Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 109320 dokumen yang sesuai dengan query
cover
A. Sonia
"Latar belakang: Dispareunia adalah nyeri pelvik yang muncul saat berhubungan seksual. Ruptur perineum derajat III dan IV dapat menyebabkan nyeri yang lebih berat dibandingkan serajat I dan II. Beberapa faktor yang mempengaruhi trauma sfingter ani obstetri adalah persalinan dengan bantuan alat, paritas, dan berat bayi lahir.
Metode: Merupakan studi potong lintang yang menggunakan data sekunder dan wawancara subjek di RSUPN Cipto Mangunkusumo di tahun 2016-2020. Dilakukan evaluasi dispareunia dalam 12 minggu pasca persalinan per vaginam pada perempuan dengan trauma sfingter ani obstetrik.
Hasil: Sebanyak 66 subjek memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Sebanyak 89,4% subjek tidak mengalami dispareunia dalam waktu 12 minggu pasca persalinan per vaginam. Ada 7 subjek yang mengalami dispareunia dan sebanyak 2 subjek tergolong nyeri berat. Ruptur perineum derajat IV memiliki perbedaan yang signifikan terhadap kejadian dispareunia (p 0,001).
Kesimpulan: Prevalensi dispareunia pada perempuan dengan trauma sfingter ani obstetric sebesar 10,6%. Terdapat perbedaan yang signifikan pada ruptur derajat IV terhadap kejadian dispareunia. Material benang dan teknik penjahitan, dan faktor-faktor eksternal maish harus dilakukan studi lanjut.

Introduction: Dyspareunia is a pelvic pain occur during or after sexual intercourse. The incidence of dyspareunia from 1,2% to 56,1%. Third degree and fourth degree tear can cause deliberately much pain than first and second degree tear. Several factors caused obstetric anal sphincter injury after vaginal delivery such as assisted vaginal delivery using vacuum and forceps prolonged second stage of labor, parity, and baby birth weight.
Methods : This study design is cross sectional using secondary data (medical records) and subjects interview which evaluates the prevalence of dyspareunia in 12 weeks after vaginal delivery on women with obstetric anal sphincter injury. This study took place in Cipto Mangunkusumo Hospital ( 2016-2020).
Results : Sixty six subjects were enrolled into this study after met the criteria. The results were based on demographic, clinical characteristics, and bivariate analysis. Based on the dyspareunia, showed 89,4% subjects did not have dyspareunia in 12 weeks after vaginal delivery. Total 7 subjects suffered from dyspareunia.The study showed the degree of perineal rupture was significantly correlated with dyspareunia on subjects ( p 0,001).
Conclusion : The prevalence of dyspareunia on women with OASIs is 10,6%. There was statistically significant association between the degree of rupture and dyspareunia. Suturing material and technique, and wound healing factors are still need to be analysed more in the further study.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
David Luther
"ABSTRAK
Pendahuluan: Dispareunia adalah beban utama pada wanita usia reproduktif. Kondisi ini memiliki dampak langsung pada kehidupan pernikahan, sosial dan professional dari wanita usia reproduktif. Faktor yang dapat berkontribusi dalam terjadinya dyspareunia adalah rupture perineum.Metode:Desain studi potong lintang digunakan dengan memberikan kuesioner Female Sexual Function Index FSFI terhadap wanita postpartum yang terdiagnosis dengan ruptur perineum akibat persalinan per vaginam. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dan Rumah Sakit Umum Tangerang pada bulan Oktober sampai Desember 2017. Pasien yang memiliki inflamasi panggul kronis dan riwayat dispareunia sebelumnya dieksklusi.Hasil: Sebanyak 93 subjek terlibat dalam studi ini.; 59 subjek memiliki ruptur perineum ringan derajat I dan II sedangkan 34 subjek lainnya memilki ruptur perineum derajat berat derajat III dan IV . Ditemukan bahwa ruptur perineum berkaitan dengan tejradinya dyspareunia setelah 3-6 bulan setelah terjadi rupture perineum. Kesimpulan: Ruptur perineum derajat III dan IV meningkatkan risiiko terjadinya dyspareunia 3-6 bulan postpartum sampai 5 kali lipat. Studi prospektif selanjutnya dengan jumlah sampel yang lebih besar yang menginvestigasi risiko dispareunia pada perempuan dengan rupture perineum sebaiknya dilakukan.

ABSTRACT
Introduction: Dyspareunia is major burden in reproductive-aged women. In fact, it has a direct impact on their marital, social and professional life. One factor that may contribute to the risk of developing dyspareunia is perineal tear. To this date, studies regarding the association between perineal trauma and dyspareunia 3 to 6 months after perianal rupture are scarce. This study aims to investigate the association between both variables.Methods: A cross-sectional study design was used by giving Female Sexual Function Index FSFI questionnaires to postpartum women diagnosed with perineal tear due to vaginal birth. The study was conducted at Cipto Mangukusumo Hospital and Tangerang General Hospital between October and December 2017. Those who had chronic hip inflammation and previous history of dyspareunia were excluded.Results: A total of 93 subjects were involved in this study; 59 had mild first- and second- degree while 34 had third- and fourth- degree perineal tears. We found that perineal tear was associated with the occurrence of dyspareunia after 3 to 6 months after perineal rupture.Conclusions: Grade III to IV perineal tear increased the risk of dyspareunia 3 to 6 months postpartum up to 5-fold. Further prospective studies with larger samples assessing the risk of dyspareunia in those with perineal tear should be conducted.
