Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 121742 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Radhika Bagas Prabowo
"Pemberi Fidusia dalam perjanjian pembiayaan konsumen dengan jaminan fidusia dilarang mengalihkan objek jaminan fidusia kepada pihak lain tanpa persetujuan dari penerima fidusia. Hal ini disebabkan dalam Undang-undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia) tercantum ketentuan mengenai larangan untuk mengalihkan objek jaminan fidusia tanpa persetujuan dari penerima fidusia. Penelitian ini membahas mengenai 1.ketentuan hukum seorang pasangan kawin membebankan jaminan fidusia pada harta benda bergerak milik pasangan lainnya, 2.akibat hukum pengalihan objek jaminan fidusia atas nama pasangan dalam perkawinan sebagai Pemberi Fidusia oleh pasangan lainnya, dan 3.perlindungan hukum bagi penerima fidusia akibat adanya pengalihan objek jaminan fidusia oleh pasangan perkawinan dari Pemberi Fidusia. Putusan pengadilan negeri Pekanbaru nomor: 853/Pid.sus/2019/Pn Pbr yang menjadi studi kasus dalam penelitian ini menyatakan Pemberi Fidusia dalam hal ini tidak memenuhi unsur Pasal 23 ayat (2) jo 36 UU Fidusia. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang didasarkan pada data sekunder dan bersifat yuridis normatif dengan tipologi eksplanatoris. Hasil penelitian ini yaitu 1.bahwa kebendaan bergerak yang merupakan harta bersama dapat dibebankan dengan jaminan fidusia oleh pasangan kawin dari pemilik benda dengan persetujuan kedua belah pihak, 2.Terdakwa dapat dijatuhi pidana berdasarkan Pasal 36 UU Fidusia karena memberikan persetujuan secara diam-diam terhadap pengalihan objek jaminan fidusia oleh pasangan kawinnya, dan secara keperdataan akibat hukum atas pengalihan objek jaminan fidusia oleh pasangan kawin dari pemilik benda yang menjadi objek jaminan fidusia merupakan wanprestasi, 3.UU Fidusia dan peraturan perundangan terkait memberikan perlindungan hukum terhadap penerima fidusia akibat pengalihan objek jaminan tersebut berupa eksekusi, ganti rugi, serta biaya dan bunga.

The Fiduciary Giver in a consumer financing agreement with a fiduciary guarantee is prohibited from transferring the object of the fiduciary guarantee to another party without the consent of the fiduciary recipient. This is because Law Number 42 of 1999 concerning Fiduciary Security (Fiduciary Law) contains provisions regarding the prohibition of transferring fiduciary collateral objects without the consent of the fiduciary recipient. This research discusses 1. the legal provisions of a married couple imposing fiduciary security on the movable property of another spouse, 2. the legal consequences of transferring the fiduciary security object on behalf of the spouse in marriage as the Giver of Fiduciary by another spouse, and 3. legal protection for fiduciary recipients. due to the transfer of the object of fiduciary security by the marriage partner from the Fiduciary. The decision of the Pekanbaru district court number: 853/Pid.sus/2019/Pn Pbr which is the case study in this research states that the Fiduciary Giver in this case does not fulfill the elements of Article 23 paragraph (2) jo 36 of the Fiduciary Law. This research is a normative legal research based on secondary data and is juridical normative with explanatory typology. The results of this study are 1. that movable objects which are joint assets can be charged with fiduciary security by the married partner of the owner of the property with the consent of both parties, 2. The defendant can be sentenced to a criminal under Article 36 of the Fiduciary Law for giving tacit consent to the transfer. the object of fiduciary security by the spouse, and in civil terms the legal consequences of the transfer of the fiduciary security object by the married couple from the owner of the object that is the object of the fiduciary guarantee constitutes default, 3. The Fiduciary Law and related laws provide legal protection for the fiduciary recipient due to the transfer of the guarantee object in the form of execution, compensation, and fees and interest."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Netty Maria
"ABSTRAK
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mendapat gambaran yang jelas mengenai lembaga jaminan fiducia didalam praktek perbankan di Indonesia. Sedangkan metode penelitian yang dignnakan adalah melalui study kepustakaan dan wawancara dengan beberapa pejabat.
Secara teoritis lembaga jaminan fiducia mempunyai kekurangan-kekurangan, sedangkan didalam praktek perbankan di Indonesia ia mendapat tempat pada kedudukan utama. Sejalan dengan program pemerintah untuk menggalakkan pemberian kredit terhadap golongan ekonomi lemah seperti para pedagang kecil, pengusaha kecil, para pengecer, petani, maka lembaga jaminan fiducia dapat merabantu untuk menjalankan peranan tersebut, yaitu membantu dalam pemberian kredit.
Dalam rangka menciptakan hak-hak jaminan yang memberikan kepastian hukum dengan memperhatikan kepentingan para penerima kredit, prosedurnya cepat dan sederhana, biaya murah, maka lembaga fiducia telah memenuhi umsur-unsur tersebut, sedangkan untuk kepastian hukum didalam rangka pembentukan kodifikasi nanti tentang lembaga fiducia akan dapat memberikan gambaran yang berarti,
penulis, menyarankan agar didalam rangka pembentukan kodifikasi hukum nasional tentang lembaga fiducia, supaya diatur dalam undang-undang."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rusnadi
"ABSTRAK
A. MASALAH POKOK
Dalam hubungannya dengan hutang piutang, maka pada umumnya para kreditur tidak menyukai bentuk jaminan seperti yang dirumuskan dalam pasal 1131 dan 1132 KUH Perdata, karena kedudukan mereka hanya sebagai penagih konkuren, dan ini
berarti mereka belum mempunyai kepastian akan terbayamya piutang mereka dikemudian hari. Keeemasan Ini dapat datang dari pibak manapun, baik itu sebagai perorangan, maupun instansi pemerintah ataupun swasta yang. kedudukannya sebagai penagih konkuren.
