Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 148264 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hendra Tri Hartono
"Latar Belakang: Rekonstruksi pada defek tulang kritikal masih merupakan tantangan yang besar untuk seorang ahli bedah plastik rekonstruksi. Selama ini, baku emas untuk menangani kasus defek tulang tersebut adalah menggunakan autologous bone graft, namun terdapat beberapa kekurangannya seperti morbiditas pada lokasi donor, pemanjangan waktu operasi, donor yang terbatas, dan pemajangan waktu rawat. Mencoba mengatasi kekurangan tadi, muncullah rekayasa jaringan tulang yang memberikan hasil yang menjanjikan dalam regenerasi jaringan tulang biologis yang baru. Beberapa penelitian hewan sebelum, menunjukkan bahwa implantasi secara ortotopik dan ektopik dapat memberikan hasil yang cukup baik dalam regenerasi tulang
Metode: Telaah sistematis dilakukan pada Pubmed/MEDLINE, Cochrane Library, dan WHO ICTRP, termasuk semua studi dengan data primer untuk rekayasa jaringan tulang menggunakan kalsium fosfat sebagai bahan rangka, studi pada defek tulang kritikal, baik uji klinis acak terkontrol maupun tidak pada manusia dan hewan. Luaran yang dinilai adalah pembentukan tulang baru yang membandingkan implantasi secara ortotopik (intraperiosteum) dan ektopik (intramuskular). Studi ini menggunakan SYRCLE’s tools untuk menilai risiko bias studi pada hewan.
Hasil: Didapatkan lima studi hewan yang memenuhi kriteria eligibilitas dari total 80 studi yang diinklusi pada telaah ini. Dicantumkan karakteristik demografis dari masing-masing studi. Studi yang memiliki luaran klinis yang sama (% area tulang dan % kontak) dibandingan antara implantasi ortotopik dan ektopik. 2 studi menunjukkan bahwa implantasi secara intramuskular menggunakan kerangka yang sudah ditambahkan BMSC memberikan hasil yang baik pada pembentukan jaringan tulang baru. Kerangka kosong tidak menunjukkan adanya pembentukan tulang. Penambahan BMP-2 sebagai factor pertumbuhan dapat meningkatkan osteogenisitas baik pada implantasi ortotopik maupun ektopik.
Kesimpulan: Implantasi ortotopik dapat menginduksi pembentukan tulang baru lebih baik daripada implantasi ektopik. Menggunakan kerangka yang ditambahkan BMSC serta BMP-2 pada implantasi intramuskular memberikan hasil yang baik untuk pembentukan tulang baru. Rekayasa jaringan tulang memungkinkan untuk dilakukan dengan implantasi secara ortotopik maupun ektopik

Background: Critical bone defect reconstruction remains a major challenge in plastic reconstructive surgery. While autologous bone graft is still considered as the gold standard for treating critical bone defects, there are disadvantages like donor site morbidity long operative time, donor limitation, and extended hospital stay. In order to resolve them, bone tissue engineering has emerged in reconstruction medical studies, for they give promising result in regenerating new biological bone tissue. Previous animal studies have shown that implantating orthotopically and ectopically gave promising result in bone regeneration.
Methods: A systematic search was done on PubMed/MEDLINE, Cochrane Library, and WHO ICTRP, including all studies with primary data for bone tissue engineering using calcium phosphate as scaffold materials, studies in critical bone defects, RCT or non RCT in human studies or animal studies. Studies with outcome of new bone formation comparing orthotopic (intraperiosteum) implantation and ectopic (intramusculuar) implantation. We used SYRCLE’s tools for assessing risk of bias of animal studies.
Results: Five animal studies meet the eligibility criteria from a total of 80 studies are included for this review. Characteristics demography of each study are stated. Studies with the same outcome (bone area% and contact%) are compared in orthotopic and ectopic implantation. Two studies showed that intramuscular implantation using BMSC-seeded scaffold give promising result of new bone formation. However empty scaffold did not show any bone formation. Adding BMP-2 for growth factor can improved osteogenecity both in orthotopic implantation and ectopic implantation
Conclusion: Orthotopic implantation can induced new bone formation better than ectopic implantations. Using BMSC-seeded and addition of BMP-2 for intramuscular implantation give good result of new bone formation. Both orthotopic and ectopic (intramuscular) implantation are possible for bone tissue engineering
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Umu Istikharoh
"Latar belakang: Diced cartilage banyak digunakan dalam praktek bedah plastik. Keuntungannya sangat beragam, dari rekonstruksi hingga estetik. Tetapi data mengenai viabilitas antara bentuk kasar dan halus belum ada, sehingga penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan data dasar tersebut.
Metode: Penelitian menggunakan kelinci New Zealand dewasa. Menggunakan tujuh ekor kelinci yang dibagi menjadi tiga grup yaitu grup block cartilage, coarsely diced cartilage dan finely diced cartilage. Pengabilan cartilage dilakukan dari satu sisi bagian telinga kelinci, dibagi dengan ukuran yang sama dan ditanam di bawah kulit scapula. Setelah 12 minggu dilakukan pemeriksaan makroskopik untuk menilai warna, dan kontur dari kartilago yang sudah diimplantasikan lalu juga dilakukan pemeriksaan histologis dengan pewarnaan : Haematoxylin Eosin dan Mason Tricrhome untuk menilai viabilitas masing ndash; masing grup.
Hasil: Secara makroskopik didapatkan perbedaan berat cartilage dari masing ndash; masing grup. Masing ndash; masing menunjukkan peningkatan berat cartilage antara sebelum dan sesudah 12 minggu. Tidak didapatkan perbedaan viabilitas antara masing ndash; masing grup, dengan nilai p > 0.312.
Kesimpulan: Penggunaan coarsely diced cartilage memiliki keuntungan untuk pengisian volume organ yang besar. Hal ini dikarenakan tidak adanya perbedaan secara makroskopik maupun mikroskopik antra finely dan coarsely diced cartilage.

