Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 160613 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Karina Zahirah
"Semakin populernya penggunaan ponsel pintar, orang-orang juga menggunakan ponsel untuk tujuan seksual, termasuk apa yang disebut dengan sexting. Sexting didefinisikan sebagai pertukaran pesan atau gambar yang menjurus secara seksual. Belakangan ini, banyak penelitian yang masih berfokus hanya pada konsekuensi berbahaya dari sexting dan terutama menganggapnya sebagai perilaku menyimpang atau berisiko yang harus dicegah, serta masih belum ditemukan penelitian kualitatif terkait hal tersebut pada individu non-heteroseksual. Oleh karenanya, penelitian ini mengeksplorasi perilaku sexting terhadap tingkat sexual well-being pada heteroseksual dan non-heteroseksual, serta pandangan pada dampak melakukan sexting. Penelitian ini dilakukan dengan desain mixed-methods, menggabungkan survei deskriptif (N=791) dan wawancara terfokus terhadap 6 partisipan. Sampel dalam penelitian ini merupakan dewasa muda yang pernah melakukan sexting. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa banyak dari partisipan yang melakukan sexting untuk menyalurkan hasrat seksual. Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara laki-laki dan perempuan terhadap dampak positif maupun negatif dari perilaku sexting. Sedangkan hal ini berbeda pada orientasi seksual, yang mana sexting dinilai lebih memiliki dampak positif pada kelompok non-heteroseksual. Sexting mungkin saja memberikan dampak positif jika itu dilakukan dalam porsi yang pas, namun secara bersamaan partisipan juga bisa merasakan dampak negatif sexting jika dilakukan dengan berlebihan

With the growing popularity of smartphone use, people also use cell phones for sexual purposes, including what is known as sexting. Sexting is defined as the exchange of messages or pictures that are sexually suggestive. In recent years, much research has focused solely on the harmful consequences of sexting and primarily considers it a deviant or risky behavior that should be prevented, and qualitative research has not been found on this in non-heterosexual individuals. Therefore, this study explores sexting behavior on the level of sexual well-being in heterosexuals and non-heterosexuals, as well as views on the impact of sexting. This study was conducted using a mixed-methods design, combining descriptive surveys (N = 791) and focused interviews with 6 participants. The sample in this study were young adults who had done sexting. The results of this study found that many of the participants engaged in sexting to channel sexual desire. In this study, it was also found that there were no significant differences between men and women on the positive and negative impacts of sexting behavior. Meanwhile, this differs in sexual orientation, in which sexting is considered to have a more positive impact on non-heterosexual groups. Sexting may have a positive impact if it is done in the right portions, but at the same time the individuals can also feel the negative effects of sexting if done excessively."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aprilia Kusumaswari
"Sejalan dengan perkembangan teknologi masa kini, penggunaan internet untuk kegiatan seksual, dimana pornografi termasuk di dalamnya semakin marak. Sejauh ini, penelitian mengenai aktivitas mengakses pornografi masih lebih berfokus pada laki-laki, walaupun aktivitas mengakses pornografi pada perempuan dilaporkan meningkat. Lebih lanjut, banyak penelitian mengenai pornografi memiliki dampak yang buruk terhadap perempuan. Oleh karena itu, penelitian ini mengeksplorasi aktivitas mengakses pornografi dan sexual well-being pada perempuan, serta pandangan terkait dengan mengakses pornografi sebagai seorang perempuan. Penelitian ini dilakukan dengan metode kualitatif menggunakan wawancara terfokus pada enam perempuan dewasa muda yang mengakses pornografi di internet, dan menemukan bahwa partisipan mengakses pornografi secara rutin dengan alasan utama karena kebosanan, mengisi waktu luang, memuaskan hasrat, dan mencari referensi. Partisipan juga melaporkan pandangan yang cenderung positif terkait dengan aktivitas yang dilakukannya, Lebih lanjut, partisipan juga menyadari konten kekerasan pada pornografi di internet namun memiliki cara tersendiri dalam menyikapinya.

