Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 176606 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fenny Tjuatja
"Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.Tujuan: Mengetahui peran indeks proliferasi Ki-67 sebagai salah satu faktor prognosis dalam memperkirakan respons radiasi pada meningioma. Metode: Telaah sistematis berdasarkan PRISMA dari tiga pangkalan data online yaitu Pubmed, Scopus, EbscoHost/CINAHL. Dilakukan ekstraksi data secara manual dari literatur yang memenuhi eligibilitas. Hasil: 465 literatur terhimpun dari pencarian untuk dua pertanyaan studi dengan 15 literatur yang akhirnya memenuhi kriteria eligibilitas. Dua belas studi menilai hubungan Ki-67 dengan derajat meningioma melaporkan adanya korelasi Ki-67 dengan derajat meningioma. Dua studi lainnya melaporkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Sedangkan satu studi lainnya tidak mendapatkan adanya hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada meningioma. Kesimpulan: Ki-67 memiliki korelasi searah dengan derajat meningioma. Sejumlah dua dari 3 studi tentang hubungan Ki-67 dengan respons radiasi pada pasien meningioma melaporkan bahwa nilai Ki-67 yang lebih tinggi memberikan respons yang lebih baik terhadap radiasi.

Aims: Identifying the role of the Ki-67 proliferation index as a prognostic factor in
estimating radiation therapy response in meningiomas. Methods: A systematic review of
PubMed, Scopus, EBSCOhost/CINAHL was performed following the Preferred
Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-Analyses guideline. Data extraction
was completed manually from selected studies. Results: 465 of the literature were
compiled from a literature search for the two study questions and finally, 15 articles met
the eligibility criteria. Twelve studies demonstrated that Ki-67 proliferation index had a
significant correlation with the grade in meningiomas. Meanwhile, two studies reported
that in meningiomas treated with radiation therapy a higher Ki-67 proliferation index
would provide better local control than a lower Ki-67 proliferation index. One other study
found no correlation between Ki-67 and radiation response. Conclusion: Ki-67
proliferation index has a unidirectional correlation with the grade of meningioma. A total
of two out of 3 studies on the correlation of Ki-67 with radiation response in meningiomas
reported that higher Ki-67 responded better to radiation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Diyana
"Peran reseptor progesteron pada meningioma masih diperdebatkan. Namun ekspresi reseptor ini cenderung memberikan prognosis yang baik bagi pasien. Berbagai studi telah dilakukan untuk mengidentifikasi faktor prognosis yang mempengaruhi luaran meningioma. Telaah sistematis ini mengevaluasi berbagai studi yang menilai hubungan ekspresi reseptor progesteron terhadap derajat meningioma, serta luaran klinis berupa rekurensi, recurrence free survival (RFS), progression free survival (PFS), local control (LC), dan overall survival (OS) pada pasien meningioma. Berdasarkan hasil telaah sistematis ini, ekspresi reseptor progesteron mempunyai hubungan terbalik dengan peningkatan derajat meningioma. Ekspresi reseptor progesteron positif juga memberikan luaran yang lebih baik pada pasien pasca operasi. Studi mengenai respons radiasi terkait reseptor progesteron masih sangat jarang.

The role of progesterone receptors in meningiomas is still debatable. However, the expression of these receptors tends to provide a good prognosis. Various studies have been conducted to identify progesterone receptors as a prognostic factors. This systematic review evaluates various studies assessing relation of progesterone receptor expression to the grade of meningioma and clinical outcomes in the form of recurrence, recurrence free survival (RFS), progression free survival (PFS), local control (LC), and overall survival (OS). Based on the results of this systematic review, progesterone receptor expression has an inverse relation with an increased grade. Positive progesterone receptor expression also have a better outcome in postoperative patients. Studies of the radiation response associated with progesterone receptors are rare."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cholid Badri
"Respons tumor terhadap radiasi dipengaruhi oleh berbagai faktor yang dapat digolongkan ke dalam faktor intrinsik yang bersifat genetik dan faktor-faktor lingkungan mikro (microenvirontment) yang disebut faktor epigenetik. Faktor intrinsik dapat ditunjukkan dengan 'predictive assay' yang dapat memperlihatkan sensitivitas individual tumor. Faktor epigenetik terdiri dari berbagai faktor termasuk hipoksia, vaskularisasi dan fraksi pertumbuhan. Dan berbagai penelitian dapat ditunjukkan hubungan antara beberapa faktor itu dengan respons tumor, maupun antara ketiga faktor tersebut. Dapat diasumsikan bahwa faktor hipoksia, vaskularisasi dan fraksi pertumbuhan merupakan indikatorindikator Iingkungan tumor yang dapat merupakan prediktor terhadap respons radiasi pada jaringan tumor tersebut. Pada penelitian ini, fraksi pertumbuhan tumor akan diteliti kaitannya dengan respons tumor dan pemanfaatannya dalam pengobatan gabungan untuk meningkatkan respons pada tumor yang mempunyai prognosis buruk. Berdasarkan asumsi bahwa tumor dengan fraksi pertumbuhan rendah relatif hipoksik, maka dilakukan pengobatan gabungan radiasi dengan MMC, suatu sitostatika yang bekerja efektif dalam keadaan hipoksik pada kelompok-kelompok tumor yang sudah digolongkan ke dalam fraksi pertumbuhan yang rendah dan yang tinggi. Pemilahan pasien berdasarkan besarnya fraksi pertumbuhan dilakukan dengan pemeriksaan imunohistokimia pada jaringan biopsi segar penderita kanker leher rahim menggunakan antibodi monoklonal Ki-67. Penderita KLR yang diteliti adalah penderita stadium lanjut lokal (stadium II b sampai III b menurut FIGO) yang datang ke Sub Bagian Onkologi Bagian Obstetri dan Ginekologi FKUI/RSCM dan kemudian dikirim ke Sub Bagian Radioterapi Bagian Radiologi FKUI/RSCM

Response of tumors toward radiation is affected by various factors that can be classified as intrinsic factors, which are genetic, and epigenetic factors, which are micro environment. The intrinsic factors can be demonstrated through a "predictive assay" which can show the sensitivity of individual tumor.
