Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 12482 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rumende, Cleopas Martin
"Pulmonary fibrosis due to COVID-19 is recognized as sequel of ARDS characterized by failed alveolar re-epithelization, fibroblast activation, excessive collagen deposition and other extracellular matrix components that disrupt the normal lung architecture. There are risk factor for pulmonary fibrosis namely advanced age, severe ARDS infection, mechanical ventilation due to ventilator-induced lung injury, smoking and chronic alcoholism. Diagnosis of post-COVID pulmonary fibrosis can be made by clinical symptoms and characteristic finding from lung CT scan. To date, there is no definitive treatment for post-inflammatory pulmonary fibrosis after COVID-19 infection, however some of antifibrotic therapies may be considered. Beside medical treatment, pulmonary rehabilitation program and long-term oxygen treatment should be included as part of comprehensive treatment for pulmonary fibrosis due to COVID"
Jakarta: University of Indonesia. Faculty of Medicine, 2021
610 UI-IJIM 53:2 (2021)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Harris, William
New Delhi: SEARO, 2001
362.196 HAR n
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Weinberger, Steven E.
Philadelphia, PA: Elsevier, 2019
616.24 WEI p
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Alfiyyah Siti Zainab
"Kurkuminoid  merupakan ekstrak yang berasal dari Curcuma domestica dan telah diketahui dapat menghambat produksi TGF-Beta sebagai regulator utama fibrosis paru idiopatik (FPI). Sistem penghantaran paru dapat memfasilitasi akumulasi kurkuminoid pada paru-paru, kurkuminoid dapat dihantarkan melalui sistem penghantaran paru. Namun, kurkuminoid tidak larut di dalam air, sehingga diformulasikan menjadi nanosuspensi. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh formula nanosuspensi kurkuminoid (NSK) dengan karakteristik yang baik menggunakan stabilisator polimer PVP-K30 dan poloxamer-188 untuk penghantaran melalui paru. Pada penelitian ini, NSK dibuat dalam 3 formula yang divariasikan berdasarkan konsentrasi PVP-K30 yaitu 0,2% (NSK F1), 0,3% (NSK F2), dan 0,4% (NSK F3). NSK diperoleh dengan melarutkan kurkuminoid pada pelarut organik yang kemudian didispersikan ke dalam larutan polimer,  kemudian diaduk menggunakan high shear homogenizer dengan kecepatan 20.000 rpm. NSK yang diperoleh dievaluasi yang mencakup penetapan kadar, ukuran partikel, indeks polidispersitas, zeta potensial, uji disolusi, dan uji stabilitas selama 2 bulan. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan, ketiga NSK menghasilkan nanosuspensi yang baik dengan ukuran partikel (Dv90) 198 - 237 nm; indeks polidispersitas 0,38 - 0,49; zeta potensial negatif 27,53 - 29,2 mV; dan kadar 101,88 - 101,97%. Jumlah kurkuminoid NSKyang terdisolusi pada medium simulasi cairan paru sebanyak 77,57 - 83,28%. Disolusi NSK meningkat hingga lebih dari 3,2 kali lipat pada menit ke-120 dibandingkan dispersi serbuk kurkuminoid dalam air. Pada suhu 25°C seluruh NSK masih stabil yang terlihat dari kadar kurkuminoid lebih dari 95%, sedangkan pada suhu 40°C kadar kurkuminoid turun hingga 92%. Dari penelitian dapat disimpulkan, NSK F1 merupakan formula terbaik namun menunjukkan ketidakstabilan setelah penyimpanan selama 8 minggu. 