In line with today's technological developments, the use of the internet for sexual activities, including pornography, is increasingly widespread. So far, research on the activity of accessing pornography is still more focused on men, although the activity of accessing pornography among women has been reported to increase. Furthermore, many studies on pornography have negative impact on women. Therefore, this study explores the activities of accessing pornography and sexual well-being in women and views related to accessing pornography as a woman. This study was conducted with a qualitative method using focused interviews on six emerging adult women who accessed pornography on the internet and found that participants access pornography regularly with the main reasons being boredom filling their free time, satisfying desires, and looking for references. Participants also reported positive views regarding pornographic viewing. Furthermore, participants are also aware of violent content in pornography on the internet but have their way of dealing with it."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rizky Adhitya Maulana
"Penelitian ini bertujuan untuk memahami bagaimana khalayak dewasa muda non-heteroseksual mengidentifikasi dan memaknai ikon non-heteroseksual di media arus utama. Representasi komunitas non-heteroseksual semakin berkembang di media seiring perkembangan industri budaya populer (Levina et al., 2000; Milone, 2016). Peneliti menggunakan teori representasi dan simbol Stuart Hall (1997) untuk memahami bagaimana khalayak khalayak dewasa muda non-heteroseksual mengidentifikasi representasi non-heteroseksual di media Hollywood. Selain itu, penelitian ini juga mengeksplorasi bagaimana mereka memaknai ikon representasi. Peneliti mewawancarai secara mendalam lima non-heteroseksual dalam rentang usia awal 20an (20-24 tahun), atau dewasa muda. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa khalayak dewasa muda non-heteroseksual mengidentifikasi representasi non-heteroseksual sebagai anggota komunitas non-heteroseksual. Mereka menyeleksi representasi Hollywood berdasarkan penilaian mereka terhadap akurasi dan kredibilitas dari penggambaran komunitas non-heteroseksual yang ada di media. Kesimpulan dari penelitian ini adalah khalayak dewasa muda non-heteroseksual mengapresiasi adanya representasi non-heteroseksual di media Hollywood, karena meningkatkan inklusivitas representasi anggota komunitas non-heteroseksual. Namun, khalayak dewasa muda non-heteroseksual menganggap Hollywood masih perlu menyediakan gambaran sosok non-heteroseksual yang lebih positif, menyeluruh, beragam, dan tidak unidimensional. Untuk melakukannya, maka Hollywood perlu melakukan heterogenisasi representasi non-heteroseksual.

This study aims to understand how non-heterosexual young adults identify and interpret non-heterosexual icons in mainstream media. The representation of the non-heterosexual community is growing in the media along with the development of the popular culture industry (Levina et al., 2000; Milone, 2016). The researcher uses Stuart Hall's (1997) representation and symbol theory to understand how non-heterosexual young adult audiences identify non-heterosexual representations in Hollywood media. In addition, this study also explores how they interpret the icon representation. Researchers interviewed in-depth five non-heterosexuals in their early 20s (20-24 years old), or young adults. The results of this study indicate that non-heterosexual young adults identify non-heterosexual representations as members of the non-heterosexual community. They select Hollywood representations based on their assessment of the accuracy and credibility of the portrayal of the non-heterosexual community in the media. The conclusion of this study is that non-heterosexual young adults appreciate the existence of non-heterosexual representation in Hollywood media, because it increases the inclusiveness of representation of members of the non-heterosexual community. However, the non-heterosexual young adult audience believes that Hollywood still needs to provide a more positive, holistic, diverse, and non-unidimensional picture of non-heterosexual figures. To do so, Hollywood needs to heterogenize non-heterosexual representation.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Savitri Adriani
"Perceraian orang tua memberikan dampak negatif berkepanjangan pada anak hingga ia dewasa. Salah satunya adalah rendahnya psychological well-being (PWB) anak. Self-compassion (SC) dianggap mampu meningkatkan PWB. Penelitian ini bertujuan untuk mencari hubungan antara SC dan PWB pada dewasa awal dengan orang tua bercerai. PWB diukur menggunakan alat ukur Ryff’s Scale of Psychological Well-Being, sedangkan SC diukur menggunakan alat ukur Self-Compassion Scale-Short Form. Jumlah partisipan yang diperoleh adalah 210 partisipan. Hasil korelasi menunjukkan terdapat hubungan antara SC dan PWB pada dewasa awal dengan orang tua bercerai, (r(N=210)=0.680,p<0.01, two tailed). Perbedaan rata-rata skor signifikan ditemukan pada variabel PWB pada jumlah pengeluaran keluarga.

