Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 173035 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Moulid Hidayat
"Latar Belakang: Beberapa bukti menunjukkan bahwa quiescent cancer stem cell (CSC) terlibat dalam resistans terhadap gefitinib pada adenokarsinoma paru sebagai mekanisme nonmutasi. Kami sebelumnya telah mempublikasikan bahwa gefitinib- resistant persister (GRP) mengekspresikan stemness factor dengan level yang tinggi dan memiliki ciri khas fenotip CSC. Studi terbaru menunjukkan bahwa FBXW7, merupakan jenis protein F-box, memainkan peran penting dalam pemeliharaan quiescent CSC dengan memediasi degradasi protein c-MYC melalui proses ubiquination. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui peran FBXW7 dalam resistans terhadap gefitinib pada adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR.
Metode: Cell line dari sel adenokarsinoma paru, PC9, yang mengandung mutasi sensitif EGFR dipajankan pada gefitinib dengan konsentrasi tinggi untuk mengembangkan GRP. Kami mencoba melakukan abrogasi ekspresi gen FBXW7, dan mengevaluasi sensitivitasnya terhadap gefitinib dan populasi CD133-positive stem cell di GRP. Kami juga memasukkan plasmid FUCCI melalui proses infeksi lentiviral ke dalam sel dan kemudian menyelidiki siklus sel dan sel pada fase G0 dalam GRP. Selanjutnya, kami telah mengembangkan model gefitinib-resistant tumor (GRT) dengan menyuntikkan sel PC9 ke dalam mencit NOG diikuti dengan pemberian gefitinib setelah pertumbuhan tumor, dan mengevaluasi ekspresi mRNA dan ekspresi protein dari penanda terkait quiescence, FBXW7 in vivo.
Hasil: GRP menunjukkan ekspresi yang tinggi dari penanda cancer stem cell, CD133 dan penanda terkait quiescence, FBXW7 dan ekspresi c-MYC yang rendah pada tingkat protein secara in vitro. Analisis siklus sel menunjukkan bahwa mayoritas GRP berada pada fase G0/G1. TIndakan abrogasi gen FBXW7 menurunkan populasi sel CD133-positive di GRPs. Abrogasi FBXW7 juga meningkatkan kerentanan sel terhadap gefitinib, membalikkan populasi sel fase G0/G1 menjadi sel S/G2/M, dan menurunkan jumlah sel GRP. Secara in vivo, pada GRT setelah pengobatan gefitinib menunjukkan ekspresi FBXW7 yang tinggi dan ekspresi c-MYC yang rendah. Kami juga menemukan bahwa ekspresi FBXW7 dalam sel CD133-positive meningkat dan ekspresi c-MYC menurun pada mencit dan pada 9 dari 14 spesimen tumor dari pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR resistan terhadap gefitinib.
Kesimpulan: Temuan ini menunjukkan bahwa FBXW7 dapat memainkan peran penting dalam pemeliharaan quiescence pada gefitinib-resistant lung CSC pada adenokarsinoma paru dengan mutasi positif EGFR

Background: Accumulating evidence indicates that quiescent cancer stem cells (CSCs) are involved in the resistance to gefitinib in non-small cell lung cancer (NSCLC) as non-mutational mechanism. We have previously reported that gefitinib-resistant persisters (GRPs) highly expressed stemness factors and had characteristic features of the CSCs phenotype. Recent studies demonstrate that FBXW7, a type of F-box protein, plays an important role in the maintenance of quiescent CSC by mediating the degradation of c-MYC protein by ubiquination. The aim of this study is to figure out the role of FBXW7 in the resistance to gefitinib in lung adenocarcinoma with EGFR mutation.
Methods: lung adenocarcnoma cell lines, PC9, harboring sensitive-EGFR mutation were exposed to high concentration of gefitinib in order to develop GRPs. We tried to knockdown FBXW7 gene expression, and evaluated their sensitivity to gefitinib and CD133-positive stem cell population in GRPs. We also introduced FUCCI plasmid via lentiviral infection in the cells and then investigated the cell cycle and G0-phase cells in GRPs. Furthermore, we established gefitinib-resistant tumor (GRT) model by injecting PC9 cells into NOG-mice followed by gefitinib administration after tumor growth, and evaluated mRNA and protein expression of quiescence-related markers including FBXW7 in vivo.
Results: In vitro, GRPs showed high expression of stem cell marker CD133 and quiescence-related markers including FBXW7 and low expression of c-MYC at protein level. Cell cycle analysis revealed that majority of GRPs existed in G0/G1 phase. Silencing of FBXW7 gene reduced CD133-positive cell population in GRPs. Knockdown of FBXW7 also increased susceptibility of cells to gefitinib, reversed population of G0/G1 cells to G2/S/M cells, and decreased cell number of GRPs. In vivo, GRTs after gefitinib treatment revealed high expression of FBXW7 and low expression of c-MYC. We also found that FBXW7 expression in CD133-positive cells was increased and c-MYC expression was decreased in mice and in 9 out of
14 tumor specimens from EGFR-mutant lung adenocarcinoma patients with acquired resistance to gefitinib.