The pulmonary delivery system can facilitate the accumulation of curcuminoid in the lung, curcuminoid can be delivered through the pulmonary drug delivery system. However, curcuminoid is not soluble in water, so curcuminoid formulated into nanosuspension. This study aimed to obtain a curcuminoid nanosuspension (NSK) formula with good characteristic using polymer stabilizer PVP-K30 and poloxamer-188 for delivery through the lung. In this study, NSKs were prepared in 3 formula which varied based on the concentration of PVP-K30, 0.2% (NSK F1), 0.3% (NSK F2), and 0.4% (NSK F3). NSKs were obtained by dissolving curcuminoid in an organic solvent which was then dispersed into a polymer solution, then stirred using a high shear homogenizer at a speed of 20.000 rpm. The obtained NSKs were evaluated which included assay, particle size, polydispersity index, zeta potential, dissolution test, and stability test for 2 months. Based on the research, the three NSKs produced good nanosuspensions with particle sizes (Dv90) 198 - 237 nm; polydispersity index 0.38 - 0.49; negative zeta potential 27.53 - 29.2 mV; and content of 101.88 - 101.97%. The number of NSK curcuminoid that was dissolved in the simulated lung fluid medium was 77.57 - 83.28%. The dissolution of NSK increased by more than 3.2 times at 120 minutes compared to the dispersion of curcuminoid powder in water. At a temperature of 25°C, all NSK was stable as seen from content of curcuminoid more than 95%, while at 40°C the curcuminoid content decreased to 92%. From the research, it can be concluded that NSK F1 is the best formula but shows instability after 8 weeks of storage."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zuhair Amir Alkatiri
"Latar Belakang
Tuberkulosis masih menjadi epidemi global dengan tingkat morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Meskipun keberhasilan pengobatan tuberkulosis telah meningkat, banyak pasien yang sembuh mengalami sequelae post-tuberkulosis, termasuk fibrosis paru, yang menyebabkan disabilitas dan menurunkan kualitas hidup. Sequelae ini berkontribusi besar terhadap beban kesehatan, dengan fibrosis menjadi komponen utama dalam perubahan jaringan paru post-tuberkulosis. Penelitian lebih lanjut diperlukan untuk memahami faktor-faktor yang mempengaruhi progresi fibrosis, termasuk peran status gizi. Metode
Metode penelitian adalah retrospektif dengan data sekunder berupa rekam medis, diambil pada bulan Januari 2024 sampai bulan Agustus 2024 di RSUP Persahabatan. Sampel berjumlah 62 subjek yang telah menyelesaikan pengobatan TBC paru di RSUP Persahabatan. Data yang diambil meliputi status gizi pasien, derajat keparahan fibrosis paru berdasarkan hasil radiologi, dan pola spirometri pasca infeksi tuberkulosis.
Hasil
Hasil penelitian menunjukkan usia rata-rata pasien dengan fibrosis minimal-ringan, sedang, dan berat masing-masing adalah 39,54 ± 15,23 tahun, 47,27 ± 20,09 tahun, dan 50,90 ± 12,95 tahun, dengan korelasi positif lemah antara usia dan keparahan fibrosis paru (r = 0,284, p = 0,025). Terdapat peningkatan signifikan dalam IMT sebelum dan sesudah pengobatan (p < 0,001), dengan kelompok minimal-ringan dan sedang memiliki IMT yang lebih tinggi dibandingkan kelompok berat. Hanya 18% subjek memiliki data spirometri, di mana semua pasien dengan fibrosis derajat sedang menunjukkan pola restriksi, sedangkan pasien dengan fibrosis minimal-ringan memiliki spirometri normal.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat peningkatan signifikan dalam Indeks Massa Tubuh (IMT) pada pasien tuberkulosis yang menjalani terapi Obat Anti-Tuberkulosis (OAT), mengindikasikan perbaikan status gizi selama pengobatan. Meskipun demikian, tidak ada hubungan yang signifikan antara peningkatan status gizi dan derajat keparahan fibrosis paru. Hasil spirometri terbatas menunjukkan bahwa subjek dengan fibrosis minimal-ringan cenderung memiliki fungsi paru yang lebih baik dibandingkan dengan subjek dengan fibrosis sedang.