Oleh sebab itu maka para kreditur umumnya berusaha untuk memperkuat posisinya dengan menuntut kepada debitur agar memberikan jaminan dalam bentuk jaminan kebendaan (zakelijke zekerheid) atau jaminan perorangan (borg) atau jaminan berupa hak-hak tagih. (Lihat Kartono SH, hal 8).
Pendek kata, kreditur selalu berusaba untuk menjaga agar jangan sampai ia terdesak oleh para kreditur lainnya apabila terjadi perlombaan antara para kreditur untuk mendapatkan pelunasan piutang-piutangnya dari harta kekayaan debitur. Dengan adanya kekurangan-kekurangan dari lembaga jaminan yang bersifat umum tersebut diatas, maka kreditur dalam memberikan piutangnya memerlukan adanya benda-benda tertertentu yang ditunjuk,secara khusus sebagai jaminan dan juga berlaku bagi kreditur yang bersangkutan.
Dari sinilah timbul lembaga jaminan tertentu yang sering dipakai oleh masyarakat, khususnya dalam dunia usaha dan perdagangan seperti Gadai, Hipotik, Fiducia, borgtocht dan sebagainya.
Bentuk-bentuk jaminan tadi mempunyai keistimewaannya masing-masing dan sudah barang tentu hak-hak kreditur lebih dilindungi dari para penagih konkuren. Walaupun demikian ada beberapa piutang yang harus didahulukan atau diistimewakan (freferensi atau privilegi) pembayarannya, karena memang telah ditentukan oleh undang-undang, seperti piutang pajak negara, yang oleh pasal 1137 KUH Perdata dinamakan hak dari kas negara:
'Hak dari pada kas negara, kantor lelang dan lain-lain badan umum yang dibentuk oleh pemerintah, untuk didahulukan, tertibnya melaksanakan hak itu dan jangka waktu berlangsungnya hak tersebut, diatur dalam berbagai undang-undang khusus yang mengenai hal-hal itu'
Pajak adalah mempakan salah satu faktor yang sangatpenting bagi kelangsungan hidup pembangunan negara, terutama katagori pajak tidak langsung. Pajak tidak langsung ini salah satunya adalah "Bea Masuk" yaito pungutan pajak yang
dikenakan terhadap pemasukan barang-barang impor ke Indonesia.
Sebagaimana lazimnya dalam lalulintas perdagangan,maka untuk lebih memperlancar pemasukan barang-barang impor serta untuk memajukan industri didalam negeri, para importir atau pedagang sering memakai lembaga jaminan untuk pembayaran atau pelunasan bea masuk dan pungutan lainnya. Lembaga jaminan untuk penyelesaian urusan pabean ini mempunyai persamaaan dengan lembaga jaminan yang kita kenal dalam KUH Perdata
B. METOPE RISET.
Penelitian hukum merupakan sarana untuk mengembangkan ilmu hukum itu sendiri, oleh karena itu penulis mengadakananalisa dan konstruktif dengan cara sistimatis serta konsisten terhadap data-data tentang lembaga jaminan dalam hubungannya dengan bea masuk.
Adapun data-data yang dipakai dalam skripsi ini adalah:
1. Data primer, yaitu bahan-bahan yang langsung diperoleh dari instansi pemerintah, khususnya Kantor Wilayah X DJBC di Cakung, juga dari perusabaan-perusahaan
jasa seperti Ekspedisi Muatan Kapal taut (EMKL), serta dari lembaga perbankan, dan yang lebih penting lagi adalah keterangan langsung dari pejabat pemerintah
yang menangani bidang impor.
2. Data sekunder, yaitu bahan-bahan yang diperoleh dari buku-buku perpustakaan, khususnya mengenai masalah lembaga jaminan pada umumya.
C. HAL-HAl. YANG DITEMUKAN.
Sehubungan dengan pembahasan lembaga jaminan ini, penulis berusaha mendapatkan informasi yang. lengkap serta data-data yang dapat dipercaya, khususnya mengenai ketentuan ketentuan lembaga jaminan untuk pelunasan bea masuk dan pungutan lainnya terhadap barang-barang impor.
Lembaga jaminan ini mempunyai banyak persamaan dengan lembaga jaminan menurut KUH Perdata, walanpun disana-sini adapula perbedaan-perbedaannya, Dalam praktek kita temul ada 3 macam lembaga Jaminan untuk pelunasan bea masuk yaitu :
1. Jaminan Tunai,
2. Bank Garansi,
3. Jaminan Tertulis,
Jaminan Tunai.
Jaminan Tunai adalah suatu jaminan berupa uang tunai yang diberikan oleh pemilik barang (importir) cq EMKL kepada pihak pabean sambil mennnggu keputusan Banding, oleh karena adanya dispute atau perselisihan pendapat mengenai barang-barang impor diantara kedua pihak.
