Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 147110 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fadhli Aulia Mughni
"Latar belakang: Untuk menghasilkan rambut dan kulit kepala yang sehat, produk perawatan harus digunakan dengan frekuensi tepat. Perempuan berhijab semakin umum dijumpai di Indonesia. Saat ini belum ada kesepakatan mengenai frekuensi keramas yang paling tepat pada perempuan berhijab. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian yang membandingkan pengaruh frekuensi keramas berbeda terhadap nilai transepidermal water loss (TEWL) dan hidrasi kulit kepala perempuan berhijab.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara frekuensi keramas dengan nilai TEWL dan hidrasi kulit kepala perempuan yang menggunakan hijab.
Metode: Sebanyak 60 perempuan sehat usia reproduksi berhijab menjadi subjek penelitian dan dibagi menjadi dua kelompok, yaitu 30 subjek pada kelompok A (keramas sering, setiap 1-2 hari sekali) dan 30 subjek pada kelompok B (keramas jarang, setiap 3-5 hari sekali). Dilakukan pengukuran nilai TEWL dan hidrasi kulit kepala pada baseline, hari ke-14, dan hari ke-28. Uji kemaknaan perbedaan nilai TEWL dan hidrasi kulit kepala antara kedua kelompok dilakukan menggunakan analisis Mann-Whitney.
Hasil: Median nilai TEWL kulit kepala hari ke-14 kelompok A adalah 20,07 g/m2/h dan kelompok B adalah 17,05 g/m2/h (p<0,05). Median nilai TEWL kulit kepala hari ke-28 kelompok A adalah 20,87 g/m2/h dan kelompok B adalah 17,67 g/m2/h (p<0,01). Median nilai hidrasi kulit kepala hari ke-14 kelompok A adalah 8,18 AU dan kelompok B adalah 12,52 AU (p>0,05). Median nilai hidrasi kulit kepala hari ke-28 kelompok A adalah 11,48 AU dan kelompok B adalah 12,77 AU (p>0,05).
Kesimpulan: Terdapat hubungan antara frekuensi keramas dengan nilai TEWL kulit kepala perempuan berhijab. Frekuensi keramas yang sering dapat meningkatkan nilai TEWL kulit kepala perempuan berhijab secara bermakna, tetapi tidak terdapat hubungan antara frekuensi keramas dengan nilai hidrasi kulit kepala perempuan berhijab

Background: To obtain healthy hair and scalp, care product should be used in the right frequency. Women wearing hijab are becoming more common in Indonesia. There is no unified consensus regarding the correct frequency of hair washing in women wearing hijab. Therefore, research is needed to compare the influence of different hair wash frequencies on the scalp skin transepidermal water loss (TEWL) and hydration in women wearing hijab.
Objective: To assess the correlation between hair wash frequency with scalp skin TEWL and hydration in women wearing hijab.
Methods: Sixty healthy women in reproductive age are recruited and allocated into two groups, 30 subjects in group A (frequent hair wash, every 1-2 days) and 30 subjects in group B (infrequent hair wash, every 3-5 days). Measurements of scalp skin TEWL and hydration was performed on baseline, day-14, and day-28. Significance test of the difference in scalp skin TEWL and hydration scores between groups was done using Mann-Whitney analysis.
Results: The day-14 median value of scalp skin TEWL was 20,07 g/m2/h in group A and 17,05 g/m2/h in group B (p<0,05). The day-28 median value of scalp skin TEWL was 20,87 g/m2/h in group A and 17,67 g/m2/h in group B (p<0,01). The day-14 median value of scalp skin hydration was 8,18 AU in group A and 12,52 AU in group B (p>0,05). The day-28 median value of scalp skin hydration was 11,48 AU in group A and 12,77 AU in group B (p>0,05).