Tuberculosis remains a global health issue with high morbidity and mortality rates. Despite successful treatment, many recovered patients still experience sequelae such as pulmonary fibrosis, which can lead to disability and reduced quality of life. This study aims to evaluate the relationship between nutritional status and the severity of pulmonary fibrosis in patients post-tuberculosis infection. The method used was retrospective with secondary data from medical records of 62 patients who had completed tuberculosis treatment at Persahabatan General Hospital between January and August 2024. Results showed a significant increase in Body Mass Index (BMI) before and after treatment (p < 0.001), indicating an improvement in nutritional status. However, no significant association was found between improved nutritional status and the severity of pulmonary fibrosis. Limited spirometry data showed that patients with minimal-mild fibrosis tended to have better lung function compared to patients with moderate fibrosis. This study highlights the importance of monitoring nutritional status in tuberculosis patients, although its impact on the severity of pulmonary fibrosis requires further investigation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Permatasari
"ABSTRAK
Tuberkulosis (TB) merupakan penyebab utama penyakit dan kematian di dunia. Hubungan antara TB dan malnutrisi telah lama diketahui. Berkembangnya TB secara progresif menyebabkan wasting dan hilangnya massa otot, serta hipoalbuminemia yang juga terlihat pada infeksi human immunodeficiency virus (HIV). Koinfeksi TB/HIV menyebabkan peningkatan metabolisme, gangguan fisik, dan masalah nutrisi. Selain itu, adanya penyakit infeksi kronik seperti halnya TB paru dan HIV/AIDS disertai dengan penurunan BB dapat menyebabkan kaheksia. Serial kasus ini bertujuan untuk mempelajari dan menerapkan terapi nutrisi sebagai bagian dari tatalaksana TB paru, infeksi HIV, dan kaheksia. Seluruh pasien dalam serial kasus ini adalah pasien TB paru dengan malnutrisi berat dan kaheksia. Dua dari empat pasien disertai infeksi HIV. Pemberian nutrisi disesuaikan dengan kondisi, penyakit penyerta, dan kebutuhan yang bersifat individual. Kebutuhan energi basal dihitung dengan persamaan Harris-Benedict dengan kebutuhan energi total setara dengan 35?40 kkal/kg BB. Makronutrien diberikan dalam komposisi seimbang dengan protein 15?20% total kalori (1,5-2 g/kg BB). Suplementasi mikronutrien diberikan sesuai dengan angka kecukupan gizi. Nutrien spesifik berupa omega-3 dan asam amino rantai cabang (AARC) diberikan untuk memperbaiki kaheksia. Keluaran yang dinilai meliputi kondisi klinis, asupan, dan toleransi asupan. Dua dari empat pasien memberikan keluaran klinis lebih baik, namun peningkatan BB tidak signifikan.ABSTRACT Tuberculosis (TB) is a leading cause of illness and death of people globally. The association between TB and malnutrition has long been known. Progressive tuberculous disease results in wasting and loss of muscle mass and hypoalbuminaemia, which are also seen in HIV infection. Co-infection with HIV and TB poses an additional metabolic, physical, and nutritional burden. In addition, chronic infecton disease such as pulmonary TB and HIV/AIDS accompanied with weight loss leads to cachexia. The aim of this case series was to study and apply nutrition therapy as integral part of pulmonary TB, HIV infection and cachexia treatment. All patients in this reports with diagnosis of pulmonary TB with severe malnutrition and cachexia. Two of four patients diagnosed with HIV infection. Nutrition therapy was given individually according to the clinical condition and underlying disease. Harris-Benedict equation was used to calculate basal energy requirement with total energy requirement equivalent to 35?40 kcal/body weight. Balanced macronutrient composition was given with protein 15?20% of total requirement (1,5-2 g/body weight). Micronutrient recommendation was given to fulfill one fold recommended daily allowance. Omega-3 and branched-chain amino acid (BCAA) was given as specific nutrients to improved cachexia. Outcome measurements included clinical condition, intake analysis, and intake tolerance. Two of four patient had improved in clinical outcome but there was no significant difference in weight gain."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Andika Chaktiaji Zulfiqar
