Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 104326 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Pradika Abimanyu
"Kota Salatiga merupakan salah satu kota di Indonesia yang dalam perjalanan sejarahnya tidak lepas dari pengaruh Hindia Belanda, salah satunya adalah kebijakan yang memisahkan kawasan permukiman berdasarkan golongan etnis atau dikenal dengan kebijakan wijkenstelsel. Salah satu yang akan menjadi pembahasan pada penelitian ini adalah permukiman etnis Tionghoa atau pecinan di Kota Salatiga pada abad 19 hingga 20 dengan melihat kaidah dan prinsip fengshui. Terdapat tiga tahap dalam penelitian ini, yaitu pengumpulan data, pengolahan data, analisis, dan interpretasi. Pada pengumpulan data dilakukan observasi dan wawancara terhadap objek yang akan diteliti yaitu bangunan-bangunan Tionghoa seperti kelenteng, pasar, ruko, rumah tinggal, dan makam sebagai tinggalan arkeologis. Selain itu, dilakukan studi dokumen terhadap foto dan peta terkait topik penelitian ini. Analisis yang digunakan adalah analisis mengenai arah hadap dan letak dari setiap bangunan. Hasil dari penelitian ini yaitu menjelaskan tata letak dari permukiman Tionghoa di Salatiga dan faktor yang mempengaruhinya.

Salatiga is one of the cities in Indonesia which in its history cannot be separated from the influence of the Dutch East Indies which separated settlement areas based on ethnic groups or known as the wijkenstelsel policy. One of the things that will be discussed in this research is the Chinese settlements or Chinatowns. This research discusses about Chinese settlement in Salatiga in the 19th to 20th centuries by looking at the rules and principles of fengshui. There are three steps in this research, that is data collection, data processing, analysis and interpretation. In data collection, observations and interviews were carried out on objects to be studied such as Chinese buildings such as temples, markets, shop houses, houses, and tombs as archaeological remains. Besides that, document studies of photos and maps were also carried out related to this research topic. On analysis, this research focused on facing direction and location of each buildings. The results of this paper are to explain the layout of Chinese settlements in Salatiga and also the factors that affect it."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wulandari Dewi Lestari
"SMPN 5 Jakarta merupakan Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) atau sekolah menengah pada masa Hindia Belanda. Bangunan SMPN 5 Jakarta belum ditetapkan sebagai cagar budaya dan perlu dilakukan kajian berkaitan dengan gaya bangunan serta nilai penting pada bangunanya. Penelitian bangunan SMPN 5 Jakarta dilakukan karena lokasi bangunan terletak di pusat Jakarta dan berada di antara bangunan Cagar Budaya. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian terhadap bangunan SMPN 5 Jakarta agar tetap terjaga eksistensi dan kelestarian bangunanya. Permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini, membahas gaya bangunan yang diterapkan pada bangunan SMPN 5 Jakarta dan nilai penting yang terkandung dalam bangunannya. Penelitian ini menggunakan tujuh tahapan pada metode yang dikemukakan oleh Pearson dan Sullivan. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa bangunan SMPN 5 Jakarta merupakan bangunan yang berdiri pada awal abad ke-20 dengan menerapkan beberapa gaya bangunan dengan gaya bangunan yang paling dominan, yaitu Gaya Art Deco dan Gaya Vernakular. Hasil analisis nilai penting bangunan mencakup nilai penting bagi sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan dan kebudayaan. Hasil dari analisisnya membantu dalam memberikan pertimbangan dalam penetapan bangunan SMPN 5 Jakarta sebagai bangunan Cagar Budaya.

