Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 175847 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Anggreita Shaskia Noerjannah Rohhadi Putri
"Sejak resmi dilantik sebagai Presiden Amerika Serikat ke-45, Donald Trump tidak henti menjadi sumber kontroversi berkaitan dengan kebijakan, perilaku, dan cara bermedia sosialnya. Meskipun demikian, belum banyak penelitian yang dilakukan mengenai Trump dan disrupsinya atas kelaziman American Presidency. Penelitian ini menganalisis tentang konsep American Presidency dan kepemimpinan Donald Trump dilihat dari penggunaan akun Twitter pribadi @realDonaldTrump. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan melakukan teknik konten analisis. Sampel penelitian yang digunakan adalah tweets Donald Trump dari akun Twitter pribadinya sejak ia resmi dilantik sebagai presiden pada tanggal 20 Januari 2017 hingga 20 Juni 2020. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Trump adalah sosok presiden yang telah memunculkan disrupsi pada tradisi dan norma-norma kepresidenan Amerika. Selain itu, Trump juga merupakan sosok pemimpin populis kanan (right-wing populist) yang mengklaim dirinya sebagai presiden modern dengan penggunaan media sosialnya.

Since being officially inaugurated as the 45th President of the United States, Donald Trump has been a constant source of controversy regarding his policies, behavior and ways on social media. Even so, there has been limited research on Trump and his disruption of American Presidency prevalence. This study analyzes the concept of Donald Trump’s American Presidency and leadership through his personal Twitter account @realDonaldTrump. This research uses qualitative methods by conducting content analysis technique. The research sample used is Donald Trump's tweets from his personal Twitter account since he was officially inaugurated as president on January 20, 2017 to June 20, 2020. The results show that Trump is a president who has caused disruption to the traditions and norms of the American presidency. In addition, Trump is also a right-wing populist leader figure who claims to be a modern president with his use of social media."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yessi Ratna Sari
"Penelitian ini adalah sebuah kajian linguistik yang diterapkan pada studi kasus dalam debat presiden Amerika Serikat AS 2016 antara Hillary Clinton dari Partai Demokrat dan Donald Trump dari Partai Republik. Debat calon presiden AS yang diselenggarakan pada tahun 2016 lalu merupakan salah satu bentuk dari wacana politik yang dilakukan oleh para politikus untuk menyampaikan pemahaman, pendapat, dan tujuan politiknya pada masyarakat. Selain itu, praktik ini tidak terlepas dari ideologi dan kuasa mereka untuk memengaruhi pemikiran masyarakat.
Tujuan penelitian ini ialah menyingkap identitas ideologis dari para kandidat yang direpresentasikan melalui tuturan. Penelitian ini bersifat kualitatif dengan menggunakan analisis wacana kritis, linguistik fungsional sistemik, dan multimodal sebagai teori. Faktor sosial seperti partai politik membentuk pandangan para kandidat dalam menyelesaikan permasalahan ekonomi di AS.
Hasil penelitian dalam tuturan memperlihatkan bahwa Hillary lebih menekankan keadilan, kesejahteraan, kesetaraan bagi para pekerja dan seluruh lapisan masyarakat dalam mendapatkan pekerjaan, sedangkan Trump memilih untuk bersaing dengan negara asing seperti Cina dan Meksiko demi mempertahankan pekerjaan yang diambil alih oleh negara tersebut. Selain itu, banyaknya proses material yang terdapat di dalam tuturan membuktikan bahwa para kandidat berusaha untuk meyakinkan masyarakat dengan janji-janji dalam memperbaiki perekonomian negara.

This research is a linguistic review on the case study of 2016 US presidential election between Hillary Clinton from the Democratic Party and Donald Trump from the Republican Party. The US presidential debate held in 2016 is one kind of political discourses conducted by politicians to deliver their political understanding, opinions, and purposes. Besides, this practice is inseparable from their ideology and power to influence people's perspectives.
This research aims on revealing ideological identities of presidential candidates represented by their utterances. This research is a qualitative research applying theories of Critical Discourse Analysis and Systemic Functional Linguistics. Social factors such as political parties influence the candidates'perspectives in solving economic problems in the US.
