Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 76411 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Marsha Bianti
"Latar belakang: Penilaian keaktifan penyakit urtikaria kronik selama ini menggunakan kuesioner Urticaria Activity Score (UAS) yang telah divalidasi namun memiliki kekurangan bersifat subjektif. Berbagai biomarker telah dilaporkan berpotensi menilai keaktifan penyakit urtikaria kronik secara objektif untuk melengkapi penilaian menggunakan kuesioner UAS tetapi belum secara rutin dan seragam digunakan pada urtikaria kronik. C-Reactive Protein (CRP) adalah salah satu biomarker potensial yang secara luas tersedia dengan biaya yang tidak tinggi. Oleh karena itu dibutuhkan penelitian di Indonesia yang menilai apakah CRP dapat menjadi pilihan pemeriksaan untuk menilai keaktifan penyakit urtikaria kronik.
Tujuan: Menilai korelasi antara kadar CRP dengan keaktifan penyakit urtikaria kronik yang dinilai berdasarkan UAS7.
Metode: Sebanyak 18 pasien urtikaria kronik berusia 18 – 59 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan menjadi subjek penelitian. Dilakukan penilaian UAS7 dan pemeriksaan kadar CRP. Korelasi kadar CRP dan keaktifan penyakit yang dinilai dengan UAS7 dilakukan menggunakan uji Spearman.
Hasil: Lebih dari 1/3 pasien dengan urtikaria kronik memiliki kadar CRP yang meningkat di atas normal dengan nilai median 2,5 (0,1 – 8,7) mg/L. Median skor UAS7 adalah 14 (5 – 32). Berdasarkan uji Spearman didapatkan nilai koefisien korelasi (r=0,529) dengan nilai p=0,024.
Kesimpulan: Terdapat korelasi positif sedang bermakna antara kadar CRP dengan keaktifan penyakit urtikaria kronik yang dinilai dengan kuesioner UAS7.

Background: Urticaria Activity Score is a questionnairres that has been use as a tool to assess disease activity. This tool is validated and of great value in the monitoring of patients with chronic urticaria, but has disadvantage of being subjective instrument. Several reports have suggested that blood parameter, such as CRP, may indicate disease activity and may be considered as potential biomarker for chronic urticaria however, it is not routinely used in daily practice in Indonesia. Therefore, research is needed to see whether CRP can be supporting examination of choice to assess disease activity.
Objective: To assess the correlation between CRP levels and disease activity measured by UAS7.
Method: Eighteen chronic urticaria patients age 18 – 59 years old who meet all inclusion and exclusion criterias are recruited in this study. Assessment of disease activity using UAS7 and measurement of CRP levels were performed. Correlation of CRP levels and diasease activity was done using Spearman analysis.
Results: CRP levels was higher in more than 1/3 patients with chronic urticaria with median 2,5 (0,1 – 8,7) mg/L. The median of UAS7 is 14 (5 – 32. Based on Spearman analysis, the coefficient of correlation is 0,529 with p value = 0,024.
Conclusion: CRP levels was significantly correlated with disease activity as measured by UAS7.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mutiara Ramadhiani
"Psoriasis vulgaris merupakan penyakit inflamasi kronik kulit yang didasari oleh proses imunologi. Derajat keparahan psoriasis vulgaris dinilai secara klinis dengan penilaian body surface area (BSA) dan psoriasis area and severity index (PASI). Inflamasi kulit pada psoriasis vulgaris diperankan oleh berbagai sitokin inflamasi yang dapat meningkatkan inflamasi sistemik dan aktivasi trombosit. High sensitivity c-reactive protein (hs-CRP) sebagai penanda inflamasi sistemik serta mean platelet volume (MPV) sebagai penanda aktivasi trombosit diduga dapat dijadikan prediktor derajat keparahan psoriasis vulgaris. Penelitian ini berdesain observasional analitik potong lintang. Setiap subjek penelitian (SP) dengan psoriasis vulgaris yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan perhitungan derajat keparahan psoriasis vulgaris dengan PASI dan BSA. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan kadar hs-CRP dan MPV. Dari 32 SP, didapatkan korelasi positif tidak bermakna antara hs-CRP dengan BSA (r=0,118; p=0,518) dan PASI (r=0,322; p=0,073). Korelasi negatif tidak bermakna ditunjukkan antara MPV terhadap BSA (r=-0,035; p=0,848)dan PASI (r=-0,035; p=0,848). Korelasi antara hs-CRP dengan MPV tidak bermakna (r=-0,178; p=0,329). Nilai hs-CRP dan MPV tidak memiliki korelasi bermakna terhadap PASI dan BSA sehingga tidak dapat digunakan sebagai prediktor yang spesifik untuk keparahan psoriasis vulgaris.