"Latar belakang: Defek septum atrium sekundum (DSAS) merupakan penyakit jantung bawaan dengan prevalensi tertinggi di dunia. DSAS yang berkembang menyebabkan hipertensi arteri pulmoner (HAP) mengakibatkan peningkatan beban ventrikel kanan sehingga mencetuskan respon adaptif dan maladaptif menyebabkan terjadinya fibrosis. Baku emas pemeriksaan fibrosis dilakukan dengan biopsi endomiokardium secara invasif (BEM). Fibrosis yang mengisi jaringan interstisial di miokardium akan menyebabkan penurunan fungsi miokardium. Pemeriksaan ekokardiografi strain memiliki kemampuan yang baik dalam menilai fungsi ventrikel secara keseluruhan. Sampai saat ini belum ada penelitian yang berfokus menilai evaluasi BEM dibandingkan dengan ekokardiografi strain dalam menilai fibrosis ventrikel kanan pada kelompok penyakit jantung bawaan khususnya DSAS dengan HAP.
Tujuan: Penelitian ini bertujuan mencari korelasi antara nilai longitudinal strain ventrikel kanan pada pemeriksaan ekokardiografi 2 dimensi speckle tracking (E2DST) dengan BEM ventrikel kanan sebagai penanda fibrosis ventrikel kanan pada pasien DSAS dengan HAP.
Metode: Penelitian ini merupakan studi observasional analitik dengan desain studi potong lintang pada pasien DSAS dengan HAP berusia ≥ 18 tahun yang menjalani kateterisasi jantung kanan dan kemudian dilakukan pemeriksaan biopsi endomiokardium dan pemeriksaan E2DST untuk menilai fibrosis ventrikel kanan.
Hasil: Studi ini melibatkan total 19 pasien DSAS yang menjalani kateterisasi jantung kanan, pemeriksaan BEM, dan E2DST ventrikel kanan. Rerata usia populasi ini adalah 36 ± 13 tahun dan mayoritas berjenis kelamin peremuan (89,5%). Longitudinal strain ventrikel kanan memiliki korelasi yang kuat (r=0,773, p<0,001) pada free wall longitudinal strain (FWLS) terhadap fibrosis dan memiliki korelasi sedang (r=0,667, p=0,002) pada global longitudinal strain (GLS) terhadap fibrosis. Analisa multivariat mendapatkan FWLS merupakan faktor prediktor derajat fibrosis secara independen (p<0,001; IK -2,010 – -0,821).
Kesimpulan: Pada pasien DSAS dengan HAP, parameter ekokardiografi FWLS ventrikel kanan berkorelasi kuat dan parameter ekokardiografi GLS ventrikel kanan berkorelasi sedang dengan persentase fibrosis berdasarkan biopsi endomiokardium. FWLS ventrikel kanan merupakan faktor prediktor independen dalam menilai derajat fibrosis.

Background: Secundum atrial septal defect (ASD) is the most common congenital heart defect in the world. Secundum ASD with concominant pulmonary arterial hypertension (PAH) will increase the workload of right ventricle (RV) thus inducing adaptive and maladaptive response that would result in fibrosis. Gold standard for fibrosis evaluation is through endomyocardial biopsy (EMB) invasively and noninvasively by cardiac magnetic resonance imaging (CMRI). Fibrosis of the RV will reduce the function of the myocardium affected. Strain echocardiography (STE) is a great tool for evaluating the ventricle function. There is lack of data reviewing relationship of EMB compared to STE assessing RV fibrosis in congenital heart disease, particularly in secundum ASD-PAH. Objective: This study aims to find correlation between longitudinal strain of RV in 2- dimension speckle tracking echocardiography (2DSTE) and EMB of the RV as markers of RV fibrosis in patients with secundum ASD-PAH.