Results of utterance analysis show that Hillary emphasizes more on justice, prosperity, and equivalence for all workers and the whole society to gain jobs while Trump tends to choose to compete against foreign countries such as China or Mexico for the sake of defending jobs taken over by those countries. Besides, the existence of material processes in their utterances proves that the candidates attempt to reassure the society by promising to improve national economy.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2017
T49721
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kelvin Christiandy Sutiono
"ABSTRAK
Kemenangan Donald Trump dalam Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2016 sempat menghebohkan Amerika Serikat serta warga dunia. Bila biasanya strategi kehumasan akan berusaha menonjolkan kebaikan yang dimiliki oleh calon pemimpin dalam kampanye politik, strategi kehumasan yang diterapkan oleh tim kampanye Donald Trump justru mampu mengemas setiap tindakan dan kebijakan yang kontroversial menjadi senjata kehumasan yang justru berguna untuk meningkatkan popularitas. Lewat pemetaan pesan kunci yang selalu disampaikan berulang-ulang saat kampanye, hubungan media dan agenda building yang dibangun dari berbagai ucapan, tindakan, serta kebijakan Trump yang dinilai kontroversial, serta pemanfaatan digital public relations untuk menjangkau segmen konstituennya yang sangat baik, membuat Donald Trump yang tadinya dinilai mustahil memenangkan Pemilihan Presiden, kini sedang bersiap-siap untuk dilantik menjadi Presiden ke-45 Amerika Serikat.

ABSTRACT
Donald Trump victory in The United States Presidential Election in 2016 had horrendous United States as well as citizens of the world. If basically public relations strategy trying to establish the good sides of the prospective leader in every political campaign, public relations strategy that has been implemented by Donald Trump rsquo s campaign team precisely packed every action and controversial policy by Donald Trump into a weapon to increase his popularity. Through the mapping of key messages that always delivered repeatedly during the campaign, media relations and agenda building that had be constructed from every controversial words, actions, and policies by Trump, and the excellent utilization of digital public relations to reach a segment of his constituents, makes Donald Trump that seen impossible to win the Presidential Election, is now getting ready to be inducted as the 45th President of the United States."
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2016
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Bayu Surya Purnama
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penggunaan wacana eksepsionalisme Amerika dalam kampanye Donald J. Trump pada Pemilihan Presiden Amerika Serikat tahun 2016. Untuk mengungkap penggunaan wacana eksepsionalisme Amerika dalam kampanye Trump, penelitian ini mengkaji transkrip pidato penerimaan pencalonan presiden oleh Trump pada Konvensi Nasional Partai Republik. Metodologi kualitatif dilakukan pada penelitian ini dengan menggunakan pendekatan wacana sejarah Discourse-Historical Approach yang dikemukakan oleh Reisigl dan Wodak 2009. Selain itu, konsep komunikasi politik berupa pembingkaian emosi dari Castells 2009 juga digunakan untuk memperluas kajian penelitian ini. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa Trump mengeksploitasi narasi identitas masyarakat Amerika Serikat dengan menggunakan wacana eksepsionalisme Amerika. Selain itu, Trump juga mengeksploitasi rasa amarah dalam menggunakan wacana eksepsionalisme Amerika.