Epigenetic factors consist of many factors including hypoxia, vascularization, and growth fraction. From results of many studies, can' be shown that there is a relation between these last factors with response of tumor. There is also relation among these three factors. We can assume that hypoxia, vascularization and growth fraction are indicators of tumor's environment which can also be predictors of response to radiation in tumor tissue.
In this study, the rate of tumor growth will be studied in it's relation to tumor's response and the uses in combined treatment to increase the response of tumors with bad prognosis.
Based on an assumption that tumors with low growth fraction are relatively hypoxic, combination of radiation with MMC is used, a cytostatic agent that effectively work on hypoxic condition in groups of tumors which have been classified as having low growth fraction. Patients grouping were performed based on the growth fraction as seen in immunohisto chemistry examination on fresh biopsy tissue of patients with cancer of cervix, using Ki-67 monoclonal antibody. Those patients of cancer of the cervix included in this study were patients in locally advanced stages (stage IIb - IIIb by FIGO classification), who came to Oncology Sub Department of the Department of Obstetric and Gynecology Faculty of Medicine University of Indonesia/Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital, and referred to Radiotherapy Sub Department of the Department of Radiology at the same institute.
After going through inclusion and exclusion criteria, 146 patients were found to be suitable for evaluation with the prescribed protocol. The patients were sorted into 4 groups according the growth fraction and type of treatment to be performed. Group I and Group II were patients with Ki-67 index less than 40% with a difference that Group I underwent radiation therapy only, while Group II was treated with combination of radiation therapy and MMC. Group III and IV were patients with Ki-67 index 40% or higher, with a difference that Group III underwent radiation therapy only, while Group IV was treated with combination of radiation therapy and MMC. The 40 % Ki-67 criterion was determined based on results of preliminary study which set the level around 40%.
The radiation therapy consisted of external radiation to the pelvis area in 28 sessions with a dose of 180 cGy per sessions or 5040 cGy total dose given in around 5.5 weeks. After a 1 - 2 week rest, radiation therapy were continued in the form of intra cavitary radiation using High Dose Rate (HDR) system in 2 sessions, I week apart, each in a dose of 850 cGy, giving a total dose of 1700 cGy. A small number of patients (42 patients) were given with Low Dose Rate (LDR) intra cavitary system in similar session and interval with those patients with HDR system. The dose was 1300 cGy per session or total dose of 2600 cGy being equal to the total dose of 1700 cGy in HDR system. Mitomycin-C was given in the combined treatment groups, with a dose of 15 mglm2, as a bolus injection intravenously, at the first day of external radiation and the first intracavitary insertion.
Routine blood examinations were performed to each patient before treatment and once a week until the radiation therapy were completed. Liver function tests were performed before treatment, at the end of external radiation and after all radiation therapy completion."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1997
D79
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puji Astuti Tri Kusumawati
"Latar Belakang: Tingginya pertumbuhan kasus keganasan ginekologi dan organ panggul menyebabkan penggunaan terapi radiasi meningkat. Akan tetapi, terapi radiasi juga cukup banyak menimbulkan proktitis radiasi sebesar 30%. Tatalaksana menggunakan agen topikal seperti SCFA, sukralfat, steroid, formalin, dan 5-ASA diketahui memiliki hasil yang baik, namun belum banyak studi yang membandingkan terapi mana yang lebih superior. Tujuan: Menilai efektivitas beberapa terapi topikal terhadap perbaikan gejala klinis dan gambaran endoskopi pasien proktitis radiasi.
Sumber Data: Pencarian utama dilakukan secara elektronik pada basis data PubMed, Cochrane/CENTRAL, Scopus, dan Science Direct antara September hingga November 2020. Pencarian sekunder dilakukan secara snowballing pada referensi studi yang terkait, dan melalui register uji klinis yang tersertifikasi lainnya seperti Global Index Medicus, Garba Rujukan Digital (GARUDA), ClinicalTrial.gov, dan International Clinical Trials Registry Platform (ICTRP) WHO.
Seleksi Studi: Studi uji klinis acak terkontrol dengan intervensi terapi topikal dibandingkan plasebo atau terapi topikal lainnya atau kombinasi terapi medikamentosa, yang menilai luaran berupa respon gejala klinis dan gambaran endoskopi, serta dapat disertai luaran lain, ataupun tidak. Tidak ada batasan terhadap tahun publikasi dan bahasa. Penilaian judul, abstrak, dan studi dilakukan oleh dua orang peninjau independen. Dari total 1786 studi, didapatkan 9 studi memenuhi kriteria eligibilitas.
Ekstraksi Data: Ekstraksi data dilakukan oleh dua peninjau independen dan dikonfirmasi pada peninjau ketiga. Konfirmasi data dilakukan dengan menghubungi peneliti dari studi terkait. Tidak didapatkan data tambahan.