Psoriasis vulgaris is a chronic immunologic inflammatory skin disease. The severity of psoriasis vulgaris is clinically-assessed by using body surface area (BSA) and the psoriasis area and severity index (PASI). Skin inflammation in psoriasis vulgaris is played by various inflammatory cytokines that can perpetuate systemic inflammation and platelet activation. High sensitivity c-reactive protein (hs-CRP) as a marker of systemic inflammation and mean platelet volume (MPV) as a marker of platelet activation are thought to be predictors of psoriasis vulgaris severity.
This is a cross-sectional analytic observational study. Each subject with psoriasis vulgaris who met the inclusion and exclusion criteria underwent anamnesis, physical examination, and assessment of PASI and BSA, then examined for hs-CRP and MPV levels.
Among the 32 subjects, a weak insignificant positive correlation was found between hs-CRP and BSA (r=0.118; p=0.518)and PASI (r=0.322; p=0.073). A weak negative insignificant correlation was shown between MPV and BSA (r=-0.035; p=0.848) and PASI (r=-0.035; p=0.848). No significant correlation was found between hs-CRP and MPV (r=-0.178; p=0.329
The hs-CRP and MPV levels ​​do not have a significant correlation with PASI and BSA, therefore cannot be used as specific predictors of psoriasis vulgaris severity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Saiful Rizal
"Latar Belakang: Endometriosis adalah terdapatnya jaringan (kelenjar dan stroma) abnormal mirip endometrium di luar uterus yang menyebabkan proses reaksi inflamasi kronis. Penderita endometriosis mengalami gangguan yang bersifat siklik dan terus menerus.Masalah lain adalah keterlambatan diagnosis. Laparoskopi adalah baku emas endometriosis, namun sulit untuk mengenali endometriosis pada stadium minimal dan ringan. Penanda atau biomarker sangat berguna untuk menghindari tindakan invasif yang tidak diperlukan, belum ada biomarker dapat memberikan gambaran secara jelas pada penggunaan klinis sehari-hari. Calprotectin adalah penanda dari inflamasi akut dan kronis yang diekspresikan pada granulosit terutama pada neutrofil, dan juga pada monosit, dan makrofag.25,26 belum ada penelitian yang meneliti hubungan calprotectin dengan penderita endometriosis. CRP merupakan marker inflamasi sistemik dan secara rutin digunakan sebagai penanda infeksi, inflamasi, atau kerusakan jaringan.30,31 Data mengenai kadar CRP perifer pada endometriosis jarang dan kontroversial.31
Tujuan: Diketahui korelasi calprotectin dan hs-CRP serum sebagai penanda inflamasi kronis terhadap derajat endometriosis menurut klasifikasi rASRM, yaitu derajat minimal, ringan, sedang, dan berat
Metode: Analisis observasional dengan desain potong lintang pada bulan Juli 2017-April 2018 di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta, RSUP Fatmawati dan RSUP Persahabatan, Jakarta. Empat puluh enam pasien endometriosis yang akan menjalani laparoskopi atau laparotomi yang memenuhi syarat penelitian direkrut consecutive sampling diperiksa kadar serum Calprotectin dan hs-CRP. Penelitian ini disetujui oleh Komite Etik dan Penelitian tahun 2017
Hasil: Tidak adanya korelasi antara Calprotectin dengan derajat endometriosis (r=-0,16, p=0,278). Adanya korelasi positif lemah antara HsCRP dengan derajat endometriosis (r=0,29, p=0,050)
Kesimpulan: Kadar Calprotectin serum tidak memiliki korelasi dengan derajat endometriosis. Kadar HsCRP serum memiliki korelasi positif lemah dengan derajat endometriosis, HsCRP dan Calprotectin serum tidak dapat membedakan derajat endometriosis

Background: Endometriosis is defined as the presence of endometrial-like tissue (gland and stroma) outside the uterus, which induces a chronic inflammatory reaction. Patients with endometriosis experience cyclic and continuous symptoms. Another problem is delays in diagnosis. Laparoscopy is gold standart in endometriosis, but it is difficult to recognize endometriosis at minimal and mild stage. Biomarkers are very useful to avoid invasive procedure that are not needed, none of these have been clearly shown to be of clinical use. Calprotectin is a marker of acute and chronic inflammation which is expressed on granulocytes, especially in neutrophils, and also in monocytes, and macrophages. There have been no studies examining the relationship between calprotectin and endometriosis. CRP is a systemic inflammatory marker and it routinely used as a marker of infection, inflammation, or tissue damage. Data regarding the CRP level in peripheral blood of endometriosis patients are relatively scarce and controversial. Purpose: The purpose of this research is to identify correlation between calprotectin and hs-CRP as a marker of chronic inflammation with the degree of endometriosis according to the rASRM classification, which is minimal, mild, moderate, and severe. Method: Analysis observational with cross sectional study design in July 2017-April 2018 at Cipto Mangunkusumo General Hospital Jakarta, Fatmawati General Hospital and Persahabatan Hospital, Jakarta. Forty-six endometriosis patients undergoing laparoscopy or laparotomy who met the study requirements were recruited by consecutive sampling to be examined for serum levels of Calprotectin and hs-CRP. This study was approved by Ethics and Research Committee in 2017 Results: No correlation between Calprotectin and the degree of endometriosis (r=-0.16, p=0.278). There was a weak positive correlation between HsCRP and the degree of endometriosis (r=0.29, p=0.050). Conclusion: Calprotectin levels uncorrelated with the degree of endometriosis. HsCRP levels have a weak positive correlation with the degree of endometriosis, HsCRP dan Calprotectin cannot distinguish the degree of endometriosis"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Yusuf Huningkor
"Latar Belakang: Kadar hsCRP berhubungan dengan mayor adverse cardiac events. Pada PJK stabil, hubungan antara kadar hsCRP dengan skor SYNTAX sebagai gambaran derajat aterosklerosis koroner belum jelas.
