinicalTrial.gov, and WHO's International Clinical Trials Registry Platform (ICTRP).
Study Selection: A randomized controlled trial comparing topical therapies versus placebo or other topical therapies or combination with medical therapies that evaluating the clinical response and endoscopic response. There is no restriction regarding the year of publication and language. Each study were assessed by two independent reviewers. From a total of 1,786 studies identified, 9 studies met the eligibility criteria.
Data Extraction: Data extraction was performed by two independent reviewers and confirmed by a third reviewer. Data confirmation was made by contacting the first researchers from related studies. No additional information was obtained.
Results: Studies reporting the effectiveness of therapy in the form of a large number of subjects experiencing improvement or reduction in clinical symptoms and endoscopy were summarized qualitatively. Each study discussed the therapies and the heterogeneity that could not be calculated due to the different outcomes. Two studies on formalin were subject to meta-analysis with clinical and endoscopy improvement. However, they were not significant in the two studies (RR 0.97, 95% CI: 0.82-1.15), and no better treatment compared with others in those studies. Further, four studies discussing 4% formalin had medium study quality results with a low risk of bias. There are 3 out of 9 studies that compared SCFA therapy with placebo so it is difficult to conclude which therapy has a better effect, and has an unclear risk of bias, but with a small number of patients so that the quality of the study is low. One study using sucralfate showed significant results with a low-risk estimate (RR 0.57, 95% CI: 0.35-0.92, P = 0.02). However, the study of topical 5-ASA was not found in the inclusion of this systematic review. The level of evidence for the majority of outcomes was downgraded using GRADE to a moderate level, due to imprecision and study limitation.
Conclusion: The usage of SCFA enema, topical formalin, topical steroid and sucralfate enema are effective in improving the clinical and endoscopic response in radiation proctitis patient. However, until now, there are no good quality studies, making it difficult to prove the best therapy. A meta-analysis from 2 studies using 4% formalin versus irrigation and antibiotics, shows no therapy is superior to another. Otherwise, no serious side effects were found in the usage of these topical therapies
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pasaribu, Adeline
"Latar belakang: Disfungsi seksual pada perempuan/ female sexual dysfunction (FSD) merupakan komplikasi penting diabetes melitus (DM) yang seringkali diabaikan. Data perihal FSD pada DM tipe 2 di Indonesia masih jarang dan meta-analisis terkait belum ada, padahal Indonesia mempunyai populasi DM terbesar ke-7 di dunia.
Tujuan: Menilai prevalensi dan faktor yang memengaruhi FSD penyandang DM tipe 2 di Indonesia.
Metode: Telaah sistematis ini disusun berdasarkan standar PRISMA. Pencarian artikel dilakukan di PubMed/Medline®, CINAHL®, Embase®, Proquest®, Scopus®, serta jurnal/ portal lokal di Indonesia. Artikel dicari dengan kata kunci “seksual”, “diabetes”, dan “Indonesia” dengan MesH terms (dalam bahasa Inggris dan Indonesia), yang mencakup studi observasi maupun eksperimental. Pencarian dilakukan tanpa membatasi waktu penelitian dan bahasa. Data dianalisis dengan STATA untuk mencari besar prevalensi FSD dan odd ratio faktor yang berhubungan dengan FSD.
Hasil: Sepuluh studi dengan desain potong lintang mencakup 572 perempuan DM tipe 2 di komunitas maupun rumah sakit. Rentang prevalensi pada kesepuluh studi ini adalah 9,8 – 78,2% dengan pooled prevalence 0,52 (IK 95% 0,49 – 0,56; I-squared 93,9%, p = 0,000) dan 0,62 (IK 95% 0,58 – 0,66; I-squared 68,7%, p = 0,001) jika satu studi dikeluarkan dari analisis karena penggunaan skor FSFI yang tidak standar. Usia di atas 45 tahun, menopause, penggunaan obat anti-hipertensi, dan kadar HbA1C berhubungan dengan FSD. Studi ini mempunyai keterbatasan berupa heterogenitas dan risiko bias artikel yang tinggi, luaran yang beragam, serta teks lengkap artikel yang sulit diperoleh. Studi ini juga menunjukkan adanya bias publikasi.
Kesimpulan: Disfungsi seksual perempuan DM tipe 2 di Indonesia mempunyai prevalensi yang tinggi dan kemungkinan berhubungan dengan proses penuaan dan metabolik. Implikasi studi ini adalah bahwa perempuan dengan DM tipe 2 dianjurkan untuk evaluasi FSD secara rutin.

Background: Female sexual dysfunction (FSD) is a neglected major complication of diabetes mellitus (DM). However, there is scarcity of data in Indonesia, which is currently ranked as the 7th in the world for the number of people with DM.
Objective: Our study aims to analyze the prevalence and factors of FSD among type 2 diabetes mellitus (T2DM) patients in Indonesia.