SMPN 5 Jakarta is a Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) or secondary school during the Dutch East Indies period. The building of SMPN 5 Jakarta has not been designated as a cultural heritage site and requires further study regarding its building style and significant values. Research on the SMPN 5 Jakarta building was conducted because its location is in the center of Jakarta and is situated among cultural heritage buildings. Therefore, it is necessary to carry out research on the SMPN 5 Jakarta building to maintain its existence and preservation. The issues addressed in this study include the building style applied to the SMPN 5 Jakarta building and the significant values contained within it. This research uses seven stages of the method proposed by Pearson and Sullivan. The results of the research show that the SMPN 5 Jakarta building was built in the early 20th century, incorporating several building styles with Art Deco and Vernacular styles being the most dominant. The results of the analysis of the building's significance values ​​include significance for history, science, education, and culture. The results of the analysis help in considering the designation of the SMPN 5 Jakarta building as a Cultural Heritage Site."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Mitos memiliki peran bagi kelestarian benda cagar budaya di situs yang ada di Desa Hanggira, Lempe, dan Bariri. Penelitian ini berupaya mengungkap keberadaan mitos yang berkembang di seputar areal situs yang ada di tiga desa tersebut dan mengungkap nilai dan peranan mitos bagi kelestarian tinggaalan arkeologis. Metode penelitian yang dimanfaatkan dalam penelitian ini adalah metode studi kepustakaan, survey, deskriptif analitik, dan penyajian secara naratif. Berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa mitos yang berkembang di areal situs yang terdapat di tiga desa tersebut pada umumnya mengisahkan tentang peristiwa ketokohan dan peristiwa terjadinya suatu tempat yang dianggap pernah terjadi pada masa lampau. Tinggalan cagar budaya dalam situs-situs itu diyakini sebagai bukti fisik dari peristiwa sejarah. Nilai-nilai yang terdapat dalam mitos-mitos adalah nilai historis, solidaritas, patriotisme, dan edukatif. Mitos-mitos itu juga memiliki peran dalam menjaga kelestarian benda cagar budaya yang ada di situs-situs tersebut, yakni sebagai media untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat akan sejarah kolektifnya, menumbuhkan solidaritas sosial, menumbuhkan kebanggaan mereka akan kepahlawanan leluhurnya, dan menumbuhkan kesadaran mereka akan perbuatan negatif yang telah dilakukan oleh leluhurnya. Adanya kesadaran, kebangaan, dan keyakinan masyarakat ketiga desa itu memberikan dampak positif terhadap kelestarian tinggalan budaya megalitik yang ada di sana. Sampai saat ini mesyarakat ketiga desa itu secara bersama-sama menjaga, merawat, dan melestarikan warisan budaya leluhur mereka itu."
JNANA 19:2 (2014)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Rifqi Fadhil Pratama
"Mercusuar merupakan struktur bangunan berbentuk menara dengan lampu pencahayaan di puncaknya yang berfungsi sebagai pemandu kapal. Mercusuar tidak hanya berperan penting pada navigasi, namun juga memiliki nilai historis dalam kaitannya dengan pelayaran dan kelautan. Di Indonesia, hampir semua mercusuar bersejarah dibangun pada abad ke-19 dan sebagian besar berupa bangunan mercusuar besi yang didirikan di bawah nama raja Z.M. Willem III dari Belanda, hal ini menunjukkan adanya hubungan antara aspek kolonial dan sejarah dalam arkeologi maritim. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik bentuk terhadap empat bangunan mercusuar yang dibangun pada masa Z.M. Willem III di wilayah karesidenan Banten, Batavia, dan Cirebon karena penelitian yang lebih dalam mengenai arsitektur mercusuar-mercusuar yang dibangun di Nusantara pada abad ke-19 masih sangat terbatas. Objek utama penelitian mencakup Mercusuar Cikoneng, Mercusuar Pulau Sebira, Mercusuar Pulau Damar Besar, dan Mercusuar Pulau Biawak. Metode penelitian arkeologi yang digunakan dalam penelitian ini melalui tahap pengumpulan data, pengolahan data, analisis, dan interpretasi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa karakteristik utama dari keempat objek mercusuar tersebut terletak pada material penyusunnya yang berupa besi cor, bentuk kaki, tubuh, dan puncak mercusuar yang identik, jenis komponen, serta ragam hias interior bangunan.