Timbulnya jaminan ini disebabkan kesalahan pemberitahuan dalam PPUD, sehingga mengakibatkan tambah bayar bea-bea, denda-denda, dan biaya-biaya. Sejak keputusan kepala kantor pabean setempat yang mengharuskan tambah bayar bea-bea, maka importir telah mempunyai hutang kepada negara sebesar bea-bea yang kurang dibayar tersebut.
Jadi jaminan tunai ini timbulnya adalab dari hutang pokok, dimana bila hutang pokok hapus, maka hapus pula perjanjian jaminan. Hal ini berarti jaminan tunai mempunyai sipat yang sama dengan jaminan kebendaan lainnya, yaitu bersipat Accessoir. Akan tetapi hutang pokok yang timbul tersebut diatas bukan berasal dari perjanjian melainkan berasal dari ketentuan undang-undang.
Mengenai jaminan tunai ini dapat kita lihat ketentuannya pada pasal 13 OB dan pasal 39 RA yang kemudian diberikan ketentuan lebih lanjut dalam bentuk SE.DJBC dan ketentuan yang terakhir adalah SE DJBC no.Kep-l6/BC/1980 tanggal 25 Juni 1980.
Importir yang merasa keberatan dengan keputusan kepala kantor pabean setempat, berhak mengajukan naik bandingkepada DirJen Bea dan Cukai di Jakarta. Waktu yang diberikan untuk naik banding ini adalah 2 bulan dan dapat diperpanjang satu kali 2 bulan (pasal 3 d dan e SE DJBC no.Kep-16/BC/1980 tanggal 25 Juni 1980.
Bila dalam jangka waktu yang ditentukan belum ada keputusan dari Dirjen Bea dan Cukai, maka uang jaminan segera didefinitifkan menjadi penerimaan negara, dan bila semua keberatan dari importir dapat diterima, maka sejak keputusan
dikeluarkan, hutang pajak menjadi hapus dan uang jaminan dapat segera dikembalikan kepada importir.
Jaminan tunai bagi sementara pedagang kurang begitu disukai oleh karena bila uang jaminan jumlahnya sangat besar, maka mereka tidak dapat memanfaatkan uang tersebut untuk kepentingan modal usahanya dan sebab itulah bagi mereka menyebut uang sebagai jaminan adalah sebagai 'uang mati'.
Sebaliknya bagi pihak pabean, maka jaminan tunai itu dianggap sebagai jaminan yang mantap, oleh karena bila keputusan banding menolak semua keberatan-keberatan yang diajukan oleh pihak importir, maka uang jaminan otomatis dipakai sebagai pelunasan hutang-hutangnya kepada pihak pabean. Dalam hal ini juga pihak pabean tidak perlu repot repot menegur dan menagih kepada importir seperti halnya pada bank garansi dan jaminan tertulis.
Bank Garansi.
Semua pemasukan barang-barang impor yang disebutkan dalam Skep. MenKeu no.Kep-238/KK/4/ll970 tanggal 23 April 1970 diwajibkan memberikan jaminan berupa bank garansi. Keharusan memberikan jaminan tersebut adalah disebabkan importir diberikan pasilitas vooruitslag/penangguhan bea masuk dan pungutan-pungutan lainnya.
Akibat-akibat hukum yang mungkin timbul dari bank garansi telah dapat kita ketahui, oleh karena bentuk dan isi dari formulir bank garansi telah pula.ditentukan dengan SE DJBG no.KBC/PB/lMU/75/3548 tanggal 5 Mei 1975 jo SE DJBC no KBC/PB/IMP/I/i847 tanggal 9 Maret 1976 yang antara lain memuat sbb:
a. Pernyataan pihak bank untuk melepaskan hak utamanya dan hak mendahului mendapatkan piutang yang diberikan oleh undang-undang (pasal 1831 dan 1832
EDH Perdata).
b. Secepat-cepatnya 1 bulan dan selambat-lambatnya 2 minggu sebelum berakhimya bank garansi, bank wajib meminta penegasan kepada Bea dan Cukai, apakah siterjamin/importir sudah/tidak memenuhi kewajibannya.
c. Penagihan harus diajukan olish Bea dan Cukai sebelum berakhimya bank garansi, Penagihan yang dilakukan setelah berakhimya bank garaasi, maka bank berhak tidak melayaninya, kecuali pihak bank lalai meminta penegasan kepada Bea dan Cukai, maka masa berlakunya bank garansi diperpanjang 1 bulan setelah diterimanya surat penegasan dari Bea dan Cukai.
d. Penagihan kepada pihak bank tidak perlu diterimanya surat permintaan penegasan dari pihak bank.
e. Pembayaran paling lambat 6 hari kerja setelah diterimanya surat penagihan dari Bea dan Cukai.
f. Masa berlakunya bank garansi paling lama 2 bulan. Jika dibandingkan dengan lembaga jaminan yang lain,maka bank garansi dianggap sebagai jaminan yang mantap bagi semua pihak, baik bagi pihak pabean maupun bagi pihak impor
tir.
Jaminan Tertulis.