Methods: This is an analytical observational study with cross-sectional design in patients with secundum ASD-PAH aged >18 years who underwent right heart catheterization, followed by EMB and 2DSTE of the RV to assess RV fibrosis.
Results: A total of 19 patients with secundum ASD-PAH who underwent RHC, EMB and 2DSTE are involved in this study. Mean age of the population was 36 ± 13 and majority was female (89,5%). Free wall longitudinal strain (FWLS) RV showed strong correlation (r=0,773, p<0,001) and global longitudinal strain (GLS) showed intermediate correlation (r=0,667, p=0,002) with fibrosis evaluated by histopathological analysis from EMB. Multivariate analysis showed that FWLS as an independent predictor of RV fibrosis (p<0,001; CI -2,010 – -0,821).
Conclusion: In patients with ASD-PAH, 2DSTE FWLS RV showed strong correlation and GLS RV showed intermediate correlation with RV fibrosis based on EMB. FWLS RV is an independent predictor in evaluating RV fibrosis.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ginting Munte, Fatwiadi Apulita
"Latar Belakang: Fibrosis ventrikel kanan merupakan respons adaptif sekaligus maladaptif terhadap kelebihan beban di ventrikel kanan. Peranan fibrosis ventrikel kanan pada populasi hipertensi pulmonal (HP) akibat defek septum atrial (DSA) sekundum belum banyak diketahui.
Tujuan: Membandingkan derajat fibrosis ventrikel kanan pada pasien DSA sekundum yang sudah dan belum terjadi penyakit vaskular paru (PVP) serta menilai korelasi parameter fibrosis berdasarkan magnetic resonance imaging (MRI) dengan nilai pulmonary arterial resistance index (PARi), flow ratio (FR) dan rasio pulmonary vascular resistance/systemic vascular resistance (PVR/SVR) dari kateterisasi jantung.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien DSA sekundum dengan HP berusia 318 tahun yang menjalani kateterisasi jantung kanan dan pemeriksaan MRI untuk menilai fibrosis ventrikel kanan.
Hasil: Terdapat total 63 pasien yang ikut serta dalam penelitian. Sebanyak 92.1% pasien memiliki gambaran late gadolinium enhancement (LGE) di regio right ventricular insertion point dan 66.7 % di septum interventrikular. Kelompok yang sudah mengalami PVP memiliki skor LGE, nilai native T1 dan extracellular volume (ECV) yang lebih tinggi dibanding kelompok yang belum (berturut-turut, 3 [1-4] vs. 2 [0-4]; p = 0.001, 1192 [1043-1407] ms vs. 1118 [1019-1191] ms; p <0.001, 43.7 ± 5.5% vs. 38.1 ± 4.6%; p <0.001). Skor LGE memiliki korelasi sedang terhadap PARi (r = 0.581, p <0.001), PVR/SVR (r = 0.561, p <0.001) dan FR (r = -0.490, p <0.001). Nilai native T1 memiliki korelasi kuat terhadap PARi (r = 0.679, p <0.001) dan PVR/SVR (r = 0.627, p <0.001) serta korelasi sedang terhadap FR (r = -0.589, p <0.001). Nilai ECV memiliki korelasi sedang terhadap FR (r = -0.440, p <0.001), serta korelasi lemah terhadap PARi (r = 0.398, p = 0.001) dan PVR/SVR (r = 0.382, p = 0.001).
Kesimpulan: Pasien DSA sekundum yang sudah mengalami PVP memiliki derajat fibrosis ventrikel kanan yang lebih berat serta terdapat korelasi bermakna antara fibrosis ventrikel kanan dengan parameter kateterisasi jantung.

Background : Right ventricular (RV) fibrosis is both adaptive and maladaptive response to the overloaded RV. Its role in pulmonary hypertension (PH) caused by secundum atrial septal defect (ASD) is not well known.