A lighthouse is a tower-shaped structure with a light at its top, serving as a guide for ships. Lighthouses play a crucial role in navigation and hold historical significance related to seafaring. In Indonesia, nearly all historic lighthouses were constructed in the 19th century, with most being iron structures built under the name “Z.M. Willem III” of the Netherlands, indicating the connection between colonial aspects and history of maritime archaeology. This research aims to identify the architectural characteristics of four lighthouses built during the era of Z.M. Willem III in the regions of Banten, Batavia, and Cirebon residency, as in-depth studies on 19th-century Indonesian lighthouses are still very limited. The main research objects include Cikoneng Lighthouse, Pulau Sebira Lighthouse, Pulau Damar Besar Lighthouse, and Pulau Biawak Lighthouse. The archaeological research method used in this study involves data collection, data processing, analysis, and interpretation. The research findings reveal that the main characteristics of the four lighthouses are their construction from cast iron, the identical shape of the foot, body, and top of the lighthouse, its components, as well as the interior decorations of the building. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Amalia Dwi Trisnaedy
"Kehadiran bangsa Belanda yang beragama Protestan di Bogor melatarbelakangi terjadinya pendirian bangunan Gereja Zebaoth. Gereja Zebaoth merupakan gereja tertua di Bogor yang dibangun pada awal abad ke-20 M dan menjadi salah satu bangunan Cagar Budaya yang dilindungi. Sebagai bangunan peninggalan kolonial, Gereja Zebaoth memiliki nilai sejarah penting mengenai gaya bangunan yang diterapkan pada bangunannya. Berdasarkan penjelasan tersebut, penelitian ini membahas mengenai gaya bangunan pada Gereja Zebaoth Bogor yang didirikan pada awal abad ke-20 M. Penelitian ini akan dilakukan dengan metode penelitian arkeologi menurut Sharer & Ashmore yang terdiri atas formulasi penelitian, implementasi penelitian, pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, dan publikasi hasil penelitian. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Gereja Zebaoth Bogor bergaya Indis.

The presence of Dutch Protestants in Bogor was the reason behind the construction of the Gereja Zebaoth Bogor. Gereja Zebaoth Bogor is the oldest church in Bogor which was built in the early 20th century AD and is one of the protected Cultural Heritage buildings. As a colonial heritage building, Gereja Zebaoth has an important historical value related to the building style applied to the building. Based on this explanation, this study discusses the building style of the Gereja Zebaoth Bogor which was founded in the early 20th century AD. This research will be conducted using archaeological research methods according to Sharer & Ashmore which consists of research formulation, implementation research, data collection, data processing, data analysis, and publication of research results. The results of the study show that the Gereja Zebaoth Bogor has an Indis style.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Diah Yuniati
"Ragam hias wadasan dan mega mendung merupakan ragam hias yang banyak menghiasi bangunan-bangunan di Kepurbakalaan Islam Cirebon. Dianatara bangunan_bangunan kuno di cirebon, keraton merupakan salah satu bangunan yang dihiasi oleh kedua ragam hias. Terdapat tiga keraton di Cirebon, yaitu Kasepuhan, Kanoman, dan Kacirebonan, Keraton Kacirebonan merupakan satu-satunya yang tidak dihiasi kedua ragam hias tersebut. Ragam hias wadasan telah ada sejak masa pemerintahan Sunan Gunung Jati. Hal itu terbukti dengan adanya wadasan pada area bekas Keraton Pakungwati. Sedangkan ragam bias mega mendung, menurut para ahli, merupakan ragam hias yang bentuknya dipengaruh kebudayaan Cina.
Penelitian terhadap aspek bentuk kedua ragam hias di kedua keraton menunjukkan adanya bentuk-bentuk khas yang dimiliki oleh masing-masing keraton, di samping bentuk-bentuk yang umum ditemui di kedua keraton. Bentuk-bentuk khas wadasan di Keraton Kasepuhan adalah bentuk dasar segitiga dengan puncak membulat dan segitiga dengan puncak mendatar. Bentuk wadasan yang hanya terdapat di Keraton Kanoman adalah bentuk dasar belah ketupat dan kerucut. Bentuk wadasan yang terdapat di kedua keraton adalah bentuk dasar segitiga dengan puncak meruncing.
Bentuk mega mendung yang hanya ada di Keraton Kasepuhan adalah bentuk dasar belah ketupat dengan garis-garis pembentuk yang arahnya vertikal. Keraton Kanoman tidak mempunyai bentuk mega mendung yang khas,'karena di keraton tersebut mega mendungnya adalah mega mendung yang berbentuk dasar belah ketupat dengan garis-garis pembentuk yang arahnya horisontal yang terdapat juga di Keraton Kasepuhan.
Selain perbedaan bentuk, terdapat perbedaan pemilihan bahan pembuat mega mendung pada kedua keraton. Di Keraton Kasepuhan hanya bahan tras tang dipilih untuk membentuk mega mendung, sedangkan di Keraton Kanoman, selain bahan tras, bahan kayu dan kulit binatang (sapi) juga dipakai untuk membuat mega mendung. Perbedaan pemilihan bahan tidak terlihat pada wadasan, karena wadasan di kedua keraton sama_sama dibuat dengan menggunanakan bahan kayu, tras, dan karang.