Divorce of parents have a prolonged negative impact on the child until they become an adult. One of them is the low psychological well-being (PWB) in emerging adults. Self-compassion (SC) is considered capable of increasing PWB. This study aims to explore the relationship between SC and PWB in emerging adults with divorced parents. PWB is measured using the Ryff’s Scale of Psychological Well-Being, while SC is measured using the Self-Compassion Scale-Short Form. Total of participants obtained was 210 participants. Results show that there was a significant relationship between self-compassion and psychological well-being in emerging adults with divorced parents, (r (N = 210) = 0.680, p <0.01, two tailed). Significant mean differences in scores were only found in the psychological well-being variable in the demographic data section on family expenditure."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Pradnya Corinelia
"Kegiatan perilaku prososial semakin sering terjadi pada situasi krisis, seperti situasi pandemi COVID-19. Dalam upaya pencegahan dan penanganan pandemi COVID-19, pemerintah membuat kebijakan pembatasan sosial sehingga memengaruhi kondisi well-being masyarakat. Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk melihat adanya hubungan antara perilaku prososial dan well-being pada dewasa muda setelah berakhirnya pembatasan sosial COVID-19. Sejumlah 409 individu dewasa muda berusia 18-29 tahun yang berdomisili di Jabodetabek berpartisipasi dalam penelitian ini. Perilaku prososial diukur menggunakan alat ukur Prosocialness Scale for Adults (PSA) (Caprara dkk., 2005) dan well-being diukur menggunakan alat ukur PERMA Profiler (Butler & Kern, 2016). Hasil analisis korelasi menggunakan Pearson correlation menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara perilaku prososial dan well-being (r(409)= 0.487, p < 0.01, r2=0.237).

Prosocial activities are happening more often during the time of a crisis, like the COVID-19 pandemic situation. As a measure to prevent and manage the COVID-19 pandemic, changes in regulations are made by the government which limit people’s daily activities and thus potentially affect their well-being. Therefore, this study aimed to see a relationship between prosocial behavior and well-being in young adults’ post COVID-19 pandemic. The study sample is 409 young adults between the ages of 18-29 years old living in Jakarta greater area (Jabodetabek). Prosocial behavior was assessed with Prosocialness Scale for Adults (PSA) (Caprara et al., 2005) and well-being was assessed with the PERMA Profiler (Butler & Kern, 2016). Result in correlation by Pearson correlation technique shows a significant and positive relationship between prosocial behavior and well-being (r(409)= 0.487, p < 0.01, r2=0.237)."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nindya Griselda Gitakusuma
"Dewasa muda usia 18 hingga 29 tahun merupakan tahap perkembangan yang memiliki berbagai tugas tuntutan perkembangan, penting untuk para dewasa muda melakukan perilaku mempromosikan kesehatan. Semestinya, pada periode dewasa muda seseorang sudah mulai menetapkan kebiasaan hidup sehat, karena kebiasaan-kebiasaan yang dilakukan pada masa periode ini, akan membentuk pola kebiasaan dan kesehatannya di kemudian hari. Pada nantinya perilaku mempromosikan kesehatan tersebut dapat memengaruhi kesejahteraan subjektifnya.