Tujuan: Mengetahui hubungan antara kadar hsCRP dengan skor SYNTAX pada penderita PJK stabil, dan mengetahui titik-potong kadar hsCRP yang dapat membedakan antara kelompok skor SYNTAX rendah dengan yang tinggi.
Metode: Observasional potong-lintang pada consecutive 93 subjek penderita PJK stabil dewasa yang menjalani angiografi koroner di RSUPNCM pada bulan Mei sampai September 2018, untuk memperoleh skor SYNTAX. Diambil darah dari arteri perifer sebelum tindakan angiografi untuk pemeriksaan hsCRP dan laboratorium dasar. Dieksklusi penderita infeksi berat, trauma, PGK, sirosis hati, keganasan, pengobatan steroid. Selanjutnya data dikumpulkan dan dianalisis. Skor SYNTAX dikelompokkan tinggi bila > 27, dan rendah bila nilai < 27. Untuk menilai titikpotong kadar hsCRP dipakai uji Sperman karena distribusi data tidak normal.
Hasil: Ditemukan rerata umur 60,23 tahun (SB 8,984), IMT 26,30 Kg/m2 (SB 3,903), kol-LDL 117,74 mg/dL (SB 36,31). Kadar hsCRP dan skor SYNTAX tidak dipengaruhi oleh IMT atau kol-LDL (hsCRP-IMT: r:0,032; p:0,772; skor SYNTAX-IMT: r:-0,021; p:0,849; hsCRP-kol LDL: r:-0,149; p:0,266; skor SYNTAX-kol LDL: r:0,159; p:0,234). Ditemukan korelasi positif lemah hsCRP dengan skorSYNTAX (r:0,270; p:0,009) dan Titik-potong pada kadar hsCRP 2,35 mg/L (sensitifitas 0,69; spesifisitas 0,53). Nilai AUC 0,554, IK 95%, p: 0,472, merupakan diskriminasi yang kurang baik.
Simpulan: Pada penderita PJK stabil, kadar hsCRP berkorelasi positif lemah dengan skor SYNTAX sebagai gambaran derajat aterosklerosis. Kadar hsCRP dengan titik-potong > 2,35 mg/L dapat membedakan kelompok yang mempunyai skor SYNTAX rendah dengan kelompok skor SYNTAX tinggi, namun nilai prediksinya relatif rendah.

Background: High sensitivity C-reactive protein levels are associated with mayor adverse cardiac events. In stable CAD, the association of baseline hcCRP level with coronary atherosclerosis severity assessed by SYNTAX score were not clear.
Objective: To investigate the association between hsCRP level and SYNTAX score in patients with stable CAD, and to know cut-off point of hsCRP level which can differentiated between the group of low SYNTAX score and of high SYNTAX score.
Methods: Cross-sectional observation to the consecutive 93 subject adult patients of stable CAD, undergoing coronary angiography in Cipto Mangunkusumo General Hospital on May to September 2018 to obtain SYNTAX score. The blood tests were taking from pheripheral artery prior to carrying out of coronary angiography to obtain level of hsCRP and laboratory data base. The exclusion were severe infection, trauma, CKD, cirrhosis hepatis, malignancy, and steroid therapy. The SYNTAX score will be differentiated between the group of high if the value > 27, and the group of low if the value < 27. Sperman analysis will be used to evaluate hsCRP cut-off point.