Conclusion: There is a correlation between hair wash frequency and scalp skin TEWL score in women wearing hijab. Frequent hair wash may significantly increase scalp skin TEWL score in women wearing hijab. However, there is no correlation between hair wash frequency and scalp skin hydration in women wearing hijab
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satya Wydya Yenny
"ABSTRAK
Penyebab PV adalah Malassezia spp. atau disebut juga Pityrosporum orbiculare dan Pityrosporum ova/a, merupakan jamur serupa ragi yang bersifat saprofit, dalam kondisi tertentu berubah menjadi bentuk miselium yang bersifat patogen. Dalam hal kesembuhan, PV prognosisnya baik tetapi masalah utama adalah kekambuhan yang sangat tinggi. Tingkat kekambuhan pada tahun pertama setelah pengobatan 60% dan pada tahun kedua setelah pengobatan 80%. Hal ini terjadi karena Malassezia spp. merupakan flora normal pada kulit, kadang terdapat lebih dalam pada folikel rambut, selain itu juga karena faktor predisposisi yang tidak dapat dihindari.
Berbagai faktor yang berperan pada penyakit ini antara lain faktor lingkungan yang lembab dan panas, pakaian tertutup, genetik, hormonal, imunodefisiensi, kulit berlemak, malnutrisi, hiperhidrosis, pengobatan dengan kortikosteroid atau imunosupresan, dan penggunaan antibiotika jangka lama, serta pemakaian kontrasepsi oral. Faktor lingkungan yang berperan pada PV antara lain adalah lingkungan mikro pada kulit, misalnya kelembaban kulit. Kelembaban kulit dinilai dengan mengevaluasi skin capacitance (SC) dan transepidermal water loss (TEWL). Pada kulit normal SC dan TEWL seimbang, pada kulit lembab SC meningkat sedangkan TEWL berkurang. Pada pasien PV diduga kelembaban kulit tinggi.
Sepengetahuan penulis belum ada penelitian mengenai hubungan PV dengan kelembaban kulit. Diharapkan dengan hasil penelitian ini dapat membantu memberikan asupan dalam penatalaksanaan PV.
Malassezia spp. merupakan flora normal pada kulit. Pada kondisi tertentu bentuk ragi berubah menjadi bentuk miselia yang memberi gambaran Minis PV. Salah satu faktor yang mempengaruhi perubahan ini adalah kelembaban kulit yang tinggi, yang dicerminkan oleh SC dan TEWL.
Perumusan masalah
Apakah ada perbedaan skin capacitance dan transepidermal water loss kulit non-lesi pasien pitiriasis versikolor dengan non-pitiriasis versikolor?."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T21447
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Radityo
"[Kulit kering merupakan penyebab tersering keluhan gatal pada pasien HIV. Terapi antiretroviral pun dikaitkan dengan kulit kering, namun pemberiannya diperlukan oleh pasien HIV dalam jangka waktu yang lama. Tujuan penelitian ini adalah mengetahui hubungan antara lama terapi antiretroviral dengan derajat kekeringan kulit pada pasien HIV. Studi potong lintang dan kasus kontrol ini dilaksanakan pada Juni 2015 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Didapatkan 97 subjek. Lama terapi antiretroviral lini dua berkorelasi positif terhadap nilai transepidermal water loss dan lama terapi antiretroviral berkorelasi negatif terhadap nilai skin capacitance. Lama terapi antiretroviral merupakan faktor risiko terhadap penurunan nilai skin capacitance.;Xerosis is the most common etiology for itch in HIV patients. Antiretroviral therapy is also associated with xerosis, but this drug is needed to be given in a long course. Therefore, the purpose of the study is to determine the association between duration of antiretroviral therapy and degree of xerosis in HIV patients. This cross sectional and case control study was done in June 2015 in Cipto Mangunkusumo Hospital. There were 97 subjects. Duration of second line antiretroviral therapy is positively correlated to transepidermal water loss value and duration of antiretroviral therapy is negatively correlated with skin capacitance value. The duration of antiretroviral therapy is a risk factor for the decrease of skin capacitance value. , Xerosis is the most common etiology for itch in HIV patients. Antiretroviral therapy is also associated with xerosis, but this drug is needed to be given in a long course. Therefore, the