Hasil: Studi yang melaporkan efektivitas terapi berupa banyaknya jumlah subjek yang mengalami perbaikan atau penurunan skor klinis dan endoskopi dirangkum secara kualitatif. Masing-masing studi saling membahas antar terapi, dan memiliki heterogenitas yang tinggi. Dua studi mengenai formalin dapat dilakukan meta-analisis dengan hasil perbaikan klinis dan endoskopi, namun tidak bermakna terhadap dua studi tersebut (RR 0.97, 95% CI: 0.82-1.15) dan tidak terdapat terapi yang lebih superior dibanding terapi lain dalam meta-analisis tersebut. Empat studi yang membahas formalin 4% memiliki kualitas hasil studi menengah dengan risiko bias rendah. Terdapat 3 dari 9 studi yang membandingkan terapi SCFA dengan plasebo sehingga sulit untuk menyimpulkan terapi mana yang berefek lebih baik, dan memiliki risiko bias tidak jelas, namun dengan jumlah pasien yang sedikitsehingga kualitas studi rendah. Satu studi mengenai efektivitas sukralfat menunjukkan hasil bermakna dengan estimasi risiko rendah (RR 0.57, 95% CI: 0.35-0.92, P = 0.02). Akan tetapi studi mengenai 5-ASA topikal tidak ditemukan dalam inklusi telaah sistematis ini. Secara umum, kualitas hasil studi berdasarkan GRADE dapat dimasukkan ke dalam kategori sedang.
Kesimpulan: Penggunaan terapi SCFA enema, formalin topikal, steroid topikal, dan sukralfat enema efektif dalam memperbaiki gejala klinis dan gambaran endoskopi proktitis radiasi. Namun, hingga saat ini belum ada studi klinis berkualitas baik sehingga sulit untuk menilai terapi yang terbaik. Sedangkan dari 2 studi formalin 4% yang dapat dilakukan meta-analisis, menunjukkan bahwa tidak ada terapi yang lebih superior dibandingkan lainnya. Selain itu, tidak ditemukan tidak ditemukan efek samping berat pada penggunaan terapi SCFA enema, formalin topikal, steroid topikal, dan sukralfat enema dalam mengobati proktitis radiasi.

Background: The high incidence of gynecological and pelvic malignancies has led to the usage of radiation therapy. Nonetheless, radiation therapy also causes a significant complication, about 30% of radiation proctitis. Treatments using topical agents such as SCFA, sucralfate, steroids, formalin, and 5-ASA are known to have good results. However, there are only a few studies comparing the superiority of those therapies.
Objectives: To assess the effectiveness of topical therapies in the clinical and endoscopic improvement of radiation proctitis patients.
Data Sources: Primary searching was conducted on electronic databases such as PubMed, Cochrane/CENTRAL, Scopus, and Science Direct between September and November 2020. Secondary searching was done by snowballing method on the relevant study references and through other certified clinical trial registries (Global Index Medicus, Garba Digital Reference (GARUDA), ClinicalTrial.gov, and WHO's International Clinical Trials Registry Platform (ICTRP).
Study Selection: A randomized controlled trial comparing topical therapies versus placebo or other topical therapies or combination with medical therapies that evaluating the clinical response and endoscopic response. There is no restriction regarding the year of publication and language. Each study were assessed by two independent reviewers. From a total of 1,786 studies identified, 9 studies met the eligibility criteria.
Data Extraction: Data extraction was performed by two independent reviewers and confirmed by a third reviewer. Data confirmation was made by contacting the first researchers from related studies. No additional information was obtained.
Results: Studies reporting the effectiveness of therapy in the form of a large number of subjects experiencing improvement or reduction in clinical symptoms and endoscopy were summarized qualitatively. Each study discussed the therapies and the heterogeneity that could not be calculated due to the different outcomes. Two studies on formalin were subject to meta-analysis with clinical and endoscopy improvement. However, they were not significant in the two studies (RR 0.97, 95% CI: 0.82-1.15), and no better treatment compared with others in those studies. Further, four studies discussing 4% formalin had medium study quality results with a low risk of bias. There are 3 out of 9 studies that compared SCFA therapy with placebo so it is difficult to conclude which therapy has a better effect, and has an unclear risk of bias, but with a small number of patients so that the quality of the study is low. One study using sucralfate showed significant results with a low-risk estimate (RR 0.57, 95% CI: 0.35-0.92, P = 0.02). However, the study of topical 5-ASA was not found in the inclusion of this systematic review. The level of evidence for the majority of outcomes was downgraded using GRADE to a moderate level, due to imprecision and study limitation.