The thesis examines the role of American exceptionalism in Donald J. Trump's campaign in the 2016 U.S presidential election. To analyze his use of American exceptionalism, the study focuses on the speech he delivered when he accepted a presidential nomination at the Republican National Convention. The study uses a qualitative method by employing Reisigl and Wodak rsquo s 2009 Discourse Historical Approach and a political communication concept of emotional framing by Castells 2009. The results show that Trump exploited the narrative identity of American citizens by using American exceptionalism. Moreover, he also exploited anger to amplify the notion of American exceptionalism in his campaign."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nurhasanah
"Penelitian ini membahas tinjauan politik dan keamanan tembok perbatasan Amerika Serikat-Meksiko pada masa pemerintahan Donald Trump (2017-2019). Penulis memilih era pemerintahan Trump karena dalam perpolitikan AS, kebijakan sekuritisasi perbatasan mengalami tightening (penegangan) pada masa Trump. Penulis meneliti pembangunan tembok perbatasan dalam kaitannya dengan keamanan dalam negeri AS. Kemudian penulis menganalisis sikap dua partai dominan di AS yaitu Partai Demokrat dan Partai Republik. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan dua konsep yang berkaitan satu sama lain yaitu Konsep Kedaulatan Negara, dan Konsep Keamanan Nasional. Penulis menggunakan metode analisis kualitatif eksploratif. Hasil temuan menunjukkan bahwa ditinjau dari aspek keamanan, kebijakan Trump membangun tembok perbatasan AS-Meksiko kurang relevan karena imigran ilegal dari Amerika Latin yang datang ke AS tidak terbukti meningkatkan tingkat kejahatan di dalam AS. Tinjauan politik menunjukkan bahwa kedua belah pihak baik Partai Demokrat dan Partai Republik sama-sama menganggap bahwa keamanan perbatasan itu penting. Namun pihak Partai Demokrat tidak setuju dengan gagasan tembok. Ketidaksetujuan tersebut didasarkan pada beberapa alasan diantaranya: pertama, hingga saat ini Trump tak kunjung melakukan implementasi pembangunan tembok sesuai dengan janji kampanyenya pada tahun 2016 untuk membangun tembok konkrit. Kedua, tembok bukan merupakan alat keamanan yang efektif. Ketiga, tembok perbatasan dinilai mustahil karena melewati topografi yang beragam. Keempat, kebijakan tembok merupakan masalah bukan solusi karena Trump menempatkan imigran dalam posisi yang lebih vulnerable. Bagaimanapun kedua belah pihak sama-sama melakukan politisasi tembok. Partai Republik mempertahankan pembangunan tembok demi elektabilitas Trump pada pemilu presiden AS tahun 2020, sedangkan Partai Demokrat berusaha menyeimbangkan suara di negara-negara bagian berbasis imigran.

This research discusses the political and security review of the United States-Mexico border wall during Donald Trumps administration (2017-2019). The author chooses Trump administration because on US politics, the border securitization policy undergoes tightening during the Trump era. The author examines the border wall establishment and its relation to US internal security. The author analyzes the attitude of the two dominant parties in the US namely the Democratic Party and the Republican Party. In this research, the author applies two concepts that related to each other namely the concept of State Sovereignty and the concept of National Security with explorative qualitative analysis method. The findings show that in the security aspect, Trump's policy establishing the US-Mexico wall is less relevant because illegal immigrants from Latin America who come to the US are not proven to increase crime rates within the US. In the political aspect, both the Democratic Party and the Republican Party consider border security as an important matter. However, the Democratic Party does not agree with the idea of the wall. The Democratic Party does not agree with the wall because of several reasons: first, Trump has yet started constructing the wall as his campaign promise in 2016 to build concrete walls. Second, the wall will not become an effective security tool. Third, the border wall is impossible to build because it passes through various topographies. Fourth, the wall rather becomes a problem instead of becoming solution. Trump has placed immigrants in a more vulnerable position. Nevertheless, both parties are conducting the politicization of the wall. The Republican Party maintain the idea of constructing wall for Trumps electability in the 2020 presidential election, while the Democratic Party is trying to balance the votes in immigrant-based states."