"
2018
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Renny Lestari Avriyani
"ABSTRAK
Latar Belakang : Hubungan antara endometriosis dan nyeri pelvik telah banyak diketahui, namun penjelasan tentang mengapa hal ini bisa terjadi masih belum jelas diketahui. Dapat ditemukan keluhan nyeri hebat pada penderita endometriosis ringan, namun sebaliknya, dijumpai pula penderita endometriosis derajat berat tanpa keluhan nyeri berarti.Tujuan : Penelitian ini bertujuan mencari hubungan antara tampilan susukan endometriosis dan karakteristik nyeri pelvik.Metode : Rancangan penelitian ini menggunakan desain studi retrospektif dengan metode analisis korelasi antara dua variabel numerik. Penelitian ini dilakukan di Rumah Sakit Umum Pusat Rujukan Nasional dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data retrospektif rekam medis dari 131 pasien yang dilakukan laparoskopi atas indikasi endometriosis dari tahun 2012-2016.Hasil: Endometriosis minimal terdapat pada 2 pasien, endometriosis ringan pada 3 pasien, endometriosis sedang di 26 pasien, dan endometriosis berat pada 104 pasien. Berdasarkan tampilan makroskopik, endometriosis ovarium terdapat pada 92,4 , endometriosis peritoneal 82,4 , ESD 40,5 , dan adenomiosis pada 19,1 . Terdapat korelasi positif bermakna antara skor ASRM total, subskor kista endometriosis, endometriosis superfisial, obliterasi kavum douglas, dan adhesi adneksa dengan VAS dismenorea r=0,303; 0,187; 0,203; 0,278; 0,266, p

ABSTRACT
Background Controversies on relationship between endometriosis stage, adhesion, lesion type, and severity of pelvic pain remains for years, eventhough clinical experience have connected those with severity of pelvic pain.Objective To evaluate the association between ASRM score in endometriosis and pelvic pain in a group of women with endometriosis.Methods A total of 131 patients with pelvic pain who conduct laparoscopy for diagnosis and therapy of endometriosis, have pain symptoms 3 months, and absense of pelvic anomalies. Dysmenorrhea, deep dyspareunia, dyschezia, dysuria, and chronic pelvic pain were evaluated using 10 point visual analogue scale. The data was collected by assessing the medical record and retrospective analysis was performed. Disease stage according to American Society of Reproductive Medicine, presence of adhesion, lesion type Deep Infiltrating Endometriosis DIE or without DIE , and severity of pain symptoms were analyzed by Spearman analysis. Different VAS between DIE vs non DIE group was analyzed by Mann Whitney analysis.Results Minimal endometriosis was present in 2 patients, mild in 3, moderate in 26, and severe in 104. Based on the macroscopic appearance, ovarian endometriosis accounts for 92,4 , peritoneal endometriosis 82,4 , DIE was 40,5 , and adenomyosis was 19,1 . Stage IV endometriosis accounts for 79.4 . Based on the macroscopic appearance, ovarian endometriosis accounts for 92.4 , peritoneal endometriosis 82.4 , DIE was 40.5 , and adenomyosis was 19.1 . There was significant correlation between total ASRM, ovarian endometriosis, peritoneal lesion, Douglas pouch obliteration, adnexal adhesion score and VAS dysmenorrhea r 0.303 0,187 0,203 0,278 0,266, p"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Liem, Raissa
"Pendahuluan: Obstetric Anal Sphincter Injuries (OASIS) merupakan salah satu komplikasi luaran partus pervaginam yang cukup sering ditemukan, mencapai 4,53% dari total persalinan pervaginam. Kejadian OASIS juga dikaitkan dengan peningkatan risiko inkontinensia fekal (IF) yang berpengaruh terhadap kualitas hidup seseorang. Pada penelitian ini akan dijabarkan karakteristik dari pasien yang mengalami OASIS di RS Tersier di Jakarta pada tahun 2014-2016 dan luaran inkontinensia fekal pada populasi tersebut.
Metode: Penelitian ini merupakan studi deskriptif karakteristik pasien pasca reparasi OASIS di RSUPN Cipto Mangunkusumo, RS Persahabatan, dan RS Fatmawati tahun 2014- 2016. Dari total 234 pasien, 58 pasien berhasil dihubungi dan diwawancara dengan kuesioner RFIS untuk mengetahui luaran inkontinensia fekal. Dari 58 pasien, 16 pasien datang untuk USG tranperineal untuk penilaian otot sfingter ani pasca reparasi. Data dianalisis menggunakan SPSS 20.