Conclusion: The usage of SCFA enema, topical formalin, topical steroid and sucralfate enema are effective in improving the clinical and endoscopic response in radiation proctitis patient. However, until now, there are no good quality studies, making it difficult to prove the best therapy. A meta-analysis from 2 studies using 4% formalin versus irrigation and antibiotics, shows no therapy is superior to another. Otherwise, no serious side effects were found in the usage of these topical therapies
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yasser Jayawinata
"Kanker payudara merupakan salah satu masalah kesehatan terbesar di Indonesia di mana sekitar 42,7% datang pada stadium lanjut lokal. Pemberian kemoterapi neoajuvan pada stadium lanjut lokal bertujuan mengecilkan ukuran tumor sehingga dapat dilakukan operasi dan menurunkan mortalitas. Salah satu prediktor untuk mengetahui keberhasilan kemoterapi neoajuvan adalah Ki-67, yaitu protein non-histone yang ekspresinya tinggi saat proliferasi sementara obat-obatan kemoterapi bekerja efektif pada fase proliferasi. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui peran Ki-67 sebagai faktor prediktor terhadap respons kemoterapi neoajuvan pada pasien KPDLL. Metode: Penelitian ini merupakan studi kohort retrospektif dengan kriteria inklusi adalah pasien dengan diagnosis kanker payudara stadium lanjut lokal dan mendapatkan kemoterapi neoajuvan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) sejak 1 Januari 2014- 31Desember 2019. Cut-off ekspresi Ki-67 adalah 20%. Respons klinis kemoterapi neoajuvan dinilai berdasarkan kriteria WHO yang diukur setelah pemberian kemoterapi ketiga. Respons kemoterapi ini dikelompokkan menjadi respons baik (complete response dan partial response) dan respons buruk (stable disease dan progresive response). Hasil: Pasien kanker payudara lanjut lokal rata-rata berusia 50 tahun, ukuran tumor terbanyak T4 (90,4%), keterlibatan kelenjar getah bening N1 (52,1%), jenis histopatologi NST (71,3%), grade 2 (54,4%), ER positif (78,7%), PR positif (70,2%), HER2negatif (58,5%), Ki67 tinggi (70,2%), dan luminal B (56,4%). Lima puluh dua koma satu persen subjek memiliki respons kemoterapi buruk. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara ekspresi Ki-67 dengan respons kemoterapi (p= 1). Bila dihitung presentase sisa tumor, pasien dengan ekspresi Ki-67 tinggi memiliki persentase sisa tumor 74,6%, pasien dengan ekspresi Ki-67 rendah rata-rata tidak mengalami penurunan ukuran tumor dengan sisa tumor 103,8% (p= 0,977). Simpulan: Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara ekspresi Ki-67 dan respons kemoterapi neoajuvan pada kanker payudara stadium lanjut lokal di RSCM.

Breast cancer is one of the most common health problems in Indonesia where 42.7% of patients have been diagnosed with Locally Advanced Breast Cancer (LABC). Neoadjuvant chemotherapy (NAC) is aimed to decrease the tumor size to be operable and decrease mortality. Ki-67 is highly expressed in the cell proliferation phase, while chemotherapy agents work effectively by targeting this proliferation. This study evaluates the utility of Ki-67 in LABC patients of the Asian-Indonesian population. Methods: This is a retrospective cohort study. Ki-67 data was from the medical record based on the immunohistochemistry staining with >20% cut off point. Clinical response was measured based on the WHO criteria after the third chemotherapy cycle, classified as good response (complete response and partial response) and poor response (stable disease and progresive response). Result: The majority of subjects in this study were 50 years old, with T4 tumor size (90.4%), N1 lymph node involvement (52.1%), NST histopathological type (71.3%), grade 2 (54.4%), ER-positive (78.7%), PR-positive (70.2%), HER2-negative (58.5%), high Ki67 expression (70.2%), and luminal B subtype (56.4%). 52.1% of all subjects showed ‘poor’ clinical responses to NAC. There was no significant association between subjects’ characteristics and the NAC Clinical response. Moreover, there was no significant association between Ki-67 and chemotherapy clinical response (p=1). Residual tumor size was 74.6% in high Ki-67 group and 103.8% in low Ki-67 group (p= 0.977). Conclusion: There is no statistically significant association between Ki-67 expression and NAC clinical response of LABC patients in Indonesia."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isnaniah
"[ABSTRAK
Pendahuluan: Osteopontin merupakan salah satu penanda molekuler hipoksia
endogen tumor. Hipoksia adalah salah satu faktor yang menentukan agresifitas
penyakit. Kadar osteopontin tinggi pada berbagai keganasan termasuk glioma
maligna. Peningkatan kadar osteopontin akan menyebabkan respon terapi berkurang.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui korelasi antara kadar osteopontin praradiasi
dengan respon radiasi pada glioma maligna.
Metode: Penelitian ini merupakan studi retrospektif kohort terhadap 15 pasien
maligna glioma yang menjalani terapi radiasi dari juli 2004 sampai mei 2015 di
RSUPN. DR. Cipto Mangunkusumo. Osteopontin diperiksa menggunakan metode
ELISA dari sampel parafin blok. Volume tumor dihitung dari CT scan atau MRI
berdasarkan pengukuran volume tiga dimensi. Respon tumor dinilai dengan
membandingkan volume tumor sebelum dan sesudah radiasi dengan menggunakan
CT dan MRI.
Hasil: Didapatkan rerata kadar osteopontin sebesar 0,49 ± 0,45 ng/ml, rerata
persentase perubahan volume tumor 8,59 ± 54,22 %. Volume tumor yang membesar
60%. Tumor yang progresif sebesar 26,7%. Secara keseluruhan terdapat korelasi
negatif lemah yang tidak bermakna ( r -0,39 dan p 0,146 ) antara kadar osteopontin
dengan respon radiasi. Terdapat korelasi positif kuat yang tidak bermakna ( r +0,68
dan p 0,219 ) antara kadar osteopontin dengan respon radiasi pada kelompok yang
menggunakan kemosensitizer temozolamide.