Background: The use of diced cartilage grafts is common in plastic surgery, it is very useful for reconstruction after secondary accident and malignancies in the facial region. In recent years it is very useful for aesthetic surgery. The study to compare between coarsely and finely diced cartilage is not provide.
Methods: We use New Zealand white rabbits for this study. We used seven samples with three group, one group of block cartilage, one group of coarsely diced cartilage and the last group of finely diced cartilage. Three equal sized auricular cartilage grafts were harvested from each rabbit and implanted on the scapulae of the same rabbits. Twelve weeks after implantation, all cartilage grafts were examined macroscopically and microscopy. Post implanted cartilage grafts were stained by Haematoxylin Eosin and Thricrhome to know the viability of each group.
Result: Macroscopically there is different weight before and after implantation, every group was gain the weight. The viability between the each group is not different significant, p 0.312. The advantages for the coarsely diced cartilage than fined diced cartilage was same in contour, color, viability and absorpsion weight was gained.
Conslusion: We can used the coarsely diced cartilage for the bigger defect that need more volume. The result is same between finely and coarsely in clinical and histologic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tessa Miranda Atmaja
"Deteksi dini kelainan vaskularisasi pada flap kulit memerlukan metode pemantauan yang konstan dan dapat diandalkan. Evaluasi melalui fotografi digital dapat menjadi solusi apabila didapatkan foto dengan spesifikasi seragam. Tujuan dari penelitian ini adalah mengembangkan prototipe studio foto portable yang mampu memberikan kualitas foto standard yang disebut sebagai Mini Mobile Medical Photo Studio (MiniMoPS) kemudian dilakukan analisa foto untuk memperoleh data dasar warna dan tekstur kulit hidup dan kulit kadaver. Pembuatan MiniMoPS dilakukan melalui studi literatur dan percobaan yang sesuai dengan kaidah foto studio. MiniMoPS kemudian digunakan untuk pengambilan sampel foto. Studi pendahuluan ini melibatkan 32 foto punggung tangan yang terdiri dari 16 foto kulit sehat dan 16 foto kulit kadaver. Hasil foto digital ini kemudian dianalisa menggunakan Adobe® Photoshop CS6 and ImageJ® freeware untuk mendapat nilai hue, saturasi, kecerahan, masing-masing komponen warna (merah, hijau dan biru) serta tekstur. Hasil foto tersebut menunjukkan nilai untuk kulit hidup adalah hue 33o, saturasi 13.75%, kecerahan 49.5%, Total Digital Number (TDN) 121.58 dan indeks tekstur 120 sementara kulit kadaver memiliki nilai hue 32.813o, saturasi 31.063%, kecerahan 68.188%, TDN 153.95 dan indeks tekstur 155.41. Hasil analisa menunjukkan kulit hidup memiliki warna lebih terang dan tekstur lebih homogen dibandingkan dengan kulit kadaver.

