Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 193090 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mardyana Nizar
"Tiamin berfungsi sebagai koenzim untuk beberapa enzim yang terlibat dalam metabolisme karbohidrat. Mengingat pentingnya peran tiamin, maka dilakukan pengembangan teknik pengukuran tiamin yang analog dengan enzyme linked immunosorbent assay ( ELISA), dimana antibodi diganti dengan protein pengikat spesifik yaitu protein ikat tiamin kacang hijau (PITKH). Teknik pengukuran ini dilakukan secara kompetitif, kompetitor akan dikompetisikan dengan tiamin bebas yang akan diukur. Kompetitor tersebut berupa konjugat antara tiamin-biotin. Tiamin murni diikatkan dengan biotin menggunakan senyawa perangkai yaitu glutaraldehid. Pada analisis LC-MS ditemukan 3 puncak, . Puncak ke 3 merupakan konjugat tiamin-biotin. Dibuat kurva standar dan diperoleh persamaan garis lurus dengan nilai R2= 0,9986. Uji validasi menggunakan konjugat tiamin-biotin menunjukan nilai coefficient of variation (CV) = 3,81%, nilai ini lebih kecil dari CV Horwitz = 8,12%, akurasi dengan nilai Recovery (R) =94 %-98%. Hasil ini menunjukan syarat pengukuran dengan teknik ELPLA sudah terpenuhi, dengan presisi dan akurasi yang baik. Aplikasi pengukuran kadar tiamin pada serum normal sebanyak 23 sampel didapatkan kadar tiamin berkisar 2,62-9,76 μg/ml. Dengan demikian, teknik ELPLA dengan konjugat tiamin-biotin sebagai kompetitor dapat digunakan pada pengukuran kadar tiamin dalam serum

Thiamine has a coenzyme function in several enzymes involved in carbohydrate metabolism. Considering the important role of thiamine, a thiamine measurement technique analogous to the enzyme linked immunosorbent assay (ELISA) was developed, that the antibody was replaced by a specific binding protein named mung bean thiamine binding protein (MBTBP). The measurement technique was carried out competitively in which competitors would be competed with free thiamine to be measured. The competitor is a thiamine-biotin bond. Pure thiamine was bound to biotin using a coupling compound called glutaraldehyde. In the LC-MS analysis we found 3 peaks. The third peak was the thiamine-biotin conjugate. A standard curve was made and the value of its straight line equation was obtained R2= 0,9986. The validation test using thiamine-biotin conjugate showed coefficient of variation (CV) value = 3,81% which was smaller than Horwitz CV = 8,12%, with the accuracy of the Recovery (R) value = 94% – 98%. These results indicated that the measurement requirements for the ELPLA technique had been met with good precision and accuracy. The application of the serum measurements to 23 samples showed thiamine levels ranging from 2,62- 9,76 μg/ml. Thus, the ELPLA technique with thiamine-biotin conjugate as a competitor could be used in the measurement of serum thiamine levels"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Megawati Kartika
"Tiamin (Vitamin B1) adalah vitamin B yang pertama kali diidentifikasi. Tiamin berperan sebagai koenzim untuk beberapa enzim yang terlibat dalam metabolisme energi.Uji laboratorium terhadap kekurangan tiamin dapat dilakukan dengan mengukur kadar tiamin dalam darah. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kadar tiamin serum pada alkoholic dan penderita DM dengan teknik ELISA, HPLC, dan menggunakan protein ikat tiamin kacang hijau (PITKH) dengan teknik enzyme-labeled protein ligand assay (ELPLA). Untuk melihat faktor-faktor yang mempengaruhi ikatan antara PITKH dengan tiamin digunakan teknik dialisis kesetimbangan. Validitas teknik ELPLSBA dilakukan dengan uji presisi dan akurasi. Teknik ELISA dan HPLC digunakan sebagai pembanding pada pengukuran tiamin serum. Konsentrasi PITKH pasca kromatografi afinitas hasil pengenceran liofilisat stabil selama 30 hari pada suhu -20°C dan 3 hari pada suhu 4°C. Aktifitas pengikatan PITKH dengan tiamin optimum pada pH 7,5. Aktifitas pengikatan ini juga dipengaruhi oleh senyawa alkilasi, oksidator, dan reduktor, tetapi kurang dipengaruhi oleh ion kalsium dan logam-logam berat. Kemampuan PITKH dalam mengukur kadar tiamin serum dengan teknik ELPLA memiliki presisi dengan CV 4,1% dan akurasi dengan nilai R 96-98%. Pengukuran dengan ELISA memberikan hasil yang lebih rendah dari teknik ELPLA, sedangkan uji banding dengan HPLC diperoleh p = 0,102 (p > 0,05) ; artinya tidak terdapat perbedaan yang signifikan antara metode ELPLA dan HPLC. Pengukuran tiamin serum dengan teknik ELISA, HPLC dan ELPLA pada alkoholic dan penderita DM, lebih rendah dari serum normal.