Kesimpulan: Terdapat korelasi negatif lemah yang tidak bermakna antara kadar
osteopontin dengan respon radiasi. Terdapat korelasi positif kuat yang tidak
bermakna antara kadar osteopontin dengan respon radiasi pada kelompok yang
menggunakan kemosensitizer temozolamide.

ABSTRACT
Introduction : Osteopontin is an endogenous molecular marker of tumor hypoxia,
which is one of factors that determine the aggressiveness of the disease. Increased
level of osteopontin will decrease therapeutic response which will eventually
influence the success of therapy.The purpose of this study is to determine the
correlation between osteopontin level and radiation response in malignant glioma.
Method : This is a retrospective cohort study of 15 malignant glioma patients who
underwent radiation from July 2004 to May 2015 at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Osteopontin level was measured with ELISA from paraffin embedded tissue. Tumor
volume was calculated by measuring three dimensional volume of tumor imaging
from CT or MRI. Tumor response was evaluated by comparing pre-irradiation with
post-irradiation tumor volume seen in CT and MRI.
Result : The mean osteopontin level was 0.49 ± 0.45 ng/ml and the mean percentage
of change in tumor volume was 8.59 ± 54.22 %. Enlargement of tumor volume was
60 %. Progressive disease was found in 26.7 % of patients. Overall, there was an
insignificant weak negative correlation (r -0.39 and p 0.146) between level of
osteopontin and radiation response. There was an insignificant strong positive
correlation (r +0.68 and p 0.219) between level of osteopontin and radiation response
in the group that received radiation therapy concurrent with temozolamide.
Conclusion : Overall, there was an insignificant weak negative correlation between
level of osteopontin and radiation response. In the group that received radiation
therapy concurrent with temozolamide, there was an insignificant strong positive
correlation between level of osteopontin and radiation response, Introduction : Osteopontin is an endogenous molecular marker of tumor hypoxia,
which is one of factors that determine the aggressiveness of the disease. Increased
level of osteopontin will decrease therapeutic response which will eventually
influence the success of therapy.The purpose of this study is to determine the
correlation between osteopontin level and radiation response in malignant glioma.
Method : This is a retrospective cohort study of 15 malignant glioma patients who
underwent radiation from July 2004 to May 2015 at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Osteopontin level was measured with ELISA from paraffin embedded tissue. Tumor
volume was calculated by measuring three dimensional volume of tumor imaging
from CT or MRI. Tumor response was evaluated by comparing pre-irradiation with
post-irradiation tumor volume seen in CT and MRI.
Result : The mean osteopontin level was 0.49 ± 0.45 ng/ml and the mean percentage
of change in tumor volume was 8.59 ± 54.22 %. Enlargement of tumor volume was
60 %. Progressive disease was found in 26.7 % of patients. Overall, there was an
insignificant weak negative correlation (r -0.39 and p 0.146) between level of
osteopontin and radiation response. There was an insignificant strong positive
correlation (r +0.68 and p 0.219) between level of osteopontin and radiation response
in the group that received radiation therapy concurrent with temozolamide.
Conclusion : Overall, there was an insignificant weak negative correlation between
level of osteopontin and radiation response. In the group that received radiation
therapy concurrent with temozolamide, there was an insignificant strong positive
correlation between level of osteopontin and radiation response]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isabelle Deli
"[ABSTRAK
Latar belakang: Neoplasma sel plasma (NSP) adalah proliferasi sel plasma neoplastik yang tumbuh soliter menjadi plasmasitoma tulang soliter (PTS) dan plasmasitoma ekstrameduler (PEM) serta multipel (MM)). Saat ini perjalanan penyakit dari plasmasitoma menjadi MM sulit diprediksi. Bartl mengklasifikasikan derajat keganasan berdasarkan histomorfologik menjadi rendah, sedang dan tinggi. Penelitian ini bertujuan menggunakan klasifikasi Bartl untuk menilai perjalanan PTS dan PEM menjadi MM dihubungkan dengan ekspresi TP53 dan Ki-67.
Bahan dan cara: Pada 32 kasus NSP yang berasal dari PTS 14 kasus, PEM 5 kasus, maupun MM sebanyak 13 kasus, diklasifikasikan menjadi 3 kelompok derajat keganasan menurut Bartl yaitu derajat keganasan ringan, sedang dan tinggi. Selanjutnya dilakukan pulasan IHK TP53 dan Ki-67 pada seluruh kasus dan dihitung persentase positifitas.
Hasil: Berdasarkan derajat keganasan, derajat rendah ditemukan pada 10 (31,2%) MM, derajat sedang pada 5 (15,6%) PTS dan derajat tinggi pada 2 (6,2%) PTS dan PEM. Peningkatan ekspresi TP53 ditemukan pada derajat Bartl yaitu median derajat rendah 4%, derajat sedang 16%, dan derajat tinggi 10%. Terdapat perbedaan ekspresi TP53 yang bermakna antara derajat keganasan rendah dan sedang (p=0,004). Rerata indeks proliferasi Ki-67 pada derajat keganasan rendah 57%, derajat sedang 44,6%, dan derajat tinggi 32,6%. Tidak ditemukan perbedaan antara indeks proliferasi Ki-67 dengan derajat keganasan menurut Bartl (p=0,339). Tidak terdapat hubungan antara ekspresi TP53, Ki-67 dengan usia. Kesimpulan: Peningkatan ekspresi TP53 pada NSP sejalan dengan peningkatan derajat keganasan Bartl, terutama pada derajat rendah dan sedang. Klasifikasi Bartl ditambah dengan pulasan TP53 saja tidak cukup untuk memprediksi perkembangan PTS dan PEM menuju MM.

