Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 52263 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fauzy Rizky Laurens
"Penelitian ini megkaji amanat cerita dalam Wayang Wong Lakon Arjuna Kembar Tiga. Lakon Arjuna Kembar Tiga merupakan sebuah pementasan Wayang wong yang dipentaskan oleh Sekar Budaya Nusantara. Cerita yang digunakan dalam drama tersebut mengambil latar belakang Epos Mahabarata. Berkisah tentang penyamaran tiga Kurawa menjadi Arjuna dan ketiganya tidak dapat dibedakan secara fisik. Mereka menyamar dan mencoba mendapatkan Sembadra. Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode analisis interpretatif untuk mengetahui amanat dalam kisah tersebut. Kesimpulannya yaitu tipu muslihat adalah salah satu upaya untuk mendapatkan kekuasaan tapi dapat dikalahkan dengan budi pekerti luhur. Kearifan Jawa yang terkandung dalam etika Jawa dan falsafah Jawa menerangkan bagaimana bersikap untuk mencegah dan menyikapi tipu muslihat

This research examines the mandate of the story in Wayang Wong Lakon Arjuna Kembar Tiga. Arjuna Kembar Tiga is a Wayang wong performance staged by Sekar Budaya Nusantara. The story used in the drama takes the background of the Mahabarata Epic. Tells about the disguise of three Kuravas to become Arjuna and the three of them cannot be physically distinguished. They disguise themselves and try to get Sembadra. The method used in this research is the method of interpretive analysis to determine the message in the story. The conclusion is that deception is an attempt to gain power but can be defeated by virtue. Javanese wisdom contained in Javanese ethics and Javanese philosophy explains how to act to prevent and respond to tricks."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wiroatmodjo
Jakarta: Balai Pustaka, 2000
899.221 WIR a (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta : Pusat Bahasa, Kementerian Pendidikan Nasional, 1991
899.231 HIK
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
"Teks berisi catatan lakon-lakon wayang, baik tentang judul maupun urutan penyajiannya. Lakon-lakon wayang tersebut tidak hanya berasal dari siklus wayang purwa, seperti Manikmaya, namun juga siklus wayang gedhog, seperti Ratu Majapahit. Teks juga menguraikan tentang suluk, antara lain perihal ada-ada, sendhon, dan pathet. Terdapat pula uraian tentang cerita-cerita lain, seperti Jaka Kusur dan Jaka Slewah, sekaligus deskripsi mengenai donga wenangan pada waktu talu dan guna pengasihan. Naskah disalin di Yogyakarta pada tahun 1932 atas prakarsa Pigeaud, menurun dari naskah LOr 6285a. Penyalinan sebanyak empat eksemplar, keseluruhannya kini dapat dijumpai di koleksi FSUI (W 49.01 a-d). Hanya ketikan asli (a) yang dimikrofilm."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
WY.39-W 49.01a
Naskah  Universitas Indonesia Library
cover
Darmoko
"ABSTRAK
Aspek suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa belum mendapatkan perhatian khusus oleh para sarjana yang mendalami dan menekuni dalam hal wayang. Dalam penelitian ini permasalahn utama yang perlu diangkat adalah: 1. bagaimana bentuk suluk dalam 1akon/pertunjukan wayang purwa; 2. bagaimana penggunaan su1uk da1am lakon/petunjukan wayang purwa; 3. bagaimana kedudu­kan suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa; dan 4. bagaimana fungsi suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa.
Sedangkan tujuan penelitian ini ialah mengupas atau mengana­lisis suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa agar didapatkan makna yang utuh dan menyeluruh (wholeness).