Conclusion: These findings suggest that FBXW7 plays a pivotal role in the maintenance of quiescence in gefitinib-resistant lung CSCs in EGFR mutation- positive lung adenocarcinoma.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Wiendo Syah Putra Yahya
"Latar belakang : Terapi target baru golongan EGFR-TKi telah direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk pasien KPKBSK non skuamosa dengan mutasi EGFR positif. Belum tersedia data di Indonesia tentang efikasi dan toksisitas terapi target baru EGFR-TKi pada pasien KPKBSK dengan mutasi EGFR positif dibandingkan dengan kemoradioterapi pada EGFR wild type di RSUP Persahabatan Jakarta.
Metode : Disain penelitian ini kohort retrospektif melalui resume medis pasien KPKBSK non skuamosa di RSUP Persahabatan periode Januari 2010 sampai Juli 2014. Teknik pengambilan sampel adalah consequtive sampling. Jumlah sampel 61 pasien yang terdiri dari 31 pasien KPKBSK non skuamosa dengan mutasi EGFR positif yang diberikan terapi target baru EGFR-TKi dan 30 pasien dengan EGFR wild type yang diberikan kemoradioterapi.
Hasil : Karakteristik pasien KPKBSK non skuamosa dengan mutasi EGFR yang positif adalah laki-laki sebanding dengan perempuan, bukan perokok, mutasi delesi di ekson 19 sebanding dengan mutasi L858R di ekson 21, angka tahan hidup 1 tahun 48,37%, rata-rata time to progression 284 hari sedangkan pasien EGFR wild type adalah laki-laki lebih dominan, perokok, angka tahan hidup 1 tahun 33,3% dan rata-rata time to progression 210 hari dan overall survival 293 hari. Uji T independen menunjukan terdapat hubungan yang bermakna antara terapi target baru EGFR-TKi dengan lama time to progression (p=0,028). Toksisitas yang sering ditemukan pada terapi target baru EGFR-TKi adalah mual- muntah (6,8%) diare (16,2%), alopesia (3,2%) dan kelainan kulit kemerahan (12,9%) sedangkan pada kelompok kemoradioterapi toksisitas yang ditemukan adalah anemia (13,3%), leukopenia (6,7%) dan trombositopenia (3,3%).
Kesimpulan : Pasien KPKBSK non skuamosa dengan mutasi EGFR yang positif dan diberikan terapi target baru EGFR-TKi memiliki time to progression yang lebih lama dan toksisitas yang dapat ditoleransi.

Background: The new targeted therapy of EGFR-TKi has been recommended as first-line therapy for patients with NSCLCC non-squamous with mutated EGFR. There are no data about the efficacy and toxicity of the new targeted therapy of EGFR-TKi in NSCLC non-squamous with mutated EGFR compared with chemotradiotherapy in wild type at Persahabatan Hospital, Jakarta.
Methods: The design of study are retrospective cohort through medical records of NSCLC non-squamous patients in the Department of Pulmonology and Respiratory Persahabatan Hospital in January 2010 to July 2014. The sampling technique is consequtive sampling. The number of samples are 61 patients consisted of 31 patients with NSCLC non-squamous with mutated EGFR treated the new targeted therapy of EGFR-TKi and 30 patients with EGFR wild type treated chemoradiotherapy.
Results: The characteristics of NSCLC non-squamous patients with positive mutated EGFR are male compared to women, non-smokers, a deletion mutation in exon 19 L858R mutation comparable with in exon 21, 1-year survival 41,9%, mean time to progression is 284 days and patients of wild-type mutation are more dominant in males, smokers, 1-year survival 33,3% and mean time to progression is 210 days and overall survival is 293 days . The independent t test showed a significant relationship between the new targeted therapy with EGFR-TKi and TTP (p = 0.028). The most common adverse events in the EGFR-TKi group are nausea and vomitus 96,8%), diarrhea (16,2%), alopecia (3,2%) and rash (12,9%) and in the chemotherapy group, anemia (13,3%), leucopenia (6,7%) and thrombocytopenia (3,3%).
Conclusions: The EFGR-TKi for patients with advanced non small cell lung cancer who are selected on the basis of EGFR mutations improve time to progression with acceptable toxicity.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Riyadi Sutarto
"Latar belakang : Efek potensial EGFR-TKI terhadap fungsi paru belum diinvestigasi secara mendalam. Penelitian ini bertujuan untuk menilai efek pemberian EGFR TKI terhadap fungsi paru terutama nilai DLCO.
Metode : Penelitian berlangsung secara prospektif dari September 2018 hingga Juni 2019 di Rumah Sakit Persahabatan Jakarta. Terdapat 20 subjek adenokarsinoma paru dengan mutasi tunggal di exon 19/21 yang dapat menyelesaikan pemeriksaan DLCO baik sebelum mendapat EGFR TKI dan setelah tiga bulan terapi.