Flap vitality monitoring remains a challenge for microvascular surgeons. Photo evaluation is potential but should produce a standard photo quality. This study propose the use of a portable photo studio called the Mini Mobile Medical Photo Studio (MiniMoPS) to produce consistent photographs and further analysed the photos to obtain a benchmark data of living and cadaveric skin colour and texture. The MiniMoPS was developed through a preliminary study to accommodate the basics elements of a photo studio. A pilot study was done, with 32 photographs of the dorsum of the hand, 16 from healthy samples and 16 from cadaveric samples. The digital photographs were analyzed using Adobe® Photoshop CS6 and ImageJ® freeware to obtain a quantification of hue, saturation, brightness, colour component (red, green and blue) and texture. Average value of living skin is hue 33o, saturation 13.75%, brightness 49.5%, Total Digital Number (TDN) 121.58 and 120 texture index while cadaveric skin has the following values; hue 32.813o, saturation 31.063%, brightness 68.188%, TDN 153.95 and 155.41 texture index. A significant difference was found between the two groups except for hue. Cut off points for TDN are generated with the range of 122–150. Analysis revealed that living skin gives a comparatively lighter colour and less coarse texture than cadaveric skin. The author proposed a TDN cut off point of 140 for validation in further studies.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Makagiansar, Irinawati N.
"Objective : To measure sensitivity and specificity diagnostic finding of convensional radiography in midfacial fractur performed at the Emergency room of Cipto Hospital and to evaluate its quality.
Design and Main Outcome Measures: In this diagnostic testing 35 patients with clinical signs of midfacial fracture were investigated. All patient underwent radiography examination at the Emergency room (Anteroposterior, Lateral and reverse Waters view). X ray photo were expertised by a plastic surgeon and a radiologist, both of them without knowing the clinical conditions, and by the residen who received the patient at the ER. Then we compare radiographic and intraoperative findings as goal standard, The results were analyzed by statistical testing (for sensitivity, specificity, positive, negative predictive value).
Results: The result showed that sensitivity and specificity varied between plastic surgeon, radiologist and residen but still high, and we noted that clinical examinations revealed to be very helpful in the assessment of an inadequate imaging fracture.
Conclusion: Conventional radiography performe at the Emergency Room of Cipto hospital has high specificity although the quality is considered substandard. Clinical findings is still very important to distinguished uncertain fracture."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2006
T21181
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tara Sadwika P.J.
"Latar Belakang: Tujuan dari manajemen luka bakar adalah untuk menginiasi penutupan luka dini atau epitelisasi, dan untuk mencegah komplikasi akibat sepsis. Namun, dari praktik harian kami, diagnosis dini, terutama dalam menentukan kedalaman luka bakar pada fase akut, cukup sulit karena proses luka bakar terus berlangsung. Pengukuran objektif merupakan metode tambahan yang baik untuk membantu dokter mengevaluasi kedalaman luka bakar, misalnya pencitraan termal FLIR ONE. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengevaluasi validitas FLIR ONE termografi sebagai alat untuk menilai kedalaman luka bakar, dan keandalan evaluasi klinis dan FLIR ONE yang dilakukan oleh ahli konsultan ahli luka bakar bedah plastik dan senior residen bedah plastik. Metode: Studi diagnostik yang dilakukan dari November 2019 - April 2020 di pusat kami. Dengan kriteria inklusi disebutkan kami melakukan pengamatan dua kali berdasarkan evaluasi klinis dan juga alat bantu FLIR ONE termografi pada luka bakar superfisial dan mid-dermal dalam waktu 48 jam pascalukabakar, dan hari 3-5 pascalukabakar, dengan outcome yaitu evaluasi klinis yang dilakukan oleh ahli bedah plastik konsultan luka bakar berpengalaman di hari ke 7. Data dikumpulkan dan menganalisis validitas dan realibilitas. Hasil: 43 sampel yang diambil dari laki-laki 15 (53,6%) dan perempuan 13 (46,4%), usia rata-rata 41,82 ± 13,52 tahun. Sebagian besar sampel adalah dari wajah 14 (32,6%), dan ekstremitas atas 11 (25,6%). Realibitas: ICC adalah T1 0,95 dan T3 0,98, menunjukkan angka baik hingga hari ke 7 hari pascalukabar. Kesenjangan evaluasi klinis antara kedua pengamat (konsultan luka bakar bedah plastic berpengalaman dan residen bedah plastik senior) di T1 adalah 6,9% dan di T3 adalah 9,3%. Tidak ada perbedaan yang signifikan dalam penilaian klinis baik di T1 (p = 0,82) dan T3 (p = 0,51) dan tidak ada perbedaan yang signifikan dalam pengukuran menggunakan alat FLIR ONE antara dua pengamat baik di T1 (p = 0,25) dan T3 (p = 0,91 ). Validitas: AUC dihitung pada T1 adalah 0,72 (95% CI: 0,563 - 0,880) p = 0,014 dengan titik batas T1 pada -0,8 ° C, menunjukkan diskriminasi moderat antara kategori penyembuhan yang re-epitelisasi <= 7 hari dan > 7 hari (sensitivitas 62,5%; spesifisitas 78,9%). Kami menggabungkan evaluasi klinis dan T1 dalam waktu 48 jam setelah luka bakar, penggunaan Flir ONE sebagai alat tambahan meningkatkan sensitivitas menjadi 58,33%, spesifisitas 98% dari evaluasi klinis saja. Probabilitas re-epitelisasi temuan klinis kedalaman luka superfisial dengan nilai T1 > -0,8 C memiliki probabilitas tertinggi (90,94%) untuk re-epitelisasi dalam waktu kurang dari sama dengan 7 hari. Kesimpulan: Penelitian ini menunjukkan validitas dan reliabilitas yang baik dari evaluasi klinis saja dan evaluasi klinis dengan FLIR ONE termografi dalam menilai kedalaman luka bakar. Titik potong kami dalam menentukan kedalaman luka bakar adalah -0,8 ° C, dengan hasil probabilitas yang baik untuk membedakan hasil epitelisasi berulang. Penelitian ini juga memberi tahu kami bahwa program residensi bedah plastik di rumah sakit pendidikan kami telah berhasil membangun kompetensi modul yang baik, dan reisden memiliki paparan yang cukup terhadap kasus luka bakar.