Aim(s): This study aims to compare RV fibrosis in patients with secundum ASD who have and have not experienced pulmonary vascular disease (PVD) and to determine the correlation of RV fibrosis with pulmonary arterial resistance index (PARi), flow ratio (FR), and pulmonary vascular resistance/systemic vascular resistance (PVR/SVR) ratio.
Method(s): This is a cross-sectional study on patients aged ≥18 years with secundum ASD and PH, who underwent right heart catheterization (RHC) and cardiac magnetic resonance imaging (MRI) to assess RV fibrosis.
Result(s): There were a total of 63 patients participating in this study. The majority of patients showed late gadolinium enhancement (LGE) in the region of RV insertion point (92.1%) and interventricular septum (66.7%). The PVD group had higher LGE scores, native T1, and extracellular volume (ECV) (3 [1-4] vs. 2 [0-4]; p = 0.001, 1192 [1043- 1407] ms vs. 1118 [1019-1191] ms; p <0.001, 43.7 ± 5.5% vs. 38.1 ± 4.6%; p <0.001, respectively). LGE scores had a moderate correlation with PARi (r = 0.581, p <0.001), PVR/SVR ratio (r = 0.561, p <0.001), and FR (r = -0.490, p <0.001). RV native T1 showed a strong correlation with PARi (r = 0.679, p <0.001) and PVR/SVR (r = 0.627, p <0.001), and a moderate correlation with FR (r = -0.589, p <0.001). RV ECV had a moderate correlation with FR (r = -0.440, p <0.001), and weak correlations with PARi (r = 0.398, p = 0.001) and PVR/SVR (r = 0.382, p = 0.001).
Conclusion: Secundum ASD patients with PVD showed significantly higher degree of RV fibrosis. There is a significant correlation between RV fibrosis and hemodynamic parameters obtained from RHC.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Komunikasi antara arteri koroner dan arteri pulmonalis, yang dikenal sebagai fistula arteri koroner ke pulmonal, merupakan sumber pasokan darah yang sangat jarang ke paru-paru pada penyakit atresia pulmonal yang disertai defek septum ventrikel. Seorang anak perempuan berusia 4 tahun dirujuk ke Pusat Jantung Nasional Harapan Kita dengan gejala dan tanda-tanda peningkatan vaskularisasi pembuluh darah paru sejak bayi dan telah dipastikan dengan pemeriksaan foto X-ray toraks. Pemeriksaan fisik jantung ditemukan bunyi jantung I normal, bunyi jantung II keras dan tunggal, dan didapatkan bising ejeksi sistolik pada area pulmonal. Pemeriksaan EKG menunjukkan irama sinus dengan aksis normal serta hipertrofi biventrikel. Pada pemeriksaan ekhokardiografi dicurigai terdapat trunkus arteriosus tipe I dengan defek septum ventrikel perimembran, overriding aorta, dan dilatasi pada pangkal arteri pulmonalis. Namun demikian pada pemeriksaan kateterisasi jantung ditemukan fistula non obstruktif antara arteri koroner kiri dan pangkal arteri pulmonalis yang disertai kelainan defek septum ventrikel. Tindakan bedah telah berhasil dilakukan sekaligus memastikan diagnosis sebelumnya. Walaupun terdapat episode krisis hipertensi paru selama awal perjalanan pasca operasi, pasien tersebut dipulangkan dari perawatan dengan kondisi yang baik. Karena penyakit pembuluh darah paru yang irreversibel bisa terjadi pada fistula koroner ke pulmonal yang tidak restriktif, pengenalan dini terhadap kelainan ini sangat penting untuk mendapatkan hasil tindakan koreksi bedah yang lebih baik. (Med J Indones 2004; 13: 237-40)