Hasil : Penelitian ini mendapatkan peningkatan bermakna nilai rerata KVP prediksi dari 60,6% menjadi 68,25% (p=0,03), nilai rerata VEP1 Prediksi dari 59,7% menjadi 67,05% (p=0,036), nilai rerata DLCO dari 11,55 ml/menit/mmHg menjadi 13,72 ml/menit/mmHg (p=0,004) dan DLCO prediksi dari 53,4% menjadi 63,85% (p=0,03). Peningkatan nilai rerata DLCO prediksi paling besar pada kelompok dengan hasil RECIST partial response yaitu sebesar 16,43% (p=0,056).
Kesimpulan : Terapi EGFR TKI selama tiga bulan pada subyek adenokarsinoma paru dengan mutasi tunggal exon19/21 dapat meningkatkan fungsi paru secara bermakna baik nilai KVP prediksi, VEP1 prediksi, DLCO, dan DLCO prediksi.

Background : The epidermal growth factor receptor (EGFR) tyrosine kinase inhibitors (TKIs) are drugs of choice in non-small cell lung cancer possessing EGFR mutation. Its effect on the lung function is not well understood. This study aims to assess lung function using the lung diffusion capacity (DLCO) test in lung cancer patients treated with EGFR-TKIs. ming
Method :
This prospective study included lung cancer patients treated with EGFR-TKIs at Persahabatan Hospital Jakarta, Indonesia, between September 2018 andGrowt June 2019. The study recruited 20 lung adenocarcinoma patients presented with a single mutation at exon 19 or 21 as subjects in the process. Their DLCO was examined before and three months after receiving EGFR-TKI. Subjects were grouped according to the Response Evaluation Criteria in Solid Tumors (RECIST) assessment.
Results: There was an increase in predicted FVC from 60.60% to 68.25% (p=0.03), predicted FEV1 from 59.7% to 67.05% (p=0.036%), DLCO from 11.5 mL/minute/mmHg to 13.72 mL/minute/mmHg (p=0.004), and predicted DLCO from 53.4% to 63.85% (p=0.03) during the therapy. The largest increase of predicted DLCO was shown in RECIST group of partial response (16.43%, p=0.056) Conclusion: This study found an improvement in lung function (predicted FVC, predicted FEV1, DLCO, and predicted DLCO) among lung adenocarcinoma subjects exhibiting single mutation at exon 19 or 21 after three months of EGFR-TKIs treatment."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Marscha Iradyta Ais
"Latar Belakang: Jumlah kasus KPKBSK diperkirakan 85% dari seluruh kasus kanker paru dan 40% diantaranya adalah jenis adenokarsinoma. Sebanyak 10%-30% pasien adenokarsinoma mengalami mutasi EGFR dan mendapatkan terapi EGFR-TKI. Mayoritas pasien KPKBSK memiliki respons dan toleransi baik terhadap terapi EGFR- TKI tetapi sebagian kecil pasien mengalami penyakit paru interstisial akibat EGFR- TKI. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui proporsi gambaran penyakit paru interstisial pada pasien KPKBSK dengan terapi EGFR-TKI di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan pendeketan kohort retrospektif yang dilakukan bulan Januari 2021 hingga Juni 2022. Subjek penelitian adalah pasien KPKBSK yang mendapatkan terapi EGFR-TKI. Subjek penelitian dipilih sesuai kriteria inklusi dan eksklusi. Pengambilan data melalu data sekunder berupa rekam medis dan hasil CT scan toraks pasien yang kontrol di poliklinik onkologi RSUP Persahabatan.
Hasil: Pada penelitian ini diperoleh 73 subjek penelitian, pasien KPKBSK dengan mutasi EGFR yang mendapatkan terapi EGFR-TKI di RSUP Persahabatan. Sebanyak 12 dari 73 subjek penelitian mengalami gambaran ILD yang dievaluasi berdasarkan CT scan toraks RECIST I dan II dengan karakteristik jenis kelamin laki-laki (22,2%), kelompok usia 40-59 tahun (19,4%), perokok (24,1%), indeks brinkman berat (42,9%) dan mendapatkan terapi afatinib (26,1%). Proporsi gambaran ILD pada pasien KBPKBSK dengan terapi EGFR-TKI adalah opasitas retikular (58,3%), parenchymal band (33,3%), ground-glass opacities (25%), traction bronchiectasis (25%) dan crazy paving pattern (8,3%). Hasil analisis bivariat dan multivariat menunjukkan tidak terdapat perbedaan antara faktor-faktor seperti jenis kelamin, usia, jenis EGFR-TKI, riwayat merokok, indeks brinkman, riwayat penyakit paru dan tampilan status terhadap gambaran ILD.
Kesimpulan: Gambaran ILD pada pasien KPKBSK dengan terapi EGFR-TKI meliputi opasitas retikular, parenchymal band, ground-glass opacities, traction bronchiectasis dan crazy paving pattern. Tidak terdapat perbedaan bermakna secara statistik antara faktor-faktor yang memengaruhi terhadap gambaran ILD.

Background: The number of cases of NSCLC is estimated around 85% of all lung cancer cases and 40% among them are adenocarcinoma. Approximately 10%-30% of adenocarcinoma patients have EGFR mutations and receive EGFR-TKI therapy. The majority of NSCLC patients have a good response and tolerance to EGFR-TKI therapy, but a small group of patients experience EGFR-TKI induced interstitial lung disease. This study aims to determine the proportion of features of interstitial lung disease ini NSCLC patients treated with EGFR-TKI at Persahabatan Hospital.