Hasil Penelitian: Dari total 234 sampel, rerata usia pasien adalah 26,64 tahun, dengan rerata IMT 23,4 kg/m2. Sebagian besar pasien (67,5%) adalah primipara, dengan rerata durasi partus kala II selama 45,1 menit. Tindakan episiotomi dilakukan pada 40,6% pasien, persalinan spontan pada 153 (65,4%) pasien, dengan rerata berat lahir 3217 gram. Dari 58 pasien yang bisa dihubungi, keluhan inkontinensia fekal didapatkan pada 3 orang (5,2%) pasca OASIS dengan berbagai tingkat keparahan (ringan, sedang, dan berat). Dari 16 pasien yang datang untuk USG, ditemukan defek pada EAS pada 3 pasien, dan IAS pada 2 pasien. Kelima pasien tersebut tidak memiliki keluhan IF.
Diskusi: Penelitian ini merupakan studi deskriptif terhadap karakteristik pasien dengan OASIS, dan juga sebagai studi awal terhadap kejadian inkontinensia fekal pada populasi OASIS. Didapatkan 3 dari 58 pasien pasca reparasi primer OASIS mengalami inkontinensia fekal. Angka ini cukup rendah dibandingkan studi lain. Hal ini dapat disebabkan adanya perbedaan populasi penelitian. Pasien dengan keluhan IF yang memiliki sfingter ani yang intak pada penelitian ini menunjukkan bahwa kontinensia tidak hanya dipengaruhi oleh sfingter ani, namun juga faktor lain seperti otot dasar panggul dan persarafan disekitarnya.
Kesimpulan: Luaran dari reparasi primer OASIS ditemukan beragam dari penelitian ke penelitian. Karakteristik pasien memiliki peran yang penting dalam menentukan angka kejadian OASIS dan juga luaran pasca reparasi. Untuk mengetahui hal tersebut, diperlukan penelitian lanjutan dengan jumlah sample yang lebih besar.

Introduction: Obstetric Anal Sphincter Injuries (OASIS) is a quite common complication of vaginal delivery. It reaches 4,53% from total vaginal delivery. OASIS is associated with an increased risk of fecal incontinence, which affect one's quality of life. The incidence of OASIS and fecal incontinence differs from one study to the others. In this study, characteristics of patients with OASIS in tertiary hospital in Jakarta year 2014-2016 and fecal incontinence outcome among those patients will be described.
Methodology: This study is a descriptive study for characteristics of OASIS patients after primary repair in Cipto Mangungkusumo Hospital, Persahabatan Hospital and Fatmawati Hospital from year 2014-2016. From total 234 patients, only 58 patients could be contacted, and interviewed using Revised Fecal Incontinence Score (RFIS) questionnaires. From total 58 patients, only 16 patients came for further transperineal utlrasound. Data were analized using SPSS 20.
Results: From total 234 patients, mean patient's age is 26.6 years old, with mean BMI 24.8 kgs/m2. Most of the patients are nulliparous (67,5%), with median duration of second stage of labor 45 minutes. Episiotomy was not performed on most patients (59.4%), and most of them underwent spontaneous vaginal delivery (65,4%), with mean baby birthweight 3217 grams. From 58 patients that could be contacted, 3 patients had fecal incontinence complaint (5,2%). From those 58, 16 came for transperineal ultrasound examination, and anal sphincter defects were found in 5 patients, 3 with EAS, and 2 with IAS. All 5 patients did not have any fecal incontinence symptoms.
Discussion: This study is a descriptive study of OASIS patient's characteristics and also as a preliminary study for the incidence of fecal incontinence among OASIS population in Jakarta. The number of fecal incontinence in this study can be considered low (3 out of 58), compared to others. This could be due to differences in study population. Patient with fecal incontinence who has intact anal sphincter in this study shows that incontinence is influenced not only by anal sphincter, but also by other factor such as pelvic floor muscle and surrounding nerve innervation.
Conclusion: The outcomes of primary reparation of OASIS are varied within studies. Patient's characteristics might play an important role in influencing the incidence of OASIS as well as the outcome after reparation. A further study with a bigger sample is necessary."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T57658
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Wendy Primadhani
"ABSTRAK
Latar Belakang : Gangguan fungsi defeksi, yang diketahui sebagai sindrom Low Anterior Resection (LARS) menjadi masalah utama paska pembedahan kanker rektum yang akan berpengaruh pada kualitas hidup. Studi ini bertujuan untuk menngetahu insidens LARS pada pasien paska prosedur preservasi sfingter ani dan faktor- faktor yang mempengaruhi LARS.
Metode : Pasien kanker rektum yang menjalani eksisi total mesorektal dan anastomosis colorectal selama periode 2017-2018 berpartisipasi dalam pengisian kuesioner LARS. Parameter klinis yang dianalisis dan untuk perbandingan fisiologi anorektal antara mayor LARS dan no LARS atau minor LARS menggunakan pengukuran biofeedback.