Perbedaan yang juga terlihat antara kedua aragam hias di kedua keraton juga terlihat pada keberadaan wadasan di masing-masing keraton. Di Keraton Kasepuhan, wadasan merupakan ragam hias yang lebih banyak terlihat sebagai bagian dari satu kelompok ragam hias, seperti pada relief yang memuat berbagai bentuk ragam hias, termasuk wadasan. Di Kanoman, wadasan lebih cenderung sebagai ragam hias yang mandiri, tidak menjadi bagian dari satu kelompok ragam hias.
Persamaan yang teramati, selain persamaan pemilihan bahan wadasan, pola persebaran kedua jenis ragam hias. Baik( wadasan maupun mega mendung sama-sama tersebar pada bangunan-bangunan dan benda-benda yang terletak di halaman III (halaman paling selatan kompleks bangunan) kedua keraton, kecuali wadasan yang menempel pada tembok pembatas halaman II dan III KeratonKanoman.
Adanya perbedaan-perbedaan tersebut mungkin didorong oleh pengaruh kekuasaan raja dan penghuni masing-masing keraton. Sedangkan persamaan-persamaan yang timbul agaknya dipengaruhi oleh keberadaan kaidah-kaidah yang dijadikan pegangan oleh para seniman dalam membuat atau penempatkan ragam hias wadasan dan mega mendung di keraton Kasepuhan dan Kanoman. kaidah-kaidah tersebut bisa berupa tradisi atau kebiasaan turun temurun."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2001
S11844
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamzah Ali Baswedan
"Perubahan keadaan Perang Pasifik bagi Jepang menjadi pihak yang bertahan pada tahun 1943 memaksa Jepang untuk mendirikan pertahanan di wilayah-wilayah yang telah dikuasainya untuk mencegah serangan-serangan tidak terduga dari Sekutu. Salah satu pertahanan tersebut dibuat di kawasan pantai selatan Yogyakarta yang terdiri dari 20 bangunan pertahanan. Bentuk dan pola penempatan bangunan ini tentunya berkaitan dengan strategi Jepang dalam mempertahankan kawasan pantai selatan Yogyakarta dalam Perang Pasifik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui bentuk dan pola persebaran bangunan pertahanan dalam kaitannya dengan strategi pertahanan Jepang. Metode yang digunakan penelitian ini adalah metode observasi lapangan yang didukung dengan studi pustaka. Hasil analisis morfologi dan kontekstual KOCOA menunjukan bahwa bangunan pertahanan di kawasan pantai selatan Yogyakarta terdiri dari tiga tipe bangunan pertahanan dengan pola mengelompok dan acak serta penempatan yang menunjukan jika bangunan-bangunan tersebut dibuat untuk saling mendukung satu sama lain sambil memanfaatkan keadaan geografis dengan maksimal dalam upaya Jepang untuk mempertahankan kawasan pantai selatan Yogyakarta.

The changing conditions of the Pacific War for Japanese Empire to defensive action in 1943 forced the Japanenese to establish a series of fortifications in the territories it had controlled to prevent surprise attacks from the Allies. One of these was built in the southern coastal of Yogyakarta which consisted of 20 fortifications structures. The shape and placement pattern of these structures are related to the Japanese strategy in defending the southern coastal area of Yogyakarta during the Pacific War. This study aims to determine the shape and distribution  pattern of the Japanese fortifications structures. This article used field observation method supported by literature study. The results of the morphological analysis and contextual analysis of KOCOA show that the fortifications in the south coast of Yogyakarta consist of three types of structures with clustered and random placements patterns indicating that these structures were built to support each other while making the maximum use of geographical conditions of the southern coastal region of Yogyakarta."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ria Agustina
"Pada abad ke-19 dengan adanya pengaruh bangsa Eropa, kota-kota di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat dari segi pembangunan sarana dan prasana. Bangunanbangunan didirikan untuk menunjang kegiatan pada masa itu juga tidak lepas dari adanya pengaruh kebudayaan bangsa Eropa. Gereja Protestan di Indonesia bagian Barat (GPIB) Griya Mulya merupakan bangunan yang didirikan pada saat wilayah di Purworejo mendapat pengaruh dari bangsa Eropa. Bangunan GPIB Griya Mulya memiliki nilai historis yang penting dalam Kristenisasi di Purworejo. Sebagai bangunan Cagar Budaya, penting untuk menjaga kelestarian bangunan GPIB Griya Mulya Purworejo. Penelitian ini membahas tentang gaya bangunan GPIB Griya Mulya Purworejo. Metode penelitian yang digunakan mengacu pada tahapan penelitian arkeologi yang disusun oleh Sharer & Ashmore yang terbagi menjadi tujuh tahap, yaitu formulasi penelitian, implementasi penelitian, pengumpulan data, pengolahan data, analisis data, interpretasi data, dan publikasi hasil penelitian. Hasil penelitian melalui analisis komponen-komponen bangunan menunjukkan adanya beberapa gaya pada bangunan gereja, diantaranya adalah Gotik, Neo-Klasik, Art Deco.