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T55028
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ismail Kamal
"Perang dagang merupakan kebijakan Presiden Donald Trump untuk menstabilkan ekonomi Amerika Serikat yang mengalami defisit perdagangan pada tahun 2018. Defisit perdagangan terbesar dalam neraca perdagangan Amerika Serikat disumbang oleh Tiongkok. Oleh sebab itu, Donald Trump menetapkan kebijakan perang dagang dengan Tiongkok dengan menaikkan tarif bea impor yang kemudian dibalas hal serupa oleh Tiongkok. Akan tetapi, defisit perdagangan yang dialami oleh Amerika terhadap Tiongkok tidak hanya terjadi pada era Donald Trump saja, defisit perdagangan tersebut dimulai di era pemerintahan Ronald Reagan pada tahun 1985, enam tahun setelah Amerika dan Tiongkok resmi menjalin hubungan bilateral pada 1979. Hubungan dagang antara Amerika dan Tiongkok yang saling bergantung dan sudah terjalin lama ini tentu saja mengalami dampak besar dari perang dagang. Untuk menganalisis hal tersebut, penelitian ini mengevaluasi perang dagang di era Donald Trump atas dasar hubungan dagang Amerika dan Tiongkok. Setelah itu, strategi perang dagang yang dilakukan Donald Trump juga akan dianalisis berdasarkan dokumen “Economic and trade agreement between the United States of America and the People’s Republic of China” sebagai bentuk kesepakatan dagang baru untuk meredam perang dagang. Sebagai pembanding, perang dagang di era Donald Trump akan dibandingkan dengan perang dagang di era Ronald Reagan sebagai bahan evaluasi. Sehingga, dapat dilihat bagaimana dampak perang dagang di era Donald Trump terhadap hubungan dagang Amerika dan Tiongkok. Penelitian ini menemukan bahwa perang dagang tidak dapat menyelamatkan Amerika dari defisit yang terjadi, namun banyak aspek dalam hubungan dagang yang terkena dampak dari perang dagan tersebut.

The trade war was President Donald Trump's policy to stabilize the United States economy which experienced a trade deficit in 2018. The largest portion of the trade deficit in the United States’ trade of balance was contributed by China. As a result, Donald Trump initiated a trade war with China by raising import tax rates, which China promptly responded to in kind. However, the United States’ trade deficit with China did not only occur during the Donald Trump era; The trade deficit began during the Ronald Reagan administration in 1985, six years after the United States and China officially established bilateral relations in 1979. The trade relations between the United States and China, which were interdependent and had been established for a long time, had certainly suffered a major impact from the trade war. Hence, in order to analyze this situation, this study examined the trade war in Donald Trump’s administration based on the trade relations of the United States and China. After that, Donald Trump's trade war strategy would also be analyzed based on the document of "Economic and trade agreement between the United States of America and the People's Republic of China" as a form of a new trade agreement to end trade wars. As a comparison and evaluation material, the trade war in Donald Trump era would be compared to the trade war in Ronald Raegan era. Thus, the impact of trade war in Donald Trump era on United States and China trade relations could be thoroughly observed. This research discovered that the trade war could not save the United States from its trade deficit, but it did influence many aspects of the trade relations.
"
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stefanus Yohan Wijaya
"[ABSTRAK
Tesis Sarjana ini akan mengidentifikasi apakah Donald Trump adalah seorang narsisis dan apakah Trump Organization adalah organisasi narsis . Eksplorasi isu akan banyak dilakukan melalui review dari sumber sekunder seperti massa artikel media dan literatur ilmiah . Selain itu , sumber primer dari wawancara dan survei akan dipertimbangkan melalui analisis kualitatif dan kuantitatif . Dengan mengidentifikasi semua masalah , dapat disimpulkan bahwa Donald Trump dapat dikategorikan sebagai pemimpin narsis , meskipun Organisasi Trump tidak diindikasikan sebagai organisasi narsis . Tesis sarjana ini dapat diperluas untuk penelitian lebih lanjut atau studi ke kompatibilitas antara kepemimpinan dan organisasi gaya.

ABSTRACT
This Bachelor Thesis will identify whether Donald Trump is a narcissist and whether Trump Organization is a narcissistic organization. The exploration of the issues will be mostly done through a review of secondary sources such as mass media articles and scientific literature. In addition, primary resources from interviews and survey will be considered through qualitative and quantitative analysis. By identifying all the issues, it can be concluded that Donald Trump can be categorized as a narcissistic leader, although Trump Organization is not indicated as a narcissistic organization. This bachelor thesis can be expanded for further research or study into the compatibility between leadership and organization styles., This Bachelor Thesis will identify whether Donald Trump is a narcissist and whether Trump Organization is a narcissistic organization. The exploration of the issues will be mostly done through a review of secondary sources such as mass media articles and scientific literature. In addition, primary resources from interviews and survey will be considered through qualitative and quantitative analysis. By identifying all the issues, it can be concluded that Donald Trump can be categorized as a narcissistic leader, although Trump Organization is not indicated as a narcissistic organization. This bachelor thesis can be expanded for further research or study into the compatibility between leadership and organization styles.]"