Thiamine (vitamin B1) was the first B vitamin to have been identified. It serves as a coenzyme for several enzymes involved in energy metabolism. The laboratory test against thiamine deficiency can be done by measuring thiamine levels in the blood. The aim of this study was to determine the serum thiamine levels in alcoholics and DM by ELISA, HPLC, and using mung bean thiamine binding protein (MBTBP) with the development of enzyme-labeled protein ligand assay (ELPLA) method. The equilibrium dialysis technique was used to see the factors affecting the bond between TBP and thiamine. The ELPLA method validity was performed with precision and accuracy tests. ELISA and HPLC methods were used as comparators for measurements of serum thiamine. The MBTBP concentration of post-chromatographic affinity resulted from dilution of lyophilisate was stable for 30 days at -20°C and 3 days at 4°C. The optimal pH for binding MBTBP to thiamine was 7,5. This binding activity was also affected by alkylation, oxidizing, and reducing agents, but it was less affected by calcium ions and heavy metals. MBTBP ability to measure serum thiamine levels with the ELPLA technique has precision with CV 4,2% and accuracy with R 96-98%. Measurements by ELISA has lower result than ELPLA. The comparison test with HPLC method obtained p = 0,102 (p > 0,05); meaning no significant difference between ELPSLBA and HPLC methods. Serum thiamine level by ELISA, HPLC and ELPLSBA techniques in alcoholic and DM patients were lower than normal serum."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Arif Budiman
"Latar Belakang. Penelitian ini bertujuan untuk membakukan teknik pengukuran asam folat serum menggunakan protein ikat folat PIF yang diisolasi dan dimurnikan secara utuh dari susu sapi segar dengan teknik enzyme labeled protein ligand binding assay ELPLBA . Metode. Metode yang digunakan adalah metode eksperimen yang menguji validitas dan perbandingan teknik ELPLBA untuk pembakuan teknik pengukuran folat serum.Hasil. Hasil isolasi dan pemurnian PIF menghasilkan kadar 3 tiga mg/mL. Identifikasi SDS-PAGE dan Western blot menunjukkan 3 tiga pita protein yang diperiksa adalah protein ikat folat. Validitas teknik uji keterulangan menunjukkan nilai yang dapat diterima CV.