Metode penelitian yang dipergunakan yaitu metode dan teknik analisis struktural, yaitu metode yang bertujuan membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semenditel, dan sedalam mungkin keterkaitan dan keterjalinan semua anasir dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasilkan makna yang menyeluruh. Analisis struktural bukanlah penjumlahan anasir-anasir itu, misalnya tidak cukup didaftarkan semua kasus aliterasi, asonansi, rima akhir, rima dalam, inversi sintaktik, metafor dan metonimi dengan segala macam peristilahan yang muluk-muluk dengan apa saja yang secara formal dapat diperhatikan pada sebuah sajak atau dalam hal romanpun tidak cukup semacam enumerasi gejala-gejala yang berhubungan dengan aspek waktu, aspek ruang, perwatakan, point of view, sorot balik dan apa saja. (Teew, 1984: 135-136)
Dalam menganalisis aspek suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa ini diperlukan pendekatan intrinsik, yaitu pendekatan yang bertitik tolak dari dalam, batiniah, sifat dasar atau bagian dasar karya sastra itu sendiri. Menurut Panuti Sudjiman intrinsik berarti: 1. dari dalam, batiniah; 2. merupakan sifat atau bagian dasar. (1984:35). Bahan yang diangkat dalam penelitian ini ialah Diktat Sulukan Ringgit Purwa Cengkok Mangkunagaran, yang dihimpun oleh Ki Ng. Suyatno WS, seorang pamong PDMN di Surakarta tahun 1986:
Kesimpulan akhir yang didapatkan adalah bahwa:
1. Bentuk suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa merupakan susunan bahasa Jawa Kuno dan Jawa Klasik (Baru) berbentuk tembang gedhe maupun macapat.
2. Penggunaan suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa ialah setelah suatu iringan gending pada adegan tertentu suwuk (berhenti). Suluk tersebut berupa pathetan, ada-ada, dan sendhon.
3. Kedudukan suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa amatlah penting, karena suatu adegan dalam pakeliran wayang purwa sangat memerlukan suasana batin yang sesuai. Dalam keseluruhan struktur dalam lakon/pertunjukan wayang purwa, suluk dipandang sebagai unsur yang turut mendukung terjalinnya kaitan suatu peristiwa satu dengan yang lainnya (berikutnya).
4. Fungsi suluk dalam lakon/pertunjukan wayang purwa adalah untuk melukiskan dan menggambarkan atau memberikan suasana tertentu pada suatu adegan tertentu pula. Suasana tersebut adalagh agung, khidmat, marah (sereng), "tergesa-gesa", semangat, sedih, dan haru.
Demikian abstrak penelitian saya dengan judul "Aspek Suluk dalam Lakon/Pertunjukan Wayang Purwa". "
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, 1996
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Darmoko
"ABSTRAK
Permasalahan utama yang dibahas dalam penelitian ini yaitu masalah mantra. Bagaimanakah bentuk/sifat, penggunaan/penyajian, fungsi dan kedudukan mantra dalam peertunjukkan wayang kulit purwa.
Tujuan pokok penelitian ini ialah untuk mendapatkan pengertian yang utuh tentang mantra dalam pertunjukan wayang kulit purwa. Melalui analisis bentuk/sifat. Penggunaan/penyajian. Fungsi dan kedudukan mantra dalam pertunjukan wayang kulit purwa diharapkan didapatkan pengetian yang sifatnya wholleness.
Untuk meneliti unsur mantra dalam pertujukan wayang kulit purwa saya menggunakan wayang kulit purwa saya menggunakan metode analisa abstraksi. Sedangkan pendekatan yang saya gunakan ialah pendekatan intrinsik, menitikberatkan pada segala sesuatu yang terdapat di dalam karya sastra itu sendiri."
Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 1995
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Tri Halimah Maulani Ade Nuryadin
"Lakon Jumenengan Prabu Kalithi merupakan cerita gubahan karya Sri Sultan Hamengkubawana ke-X yang dipetik dari wiracarita Arjuna Wiwaha. Lakon tersebut mengisahkan tokoh Arjuna dengan laku tapa brata yang sangat kuat hingga mengguncangkan kahyangan Jongringsalaka. Kesempurnaan laku tapa brata Arjuna menjadikannya layak untuk menerima Pusaka Kyai Pasopati dan mendapat gelar Prabu Kalithi. Dalam penelitian ini tahapan laku tapa brata Arjuna yang sempurna diuraikan dengan nilai-nilai religi jawa. Masalah utama penelitian ini adalah bagaimana kesempurnaan tapa brata Arjuna dengan pemahaman tapa menurut nilai-nilai religi jawa. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan metode kualitatif dan pendekatan sastra religi untuk menganalisis laku tapa brata Arjuna yang sempurna. Sumber data berasal dari dari rekaman Pentas Wayang Wong Jumenengan Prabu Kalithi yang dipersembahkan oleh KHP Kridhomardowo (Kawedanan Hageng Punakawan Kridomardowo, divisi kesenian dan pertunjukan di Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat). Pementasan dapat diakses melalui Kanal Youtube Kraton Jogja dengan judul “Pentas Wayang Wong Jumenengan Prabu Kalithi-Rangkaian Pameran Temporer Bojakrama”. Data tersebut diolah dengan menggunakan tinjauan pustaka dan menggunakan teknik mencatat. Hasil penelitian menunjukan bahwa Arjuna menjalankan laku tapa brata yang sempurna sesuai dengan nilai-nilai pada pemahaman religi jawa. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa laku tapa brata Arjuna sudah sempurna hingga dapat mencapai manunggaling kawula gusti.

The play of Jumenengan Prabu Kalithi is a story composed by Sri Sultan Hamengkubawana X taken from the legendary Arjuna Wiwaha. The play tells the story of the character Arjuna with the practice of tapa which is so strong that it shakes the Jongringsalaka heaven. The perfection of Arjuna's tapa brata practice made him rewarded with Kyai Pasopati Heritage and receive the title of King Kalithi. In this study the stages of Arjuna's perfect tapa brata practice are described with Javanese religious values. The main problem of this research is how the perfection of Arjuna's asceticism with the understanding of tapaaccording to Javanese religious values. This research is a descriptive study using qualitative methods and a religious literature approach to analyze Arjuna's perfect tapa brata practice. The source of this study comes from the recording of the play of Jumenengan Prabu Kalithi presented by KHP Kridhomardowo (Kawedanan Hageng Punakawan Kridomardowo, arts and performance division at the Ngayogyakarta Hadiningrat Palace). The performance can be accessed via the Kraton Jogja Youtube Channel with the title "Puppet Performance of Wong Jumenengan Prabu Kalithi-Bojakrama Temporary Exhibition Series". The data is processed using a literature review and using note-taking techniques. The results of the study showed that Arjuna carried out a perfect tapa brata practice in accordance with the values ​​of Javanese religious understanding. Thus, it can be concluded that Arjuna's tapa brata practice is perfect so that it can achieve manunggaling kawula gusti."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia;, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rama Dona
"ABSTRAK
Skripsi ini bertujuan untuk menganalisis dan mendeskripsikan tokoh penokohan dari pementasan Lakon Petruk dadi Ratu yang ditampilkan oleh Sekar Budaya Nusantara. Lakon Petruk dadi Ratu berisikan tentang Petruk yang merupakan tokoh abdi kerajaan yang menjadi raja untuk menegur para tuannya. Penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif dari aplikasi elemen drama dan sarana dramatik untuk membahas, menggambarkan, dan menganalisa apa saja yang terkandung di dalam pementasan wayang orang Lakon Petruk dadi Ratu. Hingga pada akhirnya penelitian ini menentukan bahwa tokoh Petruk adalah tokoh utama dengan penokohan yang memiliki sifat adil, rendah hati, dan rela berkorban.