Methods: This systematic review was conducted using the PRISMA standard. Literature searching was performed in PubMed/Medline®, CINAHL®, Embase®, Proquest®, Scopus®, Indonesian local journals/ databases, and libraries, by considering human clinical studies. All observational and experimental studies in searching keywords “sexual”, “diabetes”, and “Indonesia” with MeSH terms (in English and Bahasa) were included, without time of study or language restriction. Pooled prevalence and odds ratio of associated factors of FSD were analyzed using STATA.
Results: Ten studies with cross-sectional design comprised of 572 females with T2DM, in both community and hospital settings. The prevalence of FSD ranged 9,8 – 78,2% and with random-effect model, it showed pooled prevalence 0,52 (95% CI 0,49-0,56; I-squared 93,9%, p = 0.000). After removing one study that was conducted with unstandardized FSFI cut off value, the prevalence of FSD was 0,62 (95% CI 0,58-0.66; I-squared 68,7%, p = 0.001). Age more than 45 years old, menopause, the use of antihypertensives, and HbA1c level were associated with FSD. Limitations of this article were its publication bias, in addition to its high heterogeneity and risk of bias among studies.
Conclusions: FSD was prevalent among T2DM patients in Indonesia and might associated with aging and metabolic factors. This conclusion implicated that females with T2DM need to be routinely evaluated for FSD.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Pitt Akbar
"Latar belakang: Frailty merupakan sindrom biologis yang dapat menyebabkan kerentanan terhadap hasil yang lebih buruk terhadap pasien. Penilaian frailty saat ini berkembang pada populasi penyakit lainnya antara lain pada populasi pasien sirosis hati. Modalitas yang dikembangkan dan sudah divalidasi untuk menilai frailty pada populasi sirosis hati adalah dengan Liver Frailty Index (LFI). Prevalensi pasien sirosis hati yang mengalami frail ternyata cukup tinggi. Dipikirkan pasien yang mengalami frail akan meningkatkan mortalitas pada pasien sirosis hati. Tujuan: Menilai apakah frailty berdasarkan Liver Frailty Index dapat menjadi prediktor mortalitas pada pasien sirosis hati Metode: Penelusuran literatur dilakukan melalui basis data daring: PubMed/ MEDLINE, EMBASE, ProQuest, dan EBSCOhost dengan menggunakan kata kunci “sirosis hati” dan “liver frailty index” dalam Bahasa Inggris dan Indonesia. Pencarian manual dilakukan melalui portal data nasional, e-library fakultas kedokteran, dan snowballing. Studi yang dimasukkan ke dalam penelitian adalah studi kohort prospektif dan retrospektif yang mengikutsertakan pasien sirosis hati tanpa keganasan hati dan melaporkan mortalitas pasien berdasarkan status frailty. Hasil: Sebanyak 7 artikel diikutsertakan dalam telaah sistematis ini, 3 diantaranya diikutkan dalam meta-analisis untuk menilai hubungan dengan mortalitas dan 2 studi menilai hubungan dengan kejadian dekompensasi. Risiko mortalitas lebih tinggi pada pasien sirosis dengan frailty (HR 1,68; IK 95% 1,36-2,08; p<0,00001). Frailty berhubungan dengan kejadian asites (OR 1,84 IK 95% 1,41-2,40; p<0,00001). Tidak didapatkan adanya hubungan antara frailty dengan kejadian EH pada pasien sirosis hati (OR 1,57 IK 95% 0,65-3,80; p=0,31). Kesimpulan: Frailty merupakan prediktor mortalitas pada pasien sirosis hati. Pasien sirosis hati dengan frailty memiliki risiko kematian lebih besar dibandingkan pasien sirosis hati tanpa frailty.

Background: Frailty is a biologic syndrome that can lead to susceptibility to poorer outcomes for patients. Frailty assessment is currently developing in other disease populations, including the population of patients with liver cirrhosis. The developed and validated modality to assess frailty in the liver cirrhosis population is the Liver Frailty Index (LFI). The prevalence of liver cirrhosis patients who experience frail is quite high. It is thought that patients who experience frail will increase mortality in patients with liver cirrhosis.
Objective: Assessing whether frailty based on the Liver Frailty Index can be a predictor of mortality in patients with liver cirrhosis.
Methods: Literature search was conducted through online databases: PubMed/MEDLINE, EMBASE, ProQuest, and EBSCOhost using the keywords “cirrhosis of the liver” and “liver frailty index” in English and Indonesian. Manual searches were carried out through national data portals, medical faculty e-libraries, and snowballing. The studies included in the study were prospective and retrospective cohort studies that included patients with liver cirrhosis without liver malignancy and reported patient mortality based on frailty status.
Results: A total of 7 articles were included in this systematic review, 3 of which were included in a meta-analysis to assess the association with mortality and 2 studies assessed the association with the incidence of decompensation. There was a higher risk of mortality in cirrhotic patients with frailty (HR 1.68; 95% CI 1.36-2.08; p<0.00001). Frailty was found to be associated with the incidence of ascites (OR 1.84 95% CI 1.41-2.40; p<0.00001). There was no association between frailty and the incidence of HE in patients with liver cirrhosis (OR 1.57 95% CI 0.65-3.80; p=0.31).