Hasil: Studi ini melibatkan 40 pasien, mayor LARS didapatkan pada 42,5% pada pasien yang menjalani low anterior resection (LAR). Radioterapi preoperatif dan level anastomosis berhubungan dengan major LARS dengan odd ratio 0,1 (95% CI : 0,02- 0,49) and 0,07 (95% CI 0,01- 0,39). Dilakukan penghitungan luasan dibawah kurva (AUC) dengan cara receiver operating characteristic (ROC) sebesar 0,77 dan didapatkan titik potong level anastomosis di 5 cm dengan nilai ramal negative 88,23%. Pengukuran biofeedback menunjukkan perbedaan signifikan pada tekanan anal istirahat (resting anal pressure) dan tekanan kontraksi maksimal (maximal squeeze pressure) diperkirakan terjadi gangguan pada fungsi sfingter dan terapi preoperatif berperan untuk terjadinya LARS.
Kesimpulan: LARS merupakan masalah signifikan yang diteukan pada hampir sepertiga pasien kanker rektum paska pembedahan. Resiko terkena mayor LARS meningkat dengan adanya terapi preoperatif dan rendahnya level anastomosis.

ABSTRACT
Background : Defective defecation n function, also known as low anterior resection syndrome (LARS), is common problem after surgical treatment of rectal cancer that has a detrimental effect on quality of life. This study aimed to look for the incidence of LARS in patients whose native rectum could not be kept and determine factors influencing major LARS.
Methods : Retal cancer patients who underwent tumor removal with mesorectal excision and colorectal anastomosis during the years 2017-2018 were asked to participate a structured interview using the verified version of the LARS questionnaire. Clinical parameters were analyzed and anorectal physiology was compared between those with major LARS and those without LARS by biofeedback measurement.
Results : This study included 40 patients ,major LARS was found at 42,5% in those who underwent low anterior resection , which incidence 22% than other group. Preoperative radiotherapy and level of the anastomosis associated with major LARS at an odd ratio 0,1 (95% CI : 0,02- 0,49) and 0,07 (95% CI 0,01- 0,39). The receiver operating characteristic curve showed an area under the curve of 0,77. The cut-off anastomotic level was at 5 cm, which gave a negative predictive value of 88,23%. Biofeedback measurement showed a significant difference in the resting anal pressure and maximal squeeze pressure, which suggests that dearrangement in sphincteric function and preoperative therapy may contribute to the LARS.
Conclusion : LARS is significant problem found in about one third of rectal patients after surgery. Risk of having major LARS increases with preoperative treatment and lower anastomotic level."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T55579
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nadya Anindita
"ABSTRAK
Latar Belakang: Robekan perineum sering terjadi pada persalinan pervaginam. Robekan perineum diklasifikasikan menjadi empat kelas, yaitu derajat 1, 2, 3, dan 4. Robekan perineum derajat 3 dan 4 tergolong dalam Obstetric Anal Sphincter Injuries atau biasa disebut dengan OASIS. Beberapa studi menjelaskan bahwa OASIS sering terjadi pada persalinan pervaginam dan dapat menyebabkan masalah yang serius terhadap pasien. Kejadian OASIS dipengaruhi oleh beberapa faktor resiko, yaitu faktor dari sisi ibu, obstetrik, dan janin. Faktor risiko ibu termasuk usia saat terjadi kehamilan dan jumlah persalinan.Metode: Studi ini merupakan studi deskriptif-analitik menggunakan metode potong lintas untuk mengobservasi perempuan dengan Obstetric Anal Sphincter Injuries OASIS yang memiliki karakteristik subjek berupa usia dan jumlah persalinan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo dalam periode Januari 2011 hingga Juni 2015. Dua ratus dua puluh data yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi digunakan dalam studi ini dan dianalisis menggunakan SPSS dengan metode univariat dan bivariat. Metode univariat digunakan untuk mendapatkan distribusi frekuensi dari variabel yang dianalisis, sedangkan metode chi-square digunakan untuk analisis bivariat. Hasil dari data akan dianalisis untuk mendapatkan odds ratio dan interval kepercayaan.Hasil: Faktor risiko yang diteliti adalah usia ibu, jumlah persalinan, dan tipe persalinan pervaginam. Faktor usia ibu menunjukan OR 2,7 95 IK 1,12 ndash;6,52; p value=0,023 yang berarti faktor tersebut cenderung memiliki hubungan yang signifikan terhadap kasus OASIS. Jumlah persalinan juga cenderung memiliki hubungan yang signifikan terhadap kasus OASIS dengan OR 2,97 95 IK 1,23 ndash;7,20; p value=0,013 , sedangkan tipe dari persalinan pervaginam tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan kasus OASIS OR 0,85 95 IK 0,34 ndash;2,04; p value=0,719 .Kesimpulan: Dari tiga faktor yang diteliti, faktor yang cenderung memiliki asosiasi yang signifikan terhadap kasus OASIS adalah usia ibu dan jumlah persalinan, sedangkan tipe dari persalinan pervaginam tidak memiliki asosiasi yang signifikan terhadap kasus OASIS.