Penelitiaan ini untuk mengetahui hubungan antara dimensi perilaku mempromosikan kesehatan dan kesejahteraan subjektif pada dewasa muda. Responden pada penelitian ini berjumlah 806 orang yang berasal dari berbagai daerah yang ada di Indonesia. Perilaku mempromosikan kesehatan diukur dengan Health Promoting Lifestyle Profile II HPLP II dan kesejahteraan subjektif diukur dengan Subjective Happiness Scale SHS. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional dan diolah menggunakan teknik analisis partial correlation. Kedua alat ukur tersebut telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi perilaku mempromosikan kesehatan perkembangan spiritual dan manajemen stres berhubungan positif dan signifikan dengan kesejahteraan subjektif. Sedangkan, dimensi perilaku mempromosikan kesehatan tanggung jawab kesehatan, aktivitas fisik, nutrisi, dan hubungan interpersonal tidak berhubungan signifikan dengan kesejahteraan subjektif. Dengan demikian, semakin tinggi perkembangan spiritual dan manajemen stres yang dimiliki individu maka akan semakin tinggi pula kesejahteraan subjektif yang dimiliki seseorang.

Emerging adulthood 18 ndash 29 years old are developmenta stages that have various tasks of developmental demands, important for emerging adulthood to implement health promoting behavior. Supposedly, in the period of emerging adulthood, a person has begun to establish healthy life habits, because the habits performed during this period, will form the pattern of habits and health in the future. In the future, health promoting behavior can affect subjective well being.
This study aims to find out the relationship between health promoting behavior and subjective well being in emerging adulthood. Respondents in this study amounted to 806 emerging adulthood from various regions in Indonesia. Health promoting behavior were measured by Health Promoting Lifestyle Profile II HPLP II and subjective well being were measured by Subjective Happiness Scale SHS. This study was a correlation study using a partial correlation method. Both of the instrument has been adapted in Bahasa Indonesia.
The result indicated that spiritual growth and stress management are significant positive correlations with subjective well being. Meanwhile, health responsibility, physical activity, nutrition, and interpersonal relationship are not significantly correlated to subjective well being.Thus, the higher of spiritual growth and stress management then the higher of subjective well being.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Josephine Maria Cristissa Windanti
"Pasangan hubungan jarak jauh semakin umum di Indonesia yang mana memiliki keterbatasan dalam bertemu dan berinteraksi secara fisik. Keterbatasan tersebut berdampak pada aktivitas seksual yang biasa dilakukan bersama pasangan sehingga dapat berpengaruh pada menurunnya kepuasan seksual. Namun seiring berkembangnya teknologi, aktivitas seksual dapat dilakukan secara daring yang salah satunya adalah sexting. Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh perilaku sexting terhadap kepuasan seksual pada dewasa muda berusia 20 – 30 tahun (M = 22.04, SD = 1.833) yang menjalani hubungan jarak jauh. Penelitian ini dilakukan pada 411 partisipan (93.2% perempuan, 6.8% laki-laki) yang berpacaran selama minimal enam bulan (M = 28.38, SD = 24.34), menjalani hubungan jarak jauh, melakukan aktivitas seksual dan sexting dengan pasangan. Alat ukur yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat ukur perilaku sexting yang dikembangkan oleh Gordon-Messer et al. (2013) dan The Global Measure of Sexual Satisfaction (GMSEX). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku sexting berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap kepuasan seksual (B = .219, t(411) = 5.905, p < .05) dengan rata-rata frekuensi menerima sext sebesar 10.06 (SD = 4.003) dan rata-rata frekuensi mengirimkan sext sebesar 10.61 (SD = 4.265) sepanjang menjalin hubungan pacaran dengan pasangan. Hasil penelitian ini dapat menjadi acuan bagi para pasangan berpacaran jarak jauh untuk menjaga aspek seksual dalam hubungan dengan melakukan sexting.