2015
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zakia Shafira
"Skripsi ini merupakan analisis salah satu faktor di balik kekalahan Donald Trump dalam pemilihan presiden 2020 yang bertepatan dengan momentum pandemi COVID-19. Prioritas terhadap penanganan COVID-19 dengan upaya medis dan ilmiah di dalam negeri masih menjadi aspek yang utama bagi warga negara, lebih besar daripada sekadar membendung penyebaran virus dari luar melalui sekuritisasi migrasi dan kecenderungan tajam pada nasionalisme—yang diunggulkan oleh Trump untuk menangani pandemi. Hasil dari penelitian ini mengungkapkan bahwa restriksi migrasi, yang semakin ditarik menuju ranah politik darurat (disekuritisasi) karena COVID-19, tidak signifikan untuk memenangkan Trump di pemilihan presiden 2020. Data-data yang telah dihimpun menunjukkan bahwa tiga dari empat negara bagian yang berbatasan dengan Meksiko (California, New Mexico, dan Arizona), negara-negara bagian swing states kunci (Arizona, Georgia, Wisconsin, Michigan, dan Pennsylvania), dan irisan keduanya (Arizona) memberikan sebagian besar suaranya pada Biden dan Partai Demokrat. Temuan ini memperlihatkan bahwa Trump gagal untuk mempersepsikan ancaman yang riil di tengah-tengah krisis global. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pengumpulan data sekunder melalui studi literatur. Penelitian dilakukan dengan menggunakan teori sekuritisasi yang dapat menjelaskan prioritas penanganan COVID-19 oleh Trump yang cenderung nasionalistik dan mengedepankan kepentingan nasional, alih-alih kesehatan masyarakat. Selain itu, kekalahan Trump juga dapat dijelaskan melalui teori retrospective voting, di mana kinerja petahana selama menjabat dan opsi alternatif dari oposisi menjadi determinan kekalahan Trump.

This thesis discusses and analyses one of the contributing factors of Donald Trump’s defeat in the 2020 United States presidential election which coincided with the COVID-19 pandemic. Objective and scientific approach for COVID-19 handling at home is still citizens’ top priority albeit compensating the economy, rather than solely containing the spread from outside through migration securitisation and a sharp tendency towards nationalism—which Trump heavily relied upon. Findings reveal that migration restrictions, which are increasingly being drawn into the realm of emergency politics (securitisation) due to COVID-19 did not favour Trump for a victory in the 2020 presidential election. This is partly due to his failure to perceive the real threat amidst a global crisis. Data shows that three of the four states bordering Mexico (California, New Mexico, and Arizona), key swing states (Arizona, Georgia, Wisconsin, Michigan, and Pennsylvania), and both bordering and key swing state (Arizona) favoured Biden and the Democrats. The research was conducted using qualitative research methods with secondary data collection through literature study. Securitisation theory explains Trump’s priority in COVID-19 handling, which tends to prioritise national interests rather than public health. In addition, retrospective voting theory further explains why threat perception failure costs Trump a victory, as voters determine their preference through the incumbent’s performance during office and alternative options from the opposite candidate."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nida Nidyarti Rubini, examiner
"Melalui proses intersubjektif, speech-act (tindak tutur) membentuk suatu isu menjadi isu keamanan (sekuritisasi) sehingga menuntut dikeluarkannya kebijakan khusus tertentu. Penelitian ini bertujuan untuk melakukan analisis terhadap bagaimana speech-act pemimpin suatu negara melakukan sekuritisasi terhadap suatu isu sehingga menghasilkan kebijakan keamanan yang luar biasa atau berbeda. Donald Trump, Presiden Amerika Serikat ke-45, menjadikan isu nuklir Korea Utara sebagai salah satu fokus kebijakan luar negerinya pada tahun 2017. Trump mengekspresikan permusuhan kepada Korea Utara sejalan dengan pemberlakuan strategi maximum pressure, yang merupakan sanksi terberat yang pernah diberlakukan Amerika Serikat kepada Korea Utara. Studi ini menggunakan metode analisis konten kualitatif dan perangkat lunak MAXQDA untuk menemukan tema dasar speech-act Trump mengenai nuklir Korea Utara pada tahun 2017. Tema dasar yang ditemukan kemudian dianalisis dengan melihat kongruensi tiga asumsi yang mendukung keberhasilan speech-act Trump dan melegitimasi kebijakan keamanan Amerika Serikat mengenai isu nuklir Korea Utara berupa strategi maximum pressure