In the 19th century, with the influence of Europeans, cities in Indonesia experienced rapid development in terms of the development of facilities and infrastructure. The buildings erected to support activities at that time were also influenced by European culture. The Protestant Church in Western Indonesia (GPIB) Griya Mulya is a building that was built when the area in Purworejo was influenced by Europeans. The GPIB Griya Mulya building has an important historical value in Christianization in Purworejo. As a Cultural Heritage building, it is important to preserve the GPIB Griya Mulya Purworejo building. This study discusses the building style of GPIB Griya Mulya Purworejo. The research method used refers to the stages of archaeological research compiled by Sharer & Ashmore which are divided into seven stages, namely research formulation, research implementation, data collection, data processing, data analysis, data interpretation, and publication of research results. The results of the study through the analysis of building components show that there are several styles in the church building, including Gothic, Neo-Classical, Art Deco.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Agus Udin Human
"Berangkat dari pengamatan terhadap peta-peta dan data sejarah yang ada, penulis berasumsi bahwa Banten nampaknnya pernah roemiliki sarana pertahanan berupa tembok kota. Penelitian ini dimaksudkan sebagai upaya melacak keberadaan tembok kota sebagaimana yang pernah tampak pada peta-peta kuna tentang Banten. Mengingat penelitian ini berorientasi untuk memeperoleh kejelasan masalah tembok kota secara khusus, maka penelitian difokuskan pada tembok kota yang pernah diekskavasi oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional (PUSLITARKENAS) dan Jurusan Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Ekskavasi tersebut dilakukan tahun 1985-1988. Kecuali itu dalam melengkapi analisisnya, penulis melakukan ekskavasi berupa kotak uji untuk menelusuri bagian struktur tembok kota yang belum terungkap pada penelitian sebelumnya. Landasan hipotetis yang digunakan dalam ekskavasi tersebut adalah deskripsi peta tahun 1659 dan catatan V.I. van de Wall, sedangkan penelitian-penelitian sebelumnya digunakan sebagai landasan operasional dalam menentukan lokasi kotak uji Melalui penelitiannya penulis. membuktikan kebenaran bahwa di Banten Lama terdapat tembok yang berbentuk zig-zag dan lurus dengan masing-masing ciri teknologinya. Perkiraan umur tembok kota tersebut sekitar 115 tahun. Secara lebih pasti umur ini dapat ditentukan dengan merujuk peta tahun 1596, sehingga perkiraan umur menjadi sekitar 89 tahun. Peta tahun 1659 menunjukkan adanya tembok yang berbentuk lurus, berarti umur tembok berbentuk zig-zag di misi Utara sekitar 63 tahun, sedangkan tembok yang berbentuk lurus bertahan selama 28 tahun hingga tahun 1685. Penulis juga mencatat bahwa penyertaan pagar keliling sebagai tembok kota telah dikenal sejak awal-awal Masehi, bahkan lebih awal lagi. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa pagar keliling merupakan gejala umum, yang berguna untuk mempersiapkan pertahanan dan perlindungan di berbagai tempat. Dengan membedakan kota-kota di Jawa abad ke 16-19 secara geografis menjadi kota pantai dan kota pedalaman menunjukkan bahwa pagar keliling atau tembok kota selalu terdapat pada kota pantai, sedangkan pada kola pedalaman tembok tersebut mengelilingi istana atau keraton. Terdapatnya tembok kota pada kota pantai merupakan alasan untuk mempersiapkan pertahanan kota yang memadai, karena keletakkan kota yang lebih terbuka dari arah laut"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 1991
S11418
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anwar Hafidz Al Kautsar