ABSTRACT
Background: Plasma cell neoplasm (PCN) is a neoplastic plasma cells proliferation including solitary bone plasmacytoma (SBP) and extramedullary plasmacytoma (EMP) and multiple myeloma (MM). Until now the development of disease to MM is unpredictable. Bartl classifies the degrees of malignancy histomorphologically as low, intermediate and high. This research aims using Bartl's classification and expression of TP53 and Ki-67 to assess the development of SBP and EMP to MM.
Materials and methods: In 32 cases of PCN derived from 14 cases of SBP, 5 cases of EMP, and 13 MM case, then classified into 3 groups based on Bartl's degrees of malignancy as low, intermediate, and high. Furthermore all cases stained by IHC TP53 and Ki-67 and evaluated the percentage of positivity. Results: Bartl's low degree was found in 10 (31,2%) MM case, intermediate in 5 (15,6%) SBP and high in 2 (6,2%) SBP and EMP. TP53 expression, obtainable at 4% of low, 16% of intermediate, and 10% of high degree. There is significant difference between TP53 expression in low and intermediate degree (p = 0,004). Mean proliferation index of Ki-67 is 57% in low, 44,6% in intermediate and 32,6% in high degree. There is no significant difference of Ki-67 proliferation indexes among the group (p = 0,339). There is no correlation between expressions TP53, Ki-67 and age.
Conclusion: Increasing expression TP53 is in line with Bartl's degrees of malignancy, especially on low and inter.;Background: Plasma cell neoplasm (PCN) is a neoplastic plasma cells proliferation including solitary bone plasmacytoma (SBP) and extramedullary plasmacytoma (EMP) and multiple myeloma (MM). Until now the development of disease to MM is unpredictable. Bartl classifies the degrees of malignancy histomorphologically as low, intermediate and high. This research aims using Bartl?s classification and expression of TP53 and Ki-67 to assess the development of SBP and EMP to MM.
Materials and methods: In 32 cases of PCN derived from 14 cases of SBP, 5 cases of EMP, and 13 MM case, then classified into 3 groups based on Bartl?s degrees of malignancy as low, intermediate, and high. Furthermore all cases stained by IHC TP53 and Ki-67 and evaluated the percentage of positivity. Results: Bartl?s low degree was found in 10 (31,2%) MM case, intermediate in 5 (15,6%) SBP and high in 2 (6,2%) SBP and EMP. TP53 expression, obtainable at 4% of low, 16% of intermediate, and 10% of high degree. There is significant difference between TP53 expression in low and intermediate degree (p = 0,004). Mean proliferation index of Ki-67 is 57% in low, 44,6% in intermediate and 32,6% in high degree. There is no significant difference of Ki-67 proliferation indexes among the group (p = 0,339). There is no correlation between expressions TP53, Ki-67 and age.
Conclusion: Increasing expression TP53 is in line with Bartl?s degrees of malignancy, especially on low and inter, Background: Plasma cell neoplasm (PCN) is a neoplastic plasma cells proliferation including solitary bone plasmacytoma (SBP) and extramedullary plasmacytoma (EMP) and multiple myeloma (MM). Until now the development of disease to MM is unpredictable. Bartl classifies the degrees of malignancy histomorphologically as low, intermediate and high. This research aims using Bartl’s classification and expression of TP53 and Ki-67 to assess the development of SBP and EMP to MM.
Materials and methods: In 32 cases of PCN derived from 14 cases of SBP, 5 cases of EMP, and 13 MM case, then classified into 3 groups based on Bartl’s degrees of malignancy as low, intermediate, and high. Furthermore all cases stained by IHC TP53 and Ki-67 and evaluated the percentage of positivity. Results: Bartl’s low degree was found in 10 (31,2%) MM case, intermediate in 5 (15,6%) SBP and high in 2 (6,2%) SBP and EMP. TP53 expression, obtainable at 4% of low, 16% of intermediate, and 10% of high degree. There is significant difference between TP53 expression in low and intermediate degree (p = 0,004). Mean proliferation index of Ki-67 is 57% in low, 44,6% in intermediate and 32,6% in high degree. There is no significant difference of Ki-67 proliferation indexes among the group (p = 0,339). There is no correlation between expressions TP53, Ki-67 and age.