Background. This study was aimed to standarized technique of folic acid level serum measurment using folate binding protein FBP that isolated and purified from fresh bovine milk with enzyme labeled protein ligand binding assay ELPLBA technique. Method in this study, we performed an experiment research validated dan compared measurement techniques of ELPLBA with competitive ELISA for the standardization of the serum folic acid measurement technique. Results. FBP concentration yielded from isolated and purification was resulted 3 mg mL. SDS PAGE and western blot result showed 3 three protein bands that was confirmed to be FBP. Validity test repeatability indicate an acceptable CV 10 , whereas reproducible test showed poor results over a 5 day period. The results of the accuracy test of the enzyme labeled protein ligand binding assay technique showed good accuration. Linearity test of two samples showed quite linear results. Comparison of folic acid level measurement in serum between ELPLBA and ELISA technique showed there is no difference between both technique based on independent test T test at 95 confidence level. Conclusion. the enzyme labeled protein ligand binding assay technique on serum folic acid measurements were quite valid dan equivalent to the results obtained by competitive ELISA techniques."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Josua Kristiano Hilmanto
"ABSTRAK
Latar Belakang: Tiamin merupakan kelompok vitamin B yang dibutuhkan manusia namun harus diperoleh dari sumber luar. Tiamin memiliki banyak fungsi penting dalam tubuh, sehingga kekurangan tiamin dapat menyebabkan masalah serius. Pemeriksaan kadar tiamin dalam tubuh dengan metode yang tersedia saat ini membutuhkan biaya yang mahal. Berdasarkan hal tersebut, lahirlah ide untuk menggunakan prinsip ELISA dengan memanfaatkan protein pengikat tiamin dari sumber yang mudah diperoleh dan murah untuk skrining. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui adanya protein pengikat tiamin pada ketan hitam (Oryza sativa L.).
Metode: Isolasi protein pengikat tiamin dari ketan hitam (Oryza sativa L.) dilakukan dengan metode salting out, dialisis, dan dialisis kesetimbangan. Salting out menggunakan konsentrasi garam amonium sulfat 90%.
Hasil: Dalam penelitian ini, konsentrasi protein total adalah 5.190,48 g/mL setelah tahap salting out. Adanya protein pengikat tiamin dalam protein total dapat dibuktikan dengan dialisis ekuilibrium. Protein pengikat tiamin dari ketan hitam (Oryza sativa L.) dapat mengikat tiamin pada dialisis kesetimbangan 0,479 g/gram tepung.
Kesimpulan: Ketan hitam (Oryza sativa L.) mengandung protein pengikat tiamin.
ABSTRACT
Background: Thiamine is a group of B vitamins that humans need but must be obtained from external sources. Thiamine has many important functions in the body, so thiamine deficiency can cause serious problems. Examination of thiamine levels in the body with currently available methods is expensive. Based on this, the idea was born to use the ELISA principle by utilizing thiamine binding proteins from sources that are easily obtained and inexpensive for screening. This study aims to determine the presence of thiamine binding protein in black sticky rice (Oryza sativa L.).
Methods: Isolation of thiamine binding protein from black sticky rice (Oryza sativa L.) was carried out by salting out, dialysis, and equilibrium dialysis methods. Salting out using a 90% concentration of ammonium sulfate salt.
Results: In this study, the total protein concentration was 5,190.48 g/mL after the salting out stage. The presence of thiamine-binding protein in total protein can be demonstrated by equilibrium dialysis. Thiamine binding protein from black sticky rice (Oryza sativa L.) can bind thiamine at equilibrium dialysis of 0.479 g/gram flour.
Conclusion: Black sticky rice (Oryza sativa L.) contains thiamine binding protein."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Sadikin
"Pendahuluan
Masalah terpenting sekarang ialah, bagaimana mengembangkan suatu teknik kuantitatif untuk mengukur konsentrasi asam folat dalam darah, dengan menggunakan sarana yang ada di kebanyakan laboratorium diagnostik di Indonesia. Secara lebih spesifik, hal tersebut dapat dirumuskan sebagai berikut : bagaimana caranya mengukur kadar asam folat dalam derah secara spektrofotometris ?
Tujuan dari penelitian yang dikerjakan ini ialah mengembangkan suatu cara untuk mengukur kadar asam folat dalam darah secara spektrofotometris, dengan menggunakan teknik Competitive Enzyme Ligand Binding Assay, yang analog dengan teknik Competitive Radio Ligand Binding Assay. Hanya saja, dalam teknik yang akan dikembangkan ini, alih-alih senyawa radioaktif, digunakan enzim tertentu yang dapat diukur secara spektrofotometer biasa sebagai senyawa penanda, yang diikatkan ke suatu kompetitor yang berupa asam folat. Dengan demikian, secara teoritis pengukuran kadar asam folat dalam darah tidak lagi memerlukan peralatan dan keterampilan khusus dan karena itu mestinya dapat dilakukan oleh laboratorium diagnostik biasa.