Long-distance relationship couples are increasingly common in Indonesia and which has limitations in meeting and interacting physically. This limitation has an impact on sexual activity that is usually done with a partner so it can affect the decrease in sexual satisfaction. However, as technology develops, sexual activity can be carried out online, one of which is sexting. This study aims to see the effect of sexting behavior on sexual satisfaction among young adults who establish long-distance relationships. This research was conducted on 411 participants (93.2% female, 6.8% male) who had been dating for at least six months (M = 28.38, SD = 24.34), establish long distance relationship, had sexual activity and sexting with partner, which were obtained by convenience sampling. The measurement tool used in this research is the sexting behavior measurement tool developed by Gordon-Messer et al. (2013) and The Global Measure of Sexual Satisfaction (GMSEX). The results showed that sexting had a positive and significant effect on sexual satisfaction (B = .219, t(411) = 5.905, p < .05) with average frequency of receiving sext is 10.06 (SD = 4.003) and average frequency of sending sext is 10.61 (SD = 4.265) during the dating relationship. The result of this study can be a reference for long-distance dating couples to maintain sexual aspects in their relationship by doing sexting"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas ndonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anisa Rizqi Safitri
"Sexting adalah suatu tindakan mengirim dan menerima pesan teks, foto, atau video seksual eksplisit dan vulgar yang dibuat sendiri dan dibagi melalui perangkat teknologi, seperti telepon genggam. Sexting kini merupakan salah satu cara yang digunakan pasangan kekasih untuk menjalin hubungan dan intimasi dengan pasangannya. Oleh karena itu, dilakukanlah penelitian ini yang bertujuan untuk menguji apakah dilakukannya sexting oleh pasangan kekasih ini dapat berkorelasi dengan kepuasan hubungan yang dirasakannya. Penelitian ini dilakukan kepada dewasa muda yang melakukan sexting terakhir kali dengan pacar atau suami/istrinya, di mana 28 diantaranya adalah perempuan dan 15 lainnya adalah laki-laki (N = 44). Sexting diukur dengan menggunakan 8-aitem Skala Sexting yang mengukur frekuensi mengirim dan menerima sext dalam wujud teks, gambar, foto, atau video. Sementara kepuasan hubungan romantis diukur dengan menggunakan Relationship Assessment Scale yang terdiri dari 7 aitem. Hasil analisis Pearsons Correlation menunjukkan bahwa sexting dan kepuasan hubungan romantis dapat berkorelasi secara positif dan signifikan (r(42)=0,303, p<0,05). Dari hasil ini, dapat disimpulkan bahwa dilakukannya sexting oleh partisipan dewasa muda dapat berkorelasi dengan kepuasan hubungan romantis yang dirasakannya.

Sexting is the act of sending and receiving self-produced sexual messages, images, photos, or videos through technology devices, such as mobile phone. Sexting nowadays could be considered as an option for romantic couples to get intimate with their partner. Therefore, this study was made to test out whether sexting is correlated to the level of satisfaction of their romantic relationship. This study involved young adults, 28 women and 15 men (N = 44), who most recently sexted their partner, either dating or married. Sexting was measured by an 8-item Sexting Scale that measures the frequency of sexts exchanged by partners in forms of text messages, pictures, photos, or videos. Meanwhile relationship satisfaction was measured by 7-item Relationship Assessment Scale. The result of Pearsons Correlation showed that sexting and romantic relationships satisfaction are positively and significantly correlated (r(42)=0,303, p<0,05). Therefore, it can be concluded that sexting can correlate to young adults romantic relationship satisfaction. "
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Frea Petra Maheswari
"Masa depan tidak akan dapat diraih apabila seseorang tidak dapat melakukan pemaafan. Pemaafan dibutuhkan seseorang untuk tidak menyimpan rasa dendam dan bersalah yang disebabkan oleh peristiwa yang terjadi di masa lampau. Dewasa muda yang merupakan masa dengan banyak konflik dan peralihan hidup tentu mengalami hambatan yang terjadi disebabkan oleh diri mereka sendiri maupun hal-hal di luar diri mereka. Pemaafan diperlukan oleh dewasa muda agar dapat memaafkan hal-hal tersebut demi tercapainya cita-cita mereka.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara pemaafan dan kesejahteraan psikologis pada dewasa muda. Sebanyak 175 partisipan berusia 22-44 tahun mengisi kuesioner yang mengukur pemaafan Heartland Forgiveness Scale/HFS dan kesejahteraan psikologis Ryff rsquo;s Psychological Well-Being Scale/RPWB. Hasil penelitian menunjukkan adanya hubungan positif yang signifikan antara pemaafan dan kesejahteraan psikologis pada dewasa muda r=-0.620.