purpose of the study is to determine the association between duration of antiretroviral therapy and degree of xerosis in HIV patients. This cross sectional and case control study was done in June 2015 in Cipto Mangunkusumo Hospital. There were 97 subjects. Duration of second line antiretroviral therapy is positively correlated to transepidermal water loss value and duration of antiretroviral therapy is negatively correlated with skin capacitance value. The duration of antiretroviral therapy is a risk factor for the decrease of skin capacitance value. ]"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Noer Kamila
"Berbagai molekul bioaktif yang terdapat dalam sekretom mayoritas merupakan molekul dengan ukuran >20 kDa sehingga sulit untuk melewati epidermis dan menimbulkan efek farmakologis. Metode aplikasi sekretom diduga memiliki peranan terhadap efektivitas sekretom sehingga perlu dilakukan suatu uji klinis untuk membandingkan efektivitas aplikasi sekretom terhadap fungsi sawar kulit yang didahului dengan metode microneedling dan laser fraksional CO2. Penelitian ini merupakan uji klinis acak terkontrol tersamar tunggal dengan metode split-face yang dilakukan pada wanita berusia 35-59 tahun di Poliklinik Madya, RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Penilaian transepidermal water loss (TEWL), dan skin capacitance (SCap) dilakukan pada minggu ke-0, 2, dan 4. Pada minggu ke-0 dan ke-2 semua subjek dilakukan microneedling dan laser fraksional CO2 yang diikuti dengan aplikasi konsentrat sekretom. Sebanyak 12 SP mengikuti penelitian ini dengan rerata usia 46,2 ± 6,45 tahun. Terdapat penurunan kadar TEWL yang bermakna pada kelompok laser fraksional CO2 (p-value 0,002) dan microneedling (p-value 0,002). Pada analisis lebih lanjut penurunan TEWL bermakna terdapat pada minggu ke-4. Tidak terdapat perubahan kadar TEWL yang signifikan pada kelompok laser fraksional CO2 dibandingkan dengan microneedling. Terdapat peningkatan kadar SCap pada kelompok laser fraksional CO2 dan microneedling namun tidak bermakna secara statistik. Tidak terdapat perbedaan perubahan nilai SCap yang signifikan pada sisi laser fraksional CO2 dibandingkan dengan microneedling. Prosedur laser fraksional CO2 dan microneedling sebelum pemberian konsentrat sekretom memiliki efektivitas yang serupa dalam memperbaiki fungsi sawar kulit. 

Most of the various bioactive molecules present in the secretome are molecules with a size of >20 kDa, making it difficult to pass through the epidermis and cause pharmacological effects. Secretome application method is thought to have an important role in the effectiveness of the secretome, so a clinical trial is needed to compare the effectiveness of the secretome application on the skin barrier function which is preceded by the microneedling method and fractional CO2 laser. A single-blind, randomized split-face was conducted on women aged 35-59 years at Madya Clinic, dr. Cipto Mangunkusumo Hospital. Transepidermal water loss (TEWL) and skin capacitance (SCap) assessments were carried out at weeks 0, 2, and 4. At weeks 0 and 2 all subjects underwent microneedling and fractional CO2 laser followed by application of secretome concentrate. Twelve participants took part in this study with an average age of 46.2 ± 6.45 years. There was a significant decrease in TEWL levels in the fractional CO2laser (p-value 0,002) and microneedling (p-value 0,002) groups. Significant decreases in TEWL were found at week 4. There was no significant change in TEWL levels in fractional CO2 laser group compared to microneedling. There was an increase in SCap levels in fractional CO2 laser and microneedling groups but it was not statistically significant. There was no significant difference in SCap value changes on the CO2 fractional laser side compared to microneedling. Fractional CO2 laser and microneedling procedures prior to administration of secretome concentrate have similar effectiveness in improving skin barrier function"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Peppy Fourina
"Latar belakang: Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk muslim yang besar.