Results: Average age was 60,23 year (SD 8,984), BMI 26,30 Kg/m2 (SD 3,903), and LDL-chol 117,74 (SD 36,31). The Level of hsCRP and SYNTAX score were not influenced by BMI or LDL-chol (hsCRP - BMI: r:0,032; p:0,772; SYNTAX score - BMI: r:-0,021; p:0,849; hsCRP- LDL-chol: r:-0,149; p:0,266; SYNTAX score - LDL-chol: r:0,159; p:0,234). We found positif corelation (weak) between hsCRP and SYNTAX Score (r:0,270; p:0,009). Cut-off point was found in the hsCRP level 2,35 mg/L (sensitivity 0,69; spesivisity 0,53). AUC 0,554, CI 95%, p: 0,472, were the poor discrimination.
Conclusions: There were positif (weak) correlation between hsCRP level and SYNTAX score in stable CAD patients. Cut-off point in the hsCRP level > 2,35 mg/L can differentiated between the group of low SYNTAX score and of high SYNTAX score, but the prediction value is low-grade.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Choiron Abdillah
"C-Reactive Protein merupakan protein penanda biologis yang jumlahnya akan meningkat ketika terjadi proses inflamasi di dalam tubuh. Pada kehamilan, proses inflamasi merupakan proses fisiologis namun tentunya dalam batas normal. Status gizi maternal dipercaya memiliki hubungan dengan proses inflamasi yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk melihat hubungan antara kadar high-sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP) pada ibu hamil trimester satu dengan indeks massa tubuh. Penelitian ini dilakukan dengan metode studi potong lintang dengan jumlah subjek penelitian 62 responden yang dipilih berdasarkan sistem simple random sampling.
Dari penelitian ini didapatkan hasil median kadar hs-CRP adalah 2,95 mg/L (0,30-35,30 mg/L). Penelitian ini menggunakan cut-off kadar hs-CRP 5 mg/L dan didapatkan hasil 32,3% subjek memiliki kadar yang tinggi. Indeks massa tubuh ibu hamil trimester pertama ini memiliki nilai rerata 23,68±3,73 kg/m2. Data kemudian dicari korelasinya dengan uji Pearson. Terdapat korelasi sedang positif antara kadar hs-CRP dengan indeks massa tubuh ibu hamil trimester satu (r = 0,435, p = < 0,001). Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi nilai indeks massa tubuh, maka semakin tinggi kadar hs-CRP pada ibu hamil trimester satu.

C-Reactive Protein (CRP) is a biomarker protein which increases during inflammation. During pregnancy, there is a physiologic amount of inflammation which increases CRP. Maternal nutrition status is known to be associated with the inflammatory process and pregnancy outcome. The objective of this study was to find the normal value of high-sensitivity C-Reactive Protein (hs-CRP) in first trimester pregnancy and its association with body mass index. This study used cross-sectional design with 62 first trimester pregnant women as subjects. The subjects were chosen using simple random sampling method.
It was found that the median serum level of hs-CRP in the subjects was 2.95 mg/L (0.30-35.30 mg/L). The cut-off point of hs-CRP level in this study was 5 mg/L. There were 32.3 % subjects who had higher hs-CRP value. The mean body mass index was 23.68±3.73 kg/m2. Pearson analysis demonstrated medium correlation between the level of hs-CRP and body mass index in first trimester pregnant women (r = 0.435, p = < 0.001). In conclusion, higher body mass index was associated with the higher hs-CRP level in first trimester pregnant women.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adeputri Tanesha Idhayu
"Latar Belakang: Infeksi dengue dan demam tifoid merupakan penyakit endemik di Indonesia. Namun pada awal awitan demam terdapat kesulitan dalam membedakan keduanya. Oleh karena itu dibutuhkan modalitas pemeriksaan penunjang yang sederhana untuk membantu diagnosis infeksi dengue dan demam tifoid. C-Reactive Protein (CRP) merupakan alat bantu diagnostik yang terjangkau, cepat dan murah untuk diagnosis penyebab demam akut. Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan kadar CRP pada demam akut karena infeksi dengue dengan demam tifoid.
Metode: Penelitian ini merupakan studi potong lintang pada pasien demam akut dengan diagnosis demam dengue/demam berdarah dengue atau demam tifoid yang dirawat di IGD atau ruang rawat RSCM, RS Pluit dan RS Metropolitan Medical Center Jakarta dalam kurun waktu Januari 2010 sampai dengan Desember 2013. Kadar CRP yg diteliti adalah CRP yang diperiksa 2-5 hari setelah awitan demam. Data penyerta yang dikumpulkan adalah data demografis, data klinis, pemberian antibiotik selama perawatan, leukosit, trombosit, netrofil, LED dan lama perawatan.