ABSTRACT
The purpose of this thesis is to analyze and describes about character and characterization of Wayang Orang show Lakon Petruk dadi Ratu by Sekar Budaya Nusantara. Lakon Petruk dadi Ratu is about the story of Petruk who is a servant of a kingdom that becomes a king to criticize his kings. The method that will be used in this thesis is descriptive analysis from the application of elemen drama and sarana dramatik to discuss, derscribe, and to analyze Lakon Petruk dadi Ratu. The conclusion of this thesis is, in Lakon Petruk dadi Ratu, Petruk is the main character that has fair, humble, and willing to sacrifice character."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
R. M. Panji Harjasuparta
"Isi buku ini adalah lakon wayang purwa Doraweca, ada 12 adegan yang dipagelarkan, anatara lain: Prabu Kresna sedang ada di sitinggil yang dihadap oleh para sentana kerabat, Prabu Kresna bertemu dengan kakaknya yaitu Prabu Mandura, Srikandi dan Angkawijaya di dalam hutan berperang dengan raksasa, suasana di gunung Kendalisada, Prabu Endraswara menyerang negara Dwarawati, Prabu Yudhistira di pandapa istana Amarta, pertapaan Banjarsekar Begawan Sidik Mulya dihadap para santri, perang antara Doraweca dan R. Arjuna, Prabu Kresna kumpul dengan para sanak keluarga, Prabu Kresna menyongsong para saudara dan lain-lainnya yang baru saja menang dalam peperangan."
Surakarta: Sidyanha, 1925
BKL.0851-CW 29
Buku Klasik  Universitas Indonesia Library
cover
"Naskah Lampahan Jaka Pramana ini merupakan salinan dari pertunjukan wayang yang dipentaskan di Ambarukma pada tanggal 25 Desember 1929, bertepatan dengan hari kelahiran Ratu Kencana. Penyalinan dikerjakan pada Januari 1930 sebanyak dua eksemplar. Kedua eksemplar itu kini tersimpan dalam koleksi FSUI dengan kode A 19.03a dan A 19.03b (tembusan karbon). Hanya ketikan asli yang dimikrofilm. Cerita lakon ini secara ringkas adalah sebagai berikut: Prabu Jayalengkara atau Sri Kandhilawan, raja di negara Medhangkamulan/Purwacarita menggantikan kedudukan Sri Mapanggung II. Sri Mapunggung II kemudian berganti nama menjadi Prabu Bagawan Jayabaya. Prabu Jayalengkara berputra Retna Pambayun, Arya Parijata, Arya Jaka Wida, Arya Suwita, dan Arya Lembu Subrata. Jaka Santa dan adiknya yang masih saudara sepupu bernama Jaka Jarudi. Keduanya cacat dan senang menembang. Setelah sampai waktunya mereka menghadap kakeknya Sri Manuhun. Prabu Manuhun di Pagelen dihadap putranya. Mereka sedang membicarakan adiknya yang bernama Prabu Sri Kala di Prambanan, yang tidak hadir di Purwacarita karena berburu di hutan bersama kedua putranya, yairu Jaka Sangkala dan Jaka Makala. Jaka Sangkala dikutuk oleh ayahnya menjadi banteng, sedangkan Jaka Sakala menjadi burung tiung. Mereka menyesal dan minta ampun. Keduanya lalu dianjurkan bertapa. Jaka Sangkala yang berwujud banteng diminta agar menolong orang-orang yang menyangga beban berat. Jaka Makala yang berwujud burung tiung diminta agar menolong orang dengan perkataannya. Jaka Pramana didatangi oleh Jaka Prasanta dan Jaka Jarudi. Jaka Prasanta dan Jaka Jarudi mengimbau agar Jaka Pramana mau menghadap ayahnya, karena sudah lama tidak menghadap. Ia kemudian pergi ke hutan sekaligus mencari burung tiung kesenangannya, tetapi tidak diutarakannya. Di tengah hutan bertemu para raksasa. Terjadi peperangan berakhir dengan tewasnya prajurit raksasa. Kyai Cemporet mengasuh buyut yang bernama Jaka Kulampis, dan cucu bernama Rara Kumenyar. Ia bercerita pada istrinya bahwa ketika menyabit rumput di desa Babadan, ada banteng dan burung tiung yang dapat berkata seperti manusia, banyak kepandaiannya. Desa Babadan