Hijab dipakai oleh banyak wanita di Indonesia, sedangkan hijab berpotensi mengurangi
serapan sinar matahari di kulit yang memengaruhi sintesis vitamin D. Beberapa
penelitian telah mengaitkan defisiensi kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan
kerontokan rambut, tetapi tidak pernah dilakukan pada kelompok perempuan berhijab.
Tujuan: Mengetahui hubungan kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan kerontokan
rambut pada perempuan dewasa usia subur berhijab (H) dan tidak berhijab (TH).
Metode: Penelitian potong lintang ini dilakukan sepanjang bulan November 2019
hingga Maret 2020. Data terkait pemakaian hijab, kerontokan rambut, skor pajanan
sinar matahari, jumlah rambut rontok harian, hair pull test, dan kadar 25-
hydroxyvitamin D serum dievaluasi pada masing-masing 30 subjek berhijab dan tidak
berhijab yang tidak menderita penyakit sistemik maupun kejiwaan.
Hasil: Median kadar 25-hydroxyvitamin D serum pada kelompok H adalah 8,70 (6,13-
34,10) ng/mL dan mean kadarnya pada kelompok TH adalah 16,70 6,30 ng/mL.
Median jumlah rambut rontok harian pada kelompok H adalah 28,62 (3,00-118,50) helai
dan pada kelompok TH adalah 18,25 (3,50-134,50) helai. Berdasarkan uji korelasi
Spearman, didapatkan koefisien korelasi r = -0,190 pada kelompok H (p = 0,315), dan r
= 0,193 pada kelompok TH (p = 0,308).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan kadar 25-hydroxyvitamin D serum dengan
kerontokan rambut baik pada perempuan dewasa usia subur berhijab maupun tidak
berhijab.

Background: Indonesia has a large muslim population. As hijab is considered
compulsory for most, wearing it may potentially reduce skin absorption of sunlight
which plays important role in vitamin D synthesis. Several studies had described
significant correlation between serum 25-hyroxyvitamin D level and hair loss, but never
specifically conducted in hijab wearing women.
Objective: To assess the correlation between serum 25-hydroxyvitamin D level and
hair loss in adult childbearing-age women who wear (H) and do not wear hijab (NH).
Methods: This cross-sectional study was conducted from November 2019 to March
2020. Data concerning hijab use, hair loss, sun exposure score, daily hair loss, hair pull
test, and serum 25-hydroxyvitamin D level were evaluated in 30 subjects of each group.
Results: The median level of serum 25-hydroxyvitamin D in the H group was 8,70
(6,13-34,10) ng/mL while the mean serum level in the NH group was 16,70 6,30
ng/mL. The median number of daily hair loss in the wearing hijab group was 28,62
(3,00-118,50) and in the not-wearing hijab group was 18,25 (3,50-134,50). Based on
Spearman’s correlation test, r = -0,190 in the H group (p = 0,315) and r = 0,193 in the
NH group (p = 0,308).