Methods: This study was an analytic observational with a retrospective cohort approach that was conducted from January 2021 until June 2022. The subject were NSCLC patients who received EGFR-TKI treatment. The inclusion and exclusion criteria were used to determine which subjects will be included in the study. Data collection through secondary data from medical record and chest CT scan results of patients controlled at oncology polyclinic at Persahabatan Hospital.
Result : In this study, there were 73 subjects of NSCLC with EGFR mutations and received EGFR-TKI therapy at Persahabatan Hospital. There were 12 out of 73 subjects had ILD features which were evaluated based on RECIST I and II chest CT scan with predominant of male (22.2%), age group 40-59 years old (19.4%), smokers (24.1%), severe Brinkman index (42.9%) and received afatinib (26.1%). The proportion of ILD features in NSCLC patients with EGFR-TKI therapy are reticular opacities (58.3%), parenchymal bands (33.3%), ground-glass opacities (25%), traction bronchiectasis (25%) and crazy paving pattern (8.3%). The results of bivariate and multivariate analyzes showed that there was no differences between factors such as sex, age, type of GEFR-TKI, smoking history, Brinkman index, history of lung disease and performance status with features of ILD.
Conclusion: Features of ILD in NSCLC patients with EGFR-TKI therapy include reticular opacities, parenchymal bands, ground-glass opacities, traction bronchiectasis and crazy paving pattern. There is no statistically significa
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nathanael Andry Mianto
"Latar belakang: Terapi target dengan EGFR TKI merupakan terapi utama untuk kanker paru, khususnya KPKBSK. Selain permasalahan efektivitas harga, permasalahan lain terkait penggunaan EGFR TKI adalah resistansi primer dan sekunder seperti T790M, C797S dan insersi ekson 20. Penelitian in silico QSAR berbasis machine learning dan molecular docking dapat mempercepat penemuan senyawa EGFR TKI baru berbasis senyawa fitokimia.
Metode: Penelitian ini adalah penelitian in silico untuk mengembangkan model QSAR berbasis machine learning yang dilanjutkan dengan molecular docking untuk penapisan senyawa fitokimia yang memiliki efek EGFR TKI terhadap mutasi T790M, C797S dan insersi ekson 20. Model machine learning dibuat untuk memprediksi nilai IC50 berdasarkan struktur kimia senyawa. Data pembelajaran berasal dari pangkalan data ChEMBL, data senyawa fitokimia dari KEGG, dan data makromolekul dari RCSB PDB. Simulasi molecular dynamics dilakukan untuk memvalidasi lebih lanjut hasil molecular docking.
Hasil: Didapatkan 8627 senyawa EGFR TKI dari ChEMBL, yang dibagi menjadi set pembelajaran dan set uji dengan rasio 9:1. Model machine learning dengan algoritma LGBM berhasil dikembangkan dengan nilai R2 sebesar 73%. Lima senyawa fitokimia dengan nilai IC50 prediksi terbaik adalah orobol, norswertianin, isokaempferide, isoathyriol, dan norathyriol. Kelima senyawa memiliki profil farmakokinetik dan toksikologi yang cukupbaik. Hasil molecular docking menunjukkan norswertianin memiliki kemampuan ikatan terbaik terhadap EGFR mutasi T790M dan T790M/C797S/L858R, sedangkan orobol terhadap mutasi T790M/C797S dan insersi ekson 20. Kedua senyawa dapat membentuk ikatan yang stabil pada simulasi molecular dynamics.
Kesimpulan: Model QSAR berbasis machine learning dengan algoritma LGBM dapat digunakan untuk memprediksi nilai IC50 EGFR TKI senyawa berdasarkan struktur kimianya. Senyawa fitokimia dapat digunakan sebagai dasar pengembangan EGFR TKI baru. Senyawa norswertianin dan orobol memiliki potensi terbesar sebagai EGFR TKI yang efektif untuk mutasi T790M, C797S dan insersi ekson 20.

Background: Targeted therapy with EGFR TKI has been the mainstay of lung cancer treatment, especially NSCLC. Besides the poor cost-effectiveness, primary and secondary resistances, such as T790M, C797S, and exon 20 insertion mutation, have been problematic in EGFR TKI clinical utilization. In silico research, such as machine learning-based QSAR dan molecular docking, has the potential to hasten the discovery of novel EGFR TKI based on phytochemicals.
Method: This study is an in silico research to develop a machine learning-based QSAR model, followed by molecular docking experiments for virtual screening of phytochemicals that have bioactivity as EGFR TKI against T790M, C797S, and exon 20 insertion mutation. A machine learning model will be developed to predict IC50 based on chemical structure. The learning set is sourced from the ChEMBL database, phytochemical data from KEGG, and macromolecule data from RCSB PDB. Molecular dynamic simulation is carried out to validate the molecular docking result further.