Hasil: Sebanyak 188 subjek diikutsertakan pada penelitian ini, terdiri dari 102 pasien dengue dan 86 pasien demam tifoid. Didapatkan median (RIK) CRP pada infeksi dengue adalah 11,65 (16) mg/L dan pada demam tifoid adalah 53 (75) mg/L. Terdapat perbedaan median CRP yang bermakna antara infeksi dengue dan demam tifoid (p <0,001). Pada titik potong persentil 99%, didapatkan hasil kadar CRP infeksi dengue sebesar 45,91 mg/L dan kadar CRP demam tifoid pada level persentil 1% sebesar 8 mg/L.
Simpulan: Terdapat perbedaan kadar CRP pada demam akut karena infeksi dengue dengan demam tifoid. Pada titik potong persentil 99%, kadar CRP >45,91 mg/L merupakan diagnostik CRP untuk demam tifoid, kadar CRP <8 mg/L merupakan diagnostik CRP untuk infeksi dengue. kadar CRP 8-45,91 mg/L merupakan area abu-abu dalam membedakan diagnosis keduanya.

Background: Dengue infection and typhoid fever are endemic disease in Indonesia. But in the early days of onset sometimes it is difficult to distinguish them. A simple modality test is needed to support the diagnosis. C-Reactive Protein (CRP) is an affordable, fast and relatively less expensive diagnostic tool to diagnose the causes of acute fever. This study was aimed to determine the differences of CRP level in the acute febrile caused by dengue infection or typhoid fever.
Methods: A cross sectional study has been conducted among acute febrile patients with diagnosis of dengue fever/dengue hemorrhagic fever or typhoid fever who admitted to the emergency room or hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital, Pluit Hospital, and Metropolitan Medical Center Hospital Jakarta between January 2010 and December 2013. Data obtained from medical records. CRP used in this study was examined at 2-5 days after onset of fever. The other collected data were demographic data, clinical data, use of antibiotics, leukocytes, platelets, neutrophils, ESR, and length of stay in hospital.
Results: 188 subjects met the inclusion criteria; 102 patients with dengue and 86 patients with typhoid fever. Median CRP levels in dengue infection was 11.65 (16) mg/L and in typhoid fever was 53 (75) mg/L. There were significant differences in median CRP levels between dengue infection and typhoid fever (p < 0.001). At the 99% percentile cut-off point, CRP levels for dengue infection was 45.91 mg/L and CRP levels for typhoid fever at 1% percentile was 8 mg / L.
Conclusion: There was significantly different levels of CRP in acute fever due to dengue infection and typhoid fever. At the 99% percentile cut-off point, CRP level >45.91 mg/L was diagnostic for typhoid fever, CRP level <8 mg/L was diagnostic for dengue infection. CRP level between 8 to 45.91 mg/L was a gray area for determinating diagnosis of dengue infection and typhoid fever.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sarah Mahri
"Latar belakang: Saat ini, peran vitamin D dalam berbagai penyakit kronis banyak diteliti. Vitamin D dianggap memiliki efek imunomodulator sehingga diduga berkaitan dengan beberapa penyakit alergi dan autoimun, termasuk urtikaria kronik. Terdapat laporan kadar vitamin D yang rendah pada pasien urtikaria kronik dan suplementasi vitamin D terbukti memperbaiki gejala urtikaria kronik yang dinilai dengan kuesioner yang sudah tervalidasi Urticaria activity score 7 (UAS7). Namun, penelitian mengenai korelasi kadar vitamin D serum dengan aktivitas penyakit urtikaria masih terbatas, terutama di Indonesia.
Tujuan: Menganalisis korelasi kadar vitamin D (25[OH]D) serum dengan aktivitas penyakit pada pasien urtikaria kronik.
Metode: Penelitian deskriptif-analitik dengan desain potong lintang. Tiga puluh pasien urtikaria kronik usia 18–59 tahun yang memenuhi kriteria penerimaan dan penolakan direkrut dalam penelitian ini. Penilaian aktivitas penyakit menggunakan UAS7 dan dilakukan pengukuran kadar 25(OH)D serum. Korelasi kadar 25(OH)D serum dan aktivitas penyakit dilakukan dengan menggunakan analisis Spearman. Penelitian ini juga menilai kecukupan pajanan matahari menggunakan kuesioner pajanan matahari mingguan.