A communication between the coronary and pulmonary arteries, so called coronary to pulmonary fistula, is a rare source of pulmonary supply in pulmonary atresia (PA) with ventricular septal defect (VSD). A 4 year old girl referred to National Cardiovascular Center Harapan Kita, Jakarta with symptoms and signs of increased pulmonary blood flow since infancy and was confirmed by the chest x-rays. Heart examination revealed normal first heart sound with single loud second heart sound and an ejection systolic murmur at the pulmonary area. ECG demonstrated sinus rhythm with normal axis and biventricular hypertrophy. Echocardiography was performed and truncus arteriosus (TA) type I was suspected with perimembranus VSD, overriding of the aorta, and dilated main pulmonary artery. But on cardiac catheterization studies, a non obstructive fistula was found between the left coronary and main pulmonary artery coexisted with PA and VSD. A successful surgery was performed subsequently and confirmed the above diagnosis. Although there were episodes of pulmonary hypertension crisis during early post operative course, she was then discharge from the hospital in a good condition. Since irreversible pulmonary vascular disease may develop in a non restrictive coronary to pulmonary fistula, early recognition of this anomaly is very important for better surgical result. (Med J Indones 2004; 13: 237-40)"
Medical Journal Of Indonesia, 13 (4) October December 2004: 237-240, 2004
MJIN-13-4-OctDec2004-237
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Wiwien Heru Wiyono
"Pasien penderita penyakit pant obstruktif kronik ( PPOK ) tampaknya mendapatkan manfaat dari program rehabiltiasi paru. Penelitian ini mengkaji manfaat program rehabilitasi paru pada pasien rawat jalan yang menderita PPOK, dengan menggunakan St George Respiratory Questionnaire (SGRQ) dan six min walking distance test (6MWD), yang mengukur kualiti hidup kesehatan dan toleransi latihan fungsional sebagai hasil pengukuran utama. Penelitian ini merupakan penelitian prospektif, terbuka, acak dengan kelompok kontrol paralel yang diberikan program rehabilitasi pasien rawat jalan pada 56 pasien penderita PPOK (52 orang laki-laki dan 4 orang perempuan). Kelompok aktif(n= 27) diberikan program edukasi dan latihan selama 6 minggu. Kelompok kontrol (n= 29) diperiksa secara rutin sebagai pasien medis rawat jalan. SGRQ dan 6MWD ditakukan pada saat awal penelitian dan setelah 6 minggu. Didapatkan hasil SGRQ dan 6MWD sebelum dan sesudah terapi. Berdasarkan statistik, SGRQ menurun dan skor 6MWD meningkat secara signifikan pada kelompok aktif dibandingkan kelompok kontrol. Disimpulkan bahwa program selama 6 minggu pada pasien rawat jalan ini secara signifikan telah rneningkatkan kualiti hidup dan kapasitas fungsional pasien PPOK derajat ringan hingga sedang. (MedJ Indones 2006; 15:165-72)

Patients with chronic obstructive pulmonary disease (COPD) have been shown to be benefit from pulmonary rehabilitation programs. We assessed an entirely outpatient-based program of pulmonary rehabilitation in patients with COPD, using the Si George's Respiratory Questionnaire (SGRQ) and six minutes walking distance test (6MWD) (which measures health-related quality of life and functional exercise tolerance) as the primary outcome measure. We undertook a randomized, opened, prospective, parallel-group controlled study of outpatient rehabilitation program in 56 patients with COPD (52 men and 4 women). The active group (n~27) took part in a 6-weeks program of education and exercise. The control group (n=29) were reviewed routinely as medical outpatients. The SGRQ and 6MWD were administered at study entry and after 6 weeks. Outcome with SGRQ and 6MWD before and after therapy was performed. Decrease score SGRQ and increase 6MWD in both groups of study, it was analyzed by statistic study and in active group the decrease of SGRQ and the increase of 6MWD was statistically significant. In conclusion 6-weeks outpatient-based program significantly improved qualify of life and functional capacity in mild-to-moderate COPD patient. (Med J Indones 2006; 15:165-72)"
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-3-JulySept2006-165
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>