Untuk mencapai tujuan tersebut, diperlukan adanya suatu protein khusus yang secara spesifik mampu mengikat asam folat. Dalam banyak hal, keperluan akan adanya protein seperti ini biasanya diselesaikan dengan cara membentuk antibodi spesifik terhadap senyawa yang akan diukur. Teknik ini sekarang secara luas dikenal dengan nama RIA (Radio Immuno Assay) bila menggunakan senyawa radioaktif sebagai penanda, dan EIA (Enzyme Immuno Assay) bila menggunakan enzim sebagai penanda. Dalam mengembangkan teknik pengukuran asam folat ini, keperluan akan adanya protein pengikat yang khan untuk asam folat ini dapat diselesaikan dengan cam yang lebih mudah. Antibodi untuk asam folat tidak perlu lagi dibua terlebih dahulu, oleh karena suatu protein pengikat folat ( PIF : Protein Butt Folat ) tersedia dalam susu sapi. Oleh karena itu, langkah pertama dalam penelitian yang dilaksanakan ini ialah memisahkan (isolasi) dan memurnikan (purilikasi) PIF dari susu sapi?.
"
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2000
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Mardiana
"Ruang lingkup dan cara penelitian : Asam folat adalah salah satu kompleks vitamin B. Bentuk aktif asam folat berupa tetrahidrofolat (THF) yaitu suatu koenzim yang mempunyai peranan mentransfer gugus metil, metilen, metenil, formil dan formimino. Asam folat diperlukan untuk sintesis DNA dan beberapa asam amino seperti metionin dan serin. Peranan asam folat lainnya adalah dapat mencegah anemia megaloblastik, menurunkan resiko kanker dan menurunkan konsentrasi homosistein plasma darah sehingga dapat mencegah gangguan pembuluh darah. Dengan peranan asam folat yang begitu penting, maka diperlukan kemampuan untuk mengukur kadar asam folat dalam serum.
Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan teknik pengukuran kadar asam folat dalam serum dengan cara yang aman, mudah dan murah, yaitu suatu teknik analisa yang dianalogikan dengan teknik ELISA (enzyme-linked immuno-sorbent assay). Langkah-langkah dalam penelitian ini adalah isolasi PIF dari susu sapi dengan teknik salting out, dilanjutkan purifikasi dengan teknik kromatografi dan menguji afinitas PIF yang didapat terhadap folat serum dengan teknik yang analog ELISA. Untuk teknik tersebut perlu dibuat suatu konjugat folat-avidin dengan jembatan glutaraldehid. Selanjutnya teknik yang didapat digunakan untuk mengukur folat dalam serum.
Hasil dan kesimpulan : Telah dapat diisolasi protein ikat folat (PIF) dari susu sapi dengan kadar 2,884 mg/mL. PIF yang didapat diuji kemampuannya untuk mengikat folat dengan berbagai pengenceran 11500000, 1150000, 115000, 11500, 1150, 115. Pengenceran yang menunjukkan afinitas tertinggi terhadap folat yaitu 1150. Kemudian dilakukan titrasi lagi dengan tujuan untuk penghematan PIF, yaitu 1150, 11140 dan 11200. Dari ketiga pengenceran yang mempunyai linieritas tertinggi pada pengenceran 11100. Kemudian dilakukan pengukuran folat serum yang dibandingkan dengan metoda lain dengan hasil 26,4; 55,4; 31,4 dan 86,4 ng/mL. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa PIF dari susu sapi dapat digunakan untuk mengukur folat dalam serum."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2005
T16221
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nurlinah Jalil
"ABSTRAK