Conclusion: There was no significant correlation between serum 25-hydroxyvitamin D
level and hair loss in both groups.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Caroline Oktarina
"Peningkatan frekuensi penggunaan hand sanitizer dan mencuci tangan dengan sabun disinyalir menyebabkan peningkatan insidens dermatitis pada tangan. Tenaga nonmedis yang bekerja di rumah sakit juga mengimplementasikan hand hygiene secara rutin sehingga ikut mengalami peningkatan kejadian dermatitis pada tangan. Penelitian ini bertujuan menganalisis dermatitis pada tangan tenaga nonmedis, derajat keparahannya, serta penggunaan hand sanitizer terhadap transepidermal water loss (TEWL) dan skin capacitance. Penelitian observasional dengan desain potong lintang ini dilakukan pada bulan Juli hingga September 2022 di ruang penelitian kelompok staf medis (KSM) Dermatologi dan Venereologi, RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (RSCM), Jakarta. Subjek dipilih berdasarkan kriteria penelitian dengan metode cluster random sampling. Identitas, data penggunaan hand sanitizer dan mencuci tangan, stigmata atopi, dan durasi dermatitis pada tangan didapatkan melalui anamnesis. Penilaian keparahan dermatitis pada tangan dilakukan dengan hand eczema severity index (HECSI). Pemeriksaan TEWL dan skin capacitance dilakukan dengan Tewameter® TM 300 dan Corneometer® CM 825. Analisis data dilakukan dengan Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) versi 21.0. Terdapat masing-masing 24 subjek yang direkrut pada kelompok dengan dan tanpa dermatitis pada tangan. Berdasarkan karakteristik sosiodemografik dan klinis, tidak ada perbedaan bermakna antara kedua kelompok kecuali frekuensi mencuci tangan dengan air dan sabun. Subjek dengan dermatitis lebih sering mencuci tangan dengan air dan sabun dibandingkan dengan subjek tanpa dermatitis (6 vs 4,5 kali/hari; p = 0,005). Proporsi kejadian dermatitis pada tangan pada tenaga nonmedis pengguna hand sanitizer adalah 10% dengan median durasi penyakit 22 minggu dan rerata nilai HECSI 9,25 ± 6,33. Tidak terdapat perbedaan TEWL dan skin capacitance yang bermakna kedua kelompok (p > 0,05). Tidak terdapat korelasi yang bermakna antara TEWL dan skin capacitance dengan skor HECSI (p > 0,05). Mayoritas tenaga nonmedis yang mengalami dermatitis pada tangan memiliki derajat keparahan ringan. Kerusakan sawar kulit kemungkinan sudah terjadi akibat peningkatan praktik hand hygiene walaupun belum tampak gejala secara klinis sehingga tidak terdapat perbedaan fungsi sawar dan hidrasi kulit yang bermakna antara kelompok dermatitis dan kelompok tanpa dermatitis.

Increased frequency of hand sanitizer use and washing hands with soap allegedly caused the increasing incidence of hand eczema (HE). Nonmedical personnel who work in the hospital also implement hand hygiene practices routinely so they also experience increased incidence of HE. This study aims to analyze the HE in nonmedical personnel, its severity, and the effect of hand sanitizer use on transepidermal water loss (TEWL) and skin capacitance. This observational cross-sectional study was conducted from July to September 2022 at the Department of Dermatology and Venerology, Dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital, Jakarta. Subjects were recruited based on the study criteria with cluster random sampling method. Subject’s identity, data related to hand sanitizer use and hand washing, atopic stigmata, and duration of HE were documented through history taking. The severity of HE was assessed with hand eczema severity index (HECSI). TEWL and skin capacitance were measured with Tewameter® TM 300 and Corneometer® CM 825. Data were analyzed with Statistical Package for the Social Sciences (SPSS) version 21.0. Both HE and control groups consisted of twenty-four subjects, respectively. Based on sociodemographic and clinical characteristics, there was no significant difference between both groups, except for the frequency of hand washing. Subjects with HE washed hands more frequently compared to normal subjects (6 vs 4.5 times/day; p = 0.005). The proportion of HE incidence in nonmedical personnel using hand sanitizer was 10% with median duration of disease of 22 weeks and mean HECSI score of 9.25 ± 6.33. There was no significant difference of TEWL and skin capacitance between both groups (p > 0.05). There was no significant correlation between TEWL and skin capacitance with HECSI scores (p > 0.05). Majority of nonmedical personnel suffering from HE had mild severity. The disruption of skin barrier might have already occurred due to increased of hand hygiene practice although clinical symptoms had not become visible, leading to no significant difference of barrier function and skin hydration in both groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Catharina Ari Wilandani
"Latar belakang. Kulit kering dilaporkan pada 20–30% pasien HIV namun belum ada penelitian pelembap pada keadaan tersebut.