Conclusion: Increasing expression TP53 is in line with Bartl’s degrees of malignancy, especially on low and inter]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hastrina Mailani
"Meningioma merupakan tumor primer intrakranial yang tersering, sebagian dapat bersifat agresif dengan kemungkinan rekurensi yang lebih tinggi. Diperlukan parameter klinikopatologik yang dapat memprediksi terjadinya rekurensi dan progression meningioma sehingga dapat dilakukan strategi tatalaksana yang lebih agresif dan follow-up ketat. Penilaian ekspresi Ki-67 pada meningioma diharapkan dapat menjadi salah satu prediktor rekurensi dan progression tumor. Penelitian ini bertujuan untuk menilai ekspresi Ki-67 pada meningioma yang mengalami rekurensi dan progression dengan yang tidak mengalami rekurensi dan progression. Penelitian ini merupakan penelitian analitik dengan desain kasus kontrol. Populasi penelitian adalah pasien yang telah didiagnosis sebagai meningioma dengan pemeriksaan histopatologi di Departemen Patologi Anatomik FKUI/RSCM dari tanggal 1 Januari 2019 hingga 31 Desember 2021. Pengambilan sampel dilakukan secara konsekutif pada meningioma yang mengalami rekurensi dan progression serta yang tidak mengalami rekurensi dan progression. Pemeriksaan imunohistokimia dilakukan menggunakan antibodi primer anti-Ki-67 (SP6) rabbit monoclonal antibody (Diagnostic BioSystems). Data kemudian dievaluasi untuk menentukan ekspresi Ki-67.Didapatkan 34 kasus meningioma yang terdiri atas 17 kasus dengan rekurensi dan progression serta 17 kasus tanpa rekurensi dan progression. Median ekspresi Ki-67 pada kelompok yang mengalami rekurensi dan progression (2,1%)  lebih tinggi dibandingkan kelompok yang tidak mengalami rekurensi dan progression (0,5%). Ekspresi Ki-67 berkaitan dengan kejadian rekurensi dan progession meningioma dengan adjusted odds ratio sebesar 4,2. Nilai titik potong yang direkomendasikan adalah sebesar 0,95%. Ekspresi Ki-67 merupakan faktor prediksi kejadian rekurensi dan progression pada meningioma.

Meningioma represents the most frequent primary intracranial tumor, and some subtypes may demonstrate aggressive characteristics with a correspondingly elevated risk of recurrence andprogression. To predict the likelihood of recurrence and progression, clinical and pathological parameters are essential. More aggressive treatment strategies and strict follow-up can be implemented using these parameters. Proliferation assesment using Ki-67 expression is expected to be one of the predictor of tumor recurrence and progression. This study aims to evaluate Ki-67 expression in meningioma with recurrence and progression and those without recurrence and progression. This was an analytic case control study including specimens diagnosed as meningioma recorded in archives of Anatomical Pathology Departemen, FMUI/CMH from January 1st. 2019 to December 31th, 2021. Consecutive sampling method was used. Ki-67 immunostaining was conducted using anti-Ki-67 (SP6) rabbit monoclonal antibody (Diagnostic BioSystems). Data was analyzed statistically to evaluate Ki-67 expression. Thirty-four cases were selected, consisted of 17 cases with recurrence and progression and 17 cases without recurrence and progression. Median expression of Ki-67 in meningioma with recurrence and progression (2,1%) was higher than median expression of Ki-67 in meningioma without recurrence and progression (0,5%). Ki-67 expression was associated with recurrence and progression in meningioma (aOR=4,2) Recommended cut off value to predict recurrence and progession in this study was  0,95%. Ki-67 expresssion was independent factor for recurrence and progession of meningioma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Tut Wuri Andajani
"Latar belakang :
Ameloblastoma adalah tumor sejati dari jaringan sejenis organ email, tumbuh intermitten dan dapat mengadakan invasi lokal. Secara histopatologik bersifat jinak, sering kambuh sehingga tumor ini disebut bersifat locally malignant dan umumnya tidak bernetastasis. Ada 2 tipe yaitu pleksiform dan folikular yang secara klinik sama dan secara mikroskopik tidak berpengaruh pada perangai biologik tumor. Berbeda dengan basalioma yang secara histopatologik ganas. Lesi odontogenik lain yaitu odontogenik keratosis yang mempunyai sifat agresifitas yang tinggi sehingga daya kambuhannya juga tinggi.
Untuk mengetahui agresifitas ameloblastoma dapat digunakan pewarnaan yang dapat mengetahui daya proliferasi sel yaitu dengan Ki-67 yang dapat digunakan untuk memperkirakan perkembangan jaringan normal, reaksi jaringan dan jaringan neopiastik Sedangkan untuk mengetahui ekspresi protein yang berhubuiagan dengan keganasan digunakan pewarnaan p53.
Bahan dan cara kerja :
47 kasus ameloblastoma terdiri dari 30 kasus pleksiform dan 17 kasus folikular. Masing-masing kasus dibuat 2 buah sediaan yang masing-masing diwaniai dengan Ki-67 dan p53. Kemudian setiap sediaan dilakukan penghitungan terhadap sel yang terwarnai coklat 1 kecoklatan diantara 1000 sel yang ada dan dilakukan 2 kali dalam waktu yang berbeda & Nilai yang didapat digunakan sebagai data yang perhitungan statistiknya mengg nalcan statistik non-parametrik Krsiral-~Yallis.
Hasil :
Indeks proliferasi Ki-67 berkisar 7 - 99 untuk ameloblastoma tipe pleksiform dengan nilai rata-rata 39,23. Sedangkan tipe folikular 8 - 77 dengan nilai rata-rata 33,59_ Dengan perhitungan statistik tidak berbeda bermakna ( p>0,05)_ Dengan p53 hanya 12 dari 47 kasus yang positif dengan nilai rata-rata 3,16 untuk tipe pleksiformn, sedangkan untuk tipe folikular hanya positif 2 kasus dengan nilai 0,71. Dengan statistik diperoleh hasil tidak berbeda bermakna (p>0.05). Sebagian besar kasus terletak pada rahang bawah, clan lebih sering mengenai penderita laki-laki. Ditemukan 6 kasus kambuhan, 5 mengenai penderita perempuan berumur 23 -- 35 tahun. Dari 6 kasus tersebut, 5 kasus ditemukan pads ameloblastoma tipe pleksifonn.
Kesimpulan :
- Nilai ekspresi Ki-67 dan protein p53 pada ameloblastoma tipe pleksiform cenderung lebih tinggi dibandingkan tipe folikular, sungguhpun secara statistik tidak berbeda makna.