Lembaga jaminan tertulis ini dapat digunakan dalam rangka :
1. Pasal 23 OB.
2. Skep, MenKeu no.434/KMK.01/1978 tanggal 15 Nopember 1978.
3. Skep, MenKeu no.435/KMK.01/1978 Tanggal 15 Nopember 1978.
4. Pemasukan barang-barang impor Pertamina.
5. Pemasukan barang-barang impor Hankam ABRI.
6. Pemasukan barang-barang tertentu yang karena sipatnya dapat diberikan jaminan tertulis.
Sebenamya jaminan tertulis ini adalah pelaksanaan pasal 3a Undang-Undang Tarip Indonesia stbl.1924 no.487 sebabagimana yang telah dirobah dan ditambah. Hanya saja pada pasal 3a IJUTI (indisclie Tarip Wet) pada waktu pemasukan barang barang impor diharuskan membayar bea masuk secara definitif (tunai). Oleh karena alasan-alasan ekonomis, maka tidak perlu lagi bea masuk dibayar tunai, cukup dengan pernyataan hutang sebesar bea masuk yang harus dibayar yang diberi jangka waktu sampai barang-barang ex impor tersebut diekspor kembali keluar negeri.
Jadi jaminan tertulis ini atau yang lebih dikenal lagi dengan nama Jaminan Perusahaan adalah suatu perjanjian yang berbentuk pengakuan hutang pajak negara sebesar bea-bea yang barus dibayar dan bersipat saling percaya antara
pihak pabean dan importir.
Pada umumnya jaminan ini hanya diberikan kepada importir pabrikan dalam rangka memajukan industri dalam negeri untuk tujuan ekspor. Pada jaminan ini sama sekali tidak ada benda-benda tertentu yang diletakan sebagai jaminan, jadi hanya membuat suatu surat pengakuan hutang pajak, yang tujuannya adalah sebagai tanda bukti dikemudian hari untuk melakukan penagihan jika importir melakukan wanprestasi.
Apabila importir memasukah barang-harang tertentu untuk diolah menjadi barang-barang dengan tujuan ekspor, maka oleh menteri keuangan diberikan fasilitas tidak membayar bea masuk dan pungutan lainnya sampai batas waktu yang telah ditentukan oleh menteri keuangan. Batas waktu ini dihitung berdasarkan jangka waktu produksi suatu barang berupa bahan baku ex impor sampai diekspor kembali.
Jika jangka waktu yang diberikan dalam surat keputusan menteri keuangan dilewati, maka bea masuk dan pungutan pungutan lain yang terhutang wajib dilunasi dalam jangka 3 bulan dan dalam jangka waktu 3 bulan itu, tidak juga dapat
melunasinya maka pihak pabean melakukan peneguran (sommasi) dan apabila dalam jangka waktu 1 bulan sejak peneguran, pihak importir tetap tidak mengindahkannya, maka pihak pabean melakukan upaya paksa. Upaya paksa yang pertama dilakukan adalah mengadakan pemblokiran terhadap EMKL yang ber sangkutan dan apabila pemblokiran ini tidak membawa hasil yang memuaskan, maka pihak pabean menyerahkan persoalan tersebut kepada instansi Kejaksaan untuk dilakukan penuntutannya di pengadilan.
Bentuk dari formulir perjanjian jaminan tertulis telah dihentikan oleh pihak pabean dan ketentuan terakhir mengenai hal itu telah dituangkan dalam SE DJBC no.S-62/BC23/78 tanggal 17 Nopember 1978 yang memuat antara lain :
a. Pemyataan pengakuan hutang yang menggunakah fasilitas pembebasan bea masuk, PPN impor dan KPO impor sesuai Skep MenKen no.434/KMK.01/78 Tanggal 15 Nopember 1978.
b. Importir berjanjii kepada pihak pabean untuk melunasi hutang bea-bea paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya waktu yang diberikan untuk berproduksi sampai dengan diekspor kembali.
c. Undang-undang penagihan pajak negara dengan surat paksa berlaku bagi hutang pajak ini, bila pengusaha tidak membayar pada waktunya.
Bagi kalangan pabrikan atau pengusaha industri pengolah bahan baku impor untuk tujuan ekspor, jaminan ini benar-benar sahgat membantu sekali, terutama dalam bidang permodalan, oleh karena uang yang seharusnya dipergunakan untuk membayar bea masuk dan pungutan lainnya tidak digunakan tetapi dimanfaatkan untuk biaya-biaya produksi yang lain.
Namun demikian tidak semua pengusaha importir dapat diberikan izin memperoleh fasilitas penangguhan bea-bea dengan menggunakan jaminan tertulis, ternyata hanya importir-importir tertentu saja yang mendapat fasilitas ini, khususnya importir pabrikan pengolah bahan baku impor untuk tujuan ekspor (Skep. Menkeu no.434/faviK,01/1978 dan no.435/KMK. 01/1978). Walaupun demikian bukan berarti hanya para pengusaha saja yang diberikan prioritas, namun peroranganpun dapat diberikan izin yang demikian, terutama dalam hnbungannya dengan pasal 23 OB.
Bagi pihak pabean sendiri, jaminan tertulis ini dianggap kurang begitu mantap, karena untuk merealisir pembayaran bea masuk, dalam hal jangka waktu yang diberikan telah lewat, maka harus dilakukan penagihan sampai dengan 4 bulan
lamanya, sedangkan penundaan pembayaran beai masuk itu sendiri biasanya paling cepat 6 bulan, belum lagi bila perjanjian jaminan itu diperpanjang beberapa kali. Keadaan ini mengharuskan adanya pengadministrasian Buku Kontrol yang
Baik.