Results: A total of 8627 compounds was procured from ChEMBL database, which was split into training and test sets with a ratio of 9:1. LGBM based machine learning model with considerable accuracy can be developed, with R2 of 73%. The five compounds with the best predicted IC50 value was orobol norswertianin, isokaempferide, isoathyriol, and norathyriol. All compounds possess a good pharmacokinetics and toxicology profile. The molecular docking result showed that norswertianin has the best binding affinity against EGFR with T790M and T790M/C797S/L8568R. Orobol has the best binding affinity against EGFR with T790M/C797S and exon 20 insertion. Both compounds can form a stable binding in molecular dynamics simulation.
Conclusions: Machine learning-based QSAR model utilizing the LGBM algorithm can predict IC50 value as EGFR TKI based on the compound’s chemical structure. Phytochemicals can be used as the basis for novel EGFR TKI. Norswertianin and orobol have the best EGFR TKI potential against T790M, C797S, and exon 20 insertion mutations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Widya Angasreni
"Latar Belakang: Kanker paru merupakan kanker terbanyak kedua yang terdiagnosis dan menjadi penyebab terbanyak kematian akibat kanker. Pemberian afatinb sebagai terapi target Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR)-Tyrosine Kinase Inhibitor (TKI saat ini telah menjadi terapi standar untuk pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR di Indonesia, termasuk di RSUP Persahabatan. Penelitian ini dilakukan untuk menganalisis pemberian terapi afatinib pada pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR di RSUP Persahabatan.
Metode: Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan data rekam medis fisik dan elektronik, dilakukan di Poli Onkologi RSUP Persahabatan, dengan teknik total sampling. Subjek penelitian adalah pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR yang mendapatkan afatinib pada Januari 2018-Desember 2021 di Poli Onkologi RSUP Persahabatan yang memenuhi kriteria penelitian.
Hasil: Didapatkan 116 subjek penelitian, pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR yang mendapatkan afatinib di RSUP Persahabatan dengan karakteristik lebih banyak laki-laki (52,6%), kelompok usia <65 tahun (80,2%), suku Jawa (81,9%), tanpa faktor risiko keganasan di keluarga (82,8%). Saat terdiagnosis subjek penelitian lebih banyak dengan stage IVA (75%), metastasis pleura (59,5%), mutasi EGFR delesi ekson 19 (53,4%) status tampilan 0-1 (75,9%) dan metastasis otak didapatkan pada 19% subjek. Nilai median progression free survivival (PFS) subjek penelitian yang mendapat afatinib adalah 13 bulan (95%IK 10,5-15,5 bulan), dan nilai median overall survival (OS) adalah 17 bulan (95%IK 14,9-19,1 bulan). Angka tahan hidup satu tahun yang didapat 65,1% dan Objective Respons Rate (ORR) adalah 36,1%. Sebanyak 35,3% subjek mendapatkan penurunan dosis afatinib 20 mg atau 30 mg. Toksisitas nonhematologi tersering pada pada penelitian ini adalah diare (74,1%), diikuti oleh stomatitis (61,2%), ruam kulit (59,5%) dan paronikia (49,1%).
Kesimpulan: Afatinib sebagai terapi lini pertama memberikan luaran yang cukup baik untuk pasien adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR di RSUP Persahabatan dengan efek samping samping nonhematologi yang dapat dikelola. Riwayat penurunan dosis afatinib tidak memengaruhi angka kesintasan.

Background: Lung cancer is the second most diagnosed cancer and the most common cause of death from cancer. Afatinib as targeted therapy with Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR)-Tyrosine Kinase Inhibitor (TKI) has now become standard therapy for lung adenocarcinoma patients with EGFR mutations in Indonesia, including at RSUP Persahabatan. This study was conducted to analyze the administration of afatinib therapy in lung adenocarcinoma patients with EGFR mutations at Persahabatan General Hospital.
Metode: Design of the study was retrospective cohort using secondary data, physical and electronic medical records at Oncology Clinic Persahabatan Hospital with total sampling technique. Subject of this study were medical records of lung adenocarcinoma patients with EGFR mutation and received afatinib therapy by January 2018- December 2021 which met the inclusion criteria.
Results: There were 116 subjects of lung adenocarcinoma with EGFR mutation and received afatinib at Persahabatan Hospital, with predominant of male (52,6%), age <65 years old (80,2%), Javanese (81,9%), without history of cancer in family (82,8%). Most of subjects are diagnosed as lung adenocarcinoma at stage IVA (75%), with most of them have pleural metastases (59,5%), EGFR mutation with exon 19 deletion (53,4%), performa status 0-1 (75,9%), and brain metastases were found in 19% of subject. The median progression free survival (PFS) of subjects was 13 months (95% CI 10.5-15.5 months), and the median overall survival (OS)was 17 months (95% CI 14.9- 19.1 months). The one-year survival rate was 65.1% and the Objective Response Rate (ORR) was 36,1%. As many as 35.3% of subjects had adjustment dose of afatinib to 20 mg or 30 mg The most common non-hematological toxicity found was diarrhea (74.1%), followed by stomatitis (61.2%), skin rash (59.5%) and paronychia (49.1%).