ABSTRACT
Background Perineal tear often occurs during vaginal childbirth. It is classified into four grades which are grade 1, 2, 3 and 4. Grade 3 and 4 are called Obstetric Anal Sphincter Injuries OASIS . Several studies showed that OASIS occur in mostly vaginal delivery in the world and it can cause serious problems to the patient. OASIS occurrence is affected by some risk factors, which are maternal, obstetric, and fetal factors. Maternal risk factors include age and number of parity. Moreover, types of vaginal delivery can also be observed.Method This study is a descriptive analytical study using cross sectional design to observe all women with Obstetric Anal Sphincter Injuries OASIS that have the subject rsquo s characteristics which are maternal age and number of parity in Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo throughout January 2011 to June 2015. Two hundred twenty data that meet the inclusion and exclusion criteria are used and will be analyzed using univariate and bivariate method with SPSS 19. The data is used to find the distribution of frequency of each variables by using univariate method and chi square analysis will be used for bivariate analysis. The result will be analyzed to get the odds ratio and confidence interval.Result The risk factors observed are maternal age, number of parity, and types of vaginal delivery. Maternal age tends to show significant relation to the cases of OASIS with OR 2.7 95 CI 1.12 ndash 6.52 p value 0.023 , number of parity also tends to have a significant relation with OASIS cases with OR 2.97 95 CI 1.23 ndash 7.20 p value 0.013 , while types of delivery does not have significant relation with OASIS cases as the OR 0.85 95 CI 0.34 ndash 2.04 p value 0.719 .Conclusion From three factors observed in the study, the factors that tend to have significant association are maternal age and number of parity. In contrast, types of vaginal delivery does not have significant role in the cases of OASIS."
2017
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lestari Mustika Rini
"ABSTRAK
Latar Belakang: Avulsi levator ani merupakan lepasnya otot puborektalis dari insersinya pada dinding pelvis. Kejadian ini seringkali terjadi akibat trauma persalinan pervaginam dan dapat menyebabkan gejala uroginekologi beberapa tahun kemudian. Tujuan: Untuk mengetahui proporsi avulsi levator ani menggunakan ultrasonografi 3D/4D dan menentukan faktor-faktor persalinan pervaginam yang berkontribusi pada terjadinya avulsi levator ani diantara pasien dengan gejala prolaps organ panggul. Metode: Studi potong-lintang dilakukan pada pasien dengan gejala prolaps organ panggul di Poliklinik Uroginekologi RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Secara retrospektif dan prospektif dilakukan pengumpulan data sejak Januari 2012 hingga April 2017 dengan pemeriksaan klinis menggunakan POP-Q dan ultrasonografi 3D/4D transperineal untuk menilai otot levator ani.Hasil: Dari total 127 pasien prolaps organ panggul yang dimasukkan sebagai subjek memiliki median usia 61 26-80 tahun, median paritas 3 0-13 dengan 2 pasien nuligravida dan 2 pasien menjalani persalinan hanya dengan seksio sesarea. Sebanyak 10 subjek 7.9 , IK95 3.1-12.6 terdeteksi adanya avulsi levator ani menggunakan USG 3D/4D transperineal. Diantara kelompok avulsi tersebut dilakukan analisis dengan mengeksklusi 4 pasien tanpa persalinan pervaginam. Dari total 123 pasien, median usia pertama melahirkan adalah 26 18-31 tahun, p=0.156; median jumlah persalinan pervaginam adalah paritas 3 1-9 , p=0.19; riwayat persalinan dengan forsep hanya terdapat 1 kasus 10 , p=0.081; riwayat persalinan dengan vakum 10 , p=0.35, dari total 5 kasus vakum; dan berat lahir bayi terbesar dengan median 3470 3100-3700 gram, p=0.752.Kesimpulan: Proporsi avulsi levator ani pada pasien prolaps organ panggul di Poliklinik RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo sebesar 7.9 . Faktor risko obstetri seperti usia pertama melahirkan, jumlah persalinan pervaginam, riwayat persalinan dengan forsep, riwayat persalinan dengan vakum dan berat lahir bayi terbesar tidak dapat disimpulkan hubungannya dengan terjadinya avulsi levator ani.