Background: The aim of the management of burn wound is to initiate early wound closure or epithelization, and to prevent sepsis complication. However, from our daily practice, early diagnosis especially in determining the depth of burn wound in acute phase, is quiet difficult as burn wound process is running. Objective measurement may be great adjunct methods to to help clinician evaluating burn wound depth, as an example of FLIR ONE thermal imaging. The objective was to evaluate the validity of FLIR ONE thermal imager as an adjunct tool to assess burn wound depth, and reliability of clinical evaluation and FLIR ONE performed by senior resident of plastic surgery and experienced burn consultant plastic surgeon. Methods: This is a diagnostic study conducted from November 2019 – April 2020 in our center. With inclusion criteria mentioned we did observation twice based on clinical visual and also FLIR ONE thermal imaging on superficial and mid dermal burn within 48 hours post burn, and post burn day 3-5, outcome by clinical evalution done by experienced burn consultant plastic surgeon on day 7. Data were collected and analyze validity and realibility. Result: We had 43 samples taken from male 15 (53,6%) and female 13 (46.4%), average age 41.82 ± 13.52 years. As facial 14(32.6%), and upper extremities 11 (25.6%) as most samples use. Reliability: ICCs were T1 0.95 and T3 0.98, indicating excellent reliability up to 7 days after burn. The gap of clinical evaluation between both observers (experienced burn consultant and senior plastic surgery resident) at T1 is 6.9 percent and at T3 is 9.3 percent. There were no significant difference in clinical assessment both in T1 (p=0.82) and T3 (p=0.51) and no significant difference in measurements using FLIR ONE between two observers both in T1 (p=0.25) and T3 (p=0.91). Validity: the area under the curve was calculated at T1 was 0.72 (95% CI: 0.563 – 0.880) p = 0.014 with a cut-off point of T1 at -0.8°C, shows a moderate discrimination between healing categories re-epithelialization <= 7 days and > 7 days (62.5% sensitivity; 78.9% specificity). We combined clinical evaluation and T1 within 48 hours post burn, the use of Flir One as an adjunct tool increased the sensitivity to 58.33%, specificity 98% of clinical evaluation solely. the probability of re-epithelialization of clinical finding of superficial wound depth with T1 value of >-0.8oC had the highest probability (90.94%) to re-epithelialized in less equal to 7 days. Conclusion: This research showed good validity and reliability of clinical evaluation alone and clinical evaluation adjunct with FLIR ONE thermal imaging in assessment of burn wound depth. Our cut off point in determining the burn wound depth was -0.8° C, with good probability result to differentiate re-epithelialization outcome. This research told us that plastic surgery residency program of our teaching hospital had successfully established a good module competency, and resident had enough exposure to the burn cases."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jan Tumatar Ngantung
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1998
T57267
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trimartani
"ABSTRAK
Pendahuluan. Perkembangan analisis wajah pada bedah rekonstruksi wajah sangatlah pesat, sejalan dengan perkembangan teknologi pencitraan dan komputerisasi. Program perangkat lunak yang tersedia pada saat ini, seperti Rhinobase, hanya dapat mengukur daerah hidung, tidak seluruh wajah. Oleh sebab itu dibutuhkan suatu program perangkat lunak yang lebih lengkap, dapat menyimpan data medis, mengukur dan menganalisis foto (fotogrametri dan analisis fotografi) guna merencanakan tindakan operasi rekonstruksi wajah secara keseluruhan. Pengakat lunak ini diharapkan dapat digunakan sebagai alat ukur dan menjadi panduan untuk melakukan tindakan bedah rekonstruksi wajah (reaksilofasial)."
2008
D1753
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Marcellina Sadikin
"