- Nilai Ki-67 pada ameloblastoma bila dibandingkan dengan kista odontogenik lainnya mempunyai sifat kambuhan dan agresifitas mirip Odontogenic keratocyst.
- Positifitas protein p53m pads ameloblastoma tidak menunjukkan bahwa ameloblastoma ini termasuk tumor ganas.
- Berdasarkan penelitian ini belurn dapat untuk prediksi perjalanan tumor."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2001
T618
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Candra Adi Nugroho
"Tujuan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui profil Treg (ditunjukkan oleh Foxp3), CD4, dan CD8 pada kanker serviks stadium lanjut lokal dan dampaknya terhadap progresivitas tumor dan respons radiasi. Metode. Setelah disetujui oleh komite penelitian, kami mengumpulkan data pasien kanker serviks stadium lanjut lokal yang menjalani radioterapi, di RSCM, Jakarta, pada Januari 2018 – Desember 2020. Subjek penelitian harus memiliki pencitraan pra dan paska radiasi dan spesimen blok parafin untuk memenuhi syarat dalam penelitian ini. Profil Foxp, CD4, dan CD8, akan dianalisis dengan imunohistokimia dengan penghitungan jumlah sel. Respons radiasi akan dianalisa dengan kriteria RECIST 1.1. Semua informasi klinis pasien yang diperlukan akan dikumpulkan dari rekam medis elektronik. Hasil. Kami menemukan bahwa sebagian besar pasien memiliki karsinoma sel skuamosa (93%), stadium IIIC (48%), dan menjalani radiasi saja (72%). Evaluasi RECIST menunjukkan 62% pasien memiliki respons lengkap, 28% respons parsial, dan 10% respons buruk (penyakit stabil dan progresif). Kami dapatkan median jumlah sel CD4 =29 (7 – 154), CD8 = 30 (6 – 227), dan Foxp3 = 36 (2 – 156). Tidak ada hubungan bermakna antara jumlah sel limfosit CD4, CD8, dan Foxp3 dengan volume tumor, dengan p = 0.858; p = 0.975, dan p = 0.723 masing masing. Tidak ada hubungan bermakna dengan dimensi terbesar tumor dengan p = 0.481, p = 0.480, dan p = 0.792 masing masing. Tidak ada pula hubungan bermakna antara jumlah sel limfosit CD4, CD8, dan Foxp3 dengan respons radiasi dengan p = 0.964, p = 0.296, dan p = 0.787 masing masing. Namun kami mendapatkan korelasi positif yang kuat dan bermakna pada jumlah sel tumor pada stroma, CD 4 - CD8 (r = 0.580, p=0.001); CD4 - Foxp3 (r = 0.699, p < 0.001), dan CD8 - Foxp3 (r = 0.652, p < 0.001). Kesimpulan. Sebagian besar pasien kanker stadium lanjut lokal yang menjalani radiasi memiliki respons lengkap. Tidak didapatkan hubungan bermakna antara jumlah sel limfosit CD4, CD8, dan Foxp3 dengan volume tumor, dimensi terbesar tumor, dan respons radiasi. Terdapat korelasi yang kuat dan signifikan antar sel imun (CD4-CD8, CD4-Foxp3, dan CD8-Foxp3) pada lingkungan stroma.

Aims: This study aims to determine profile of Treg (shown by Foxp3), CD4, and CD8 in locally advanced cervical cancer and the impact to tumor progressivity and radiation response. Method. After been approved by the institution research committee, we collect data of locally advanced of cervical cancer patients who underwent radiotherapy, at RSCM, Jakarta, in January 2018 – December 2020. Studies subjects must have pre and post irradiation imaging and paraffin block specimen to be eligible in this study. Profile of Foxp, CD4, and CD8, will be analyzed by immunohistochemistry, by counting the number of cells, and radiation response will be analyzed by RECIST 1.1 criteria. All necessary patient’s clinical information will be collected from electronic medical record. Result. We found that most of the patients had squamous cell carcinoma (93%), stage IIIC (48%), and underwent radiation alone (72%). RECIST evaluation showed 62% of patients had a complete response, 28% a partial response, and 10% had a poor response (stable and progressive disease). We found median CD4 cell counts = 29 (7 – 154), CD8 = 30 (6 – 227), and Foxp3 = 36 (2 – 156). There was no significant relationship between the number of CD4, CD8, and Foxp3 lymphocytes with tumor volume, with p = 0.858; p = 0.975, and p = 0.723 respectively. There was no significant relationship with the dimensions of the largest tumor with p = 0.481, p = 0.480, and p = 0.792, respectively. There was no significant relationship between the number of CD4, CD8, and Foxp3 lymphocytes with radiation response with p = 0.964, p = 0.296, and p = 0.787, respectively. However, we found a strong and significant positive correlation in the number of tumor cells in the stroma, CD4 - CD8 (r = 0.580, p = 0.001); CD4 - Foxp3 (r = 0.699, p < 0.001), and CD8 - Foxp3 (r = 0.652, p < 0.001). Conclusion. Most locally advanced cancer patients who undergo radiation have a complete response. There are no significant relationships between the number of CD4, CD8, and Foxp3 lymphocytes with tumor volume, largest tumor dimensions, and radiation response. There is a strong and significant correlation between immune cells (CD4-CD8, CD4-Foxp3, and CD8-Foxp3) in the stromal environment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>