ABSTRACT
Background Avulsion of levator ani could arise from detachment of puborectalis muscle form its insertion on the pelvic sidewall. This manifest is a common consequence of vaginal childbirth trauma and could represent urogynecological symptoms many years later. Objective To estimate the proportion of levator ani avulsion using 3D or 4D ultrasound and determine the vaginal birth factors that contribute to levator ani avulsion among the symptomatics of pelvic organ prolapse women. Methods Cross sectional study was conducted among women with symptomatic pelvic organ prolapse in Urogynecology Clinic RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Patients were retrospective and prospectively investigated from January 2012 until April 2017 by clinical examination using POP Q system and 3D 4D imaging of levator ani muscle.Results A total 127 women with pelvic organ prolapse were included in this study, median age was 61 26 80 years, median parity was 3 0 13 with 2 patients were nulligravid and 2 patients have giving birth by c section only. There were 10 cases 7.9, IK95 3.1 12.6 levator avulsion by transperineal 3D 4D US exam. In the group of levator avulsion, 4 cases without history vaginal birth were excluded. Of total 123 patients, first age delivery median was 26 18 31 years, p 0.156 vaginal birth parity median was 3 1 9, p 0.19 1 case forceps delivery 10, p 0.081 vacuum delivery 10, p 0.35, from total vacuum history was 5 cases and maximum birthweight median mas 3470 3100 3700 gram, p 0.752.Conclusion Proportion of levator avulsion in women with pelvic organ prolaps at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo was 7.9 . First age delivery, vaginal birth parity, forceps delivery, vacuum delivery, dan maximum birth weight as obstetric factors cannot be concluded these association to levator avulsion."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dafnil Akhir Putra
"Latar belakang : Prolaps organ panggul diketahui berkaitan dengan komplikasi berupa disfungsi seksual. Luas genitalia hiatus serta kekuatan otot dasar panggul merupakan salah satu parameter yang diketahui berkaitan dengan komplikasi tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan luas levator hiatus dan kekuatan levator ani pada kasus POP terutama terhadap masalah disfungsi seksual.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain perbandingan potong lintang, yang dilaksanakan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada periode 1 Februari 2023 hingga Mei 2024. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan status ginekologis, termasuk POP-Q dan perineometer dan pemeriksaan USG dasar panggul. Kategori disfungsi dikelompokkan berdasarkan skor FSFI. Data yang diperoleh akan diuji secara parametrik maupun non parametrik sesuai normalitas data, dengan batas kemaknaan yaitu alpha 5%. Penentuan titik potong diukur dengan metoda ROC dan analisa AUC serta penghitungan nilai sensitivitas maupun spesifisitasnya. Selanjutnya, dilakukan uji korelasi untuk mendapatkan signifikansi (p) serta kekuatan korelasi (r) pada setiap variabel yang akan diperiksa.
Hasil: Pengambilan data secara consecutive sampling pada seluruh pasien baru POP yang datang ke Poli Uroginekologi, terdapat 40 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dalam populasi dengan kategori 20 sample disfungsi seksual dan 20 sampel tidak disfungsi seksual. Tidak terdapat perbedaan karakteristik yang bermakna pada sampel prolaps organ panggul pada kelompok disfungsi seksual maupun tidak disfungsi seksual. Dari uji T-tidak berpasangan didapatkan hubungan yang bermakna pada maksimal levator hiatus dengan kejadian disfungsi seksual (p=0,000). Terdapat hubungan kekuatan levator hiatus saat kontraksi dengan kejadian disfungsi seksual pada perempuan dengan prolaps organ panggul oleh uji Mann-Whitney (p=0,005). Pada luas levator hiatus didapatkan titik potong yaitu 30.865 cm2 (sensitivitas 85%, spesitifitas 80%), kemudian untuk titik potong kekuatan otot levator ani yaitu 20.5 cmH2O (sensitivitas 80%, sensitifitas 70%). Berdasarkan korelasi Pearson antara luas levator hiatus dengan skor FSFI yang bermakna pada domain rangsangan (p=0,000, r=-0,531) serta domain orgasme (p= 0,000, r=-0,581). Berdasarkan hasil uji korelasi spearman pada kekuatan otot levator ani didapatkan hasil yang bermakna pada domain tingkatan rangsangan (p=0,015, r=0,383) dan pada domain orgasme yaitu (p=0.002, r=0,478).
Kesimpulan : Pemeriksaan luas levator hiatus dengan USG dasar panggul dan pengukuran kekuatan otot dasar panggul dengan perineometer dapat menjadi alternatif untuk membantu mengevaluasi resiko kejadian disfungsi seksual pada perempuan POP postmenopause.

Latar belakang : Prolaps organ panggul diketahui berkaitan dengan komplikasi berupa disfungsi seksual. Luas genitalia hiatus serta kekuatan otot dasar panggul merupakan salah satu parameter yang diketahui berkaitan dengan komplikasi tersebut. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui hubungan luas levator hiatus dan kekuatan levator ani pada kasus POP terutama terhadap masalah disfungsi seksual.
Metode : Penelitian ini menggunakan desain perbandingan potong lintang, yang dilaksanakan di RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo pada periode 1 Februari 2023 hingga Mei 2024. Selanjutnya, dilakukan pemeriksaan status ginekologis, termasuk POP-Q dan perineometer dan pemeriksaan USG dasar panggul. Kategori disfungsi dikelompokkan berdasarkan skor FSFI. Data yang diperoleh akan diuji secara parametrik maupun non parametrik sesuai normalitas data, dengan batas kemaknaan yaitu alpha 5%. Penentuan titik potong diukur dengan metoda ROC dan analisa AUC serta penghitungan nilai sensitivitas maupun spesifisitasnya. Selanjutnya, dilakukan uji korelasi untuk mendapatkan signifikansi (p) serta kekuatan korelasi (r) pada setiap variabel yang akan diperiksa.