Hasil: Rerata skor UAS7 adalah 14,63±7,8, median durasi penyakit adalah 12 (2–120) bulan, median skor pajanan matahari mingguan adalah 8 (2–34), dan median kadar 25(OH)D serum adalah 12,10 ng/mL (6,85–29.87). Mayoritas subjek mengalami defisiensi vitamin D (80%). Tidak terdapat korelasi antara kadar 25(OH)D serum dengan aktivitas penyakit (r=0,151; p=0,425), tetapi didapatkan korelasi negatif kuat yang bermakna pada kelompok defisiensi vitamin D berat (r=-0,916; p=0,001). Terdapat korelasi positif sedang bermakna antara aktivitas penyakit dan durasi penyakit (r=0,391; p=0,033). Pada kuesioner pajanan sinar matahari mingguan, didapatkan perbedaan bermakna skor bagian tubuh yang terpajan matahari antar kelompok insufisiensi dan defisiensi vitamin D (p=0,031).
Kesimpulan: Tidak terdapat korelasi kadar 25(OH)D serum dengan aktivitas penyakit pasien urtikaria kronik, namun terdapat kecenderungan peningkatan aktivitas penyakit pada kelompok defisiensi berat vitamin D.

Background: Nowadays, the role of vitamin D in various chronic diseases is a matter of great interest. Vitamin D is thought to have an immunomodulatory effect so it is thought to be associated with several allergic and autoimmune diseases, including chronic urticaria. There have been reports of low vitamin D levels in patients with chronic urticaria and vitamin D supplementations has been shown to improve symptoms of chronic urticaria which was assessed by a validated questionnaire Urticaria activity score 7 (UAS7). However, data on the correlation between serum vitamin D levels and disease activity in chronic urticaria are still limited, especially in Indonesia.
Objective: To analyze the correlation between vitamin D (25[OH]D) serum and disease activity in chronic urticaria patients.
Methods:
This is an analytic-descriptive cross-sectional study. Thirty chronic urticaria patients age 18 – 59 years old who meet all inclusion and exclusion criterias were recruited in this study. Assessment of disease activity using UAS7 and measurement of 25(OH)D serum levels were performed. Correlation of 25(OH)D serum levels and disease activity was done using Spearman analysis. In this study, an assessment of sun exposure adequacy was carried out using a weekly sunlight exposure questionnaire.
Results: The mean of UAS7 was 14.63±7.8, median duration of illness was 12 (2 – 120) month, median weekly sunlight exposure score was 8 (2 – 34), and the median serum 25(OH)D was 12.10 ng/mL (6.85 – 29.87). The majority of subjects had vitamin D deficiency (80%). There was no correlations between serum 25(OH)D levels and disease activity (r=0.151; p=0.425). However, a significant negative correlation was found in severe deficiency vitamin D group (r=-0.916; p=0.001). There was also significant moderate correlation between disease activity and duration of illness (r=0.391; p=0.033). In weekly sunlight exposure questionnaire, we found that body surface area score was significantly different between insufficiency and deficiency vitamin D groups (p=0,031).
Conclusion: There was no correlation between serum 25(OH)D levels and disease activity in chronic urticaria patients, however there was a tendency of increasing disease activity in severe deficiency vitamin D group
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muningtya Philiyanisa Alam
"Proses inflamasi pada kanker kepala dan leher menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi dan sintesis protein fase akut c-reactive protein, CRP yang kemudian menyebabkan perubahan metabolisme dan anoreksia pada penderitanya. Seng merupakan zat gizi yang memiliki peran penting dalam menekan inflamasi, namun dilaporkan sekitar 65 pasien kanker kepala dan leher mengalami kekurangan seng. Penelitian potong lintang ini bertujuan mengetahui korelasi antara asupan seng dan kadar seng serum dengan kadar c-reactive protein CRP sebagai upaya menekan inflamasi sehingga dapat mengurangi morbiditas dan mortalitas pasien kanker kepala leher. Dari 49 subyek yang dikumpulkan secara konsekutif di Poliklinik Onkologi RS Kanker Dharmais, 67,3 adalah laki-laki, rentang usia subyek 46 ndash;65 tahun. Frekuensi terbanyak 65,3 adalah kanker nasofaring dan 69,4 berada pada stadium IV. Seratus persen subyek memiliki asupan seng dibawah nilai angka kecukupan gizi. Rerata kadar seng serum subyek adalah 9,83 2,62 mol/L. Sebanyak 51 subyek memiliki kadar CRP yang meningkat. Terdapat korelasi negatif yang lemah antara kadar seng dengan kadar CRP subyek r =-0,292, p =0,042, namun tidak terdapat korelasi antara asupan seng dengan kadar CRP subyek p =0,86.