D. KESIMPULAN DAN SARAN SARAN
Kesimpulan.
Sebenamya lembaga jaminan untuk peliinasan bea masuk tersebut diatas, kecuali bank garansi, berasal dari ketentuan pidana yang berupa pelanggaran. Oleh karena adanya pelimpahan wewenang Jaksa Agung HI no,89/DA/10/1967 tanggal 13 Oktober 1967 kepada Menteri Keuangan dan Menteri Keuangan kemudian melimpahkan kembali kepada DirJen. Bea dan Cukai dengan suratnya no.Kep249/MenKeu/1967 tanggal 16 Oktober 1967, maka perkara pelanggaran menurut pasal 29 Ordonasi Bea (Rechten Ordonantie), kecuall pasal 3a dan 26b dapat diselesaikan dengan acara 'Schikking' (acara diluar pengadilan),
Dengan adanya schilcking ini, maka pemasukan barang-barang impor semakin menjadi lancar. Oleh karena jika tidak demikian, banyak para pedagang harus selalu berurusan dengan pengadilan, karena pada umumnya pegawai-pegawai EMEl atau importir walaupon telah dibekali dengan pengetahuan Kepabeanan (Boomzaken), masih banyak membat kesalahan secara tidak sengaja.
Dari ketiga jenis lembaga jaminan yang digunakan untuk penyelesaian urusan pabean, ada beberapa bal yang perlu menjadi perhatian yaitu:
1. Pada jaminan tunai jika jumlah uang sebagai jaminan cukup besar, maka para pedagang umumnya tidak menyukainya, mereka menganggap masih lebih menguntungkan memberikan jaminan hak kebendaan atau bank garansi, walaupun hal itu lebih tinggi nilainya daripada mereka harus memberikan uang tunai sebagai jaminan.
2. Pada jaminan tertulis, waktu yang diberikan untuk berproduksi sampai dengan realisasi ekspor biasanya memakan waktu yang lama, bal ini berarti bagi pihak pabean segi kontrolnya harus berjalan baik.
Saran-Saran
- Pada jaminan tunai, hendaknya pemberi keputusan Banding tidak lagi Dirjen Bea dan Cukai, sebaiknya diserahkan kepada lembaga yang lebih netral, seperti lembaga/panitia yang dimaksud dalam pasal 39 RA yaitu 'Panitia Pertimbangan'
- Panitia tersebut diatas sebaiknya ditempatkan ditiap tiap kota besar, terutama yang mempunyai pelabuhan impor. Hal ini dimaksudkan agar isetiap persoalan dispute tidak lagi diselesaikan di Jakarta (Dirjen Beadan Cukai), dimana tujuannya adalah untuk menghemat waktu dan menghindari hilangnya dokumen diperjalanan.
- Pada jaminan tertulis, sebaiknya waktu yang diberikan untuk realisasi ekspor jangan sampai berlarut-larut, hal ini untuk menghindari itikad tidak baik dari para
pengusaha eksportir.
- Pemblokiran terhadap EMKL sebaiknya tidak terlalu lama, hal ini bertujuan agar tidak terjadi keresahan bagi para karyawan EMKL itu sendiri dan juga, untuk mencegah timbulnya EMKL unit yang merugikan pemerintah.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1983
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paula Sidharta
"ABSTRAK
UU Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia (UU Fidusia) memberikan
pengaturan mengenai pengalihan objek Jaminan Fidusia dalam hal Jaminan
Fidusia telah didaftarkan, namun dalam prakteknya dapat saja terjadi kasus
dimana benda jaminan yang telah diperjanjikan untuk dibebankan dengan
Jaminan Fidusia dialihkan oleh debitur sebelum dilakukan pendaftaran Jaminan
Fidusia. Penelitian ini membahas apakah debitur dapat mengalihkan benda
jaminan sebelum dilakukan pendaftaran Jaminan Fidusia dan bagaimana pendapat
Mahkamah Agung atas perbuatan debitur yang mengalihkan benda jaminan
sebelum dilakukan pendaftaran Jaminan Fidusia. Putusan Mahkamah Agung
Nomor 213 K/Pid.Sus/2010 yang menjadi studi kasus dalam penelitian ini
menyatakan debitur bersalah melakukan tindak pidana melanggar UU Fidusia,
meskipun Jaminan Fidusia belum didaftarkan. Penelitian ini merupakan penelitian
hukum normatif yang didasarkan pada data sekunder dan bersifat yuridis
normatif. Hasil penelitian menyarankan bahwa pendaftaran Jaminan Fidusia harus
dilakukan dengan segera untuk menghindari hal-hal yang merugikan kreditur
dengan tidak didaftarkannya Jaminan Fidusia, serta Mahkamah Agung seharusnya
memberikan pertimbangan hukum yang sesuai dengan peraturan perundangundangan
yang berlaku dalam memutuskan permasalahan yang dibahas dalam
penelitian ini.