Tujuan. Membandingkan efikasi dan efek samping petrolatum dengan satu obat jadi sebagai terapi kulit kering pasien HIV. Metode. Uji klinis acak tersamar ganda. Subjek penelitian dibagi menjadi dua kelompok, antara mendapat petrolatum atau obat jadi. Evaluasi setelah 2 minggu dan 4 minggu terapi dengan mengukur transepidermal water loss (TEWL) dan skor kulit kering pada tungkai bawah. Dinilai efek samping objektif dan subjektif. Hasil. 32 orang mengikuti penelitian, 16 orang mendapat petrolatum dan 16 orang obat jadi. TEWL kelompok petrolatum 11,0 g/m2/jam, menjadi 7,9 g/m2/jam dan 5,9 g/m2/jam setelah 2 dan 4 minggu terapi sedangkan TEWL kelompok obat jadi 9,95 g/m2/jam turun menjadi 8,8 g/m2/jam dan 6,9 g/m2/jam. Skor kulit kering dasar, setelah 2 minggu, dan 4 minggu pengobatan kelompok petrolatum adalah 4, 3, dan 1 sedangkan pada kelompok obat jadi adalah 3, 2, dan 1. Nilai TEWL dan skor kulit kering di dalam masing-masing kelompok menurun secara bermakna. Perbandingan penurunan nilai TEWL dan skor kulit kering antarkedua kelompok tidak bermakna. Keluhan subjektif terdapat pada 11 orang di kelompok petrolatum dan 5 orang di kelompok obat jadi.
Kesimpulan. Petrolatum maupun obat jadi mampu menurunkan nilai TEWL dan skor kulit kering secara bermakna, namun tidak ada perbedaan penurunan nilai TEWL ataupun skor kulit kering antara keduanya. Efek samping subjektif lebih banyak akibat petrolatum.

Background. Xerosis reportedly affecting up to 30% of patients with HIV, but there were no research on moisturizer therapy for that condition. Aim. To compare efficacy and side effect of petrolatum vs one commercial moisturizer on HIV patients with xerosis. Method. Double blinded randomized controlled study. Participants was divided into 2 group, either received petrolatum or commercial moisturizer. Evaluation was done after 2 and 4 weeks treatment by measuring transepidermal water loss (TEWL) and dry skin score on lower leg.
Objective and subjective side effect were recorded. Result. 32 participants enrolled in the study, 16 received petrolatum while 16 received commercial moisturizer. TEWL in petrolatum group was 11,0 g/m2/jam, down to 7,9 g/m2/h and 5,9 g/m2/h after 2 and 4 weeks therapy whereas in commercial group was 9,95 g/m2/h down to 8,8 g/m2/h and 6,9 g/m2/h. Dry skin score in petrolatum group at baseline, 2, and 4 weeks of treatment was 4, 3, and 1 respectively whereas in commercial group was 3, 2, and 1 respectively. 11 persons in petrolatum and 5 in commercial group has subjective side effect.
Conclusion. Both petrolatum and commercial moisturizer significantly reduce TEWL and dry skin score. There were no difference in the reduction of TEWL nor dry skin score between the two group. Petrolatum caused more common subjective side effect.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rhida Sarly Amalia
"Latar belakang: Air mempunyai peran yang sangat penting bagi kehidupan manusia. Asupan air yang tidak adekuat, dapat menimbulkan berbagai masalah pada manusia. Dehidrasi paling sering terjadi pada lanjut usia (lansia) yang menyebabkan kulit kering dan berbagai masalah kulit. Kulit memiliki peran penting dalam mencegah kekeringan pada tubuh manusia. Air mendominasi kulit sekitar 30% dan berkontribusi pada kekenyalan, elastisitas, dan ketahanan kulit. Saat ini belum terdapat cukup data untuk membuktikan hubungan antara asupan cairan dengan peningkatan hidrasi kulit.