"Masjid Jami Cikini Al Makmur merupakan masjid yang terletak di daerah Cikini Jakarta Pusat yang selesai didirikan pada tahun 1932 dengan prakarsa tokoh-tokoh muslim nasional yang ditujukan untuk menampung jumlah jamaah yang lebih banyak dan menghindarkan konflik dengan perusahaan Belanda terhadap keberadaan masjid. Masjid ini memiliki keragaman arsitektur dan ornamen yang mendapatkan pengaruh dari beberapa unsur budaya, sehingga diketahui terdapat sebuah hibriditas yang merupakan bentuk transformasi akibat adanya interaksi antar kelompok budaya. Namun, dari beberapa unsur budaya yang berinteraksi terdapat dominasi budaya sehingga muncul pertentangan sebuah kelompok yang disebut budaya resistensi. Penelitian ini membahas bagaimana bentuk hibriditas di Masjid Jami Cikini Al Makmur pada abad ke-20 berdasarkan komponen variasi bentuk arsitektural dan ornamental serta mengungkapkan budaya resistensi yang terdapat pada bangunan masjid tersebut sebagai bentuk pertentangan terhadap adanya dominasi budaya. Metode yang digunakan pada penelitian ini merujuk pada penelitian arkeologi oleh Robert H Sharer dan Wendy Ashmore (2003) meliputi: formulasi, implementasi, pengumpulan data, pengolahan data, analisis, interpretasi, dan publikasi. Pengumpulan data dilakukan dengan studi pustaka dan survei secara langsung pada bangunan Masjid Jami Cikini Al Makmur. Hasil penelitian menunjukan terdapat unsur hibriditas pada bentuk arsitektur dan ornamental yang berasal dari unsur budaya lokal yakni budaya Jawa dan Betawi serta unsur budaya asing seperti budaya Arab, Cina dan juga Eropa. Sedangkan bentuk resistensi didasarkan pada penggunaan atap tumpang limasan dan tiang saka guru yang merujuk pada unsur budaya Jawa yang digunakan sebagai perlawanan dominasi bentuk bangunan bergaya kolonial di wilayah Cikini. Dari Hal tersebut dapat diketahui bahwa interaksi budaya dapat menghasilkan sebuah percampuran budaya pada bentuk arsitektur bangunan dan ornamen yang menghiasinya, serta bentuk perlawanan terhadap dominasi budaya dapat ditunjukkan melalui berdirinya sebuah bangunan agar eksistensi jati diri dari unsur budaya dapat terlihat.

The Jami Cikini Al Makmur Mosque is a mosque located in the Cikini area, Central Jakarta, which was completed in 1932 with the initiative of national Muslim figures aimed at accommodating a larger number of worshipers and avoiding conflicts with Dutch companies over the existence of mosques. This mosque has architectural diversity and ornaments that are influenced by several cultural elements, so it is known that there is a hybridity which is a form of transformation due to interaction between cultural groups. However, from several interacting cultural elements there is cultural domination so that there is opposition to a group called resistance culture. This research discusses the form of hybridity at the Jami Cikini Al Makmur Mosque in the 20th century based on the components of architectural and ornamental form variations and reveals the culture of resistance contained in the mosque building as a form of opposition to cultural domination. The methods used in this research refer to archaeological research by Robert H Sharer and Wendy Ashmore (2003) including: formulation, implementation, data collection, data processing, analysis, interpretation, and publication. Data collection was carried out by literature study and direct survey of the Jami Cikini Al Makmur Mosque building. The results showed that there were elements of hybridity in architectural and ornamental forms derived from local cultural elements, namely Javanese and Betawi cultures and foreign cultural elements such as Arabic, Chinese and European cultures. While the form of resistance is based on the use of pasan overlapping roofs and saka guru poles that refer to Javanese cultural elements that are used as resistance to the dominance of colonial-style building forms in the Cikini area. From this it, can be seen that cultural interaction can produce a mixture of cultures in the form of building architecture and ornaments that decorate it, and a form of resistance to cultural domination can be shown through the establishment of a building so that the existence of the identity of cultural elements can be seen.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>