Through the intersubjective process, speech-act forms an issue into a security issue (securitization) which demands the issuance of certain special policies. This study aims to analyze how the speech-act of a country leader securitize an issue so as to set extraordinary or distinct security foreign policies. Donald Trump, the 45th President of the United States of America, made the North Korean nuclear issue one of his foreign policy focuses in 2017. Trump expressed hostility toward North Korea in line with the implementation of maximum pressure strategy, the toughest sanctions the United States has ever imposed to North Korea. This study utilizes a qualitative content analysis method and MAXQDA software to find the underlying theme of Trump’s speech-act on North Korea nuclear in 2017. The underlying theme is analyzed by looking at the congruence of three assumptions that support the success of Trump’s speech act and legitimize United States’ security policy towards North Korean nuclear issue in form of maximum pressure strategy."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ushwatul Jannah
"Tulisan ini menjelaskan tentang mengapa suatu negara tetap mempertahankan kerangka aliansi dengan negara lain, terlepas dari perlakuan negara tersebut yang cenderung menjatuhkan negara aliansinya. Analisis dalam tesis ini menggunakan teori dilema keamanan aliansi dari Snyder untuk menjelaskan alasan mengapa Korea Selatan memilih untuk menggunakan strategi cooperate dalam menghadapi dilema aliansi dengan Amerika Serikat dibawah masa pemerintahan Presiden Donald Trump tahun 2017 – 2021. Hasil dari penelitian yang menggunakan kualitatif-deskriptif ini menunjukkan bahwa pilihan Korea Selatan menggunakan strategi cooperate tersebut adalah untuk menghindari konsekuensi diabaikan (abandonment) oleh Amerika Serikat, sekutunya yang merupakan negara patron (pelindung). Penggunaan strategi cooperate ini selanjutnya di jelaskan dalam tesis ini karena dipengaruhi oleh 2 faktor penentu yaitu faktor possible of consequences dan faktor determinant of choices. Berdasarkan kedua sudut pandang faktor tersebut, Korea Selatan mempertahankan aliansi dengan Amerika Serikat selain karena takut akan risiko ditinggalkan, yaitu faktor kergantungan, kepentingan strategis, kejelasan kesepakatan dalam aliansi, serta tingkat kepentingan sekutu juga merupakan alasan Korea Selatan untuk mempertahankan aliansi dengan Amerika Serikat.

The present study explains why a country maintains an alliance framework with other countries, regardless of the country's treatment which likely brings down its allies. The analysis applied an alliance security dilemma theory by Snyder to clarify the reasons why South Korea preferred to use a cooperative strategy in dealing with the dilemma of alliance with the United States under the President Donald Trump administration of 2017-2021. The results of the present qualitative - descriptive study showed that South Korea’s preference to use the cooperative strategy aimed at avoiding a consequence of being neglected (abandonment) by the United States that is the patron ally (protector). The use of the cooperative strategy was later emphasized in this study as it was influenced by two determinants, namely the possible of consequences and the determinant of choices. Based on perspectives of these two factors, South Korea maintains an alliance with the United States apart from being apprehensive to be left, which is a dependency factor, strategic interests, clarity of the deal in the alliance and the ally’s level of interest are also the South Korea’s reasons to maintain an alliance with the United States."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>