Metode: Penelitian ini merupakan deskriptif analitik potong lintang yang dilakukan pada lansia berusia 65-80 tahun di panti Tresna Werdha Budi Mulia 3. Pengukuran dilakukan dengan menilai asupan cairan selama 7 hari. Pada hari ke-9 dilakukan penilaian status hidrasi melalui Urine Specific Gravity (USG), kekeringan kulit melalui Specified Symptom Sum Score (SRRC), dan karakteristik sawar kulit melalui Transepidermal Water Loss (TEWL) dan Skin Capacitance (SCap).
Hasil: Sebanyak 67 SP mengikuti penelitian ini dengan median usia 70 tahun. Terdapat korelasi negatif lemah bermakna antara status hidrasi dengan asupan cairan (nilai p <0,0001). Terdapat korelasi negatif lemah bermakna antara asupan cairan pada lansia dengan SRRC (p<0,0001). Tidak terdapat korelasi antara asupan cairan pada lansia dengan TEWL dan SCap (p = 0.613 and p = 0.060).
Kesimpulan: Asupan cairan yang adekuat dapat meningkatkan kelembapan kulit. Rekomendasi asupan cairan dari Kementerian Kesehatan Indonesia dapat dianjurkan pada lansia.

Background: Water plays a crucial role in human life. Inadequate water intake can result in various issues in humans. Dehydration most commonly occurs in the geriatric, leading to dry skin and various skin problems. The skin plays a vital role in preventing bodily desiccation. Water constitutes around 30% of the skin and contributes to its resilience, elasticity, and durability. Currently, there is insufficient data to establish a definitive relationship between fluid intake and improved skin hydration.
Methods: This study is a cross-sectional analytical descriptive study conducted on elderly individuals aged 65-80 years at the Tresna Werdha Budi Mulia 3 nursing home. Measurements were performed by assessing fluid intake over a 7-day period. On the 9th day, assessments were conducted for hydration status using Urine Specific Gravity (USG), skin dryness through the Specified Symptom Sum Score (SRRC), and skin barrier characteristics using Transepidermal Water Loss (TEWL) and Skin Capacitance (SCap).
Results: Sixty-seven subjects participated in this study, with a median age 70 years. There was a statistically significant weak negative correlation between hydration status and fluid intake (p-value < 0.0001). Additionally, other parameters also showed significant weak negative correlations between hydration status and SRRC with p-values of <0.0001. Nevertheless, there was no significant difference observed in the correlation between fluid intake and both TEWL and SCap value (p = 0.613 and p = 0.060).
Conclusion: Adequate fluid intake can enhance skin moisture. The recommendations of fluid intake from the Indonesian Ministry of Health can be advised for the geriatric population.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ulfah Nur Lathiifah
"Latar belakang: Dermatitis seboroik adalah penyakit inflamasi kronik pada kulit yang bermanifestasi sebagai bercak kemerahan yang gatal dan bersisik di daerah kaya akan kelenjar sebasea. Sebum yang berada di kulit kepala merupakan nutrisi bagi Malassezia sp dan menjadi salah satu faktor risiko dari dermatitis seboroik. Keramas dapat membersihkan sebum dan kotoran dari kulit kepala. Setiap individu memiliki preferensi tersendiri mengenai frekuensi keramas.
Tujuan: Studi ini dilakukan untuk melihat korelasi skor keparahan dermatitis seboroik dengan frekuensi keramas.
Metode: Sejumlah 87 pasien dermatitis seboroik dengan metode consecutive sampling. Pasien dilakukan pemeriksaan untuk mengukur keparahan dermatitis seboroik yang diderita menggunakan diberikan kuesioner Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI. Studi ini merupakan penelitian dengan metode potong lintang.
Hasil: Median frekuensi keramas pada pasien DS adalah 3 kali seminggu 1,00-7,00 dan nilai median Skor Keparahan DS sebesar 2,25 0,25-21,00. Uji korelasi Spearman dilakukan dan didapatkan hasil tidak bermakna korelasi antara frekuensi keramas dengan skor keparahan DS P= 0,155, r= -0,154.
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi antara frekuensi keramas dengan Skor Keparahan DS.