ABSTRACT
Law Number 42 of 1999 regarding Fiduciary Security (Fiduciary Security Law)
governs the transfer of an object of Fiduciary Security for registered Fiduciary
Security. However, in practice, it may happen that guaranteed goods which have
been agreed to be secured by a Fiduciary Security is transferred by a debtor before
a registration of Fiduciary Security is conducted. This research discusses whether
or not a debtor could transfer the guaranteed goods before the registration of
Fiduciary Security is conducted or and how is the opinion of the Supreme Court
regarding the conduct of the debtor who transfers the guaranteed goods before the
registration of Fiduciary Security is conducted. The Supreme Court Decision
No.213 K/Pid.Sus/2010 which serves as the case study of this research stated that
the debtor is guilty for his criminal conduct on violating the Fiduciary Security
Law, although the Fiduciary Security has not been registered. This research is a
normative legal research based on secondary data and has juridical normative
characteristic. The result of research suggests that the registration of Fiduciary
Security must be conducted promptly to avoid matters that causes loss to a
creditor whose not registering its Fiduciary Security and that the Supreme Court
should have given proper legal considerations which are consistent with the
prevailing laws and regulations in deciding the case which is discussed in this
research."
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35724
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Prilly Wiashari
"Sejak keluarnya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69/PUU-XIII/2015 terjadi perubahan terhadap ketentuan mengenai perjanjian perkawinan. Perjanjian perkawinan yang semula hanya dapat dibuat sebelum atau pada waktu perkawinan berlangsung, kini selama perkawinan pasangan suami istri dapat membuat perjanjian perkawinan. Hal ini pasti akan berpengaruh terhadap keadaan harta benda perkawinan, karena pada umumnya perjanjian perkawinan dibuat untuk menyimpangi bentuk dasar harta perkawinan yang bercampur. Bukan hanya tentang harta benda perkawinan yang terpengaruh namun juga terhadap pihak ketiga. Dalam Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan yang telah diubah maupun belum sepakat bahwa perjanjian perkawinan dapat berlaku pula bagi pihak ketiga tersangkut. Maka perjanjian perkawinan yang dibuat selama perkawinan, khususnya yang mengatur tentang harta benda perkawinan suami istri akan berakibat hukum pada pihak ketiga. Pengaruh yang ditimbulkan dapat berupa kerugian bagi pihak ketiga, namun hingga sekarang tidak ada batas yang jelas untuk menentukan kerugian bagi pihak ketiga tersebut. Maka dari itu dalam skripsi ini penulis akan membahas akibat hukum yang timbul dari dibuatnya perjanjian perkawinan selama perkawinan terhadap harta benda perkawinan dan pihak ketiga. Metode yang digunakan untuk meneliti permasalahan tersebut adalah yuridis normatif. Beberapa hal yang dapat disimpulkan adalah pembuatan perjanjanjian selama perkawinan ini akan menimbulkan akibat terhadap harta pribadi maupun harta bersama tergantung bentuk perjanjian yang digunakan. Untuk pihak ketiga akibat hukum yang timbul setelah pencatatan perjanjian dilakukan. Batas kerugian dapat dilihat apakah dengan perjanjian tersebut jaminan pihak ketiga berkurang atau tidak, namun tetap harus dibuktikan melalui Pengadilan. Dengan demikian pemerintah perlu segera memperbaruhi peraturan yang ada dan mengeluarkan pengaturan teknis terkait perjanjian perkawinan.

Since the issuance of Constitutional Court Decision Number 69 PUU XIII 2015 there has been changes on the provisions of nuptial agreement. The original nuptial agreemet can only be made before or at the time of marriage, now during the marriage a couple may enter into a nuptial agreement. This will affect the stage of marital property, since a nuptial agreement usually made to derogate the basic stage of marital property which is community property. Not only about the marital property that can be affected but also third parties rsquo interest. Article 29 Law Number 1 1974, both the origin and the change agreed that the nuptial agreement may invoke the third parties are involved. Thus, nuptial agreement made during marriage, especially those which regulate about marital property will arise legal consequences to third parties. The impact can be a loss to third parties, but until now there is no clear limit to determine the loss. Therefore this thesis will discuss the legal consequences arising from the making of marital property agreement during marriage to the marital property and third parties. The method used to examined the problem is juridical normative. Based on the research the author can concluded that nuptial agreement made during marriage can both affected to private property and community property depending on what kind of nuptial agreement applied. There must be a registration of the nuptial agreement to make the third parties invoked. The limit of losses can be seen wheter the third parties rsquo bail of payments are reduced or not. But it must be proven through the Court. Thus the government needs to revise the existing regulation and issue a technical regulation over nuptial agreement."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69670
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fanny Tjandradjaja
"Jaminan fidusia sangat berperan besar dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan kredit dengan pemberian jaminan tetapi penguasaan benda yang menjadi obyek jaminan tetap di tangan debitur. Hukum jaminan fidusia di Indonesia telah mengalami banyak perubahan dan penyesuaian demi memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada para pihak yang berkepentingan, salah satunya adalah dengan dibentuknya Undang-undang No. 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. Dalam undang-undang tersebut disebutkan bahwa pembebanan benda dengan jaminan fidusia harus dibuat dengan Akta Notaris. Hal ini dikarenakan Akta Notaris adalah akta yang otentik. Akta Jaminan Fidusia tersebut nantinya akan digunakan untuk pendaftaran jaminan fidusia. Pendaftaran jaminan fidusia menghasilkan Sertifikat Jaminan Fidusia yang merupakan bukti lahirnya jaminan fidusia tersebut. Permasalahannya adalah meskipun dalam undang-undang telah diatur pelarangan untuk mengalihkan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia, namun pada kenyataannya masih banyak terjadi pelanggaran yang tidak hanya berakibat hukum bagi penerima fidusia, tetapi juga kepada pemberi fidusia dan pihak ketiga yang menerima peralihan tersebut contohnya seperti pada kasus Putusan Pengadilan Negeri Gorontalo Nomor 295/Pid.Sus/2016/PN Gto. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif dengan pendekatan kualitatif dan bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini menyimpulkan bahwa pengalihan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari penerima fidusia merupakan sebuah bentuk pelanggaran hukum dan dapat memberikan akibat hukum bagi yang mengalihkan maupun yang menerima peralihan tersebut sesuai peraturan yang berlaku sehingga sebaiknya para pihak yang terkait mematuhi peraturan dan perjanjian yang telah dibuat.