The inflammatory process of head and neck cancer leads to increase the proinflammatory cytokines and the synthesis of c reactive protein CRP , which then causes metabolic alteration and anorexia in the patients. Zinc is one of nutrient that has an important role in suppressing inflammation. It is reported that about 65 of head and neck cancer patients have zinc deficiency. The aim of this cross sectional study is to determine the correlation between zinc intake and serum zinc levels with CRP level as an effort to reduce inflammation to reduce the morbidity and mortality of head and neck cancer patients. Subjects were collected by consecutive sampling in the Oncology Polyclinic Dharmais Cancer Hospital, from 49 subjects 67,3 were men, most subjects were in the age range between 46 ndash 65 years. The highest frequency 65,3 is nasopharyngeal cancer and 69,4 are already in stage IV. All subjects in this study have a zinc intake below the recommended dietary allowance RDA in Indonesia. The mean serum zinc level of the subjects was 9.83 2.62 mol L. Most subjects have elevated CRP levels. There was a weak significant negative correlation between zinc concentration and CRP levels of subjects r 0.292, p 0.042, but there was no correlation between zinc intake and CRP levels of subjects p 0.86. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Suhendiwijaya
"Perjalanan klinis IMA yang berupa kejadian kardiak seperti gagal jantung, angina paska infark, aritmi ventrikel dan kematian, dilaporkan cukup tinggi, termasuk yang dilaporkan di RSJHK. Banyak petanda-petanda laboratorium untuk mendeteksi dini terhadap komplikasi dari perjalanan klinis IMA diperiksa sebagai petanda prognostik. Kini ada beberapa peneliti menghubungkan petanda proses inflamasi sebagai nilai prognostik, karena mereka mempunyai pendapat bahwa patologi dari sindroma koroner akut termasuk infark miokard akut merupakan respons inflamasi dari suatu cidera sel. Akibat cidera sel ini tubuh memberikan respon sistemik dengan mengeluarkan protein-protein fase akut Dari protein-protein fase akut yang dikeluarkan tubuh yang paling terbanyak dan sensitif adalah CRP. Tujuan penelitian iní untuk mengetahui nilai CRP penderita IMA pada saat masuk di unit gawat darurat dan mengetahui hubungan peningkatan nilai CRP awal pada infark miokard akut terhadap perjalanan klinis selama perawatan rumahsakit, sehingga diharapkan dapat digunakan sebagai faktor prognosis terhadap perjalanan klinis IMA. Penelitian ini dikerjakan di RSJHK secara studi cross sectional terhadap 31 penderita IMA yang masuk ke unit gawat darurat berdasarkan kriteria yang telah ditentukan. Pemeriksaan nilai CRP dengan menggunakan metode turbidimetri alat Hitachi/BM 911, dengan nilai normal CRP < 0,5 mg/dl (Standard Internasional). Hasil penelitian didapatkan umur rerata penderita 53,2 8,64 tahun, dengan kelompok kelamin laki-laki 27 orang (87,1 %) dan perempuan 4 orang (12,9 %) dengan onset sakit dada 4,2 ± 2,7 jam. Diagnosa infark anterior 22 orang (71 %) dan diagnosa infark inferior 9 orang (29 %). Didapatkan rerata nilai CRP awal 0,7 ±0,79 mg/dl, CRPjam ke 12 rerata 1,7 ±2, 15 mg/dl dan CRP jam ke 72 rerata 6,8 ± 5,65 mg/dl. Terdapat korelasi yang kuat antara peningkatan nilai CRP awal dengan komplikasi klinis IMA (r-0,6; p-0,0004). CRP jam ke 12 dan jam ke 72 mempunyai korelasi lemah (masing-masing r0,4;p-0,03 dan r0,4; p-0,006) terhadap komplikasi klinis. Peningkatan nilai CRP mempunyai korelasi linier positif terhadap nilai puncak enzim jantung. Peningkatan nilai CRP awal mempunyai hubungan bermakna dengan nilai CK/CKMB puncak (P<0,05) dan berkorelasi positif sedang (r-0,5) Demikian juga dengan nilai CRP ke 72 (CRP puncak) mempunyai hubungan linier positif dengan enzim CK puncak dan CKMB puncak. Komplikasi klinis IMA seperti gagal jantung mempunyai hubungan bermakna dengan nilai CRP awal yang meningkat (87,5% vs 12,5%; p-0,009) dibandingkan nilai CRP awal normal, demikian juga dengan angina paska IMA berbeda bermakna antara nilai CRP yang meningkat dengan nilai CRP normal (85,7% vs 14,3%; p-0,02). Nilai CRP awal yang meningkat mempunyai rasio odd 30,8 (IK 95%: 3,1-303,4) terhadap perjalanan klinis IMA selama perawatan rumahsakit. Kesimpulan: Peningkatan nilai CRP pada saat masuk rumahsakit mempunyai hubungan terhadap perjalanan klinis IMA selama perawatan rumahsakit dan nilai CRP mempunyai nilai prognostik."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1999
T57280
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nasution, Yesy Marianna, author
"Latar Belakang: Aktivasi mediator inflamasi diketahui menyebabkan kelahiran preterm. Sitokin dan penanda inflamasi yang terbentuk berhubungan dengan imun tubuh. Vitamin D diketahui berperan pada modulasi respon sistem imunitas tubuh. Penelitian ini ingin mengetahui hubungan antara kadar vitamin D serum ibu dan tali pusat, dengan IL-6 tali pusat dan C Reactive Protein (CRP) darah bayi prematur.