Latar Belakang: Studi pendahuluan ini bertujuan untuk mengeksplorasi efek asam traneksamat dan kombinasinya dengan larutan tumesen satu per satu juta untuk mengurangi perdarahan intra- dan pascaoperasi pada model luka bakar babi.

Metode: Dua subjek hewan digunakan dalam penelitian eksperimental ini. Empat luka bakar dibuat pada punggung masing-masing hewan. Setiap luka bakar diberi salah satu dari perlakuan berikut: (1) larutan tumesen satu per satu juta; (2) asam traneksamat; (3) larutan tumesen satu per satu juta yang dikombinasikan dengan asam traneksamat; atau (4) kelompok kontrol. Setelah injeksi, jaringan nekrotik dieksisi oleh satu orang operator yang tidak mengetahui jenis perlakuan yang diberikan pada masing-masing jaringan nekrotik. Jumlah perdarahan intraoperasi dan 24 jam pascaoperasi diukur menggunakan pengukuran gravimetri dan analisis subjektif dengan visual analogue guide oleh dua penilai independen.

Hasil: Larutan tumesen satu per satu juta saja tampaknya menunjukkan hasil yang baik dalam mengendalikan perdarahan intraoperasi; perdarahan rebound tidak terjadi. Efektivitas injeksi asam traneksamat saja atau dalam kombinasi dengan larutan tumesen satu per satu juta untuk mengurangi perdarahan intraoperasi tidak dapat disimpulkan dalam studi pendahuluan ini. Tidak ada perbedaan signifikan dalam perdarahan 24 jam pascaoperasi di antara semua kelompok.

Simpulan: Penelitian menyeluruh harus dilakukan untuk memberikan bukti yang lebih konklusif mengenai efektivitas infiltrasi asam traneksamat dan perbandingannya dengan larutan tumesen satu per satu juta dan kombinasinya.

 

 


Background: This pilot study aimed to explore the effect of tranexamic acid (TA) and its combination with one-per-mil tumescent solution to reduce intraoperative blood loss and postoperative bleeding in porcine burn wound model.

Methods: Two animal subjects were used in this experimental study. Four burn wounds were created in each animal’s torso. Each burn wound was treated with one of these injection solutions or intervention: (1) one-per-mil tumescent solution; (2) TA; (3) one-per-mil tumescent solution combined with TA; or (4) control group. After the injection, the burn necrotic tissue was tangentially excised by a single blinded surgeon. The amount of intraoperative bleeding and 24-hour postoperative bleeding was measured using gravimetric measurement and subjective analysis with the aid of a visual guide analogue by two independent assessors.

Results: One-per-mil tumescent alone seems to show a good result in controlling intraoperative bleeding; no rebound bleeding was observed. However, the effectiveness of TA alone or in combination with one-per-mil tumescent solution to reduce intraoperative bleeding cannot be concluded yet through this pilot study. There was no significant difference in 24-hour postoperative bleeding among all groups.

Conclusion: The full research should be conducted to provide more conclusive evidence regarding the efficacy of TA infiltration and its comparison with one-per-mil tumescent solution and combination of both agents.