Conclusion: Afatinib as a first-line therapy provides a good outcome for lung adenocarcinoma patients with EGFR mutations at Persahabatan General Hospital with manageable non-hematological adverse events. History of adjustment dose of afatinib did not affect survival rate.
"
2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Resa
"Kanker paru-paru merupakan jenis kanker yang paling banyak diderita dan paling mematikan di dunia. Tipe kanker paru-paru paling banyak diderita merupakan kanker paru-paru non-sel-kecil (NSCLC). Senyawa flavonoid digunakan sebagai inhibitor protein reseptor faktor pertumbuhan epidermal (EGFR) dalam penelitian ini karena memiliki kemampuan bioaktivitas dan bioavailabilitas yang berpotensi sebagai obat antikanker. Penelitian ini menggunakan pendekatan in silico untuk menemukan senyawa flavonoid yang dapat menghambat protein reseptor EGFR secara efektif untuk dijadikan kandidat obat melalui desain obat berbasis fragmen. Beberapa metode komputasi yang digunakan adalah metode Protein-Ligand Interaction Fingerprint (PLIF), penentuan titik farmakofor, simulasi penambatan molekul, serta uji farmakologi dan toksisitas. Setelah dilakukan screening secara virtual melalui penambatan dengan protein EGFR (PDB. 1M17) menggunakan data flavonoid berasal dari basis data pubchem yang berjumlah 25.189 didapat dua fragmen terbaik yang memiliki tiga ikatan hidrogen untuk dilakukan fragment growing dan dari penambatan molekul senyawa hasil fragment growing yang berjumlah 25.600 diperoleh sepuluh senyawa terbaik, dengan parameter ΔGbinding lebih kecil dibanding standar erlotinib yaitu -8,8536 dan nilai RMSD lebih kecil dari 2,0 Å. Ligan tersebut diuji farmakologi dan prediksi toksisitas diperoleh dua senyawa sebagai kandidat inhibitor EGFR yaitu compound 980 dan compound 760 yang memiliki inhibisi CYP yang lebih sedikit dibanding standar dan tidak bersifat toksik untuk organ hati. Berdasarkan hasil tersebut maka compound 980 dan compound 760 dapat menjadi inhibitor EGFR yang potensial.

Lung cancer is the most suffered and deadly type of cancer in the world. The most common type of lung cancer is non-small cell lung cancer (NSCLC). Flavonoid compounds are used as epidermal growth factor receptor (EGFR) protein inhibitors in this study because they have the potential for bioactivity and bioavailability as anticancer drugs. This study uses an in silico approach to find flavonoid compounds that can effectively inhibit EGFR receptor proteins to be drug candidates through fragment-based drug design. Some computational methods used are the Protein-Ligand Interaction Fingerprint (PLIF) method, pharmacophore point determination, molecular tethering simulation, and pharmacology and toxicity tests. After a virtual screening with EGFR protein (PDB. 1M17) used flavonoid data from the pubchem database with totat number 25,189 is obtained the two best fragments that have three hydrogen bonds to do fragment growing and from molecular docking simulation of compound molecules from fragment growing totaling 25,600 is obtained the ten best compounds, with the parameter ΔGbinding smaller than the erlotinib standard which is -8.8536 and an RMSD value smaller than 2.0 Å. The ligand was tested pharmacologically and the the toxicity was predicted is obtained two compounds as EGFR inhibitor candidates namely compound 980 and compound 760, which had less CYP inhibition than standard and were not toxic to liver. Based on these results, compound 980 and compound 760 can be potential EGFR inhibitors.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2020
T54605
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mia Elhidsi
"Latar Belakang : Mutasi pada gen Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) berhubungan dengan karsinogenesis Adenokarsinoma paru terutama pada usia muda yang tidak terpajan cukup lama oleh rokok sebagai karsinogen. Penelitian ini untuk mengetahui profil mutasi gen EGFR dan angka tahan hidup pasien adenokarsinoma paru usia muda.
Metode: Penelitian observasional kohort retrospektif dan prospektif pada Adenokarsinoma paru usia muda yakni usia <45 tahun dibandingkan dengan usia yang lebih tua. Data diambil dari catatan medis rumah sakit umum pusat Persahabatan Jakarta 2012-2013 dan dilakukan observasi progresivitas dan kematian selama 2 tahun pasca tegak diagnosis.
Hasil: Total pasien Adenokarsinoma paru adalah 218 orang terdiri dari 65 orang usia muda dan 153 orang usia tua. Karakteristik Adenokasrsinoma paru usia muda adalah perempuan (58,3%), bukan perokok (66,7%), stage lanjut (98,5%), status tampilan WHO ≤2, metastasis ke luar rongga toraks (43,1%). Proporsi mutasi EGFR positif pada usia muda lebih tinggi dibandingkan usia tua (70,8%vs51%; p=0,007). Mutasi gen EGFR usia muda terdiri dari 36,9% delesi ekson 19; 30,8% mutasi ekson 21 L858R; 3,1% mutasi ekson 21 L861Q dan 29,2% wild type. Masa tengah tahan hidup Adenokarsinoma paru usia muda dengan EGFR positif yang diberikan EGFR tyrosine kinase inhibitor adalah 652 hari (590-713 hari, IK 95%) dengan angka tahan hidup 1 tahun adalah 87,5% dan masa bebas penyakit adalah 345 hari (IK 95%, 323-366 hari). Delesi ekson 19 memberikan masa bebas penyakit yang lebih baik dibandingkan dengan mutasi ekson 21 (RR 2,361; IK 95% 1,126-4,952; p=0,023). Masa tengah tahan hidup Adenokarsinoma paru usia muda dengan mutasi EGFR wild type yang mendapat kemo/kemoradioterapi adalah 515 hari (IK 95%, 487-542) dengan angka tahan hidup 1 tahun adalah 70,7% dan masa bebas penyakit adalah 202 hari (IK 95%, 137-266 hari).