Latar Belakang: Pneumokoniosis terjadi hampir diseluruh dunia dan merupakan masalah yang mengancam para pekerja semen. Beberapa kelainan serologis dapat ditemukan pada pasien pneumokoniosis. Kadar surfaktan SP-D serum meningkat pada pekerja yang terpajan silika sehingga mungkin dapat dijadikan sebagai penanda hayati untuk diagnosis awal penyakit paru kerja tetapi penelitian ini belum pernah dilakukan di Indonesia. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian cross sectionaldengan cara pemilihan sampel secara consecutive sampling pada bulan September 2017- Maret 2018. Jumlah total subjek sebanyak 61 subjek terdiri dari 44 subjek penelitian dan 17 subjek kontrol. Pemeriksaan kadar SP-D menggunakan metode ELISA. Subjek penelitian merupakan pekerja semen pada area produksi dan bahan mentah. Hasil: Pada penelitian ini didapatkan hasil dengan karakteristik total subjek laki-laki 100 dan rerata umur 42.5 tahun, subjek termuda 21 tahun dan subjek tertua 55 tahun, Kelompok IMT normal terbanyak pada subjek penelitian yaitu 21 subjek 47.7 diikuti IMT lebih 14 subjek 2.3 , obesitas 8 subjek 18.2 dan IMT kurang sebanyak 1 subjek 4.6 . Riwayat merokok ditemukan terbanyak bukan perokok 26 subjek 59.1 diikuti perokok sebanyak 12 subjek 27.3 dan bekas perokok 6 subjek 13.6 . Lama pajanan ABSTRACT
Background:Pneumoconiosis occurs almost in entire worldwide. Pneumoconiosis has threaten cement workers. Serologic abnormalities has been found in pneumoconiosis. Surfactant Protein D SP-D levels increased in silica exposed workers. Surfactant Protein D SP-D may be useful using biomarkers for early diagnosis of pneumoconiosis but It has not yet been studied in Indonesia. Method:Design of this study was observational with cross sectional.Sampling of cement from exposed workers were done by consecutive sampling. Total subjects were 61, approach population of 44 cement exposed workers from September 2017-March 2018and 17 healthy people as control. Serum level of SP-D was measured by ELISA method.Cement exposed workers are workers in production area and workers in quarry area. Results:This study found that total characteristic subjects were male 100 and mean of age was 42.5 years old, youngest subject was 21 years old and oldest subject was 55 years old. Normal weight group greatest number was found 21 subjects 47.7 , followed by overweight 12 subjects 22.3 , obesitas 8 subjects 18.2 and underweight 1 subject 2.3 . Based on history of smoking, this study found that 26 subjects 59.1 had never smoked,12 subjects 27.3 as smokers and 6 subjects 13.6 as former of smokers. Duration of exposure "
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Evania Astella Setiawan
"Latar belakang. Meningkatnya prevalensi obesitas diikuti pula dengan kejadian sakit kritis pada pasien obesitas. Obesitas merupakan suatu kondisi inflamasi kronis yang memengaruhi disregulasi respon imun dan meningkatkan risiko sepsis. Sepsis merupakan penyebab tersering perawatan di intensive care unit (ICU) dan berkaitan dengan tingginya mortalitas dan morbiditas. Terapi medik gizi yang adekuat diperlukan untuk menopang diregulasi metabolisme pada sakit kritis dan mencegah penurunan status gizi. Pasien obesitas dengan sepsis menunjukkan prognosis yang buruk pada kondisi hiperlaktatemia. Salah satu mikronutrien yang berperan dalam bersihan laktat adalah tiamin. Beberapa studi menunjukkan efek positif suplementasi tiamin pada penurunan kadar laktat dan mortalitas pada pasien sepsis.
Kasus. Serial kasus ini memaparkan tiga pasien laki-laki dan satu pasien perempuan, berusia 33-68 tahun dengan status gizi obesitas, mengalami sakit kritis, dan sepsis. Seluruh pasien mendapatkan terapi medik gizi sejak fase akut sakit kritis. Pemberian energi dan protein sesuai dengan kondisi klinis dan toleransi pasien. Seluruh pasien mendapatkan suplementasi tiamin 2x100 mg per enteral yang dimulai pada 24 jam pertama pasca penegakkan diagnosis sepsis selama 7 hari.