Metode: Penelitian ini merupakan studi analitik dengan desain potong lintang pada subjek ibu hamil 28-34 minggu yang mengalami kelahiran prematur didahului KPD dan bayi yang dilahirkannya, di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Jakarta pada bulan Januari 2017 sampai Agustus 2018. Subjek diambil secara consecutive sampling. Variabel data adalah kadar serum vitamin D ibu dan tali pusat, kadar serum IL-6 tali pusat dan kadar CRP darah bayi. Dilakukan kategorisasi dikotomi dan polikotomi (tiga) kadar vitamin D dan dicari hubungannya dengan kadar IL-6 tali pusat dan CRP darah bayi, menggunakan uji Mann-Whitney dan Kruskal Wallis.
Hasil: Sebanyak 70 subjek telah memenuhi kriteria penelitian. Pada kategori dikotomi vitamin D ibu, kadar IL-6 tali pusat dan CRP bayi dari kelompok kadar vitamin D kurang, sedikit lebih tinggi (3,89 pg/ml dan 0,45 mg/dl) dibandingkan kelompok kadar vitamin D normal (3,29 pg/ml dan 0,30 mg/dl), tetapi perbedaan tersebut tidak bermakna (IL-6 p=0,771 dan CRP p = 0,665). Pada kategori polikotomi vitamin D ibu, kadar IL-6 tali pusat dan CRP bayi dari kelompok ibu vitamin D defisiensi, lebih tinggi (20,31 pg/ml dan 0,50 mg/dl) dibandingkan kelompok ibu vitamin D insufisiensi (3,34 pg/mL dan 0,45 mg/dl) dan kelompok ibu vitamin D normal (3,29 pg/mL dan 0,30 mg/dl), tetapi perbedaan tersebut tidak bermakna (IL-6 p=0,665 dan CRP p = 0,899). Pada kategori dikotomi maupun polikotomi vitamin D tali pusat, didapatkan perbedaan tidak bermakna yang terbalik dari kadar IL-6 tali pusat dan CRP bayi.
Simpulan: Tidak didapatkan hubungan antara kadar serum vitamin D ibu dan tali pusat dengan kadar serum IL-6 tali pusat dan CRP darah bayi prematur.

Background: Activation of inflammatory mediators is known to cause preterm birth. Cytokines and inflammatory markers formed are associated with the body's immune system. Vitamin D is known to play a role in modulating the body's immune system response. This study aimed to find out the relationship between the levels of serum of maternal and umbilical cord vitamin D, with umbilical cord IL-6 and C Reactive Protein (CRP) in premature infants.
Method: This research was an analytic study with a cross-sectional design on the subject of 28-34 weeks pregnant women who experience preterm birth preceded by premature rupture of membranes and their babies, at dr. Cipto Mangunkusumo and Persahabatan General Hospital, Jakarta, from January 2017 to August 2018. Data variables were the levels of serum of maternal and umbilical cord vitamin D, umbilical cord IL-6 and CRP in premature infants. Vitamin D levels were divided into dichotomy and polycotomy categories, and found out their relationship to the levels of IL-6 and CRP using the Mann Whitney and Kruskal Wallis tests.
Result: A total of 70 subjects met the research criteria. In the maternal vitamin D dichotomy category, the umbilical cord IL-6 and infants CRP levels from the group with low level were less slightly higher (3.89 pg/ml and 0.45 mg/dl) compared to the group with normal level (3.29 pg/ml and 0.30 mg/dl), but the difference was not significant (IL-6 p = 0.771 and CRP p = 0.665). In the maternal vitamin D polycotomy category, umbilical cord IL-6 and infants CRP levels from the deficiency group were higher (20.31 pg/ml and 0.50 mg/dl) compared to the insufficiency group (3.34 pg/mL and 0.45 mg/dl) and the normal group (3.29 pg/mL and 0.30 mg/dl), but the difference was not significant (IL-6 p = 0.665 and CRP p = 0.899). In both dichotomy and polycotomy categories of umbilical cord vitamin D, we found a non-significant difference inversely related to umbilical cord IL-6 and infants CRP levels.
Conclusion: There was no correlation between between the levels of serum of maternal and umbilical cord vitamin D, with umbilical cord IL-6 and C Reactive Protein (CRP) in premature infants."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>