Background: Seborrheic dermatitis SD is chronic inflammation disease in scalp which manifested as itchy scale erythema found on area rich of sebaceous gland. Sebum produced by sebaceous gland is nutrition for Malassezia sp and one of main risk factor of sebhorreic dermatitis. Hair washing may clean sebum and dirt on scalp. Each individual has their own preference on how often one should wash their hair.
Aim: This study was conducted to see the correlation of severity of seborrheic dermatitis with frequency of shampoo.
Methods: A total of 87 sebhorrheic dermatitis patients had been selected using exclusion criteria and recruited by consecutive sampling. Those SD patients were examined to measure the degree of seborrheic dermatitis severity using Seborrheic Dermatitis Area and Severity Index SDASI questionnaire. This study was cross sectional study.
Results: Median hair washing frequency on SD patients were three times a week 1.00 7.00 and Seborrheic Dermatitis Severity Score median value at 2.25 0.25 21.00. Spearman correlation test was conducted and from the test result there were no significant correlation between hair washing frequency and SD severity score by statistic P= 0.155, r 0.154.
Conclusion: There was no correlation between frequency of hair washing with DS Severity Score.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anindita Luthfia Nugroho
"

 

Studi penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana proses, pemaknaan, dan peran dari faktor-faktor sosial untuk mendukung hadirnya habituasi penggunaan rokok elektrik berjenis pods oleh remaja perempuan berhijab di Jakarta. Pada studi terdahulu, terdapat dua perspektif studi yang peneliti dapatkan. Pertama, penggunaan rokok elektrik oleh remaja perempuan, khususnya perempuan berhijab, masih dianggap tabu dan dianggap tidak wajar dilakukan oleh selain laki-laki, sehingga masyarakat melihat perempuan yang melakukan aktivitas merokok merupakan perempuan yang tidak benar. Sedangkan pemetaan studi lainnya memiliki pemikiran bahwa di era digital ini sudah marak penggunaan rokok elektrik oleh remaja perempuan dikarenakan penggunaan rokok elektrik dirasa dapat meningkatkan kepercayaan diri, menambah kesan elegan, kekinian, dan seksi. Peneliti lebih setuju dengan pemetaan studi kedua, dimana pemikiran tersebut sudah lebih relevan dengan era digital saat ini. Selain itu, perempuan berhijab menjadikan penggunaan rokok elektrik sebagai habituasi dikarenakan mengikuti tren dan pengaruh teman sebaya. Peneliti berargumen bahwa dewasa ini penggunaan rokok elektrik memang sudah marak digunakan oleh perempuan, dan pemilihan rokok elektrik yang digunakan oleh perempuan juga untuk meminimalisir pemikiran negatif masyarakat terkait aktivitas merokok yang dilakukan oleh perempuan. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dan in-depth interview kepada informan yang merupakan remaja perempuan yang menggunakan rokok elektrik.


This research study aims to determine the process, meaning, and the role of social factors to support the habituality of the use of pod type electronic cigarettes by hijab-wearing teenage girls in Jakarta. In previous studies, there were two study perspectives that researchers obtained. Firstly, the use of e-cigarettes by teenage girls, especially women who wear the hijab, is still considered taboo and considered unnatural for people other than men, so that society views women who smoke as women who are not true. Meanwhile, other mapping studies have the idea that in this digital era, the use of e-cigarettes has become widespread among young women because the use of e-cigarettes is felt to increase self-confidence, add an elegant, contemporary and sexy impression. Researchers agree more with the second study's mapping, where this idea is more relevant to the current digital era. Apart from that, women who wear the hijab use e-cigarettes as a habituality because they follow trends and the influence of their peers. Researchers argue that nowadays the use of e-cigarettes is widespread among women, and the choice of e-cigarettes used by women is also to minimize people's negative thoughts regarding smoking activities carried out by women. This research method uses a qualitative approach and in-depth interviews with informants who are teenage girls who use e-cigarettes."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>