 

 

 

"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nur Anindhawati
"Latar belakang: Tujuan studi ini adalah untuk menilai persepsi masyarakat terhadap hasil operasi hidung pada pasien cleft menggunakan tehnik semi-open modified Tajima. Mengingat banyak tehnik operasi yang digunakan dengan berbagai kelebihan masing - masing, kami ingin mengetahui apakah tehnik yang sederhana, mudah dikerjakan dengan morbiditas yg rendah hasilnya akan mendapatkan apresiasi yang berbeda oleh orang tua dan para profesional medis.
Metode: Studi cross sectional menggunakan questionnaire dengan menilai 25 foto dari hasil operasi hidung pada pasien cleft dengan tehnik semi-open modified Tajima. Duapuluh lima orang tua dan 25 orang pelaku medis dalam hal ini residen bedah plastik akan di perlihatkan foto, dan kemudian mereka akan menilai hasil operasi tersebut dengan menggunakan VAS score, yaitu berupa tanda disepanjang garis berukuran 100 mm. Data kemudian dianalisa dengan tes Chi-square. Dan korelasi antara profesional medis dan orang tua akan dianalisa menggunakan Spearman correlation.
Results: Dari penelitian didapatkan perbedaan yang significant dari persepsi orangtua mengenai hasil operasi dengan professional medis sebesar -0.38 yang berarti persepsi mereka cenderung bertolak belakang. Dan terdapat korelasi lemah antara orangtua dan medis sebesar 0. 045(lebih rendah dari 0.05).
Kesimpulan: Persepsi estetik antara profesional medis dan orangtua ternyata berbeda. Dan korelasi antara persepsi yang satu dengan yang lainnya ternyata lemah. Sebagai orang terdekat dan yang bertanggung jawab terhadap pasien, memang sudah sewajarnya kita mendengarkan dan menelaah apa sebenarnya keinginan dan harapan mereka."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rendi Chevi Daffa Ulhaq
"Salah satu pergeseran paradigma terbesar dalam dunia kedokteran saat ini adalah pergeseran model pelayanan kesehatan dari disease-centric care menjadi patient-centric care. Bedah plastik rekonstruksi dan estetik menjadi spesialis kedokteran yang membutuhkan implementasi model tersebut, didorong oleh rendahnya tingkat konversi pasien di tahap pre-operatif, teknik operasi tanpa panduan di tahap intra-operatif, dan masih tingginya tingkat permintaan revisi operasi di tahap pasca-operatif. Saat ini, implementasi patient-centric care melalui penggunaan model spesifik-pasien, yaitu replika anatomis bagian wajah atau tubuh pasien yang dapat digunakan dokter sebagai simulator bedah dan alat visualisasi pasien, menjadi instrumen paling efektif dalam memecahkan masalah tersebut. Namun, model spesifik-pasien yang ada di pasaran saat ini masih menggunakan modalitas pemindai yang rumit, mahal, dan model spesifik-pasien masih sulit diakses khususnya untuk negara berkembang. Oleh karena itu, dalam skripsi ini penulis mengusulkan sebuah rancang bangun model spesifik-pasien yang dikhususkan pada bagian maxillofacial untuk pemandu operasi dengan metode pemindaian 3D berbasis smartphone dengan sensor TrueDepth™ dan pemodelan 3D berbasis Growing Neural Gas yang jauh lebih sederhana, murah, dan terjangkau. Akurasi model spesifik-pasien yang dirancang diukur nilai indeks similaritasnya sebesar 0,2101 terhadap topologi wajah subjek asli yang dinilai cukup akurat.

One of the biggest paradigm shifts in medicine today is the shift in health care models from “disease-centric care” to “patient-centric care”. Plastic and aesthetic surgery become one of the medical field who urgently need this model implementation, driven by the low conversion rates of patients in pre-surgery phase, unguided surgery technique encountered in intra-operative phase, and high surgery revision demand in postoperative phase. Currently, patient-centric care implemented through patient-specific models, which is an anatomical replica of the patient's face or body which surgeons can use as a surgical simulator and patient visualization tool, this instrument proven to be the most effective in solving those mentioned problems. However, patient-specific models on the market today still use complex and expensive scanning modalities and the patient-specific models that are still difficult to access, especially in developing countries. Therefore, in this research the author propose a patient-specific model prototype for surgical guidance in maxillofacial region with 3D scanning methodology which utilized smartphone with TrueDepth™ sensor and Growing Neural Gas-based 3D modelling methodology which more simple, low-cost, and accessible. The accuracy of patient-specific model measured in similarity index against the subject’s real face topology resulted in the amount of 0,2101 which sufficiently accurate."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia , 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>