dapat menjadi lebih makmur karena keduanya. Tersebutlah Raden Jaka Makala yang berbentuk menco bertapa di dekat Dukuh Babadan. Ia mendapat bisikan dari dewa agar menghadap kakak sepupunya yaitu Raden Jaka Pramana agar segera berjalan ke Pagelen dan hendaknya berganti nama menjadi Jamang. Jamang kagum akan kecantikan Rara Kumenyar yang sedang tidurmakemudian bersenandung. Rara Kumenyar terbangun dan melihat ke kanan kiri, tetapi tak ada orang. Rara Kumenyar mengira bahwa itu adalah suara peri parayangan. Jamang hinggap di para-para dan berkata kalau ia yang bersuara. Rara Kumenyar baru yakin kalau ada binatang yang dapat berlaku seperti manusia. Tak lama kemudian Jamang pulang dan berjanji akan kembali. Jamang bercerita kepada Raden Jaka Pramana tentang Rara Kumenyar. Mendengar ceritanya, Jaka Pramana jatuh hati pada Rara Kumenyar. Suatu hari Jamang disuruh membawa cincin manik arja kepada Rara Kumenyar dan dipesan agar segera terbang ke langit. Jamang menyerahkan cincin pemberian tuannya kepada Rara Kumenyar. Setelah diperiksa tampak seorang satria. Lama ia tak berkata-kata. Kemudian cincin diusap-kan pada wajahnya, maka gambaran Jaka Pramana hilang dan berganti menjadi Rara Kumenyar. Rara Kumenyar menyesal, menangis, dan pingsan, jatuh di batu. Jamang pulang ke hutan kembali, bertemu dengan dua burung tiung, di mana yang satu pernah dipelihara orang dan yang lain belum. Jamang berkata-kata dengan mereka memakai bahasa burung tiung. Ketiganya kemudian menghadap Jaka Pramana. Jaka Pramana melepas cincin yang terikat pada leher Jamang dan terlihat wajah Rara Kumenyar. Kedua burung tiung tersebut kemudian diberi nama Cundhuk dan Sumping. Cincin kemudian diusapkan ke wajahnya kembali, dan terlihat mereka berdua. Jamang disuruh segera ke Babadan kembali dan menyerahkan akar beringin pada Kyai Cemporet agar ditanam di wilayah desa Babadan. Akar beringin ditanam hingga membuat para nahkoda bingung untuk keluar dari Babadan dan akhirnya menetap. Babadan kemudian menjadi kota yang ramai dan semakin makmur. Prabu Sri Manuhun dihadap Raden Jaka Pratama dan Raden Jaka Sengara. Prasanta dan Jarudi disuruh Raden Jaka Pramana menyampaikan pesan pada Sri Manuhun. Sri Manuhun melihat ada dua ekor burung tiung yang bermain di istana, lalu dipanah, yang satu mati dan yang lain terbang. Jaka Pramana marah dan segera mendatangi Babadan. Jaka Sangkala, putra raja Prambanan yang berwujud banteng mendapat bisikan dewa agar menghadap kakaknya Jaka Pramana. Sewaktu ia menolong orang yang membawa beban berat, ia bertemu dengan adiknya yang berwujud burung tiung. Kyai Cemporet dihadap istrinya. Kemudian datang dua burung tiung dengan banteng menyampaikan permohonan agar Rara Kumenyar bersedia menikah dengan tuannya Jaka Pramana, putra raja di Bagelen. Sri Sadana di Jepara mendengar berita kalau Kyai Cemporet mempunyai menantu. Prabu Sri Kala di Prambanan menyuruh Patih Anirpringga mencari anaknya yang berubah bentuk dan sekarang sedang bertapa. Raden Jaka Pramana menjadi raja di negara Cengkalsewu/Mendhangsewu bergelar Prabu Dewasraya. Kemudian datang Raden Jatiwisesa, putra raja di Majagaluh yang mengembara karena diusir ayahnya, karena ingin menundukkan Prabu Dewasraya. Kemarahan Jatiwisesa dihadapi burung tiung dan banteng. Akhirnya burung tiung dan banteng dipanah, dan berubah menjadi manusia. Keterangan bibliografl lihat SMP/KS.313. Tentang daftar lakon wayang madya selengkapnya lihat FSUI/WY.79."
[Place of publication not identified]: [publisher not identified], [date of publication not identified]
WY.53-A 19.03a
Naskah  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>