Future cannot be reached if one cannot do forgiveness. Forgiveness is needed to keep us from holding grudge and guilt caused by past events. Young adulthood is a phase of many conflicts and life transitions that obstructed by themselves or another person. Forgiveness is necessary to young adult so that they can forgive those underexpected things for the sake of achieving their aspirations.
The aim of this research was to examine the relationship between forgiveness and psychological well being among young adulthood. A total of 175 participants aged 22 44 completed questionnaires of forgiveness Heartland Forgiveness Scale HFS and psychological well being Ryff rsquo s Psychological Well being Scale RPWB . The result of this research showed that there is a significant and positive relationship between forgiveness and psychological well being among young adulthood r 0.620.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2016
S66070
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yuli Rustinawati
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami alasan serta menggali pengalaman perempuan non-heteroseksual dalam menjalani perkawinan heteroseksual, termasuk dalam menghadapi kompleksitas tekanan dan implikasi terhadap hak seksualitasnya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan metode penelusuran sejarah kehidupan terutama babak-babak khusus dalam kehidupan narasumber seperti proses melela, proses memasuki perkawinan, kehidupan dalam perkawinan. Untuk memahaminya persoalan tersebut, pembahasan dalam tesis ini menggunakan kerangka teori Kewajiban Heteroseksual yang dicetuskan oleh Adrienne Rich, Teori Hukum Ayah yang dipopulerkan oleh Mary Murray dan Teori Agensi Sherry B. Ortner. Studi ini menelusuri sejarah kehidupan enam perempuan non-heteroseksual yang berada di Jakarta dan Yogyakarta. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa perempuan non-heteroseksual yang memasuki perkawinan merupakan perempuan yang mempunyai pengalaman hidup dan latar belakang yang beragam. Enam narasumber mengatakan bahwa melela (coming out) sangat dibutuhkan namun penerimaan diri (coming in) dirasa lebih penting. Stigma, pengucilan, dan upaya “penyembuhan” dilakukan oleh keluarga, dan orang sekitar. Perkawinan yang mereka lakukan terjadi karena desakan orang tua, keluarga dan karena mereka ingin membuat orang tua bahagia, berbakti kepada orang tua. Kewajiban heteroseksual mereka jalani dengan mengorbankan fisik, psikis bahkan kekerasan seksual dialami. Hak seksualitas mereka sebagai perempuan non-heteroseksual harus dijalani dengan sembunyi-sembunyi dan mengakhiri perkawinan merupakan salah satu dari kebebasan yang mereka dapatkan. Perempuan non-heteroseksual dalam penelitian ini merupakan korban dari heteronormativitas namun demikian mereka bukanlah korban yang pasif, dan pasrah. Upaya-upaya terus mereka lakukan sejak menyadari dirinya sebagai perempuan non- heteroseksual hingga mereka dalam perkawinan untuk menjadi diri mereka sendiri.

This study aims to identify, understanding the reasons, exploring the experiences of non-heterosexual women entering heterosexual marriages, the pressure and implications as well as the complexities of heterosexual marriages on their sexual rights. This research is qualitative research using the method of tracing life herstory through special chapters in the life of subject such as the process of coming out, the process of entering into marriage, and their marriage life. To understand this problem, the discussion in this thesis used the theory of Compulsory Heteronormativity by Adrienne Rich, the theory of The Law of the Father by Mary Murray and Sherry B. Ortner about theory of Agency. This study traces the life of six non-heterosexual women living in Jakarta and Yogyakarta. The results of this study indicate that non-heterosexual women who enter marriage have diverse life experiences and backgrounds. Six subjects are said that coming out was really needed, but self-acceptance (coming in) was felt to be more important. Stigma, exclusion, and therapy conversy are carried out by the family and society. Subjects was agreed to marriage because of pressure from their parents, family and because they want to make their parents happy and devoted to their parents. They carry out their heterosexual obligations at the expense of physical, psychological and even sexual violence. Their sexuality rights as non-heterosexual women must be lived in secret and terminating marriage is one of the freedoms they get. Non-heterosexual women in this study are victims of heteronormativity however they are not passive victims, and surrender. They have continued to make efforts since they realized themselves as non-heterosexual women until they were married to be themselves."
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>