Hasil. Selama perawatan, asupan energi pasien kasus dapat mencapai 30 kkal/kgBB dan asupan protein mencapai 1,3–1,7 g/kgBB sesuai dengan fungsi ginjal pasien. Tiga pasien mengalami penurunan kadar laktat dan skor SOFA setelah 7 hari suplementasi tiamin. Ketiga pasien tersebut dapat melewati fase kritis di ICU dan pindah ke ruang perawatan biasa, sedangkan satu pasien mengalami peningkatan enzim transaminase dan peningkatan kadar laktat. Pasien tersebut mengalami 3 kali periode sepsis dan meninggal dunia saat perawatan sakit kritis.
Kesimpulan. Suplementasi tiamin memberikan efek positif pada penurunan kadar laktat darah dan skor SOFA pada pasien sakit kritis dengan sepsis dan obesitas. Terapi medik gizi yang adekuat dapat menunjang luaran klinis dan kesintasan pada pasien sakit kritis dengan sepsis dan obesitas.

Background. The prevalence of obesity is rising worldwide followed by the incidence of critical illness in obese patients. Obesity is a chronic inflammatory condition that affects dysregulation of immune response and increases the risk of sepsis. Sepsis is the most common cause of hospitalization in the intensive care unit (ICU) and is associated with high mortality and morbidity. Adequate medical nutrition therapy is required to support metabolism in the critically ill and prevent deterioration in nutritional status. Obese patients with sepsis and hyperlactatemia exhibit poor prognosis. One of the micronutrients that play a role in lactate clearance is thiamine. Several studies have shown a positive effect of thiamine supplementation on reducing lactate levels and mortality in septic patients.
Case. This case series described three male patients and one female patient, aged 33-68 years with obesity, critical illness, and sepsis. All patients obtained medical nutrition therapy ever since the acute phase of critical illness. Administration of energy and protein was adjusted to clinical conditions and patients` tolerance. All patients received thiamine supplementation 2x100 mg enteral starting in the first 24 hours after diagnosis of sepsis for 7-day period.
Result. During treatment, the energy dan protein intake of case patients attained 30 kcal/kgBW and 1.3–1.7 g/kgBW respectively, according to the patients' tolerance. Three patients had decrement of lactate levels and SOFA scores after 7 days of thiamine supplementation. The three patients were able to surpass the critical phase in the ICU and step down to ward. Meanwhile, one patient experienced an increment in transaminases enzymes and lactate levels. The patient had 3 periods of sepsis and died during critical care.
Conclusion. Thiamine supplementation exhibited positive impact on lactate levels and SOFA scores decrement in critically ill patients with sepsis and obesity. Adequate medical nutritional therapy could promote clinical outcomes and survival in critically ill patients with sepsis and obesity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muningtya Philiyanisa Alam
"Proses inflamasi pada kanker kepala dan leher menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi dan sintesis protein fase akut c-reactive protein, CRP yang kemudian menyebabkan perubahan metabolisme dan anoreksia pada penderitanya. Seng merupakan zat gizi yang memiliki peran penting dalam menekan inflamasi, namun dilaporkan sekitar 65 pasien kanker kepala dan leher mengalami kekurangan seng. Penelitian potong lintang ini bertujuan mengetahui korelasi antara asupan seng dan kadar seng serum dengan kadar c-reactive protein CRP sebagai upaya menekan inflamasi sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien kanker kepala leher. Dari 49 subyek yang dikumpulkan secara konsekutif di Poliklinik Onkologi RS Kanker Dharmais, 67,3 adalah laki-laki, rentang usia subyek 46 ndash;65 tahun. Frekuensi terbanyak 65,3 adalah kanker nasofaring dan 69,4 berada pada stadium IV. Seratus persen subyek memiliki asupan seng dibawah nilai angka kecukupan gizi. Rerata kadar seng serum subyek adalah 9,83 2,62 mol/L. Sebanyak 51 subyek memiliki kadar CRP yang meningkat. Terdapat korelasi negatif yang lemah antara kadar seng dengan kadar CRP subyek r =-0,292, p =0,042, namun tidak terdapat korelasi antara asupan seng dengan kadar CRP subyek p =0,86.