Hasil: Pengambilan data secara consecutive sampling pada seluruh pasien baru POP yang datang ke Poli Uroginekologi, terdapat 40 pasien yang memenuhi kriteria inklusi dalam populasi dengan kategori 20 sample disfungsi seksual dan 20 sampel tidak disfungsi seksual. Tidak terdapat perbedaan karakteristik yang bermakna pada sampel prolaps organ panggul pada kelompok disfungsi seksual maupun tidak disfungsi seksual. Dari uji T-tidak berpasangan didapatkan hubungan yang bermakna pada maksimal levator hiatus dengan kejadian disfungsi seksual (p=0,000). Terdapat hubungan kekuatan levator hiatus saat kontraksi dengan kejadian disfungsi seksual pada perempuan dengan prolaps organ panggul oleh uji Mann-Whitney (p=0,005). Pada luas levator hiatus didapatkan titik potong yaitu 30.865 cm2 (sensitivitas 85%, spesitifitas 80%), kemudian untuk titik potong kekuatan otot levator ani yaitu 20.5 cmH2O (sensitivitas 80%, sensitifitas 70%). Berdasarkan korelasi Pearson antara luas levator hiatus dengan skor FSFI yang bermakna pada domain rangsangan (p=0,000, r=-0,531) serta domain orgasme (p= 0,000, r=-0,581). Berdasarkan hasil uji korelasi spearman pada kekuatan otot levator ani didapatkan hasil yang bermakna pada domain tingkatan rangsangan (p=0,015, r=0,383) dan pada domain orgasme yaitu (p=0.002, r=0,478).
Kesimpulan : Pemeriksaan luas levator hiatus dengan USG dasar panggul dan pengukuran kekuatan otot dasar panggul dengan perineometer dapat menjadi alternatif untuk membantu mengevaluasi resiko kejadian disfungsi seksual pada perempuan POP postmenopause.

Introduction : Pelvic organ prolapse is known to be related to complications in the form of sexual dysfunction. The area of hiatus genitalia and the strength of pelvic floor muscles are one of the known parameters related to these complications. The aim of this study is to determine the association between the hiatus levator area and the strength of the levator ani in POP cases, specifically focusing on sexual dysfunction issues.
Methods : This study uses a cross-sectional comparison design, which was carried out at RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo in the period from February 2023 to May 2024. A gynecological status check, including POP-Q, perineometer, and pelvic floor ultrasound examination, is performed. The categories of dysfunction are grouped based on FSFI scores. The data obtained is then tested in a parametric or non-parametric test according to the normality of the data, with an efficiency limit of alpha 5%. The determination of the cut-off point is measured by the ROC method, the AUC analysis, and the calculation of the sensitivity and specificity values. Then a correlation test is performed to obtain the significance (p) as well as the strength of the correlation (r) on each variable to be examined.
Result : The data was collected on consecutive samples of all new POP patients who came to Uroginecology Polyclinic. There was 40 patients who met the inclusion criteria in the population had 20 sexual dysfunction samples and 20 non-sexual dysfunction samples. There were no significant characteristic differences in the pelvic organ prolapse sample in the sexual dysfunction group or non-sexual dysfunction group. From the T-unpaired test, a meaningful relationship was found between the maximum levator hiatus and the incidence of sexual dysfunction (p=0,000). There was a relationship between the strength of the hiatus levator during contraction and the incidence of sexual dysfunction in women with pelvic organ prolapse, as determined by the Mann-Whitney test (p=0.005). The area of the hiatus levator is obtained at a cutting point of 30,865 cm2 (sensitivity 85%, specificity 80%), and for the cutting point, the strength of the levator ani muscle is 20.5 cmH2O (sensitivity 80%, sensitivity 70%). Based on Pearson's correlation between the area of the hiatus levator and a meaningful FSFI score on the stimulatory domain (p=0,000, r=0.531) and the orgasm domain (p=0,000, r=0.581). Based on the results of the spearman correlation test on the strength of the levator ani muscle, meaningful results were obtained in the stimulus level domain (p=0.015, r=0.383) and in the orgasm domain (p=0.002, r=0.478).