Fiduciary guarantee play a big role in the community to fulfill the need for credit by providing guarantee but the possession of things that are objects of guarantee remains in the hands of the debtor. Fiduciary law in Indonesia has undergone many changes and adjustments to provide legal certainty and legal protection to concerned parties, one of which is the establishment of Law No. 42 of 1999 concerning Fiduciary Guarantee. In the law, it is stated that the imposition of objects with fiduciary guarantee must be made with a Notary Deed. This is because the Notary Deed is an authentic deed. The Fiduciary Guarantee Deed will later be used for registration of fiduciary guarantee. Fiduciary guarantee registration result in a Fiduciary Guarantee Certificate which is proof of the birth of the fiduciary guarantee. The problem is even though the law already regulates the prohibition for transferring things that are objects of fiduciary guarantee without prior written approval from fiduciary acceptor, in reality there are still many violations which not only have legal consequences for fiduciary acceptor, but also to fiduciary giver and third parties which get the transfer, for example as can be seen in the case of the Gorontalo District Court`s Decision Number 295/Pid.Sus/2016/PN Gto. The research method used in this study is normative juridical with a qualitative approach and descriptive analytical. This study concludes that the transfer of things that are objects of fiduciary guarantee without prior written approval from the fiduciary recipient is a form of violation of law and can provide legal consequences for those who transfer or those who receive the transfer in accordance with applicable regulations therefore the parties involved should comply with the regulations and agreements that has been made."
Depok: Universitas Indonesia, 2019
T54289
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bramandyo Yudha Pratama
"Permasalahan dalam perkara gugatan ini Putusan No. 572/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel. dimulai ketika Tergugat tidak melaksanakan Akta Kesepakatan Bersama antara Tergugat dan Penggugat yang akhirnya berujung pada ditemukannya alat-alat bukti formil yang justru semakin melemahkan posisi Tergugat dalam persidangan atas gugatan dari Penggugat. Dan kesemuanya ini bermula atas pembagian harta bersama antara Penggugat dan Tergugat yang dilaksanakan secara mandiri atas kesepakatan masing-masing pihak, yang pada akhirnya ternyata ditemukan bukti-bukti formil yang menjadikan akta kesepakatan bersama tersebut harus dan patut batal demi hukum.
Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini ialah metode penelitian kepustakaan, yang bersifat yuridis normatif dan bersumber dari data sekunder, yakni berupa studi dokumen. Berdasarkan kuat dan solidnya pembuktian formil yang yang dipaparkan oleh Pihak Penggugat terkait harta yang sepatutnya termasuk dalam harta bawaan dari Penggugat, serta ketidakabsahan Akta Kesepakatan Bersama Nomor 19 tertanggal 24 Oktober 2012 antara Penggugat dan Tergugat maka wajar dan patut ketika Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dalam pokok perkaranya memutuskan seperti yang terlampir dalam Putusan No. 572/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel.
Dan, berdasarkan paparan yang Penulis telah jelaskan dalam sub Bab 4 Skripsi ini, maka putusan Majelis Hakim terhadap gugatan atas harta benda perkawinan pasca perceraian Putusan No. 572/Pdt.G/2013/PN.Jkt.Sel. telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, yang kesimpulan Penulis ini diperkuat oleh Putusan Nomor 2898 K/Pdt/2015 di tingkat kasasi terkait perkara a quo terlampir.

Issues regarding this lawsuit Court Decision No. 572 Pdt.G 2013 PN.Jkt.Sel began when the defendant didn rsquo t fulfill the agreement between Defendant and Plaintiff which lead to discovery of illegal evidence brought before the court of law. Agreement on divorce property between Defendant and Plaintiff which was consensually, yet to be found illegal and supposed to be null and void.
The method of research that was used in this thesis based on literature study which cathegorised as normative juridical and sourced by data sekunder. Based on solid formal evidence brought by the Plaintiff, regarding which property that was initally belong to the Plaintiff before the marriage, and also the illegality of the agreement on the divorce properties Agreement Number 19 dated on October 24th 2012 between Plaintiff and Defendant hence should be accorded fair and proper when Panel of Judges of South Jakarta Distric Court decided as what is in Court Decision No. 572 Pdt.G 2013 PN.Jkt.Sel.