The inflammatory process of head and neck cancer leads to increase the proinflammatory cytokines and the synthesis of c reactive protein CRP , which then causes metabolic alteration and anorexia in the patients. Zinc is one of nutrient that has an important role in suppressing inflammation. It is reported that about 65 of head and neck cancer patients have zinc deficiency. The aim of this cross sectional study is to determine the correlation between zinc intake and serum zinc levels with CRP level as an effort to reduce inflammation to reduce the morbidity and mortality of head and neck cancer patients. Subjects were collected by consecutive sampling in the Oncology Polyclinic Dharmais Cancer Hospital, from 49 subjects 67,3 were men, most subjects were in the age range between 46 ndash 65 years. The highest frequency 65,3 is nasopharyngeal cancer and 69,4 are already in stage IV. All subjects in this study have a zinc intake below the recommended dietary allowance RDA in Indonesia. The mean serum zinc level of the subjects was 9.83 2.62 mol L. Most subjects have elevated CRP levels. There was a weak significant negative correlation between zinc concentration and CRP levels of subjects r 0.292, p 0.042, but there was no correlation between zinc intake and CRP levels of subjects p 0.86. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rita Halim
"ABSTRAK
Pada lanjut usia terjadi penurunan massa dan kekuatan otot yang memengaruhi
kapasitas fungsional sehingga meningkatkan risiko sarkopenia. Salah satu faktor yang dinilai dapat memengaruhi penurunan massa dan kekuatan otot pada lansia adalah menurunnya asupan protein dan asam amino rantai cabang (AARC) sehingga akan memengaruhi status protein viseral terutama prealbumin. Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai hubungan antara asupan protein, AARC dan kadar prealbumin dengan kekuatan otot pada lansia. Metode penelitian ini adalah studi potong lintang pada 52 lansia dari bulan April-Mei 2016. Data asupan makanan yang meliputi asupan energi, kalori non protein, protein dan AARC didapatkan dari food record 2x24 jam. Pengambilan darah dilakukan setelah subjek berpuasa ± 8 jam dan pengukuran kekuatan otot dengan handgrip dynamometer merk Jamar. Hasil penelitian menunjukan tidak terdapat korelasi yang signifikan antara kekuatan genggam tangan dengan asupan protein (r=0,21 dan p=0,11), asupan AARC (r=0,18 dan p=0,19), dan kadar prealbumin serum (r=-0,05 dan p=0,69). Kesimpulan dari penelitian ini didapatkan bahwa asupan protein yang rendah tetapi disertai dengan asupan energi dan AARC yang cukup akan memengaruhi kadar prealbumin serum dan kekuatan otot tetap berada pada nilai normal, walaupun tidak ditemukan hubungan yang bermakna secara statistik.

ABSTRACT
The decrease of muscle mass and strength in elderly people will affect the
functional capacity and increase the risk of sarcopenia. One factor that can affect the loss of mass and muscle strength in elderly is the decrease in protein and branched chain amino acids (BCAA) intakes. This will affect the visceral protein status, especially prealbumin. The purpose of this study is to assess the association between intake of protein, BCAA and serum prealbumin level with muscle strength in elderly people. The methodology of this research is a cross-sectional study with 52 elderly people from April-May 2016. Food intake include energy, non-protein calorie (NPC), protein, and BCAA which is obtained from 2x24 hours food records. Blood sampling was performed after the subjects fasted for ± 8 hours, and muscle strength was measured with a Jamar's handgrip dynamometer. The results show there are no correlation between protein intake with the hand grip strength (r = 0,21 and p = 0,11), as well as AARC intake (r = 0,18 and p = 0,19) and prealbumin serum level (r = -0,056 and p = 0,69). This study concludes that low protein intake but accompanied with sufficient energy intake and BCAA will affect serum prealbumin level and muscle strength will be remained at normal values, however a statistically significant relationship is not found."
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>