Kesimpulan: Profil mutasi gen EGFR pada Adenokarsinoma paru usia muda sangat penting dalam pemilihan terapi lini pertama sehingga dapat meningkatkan angka tahan hidup.

Introduction: Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) mutation is associated with Lung Adebocarcinoma carcinogenesis particularly in young patients which don?t have long exposure to smoke as carcinogen. This study investigate Profile of Epidermal Growth Factor Receptor Mutation and Survival in Young Patients with lung Adenocarcinoma.
Method: Retrospective and prospective observational cohort study in lung Adenocarcinoma <45 years old compare with olders. Data are taken from medical record Persahabatan hospital Jakarta 2012-2013 and we observed for progressivity and mortality in 2 years since diagnosis.
Results: A total 218 lung Adenocarcinoma consists of 65 young patients and 153 olders. Young lung Adenocarcinomas are female (58,3%), nonsmokers (66,7%), advanced stage (98,5%), performance status WHO ≤2, extrathoracic metastatics (43,1%). EGFR mutation in youngers are higher than olders (70,8%vs51%; p=0,007). Mutation in young patients consists are 36,9% exon 19 deletion; 30,8% exon 21 L858R mutation; 3,1% exon 21 L861Q mutation and 29,2% wild type. Overall survival (OS) young patients with EGFR mutation positive treated with EGFR tyrosine kinase inhibitor are 652 days (95% CI, 590-713 days), 1 year survival is 87,5% and progression free survival (PFS) are 345 days (95% CI, 323-366 days). Exon 19 deletion give higher PFS than exon 21 (RR 2,361; IK 95% 1,126-4,952; p=0,023). Overall survival young patients with EGFR wild type treated with conventional chemotherapy are 515 days (487-542 days, 95%), 1 year survival is 70,7% and their PFS are 202 days (137-266 days, 95% CI).
Conclusion: EGFR mutation profile in young lung Adenocarcinoma is important to choose first line therapy so that can increase their survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Ali Asdar
"Pendahuluan: Tyrosine Kinase Inhibitors (TKIs) sangat efektif terhadap Kanker
Paru jenis Karsinoma Bukan Sel Kecil (KPKBSK) dengan mutasi Epidermal
Growth Factor Receptor (EGFR). Gefitinib dan Erlotinib adalah generasi pertama
EGFR-TKI untuk pengobatan KPKBSK dengan mutasi EGFR. Obat-obat ini telah
tersedia melalui asuransi kesehatan di Indonesia untuk pasien Adenokarsinoma
paru dengan mutasi EGFR. Data mengenai efikasi dan toksisitas EGFR-TKI saat
ini belum tersedia di Indonesia.
Metode: Kami melakukan analisis observasional kohort retrospektif pada pasien
Adenokarsinoma paru dengan mutasi EGFR di RSUP Persahabatan, Jakarta
Indonesia dari Januari 2015 sampai dengan Desember 2017. Kami meninjau
rekam medis 331 pasien dengan diagnosis Adenokarsinoma paru dengan mutasi
EGFR stage lanjut yang diobati dengan EGFR-TKI generasi pertama. Sebanyak
192 subjek yang memenuhi kriteria inklusi.
Hasil: Subjek yang mendapatkan Gefitinib (n=132) dan Erlotinib (n=60). Median
progression free survival (PFS) sebanding antara Gefitinib dan Erlotinib (9,0 dan
7,0 bulan, interval kepercayaan 95% [IK] 0,57-1,07, p=0,126). Median Overall
survival (OS) dan angka tahan hidup 1 tahun masing-masing kelompok adalah
44,5 vs 39,5 bulan (95% IK 0,35-1,29, p=0,670) dan 92% berbanding 92%
(p=0,228). Terdapat toksisitas termasuk diare, paronikia, skin rash dan stomatitis
yang diamati tetapi tidak ada perbedaan yang bermakna pada toksisitas derajat 3
atau 4 antara kedua kelompok (p=0,713).
Kesimpulan: Kedua EGFR-TKIs generasi pertama sebanding dalam PFS dan OS,
meskipun Gefitinib terlihat lebih tinggi, tetapi secara statistik tidak bermakna dan
keduanya memiliki toksisitas yang sebanding dan dapat ditoleransi.