All and all, based on Author judgements which has written in sub Bab 4 of this thesis, the Court Decision regarding Lawsuit on Divorce Properties Court Decision No. 572 Pdt.G 2013 PN.Jkt.Sel. has already accorded with National Law of Indonesia on marriage related issue, which strengthen by Court Decision No. 2898 K Pdt 2015 of Indonesian Supreme Court regarding this matter attached.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S69558
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Novela Christine
"Perjanjian jaminan fidusia merupakan perjanjian accesoir dari perjanjian kredit, yang berfungsi sebagai jaminan atas pembayaran utang debitur kepada kreditur. Dalam akta jaminan fidusia terdapat pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia. Pemberi fidusia didefinisikan sebagai pemilik dari objek jaminan fidusia, akan tetapi terdapat debitur yang berkedudukan sebagai pemberi fidusia yang membebankan benda yang bukan miliknya menjadi objek jaminan fidusia. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penulisan ini adalah akibat hukum terhadap akta jaminan fidusia yang memiliki identitas kepemilikan objek yang dikaburkan berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Manado Nomor 390/PDT.G/2018/PN.Mnd; dan hubungan hukum yang mendasari pembuatan akta jaminan fidusia yang memiliki pemberi fidusia dan pemilik objek jaminan fidusia yang berbeda. Penelitian dalam tesis ini menggunakan metode yuridis normatif, dengan tipe penelitian problem identification. Hasil analisis menunjukkan bahwa akibat hukum terhadap akta jaminan fidusia tersebut adalah batal demi hukum, dikarenakan tidak memenuhi ketentuan Pasal 1 angka 5 Undang-Undang Jaminan Fidusia, dan bukan disebabkan oleh batalnya perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok. Akta jaminan fidusia yang memiliki pemberi fidusia dan pemilik objek jaminan fidusia yang berbeda dapat terjadi dikarenakan adanya hubungan hukum pada jual beli kendaraan bermotor yang belum melakukan balik nama BPKB, atau terdapat harta bersama yang hendak dijaminkan. Saran yang dapat diberikan adalah pemilik objek jaminan yang berkeberatan atas pembebanan benda miliknya dapat melakukan perubahan terhadap objek jaminan fidusia ataupun pembatalan akta kepada notaris. Pada saat pembuatan akta jaminan fidusia harus memposisikan pemilik objek jaminan fidusia sebagai pihak ketiga pemberi fidusia agar tidak terjadi gugatan maupun perlawanan pada saat eksekusi objek jaminan.

Fiduciary security contract is an accessory contract to the credit agreement, which serves as the guarantee for the payment made by the debtor to the creditor. The parties included in fiduciary security deed are fiduciary giver and fiduciary recipient. Fiduciary giver is defined as the owner of collateral object, however, there was a debtor acting as the fiduciary giver who put the fiduciary security upon the object that is not their property. The issues raised in this study are the legal consequence of fiduciary security deed which has obscured ownership of object based on Case Study of Manado District Court Number 390/PDT.G/2018/PN.Mnd; and the legal relation that serves as the basis in making fiduciary security deed which has different fiduciary giver and fiduciary object’s owner. The method used for this research is a normative juridical, by means of problem identification as the analytical types. The result of analysis concluded that the legal consequence of the fiduciary security deed is null and void, on the account of violating Article 1 number 5 Undang-Undang Jaminan Fidusia and isn’t due to the cancellation of credit agreement as the principal contract. Fiduciary security deed could have a different fiduciary giver and fiduciary object’s owner in addition to the legal relation on sale and purchase of vehicle that did not go through the transfer of vehicle ownership, or there is a marital property that would be used as a collateral. The recommendations suggested are the fiduciary object’s owner who object using their asset as a collateral could ask the notary to make an amendment for the collateral of fiduciary or nullify the deed. In the making of fiduciary security deed, the fiduciary object’s owner have to be put as the fiduciary giver third party in order that there would not be a lawsuit or opposition in the fiduciary collateral execution. "
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Indri Astuti
"Skripsi ini membahas mengenai persetujuan suami atau istri dalam pembebanan jaminan Hak Tanggungan terhadap harta bersama, di mana yang menjadi pokok permasalahannya adalah bagaimana ketentuan perundang-undangan, dalam hal ini UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, mengaturnya dan bagaimana akibat hukumnya jika persetujuan suami atau istri tersebut tidak terpenuhi. Penelitian ini merupakan penelitian hukum dengan menggunakan bentuk penelitian yuridis-normatif dan tipe penelitian deskriptif-analitis. Berdasarkan Pasal 36 ayat (1) UU Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan bahwa mengenai harta bersama suami atau istri dapat bertindak atas atas perjanjian kedua belah pihak. Namun, ternyata dalam Putusan-Putusan Mahkamah Agung terdapat perbedaan pertimbangan hukum atas hal tersebut. Penelitian ini menemukan bahwa ternyata dalam praktik peradilan, dalam hal ini Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi, maupun Mahkamah Agung, dalam putusan-putusannya memungkinkan bahwa persetujuan suami atau istri dapat dianggap ada jika utang yang dibuat adalah untuk kepentingan keluarga.

This undergraduate thesis describes about the spouse consent to encumber collateral mortgage on marital community of property, in which the main issues in this research is how the statutory provisions, in this case the Law No. 1 of 1974 about Marriage, set it up and how the legal consequences if the spouse consent is not fulfilled. This research is legal research, which uses a form of juridical- normative research and a type of descriptive-analytics research. Based on Article 36 paragraph (1) of Law No. 1 of 1974 stated that regarding marital community of property, husband or wife can act upon the agreement of both parties. However, it turns out in the Decisions of the Supreme Court that there are different legal considerations on the matter. This research finds out that in judicial practice, in this case the District Court, the High Court, and the Supreme Court, there are the Court Decisions which states that the spouse consent is possible to be considered exist if the debt is made for the family interests."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S44979
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>