Conclusion: Frailty is a predictor of mortality in patients with liver cirrhosis. Liver cirrhosis patients with frailty have a greater risk of death than patients with liver cirrhosis without frailty.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Danny Darmawan
"Latar belakang: Asma merupakan penyakit ditandai peradangan saluran napas kronik. Satu dari tiga kasus tidak memberikan respon adekuat. Modalitas alternatif terapi  asma adalah magnesium inhalasi. Inhalasi magnesium memiliki efek samping sistemik minimal. Oleh karena itu, peran magnesium inhalasi perlu diteliti lebih lan
Tujuan: Penelitian bertujuan untuk mengetahui efektivitas dan keamanan pemberian magnesium inhalasi pada pasien dewasa mengalami  asma akut.
Metode: Penelusuran literatur dilakukan dua peneliti independen melalui: PubMed/ MEDLINE, Google Scholar, ProQuest, dan Cochrane dengan kata kunci “magnesium inhalasi” dan “serangan asma” dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Pencarian manual dan snowballing dilakukan di portal data nasional. Studi yang dimasukkan adalah uji acak terkontrol mengenai perbandingan magnesium inhalasi dengan terapi standar pada serangan asma akut. Penilaian efektivitas berdasarkan parameter readmisi, tanda vital, perbaikan klinis, serta fungsi paru, sedangkan keamanan berdasarkan parameter efek samping. Protokol telaah sistematis didaftarkan pada PROSPERO.
Hasil: Lima artikel diikutsertakan dalam telaah sistematis. Dua artikel diikut-sertakan menilai aspek  readmisi. Tiga studi  menilai hubungan magnesium terhadap tanda vital pasien. Dua studi menilai tingkat keparahan penyakit dan perbaikan klinis. Studi menunjukkan tidak terdapat hubungan bermakna pemberian magnesium inhalasi pada aspek readmisi pasien (RR 1; IK 95% 0.92 - 1,08; p= 0,96), dan saturasi oksigen (MD  1,82; IK 95%: -0.89 - 4.53; p= 0.19). Ada penurunan bermakna laju napas pasien  (MD -1,72; IK 95% -3,1 -0.35; p= 0.01), dan perbaikan gejala pada pasien  (RR 0.29; IK95% 0.18 - 0.47; p <0.001). Ada peningkatan bermakna efek samping pasien magnesium inhalasi (HR 1.56; IK 95% 1.05 – 2.32; p= 0.32). Efek samping relatif ringan  berupa hipotensi dan rasa mual. 
Kesimpulan: Magnesium inhalasi memperbaiki  klinis pasien asma terutama gejala, laju napas, dan fungsi paru.  Magnesium inhalasi dikatakan aman jika diberikan pada pasien, namun hati-hati penggunaan pada pasien hipotensi.

Background:  Asthma is a disease characterized by chronic airway inflammation. Asthma occurs to many people worldwide. One third of asthmatic case did not respond adequately to standard therapy (Short Acting Beta Agonist, Anticholinergic, Corticosteroid). One of alternative treatment of asthma is inhaled magnesium.  Theoretically, inhaled magnesium is thought to have less systemic side effect and could act directly to respiratory tract. However, the role of inhaled magnesium therapy is not established yet.
Objective: This review is made to evaluate the effectiveness and safety of nebulized magnesium in adult with acute asthma attack.
Methods: Literature search was conducted by two independent investigators through online databases: PubMed/MEDLINE, Cochrane, ProQuest, and Google scholar using the keywords “inhaled magnesium” and “asthma” in English and Indonesian. Manual searches and snowballing were carried out through national data portals and medical faculty e-libraries. Journal articles included in this study are randomized controlled trials that observed inhaled magnesium in adult with acute asthma attack. All the protocol of this systematic review has been registered in PROSPERO.
Result: There are five articles included in this review. Two of them evaluate the effect of magnesium in term of readmission, three of the studies measures effect of magnesium in vital sign, and two of them evaluate the effect of magnesium in term of severity of asthma There is no significant difference in readmission rate and oxygen saturation in magnesium group compared to control (RR 1; 95% CI 0.92 to 1,08; p= 0,96 and MD 1,82; 95% CI -0.89 to 4.53; p= 0.19, respectively). There is significant reduction of respiratory rate and clinical severity in magnesium (MD -1,72; 95% CI   -3,1 to 0.35; p= 0.01, RR 0.29; 95% CI 0.18 to 0.47; p <0.001, respectively). There was a higher risk of side effect in magnesium group (HR 1.56; 95%CI 1.05 to 2.32; p= 0.03). However, the side effect is relatively mild such as hypotension and nausea.
Conclusion: Inhaled magnesium improves clinical outcome for patient with asthma attack especially lung function, improvement of clinical outcome, and lung function. Moreover, Inhaled magnesium is considered safe to be given to asthmatic patient. However, the inhaled magnesium is given with caution in patient with hypotension.
"
Lengkap +
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>