Introductions: Tyrosine kinase inhibitors (TKIs) are effective against non-small
cell lung cancer (NSCLC) with epidermal growth factor receptor (EGFR)
mutation. Gefitinib and erlotinib are the first-generation EGFR-TKIs
recommended as first-line treatments for NSCLC with EGFR mutations and are
available through Universal Health Coverage in Indonesia for lung
adenocarcinoma patients with EGFR mutations. However, the efficacy and safety
data of EGFR-TKIs are unavailable in Indonesia.
Methods: We did a retrospective cohort analysis of the patients of lung
adenocarcinoma with EGFR mutations treated in Persahabatan Hospital Jakarta,
Indonesia, between January 2015 and December 2017. We reviewed the records
of 331 patients with advanced stage lung adenocarcinoma with EGFR mutation
treated with the first-generation EGFR-TKIs. The subjects were 192 patients who
met the inclusion criteria.
Results: Subjects were receiving gefitinib (n=132) and erlotinib (n=60). Median
progression-free survival (PFS) was comparable between gefitinib and erlotinib
(9.0 vs 7.0 months, 95% confidence interval [CI] 0.57-1.07, p=0.126). The
median overall survival (OS) and 1-year survival were 44.5 vs 39.5 months
(95%CI 0.35-1.29, p=0.228; and 92% vs 92%, p=0.228, respectively). Reported
toxicities were diarrhea, paronychia, rash, and stomatitis but not of significant
difference between grade 3 or 4 toxicities (p=0.713).
Conclusions: The PFS and OS of the first-generation EGFR-TKIs were
comparable, although gefitinib PFS and OS was shown to be better, but without
significance. Both gefitinib and erlotinib had comparable and tolerable adverse
effects"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Wahyunianto Hadisantoso
"Latar Belakang: Mutasi Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) merupakan prediktor keberhasilan terapi TKI pada non-small cell lung cancer (NSCLC). Ras Asia, perempuan, bukan perokok, tipe histologis adenokarsinoma adalah karakteristik klinikopatologis yang diketahui memiliki asosiasi dengan mutasi EGFR pada NSCLC. Di Indonesia belum pernah dilakukan penelitian yang membuktikan asosiasi tersebut di tengah keterbatasan sumber daya dan fasilitas pemeriksaan biomolekuler untuk medeteksi mutasi EGFR.
Metode: Desain studi adalah potong lintang. Subjek dikumpulkan secara konsekutif dari pasien adenokarsinoma paru stadium lanjut Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Dharmais Pusat Kanker Nasional yang memeriksakan status mutasi EGFR di Laboratorium Kalbe Genomics dalam kurun waktu Januari 2010 hingga Desember 2013. Dari rekam medis pasien ditelusuri data umur, jenis kelamin, status merokok, diagnosis dan status mutasi EGFR. Uji chi-square dilanjutkan regresi logistik digunakan untuk menilai asosiasi jenis kelamin dan status merokok terhadap status mutasi EGFR.
Hasil: Studi melibatkan 51 subjek dan didapatkan proporsi mutasi EGFR sebesar 47,1% (IK 95% = 33,4% – 60,8%). Uji bivariat menunjukkan perempuan (RO=4,80; IK 95%=1,12-20,61) dan bukan perokok (RO=4,00; IK 95%=1,23-13,06) memiliki asosiasi dengan mutasi EGFR, namun pada uji multivariat hanya status bukan perokok yang masih bermakna (RO=4,00; IK 95%=1,22-13,06).
Simpulan: Proporsi mutasi EGFR pada kelompok pasien adenokarsinoma paru stadium lanjut 47,1%. Hanya status bukan perokok yang memiliki asosiasi independen dengan mutasi EGFR.

Background: Epidermal Growth Factor Receptor (EGFR) mutation is predictor for successful TKI therapy in non-small cell lung cancer (NSCLC) patient. Asian, women, non-smoker, and histology of adenocarcinoma are the clinicopathological characteristics associated with EGFR mutation in NSCLC patient. In Indonesia, no research has been performed to confirm association between those characteristics while the resources and facilities to detect EGFR mutation are lacking.
Method: A cross sectional study was performed in Cipto Mangunkusumo National Referral Hospital and Dharmais Hospital National Cancer Center from January 2010 to December 2013. Subjects were collected consecutively from advanced lung adenocarcinoma patients who underwent examination for EGFR mutation in Kalbe Genomics Laboratory during study period. From medical records, information about age, gender, smoking status, diagnosis, and EGFR mutation status were collected. Chi square and logistic regression analysis were performed to assess association between variables.
Results: From 51 subjects participated in this study, proportion of EGFR mutation was 47.1% (CI 95% = 33,4% – 60,8%). Bivariate analysis revealed that women (OR=4,80; CI 95%=1,12-20,61) and non-smoker (OR=4,00; CI 95%=1,23-13,06) were associated with EGFR mutation. While in multivariate analysis, non-smoker status was the only significant clinical factor associated with EGFR mutation (OR=4.00; CI 95%=1.22-13.06).
Conclusion: Proportion of EGFR mutation in advanced lung adenocarcinoma patients is 47,1%. Non-smoker status is the only clinical factor associated with EGFR mutation.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>