Conclusion : An extensive examination of the hiatus levator with a pelvic floor ultrasound and measurement of pelvic floor muscle strength with a perineometer may be an alternative to help evaluate the risk of sexual dysfunction incidence in postmenopausal POP women.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noor Siti Noviani Indah Sari
"ABSTRAK
Nama : Noor Siti Noviani Indah SariProgram Studi : Magister Keperawatan Fakultas Ilmu KeperawatanJudul : Determinan Kejadian Fisura Ani Berat pada Anak dengan Kanker yang Mendapat Kemoterapi Fisura ani merupakan suatu kondisi yang dapat dialami oleh anak penderita kanker dan berdampak pada adanya ketidaknyamanan, gangguan pada proses pengobatan kanker, meningkatnya lama dan biaya perawatan. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor yang berhubungan dengan kejadian fisura ani berat pada anak dengan kanker yang mendapat kemoterapi. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional, melalui teknik non probability sampling dengan jumlah responden 70 orang. Analisis data menggunakan Spearman, Chi square dan Regresi logistik ganda. Hasil penelitian menunjukkan kecenderungan kejadian fisura ani adalah fisura ani derajat ringan 61, 4 dan derajat berat 38,6 . Hasil analisis bivariat menunjukkan terdapat hubungan yang signifikan antara jenis kelamin, riwayat fisura ani dan kebiasaan perineal hygiene terhadap kejadian fisura ani berat p value , 0,05 . Kesimpulan penelitian ini jenis kelamin merupakan faktor utama yang berhubungan dengan kejadian fisura ani berat OR=26, p= 0,001 . Perawat diharapkan dapat meningkatkan kemampuan pengkajian, pengenalan faktor risiko, tanda dan gejala serta perawatan fisura ani pada anak dengan kanker yang berisiko mengalami fisura ani berat terutama pada anak laki-laki. Kata kunci:Anak, kanker, kemoterapi, fisura ani

ABSTRACT
ABSTRACT Name Noor Siti Noviani Indah SariStudy Program Graduate Program Nursing FacultyTitle Determinant of Severe Anal Fissure Incident Among Children with Cancer Who Receiving Chemotherapy Anal fissure among children with cancer is a condition that affect child rsquo s comfort, treatment process, increased cost and lenght of stay. The aim of this study was to identify factors associated with the incidence of severe anal fissure among children with cancer receiving chemotherapy. This study used cross sectional where 70 respondents were choosen with non probability sampling technique. Analysis of data used Spearman, Chi square and Multiple logistic regression. The results of study showed a tendency fissure occurrence of anal fissure was mild degree 61,4 and severe degree 38,6 , and there was significant relationship between gender, history of anal fissure, and perineal hygiene habits to the incidence of severe anal fissure. The study concluded that gender was the determinant occurrence of severe anal fissure OR 26 p 0,001 . The nurses were expected to improve the assessment, recognition of risk factors, signs and symptoms as well as treatment of anal fissures especially among boys. Key words Children, cancer, chemotherapy, anal fissure
"
2017
T47100
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Satriyo Pamungkas
"ABSTRAK
Latar belakang : Robekan perineum tingkat III dan IV dapat menimbulkan berbagai
morbiditias seperti disfungsi organ panggul, dispareni, nyeri kronik, dan masalah
psikososial yang mengganggu kualitas hidup perempuan. Audit terhadap tatalaksana
robekan perineum perlu dilakukan sebagai dasar perbaikan panduan pelayanan klinis
dan pelayanan di rumah sakit.
Tujuan : mengetahui insidensi dan mengaudit tatalaksana robekan perineum tingkat
III dan IV di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo pada tahun 2011-2014 berdasakan
panduan Royal College of Obstetricians and Gynecologist (RCOG) tahun 2015.
Metode : Studi deskriptif dengan desain potong lintang dilakukan dengan
menggunakan data persalinan di RSUPN Cipto Mangunkusumo dari tahun 2011
sampai dengan 2014. Kesesuaian tatalaksana robekan perineum tingkat III dan IV
dinilai berdasarkan kehadiran konsulen, tempat memperbaiki, penggunaan anestesi,
metode jahitan, bahan jahitan, antibiotik pasca operasi, kateter 1 kali 24 jam,
penggunaan analgetik dan laksantia. Subjek yang memenuhi minimal 7 dari 9
kriteria, dianggap mendapatkan tatalaksana yang sesuai dengan panduan RCOG.
Hasil : Dari tahun 2011 sampai dengan 2014, insidensi robekan perineum berturutturut
adalah sebesar 3,54; 4,34; 3,95; dan 1,77%. Tatalaksana robekan perineum
tingkat III dan IV pada studi ini didapatkan sesuai pada 57,8% subjek.
Ketidaksesuaian ditemukan pada komponen tempat operasi, operator oleh ahli, dan
penggunaan kateter urin 1 kali 24 jam pasca tindakan
Kesimpulan : Insidensi robekan perineum derajat 3 dan 4 didapatkan masih tinggi.
Masih terdapat tatalaksana robekan perineum derajat III dan IV yang belum sesuai dengan standar RCOG. ABSTRACT
Background : OASIS may lead to several morbidities i.e pelvic organ dysfunction,
dysparenia, chronic pain, and psychosocial problems leading to impaired quality of
life of women. Audit of OASIS management is needed to improve the clinical
guideline and practice of OASIS management in a hospital.
Objective : To determine the incidence of OASIS and assess the case management at
Cipto Mangunkusumo National Hospital during 2011-2014 using the criteria stated
in the Royal College of Obstetricians and Gynecologist (RCOG) guideline 2015.
Methods : A cross-sectional descriptive study was conducted using the delivery
database in Cipto Mangunkusumo Hospital, a tertiary referral university hosptal in
Jakarta, Indonesia during 2011-2014. The OASIS management of each subjects
were assessed based on 9 items listed at RCOG 2015 guideline of OASIS
management (consultant presence during repair, place of repair, use of anesthesia,
methods of suturing, suturing material, use of post-operative antibiotic, use of
urinary catheter 24 hour after surgery, use of laxative agent.
Result : During 2011-2014, the incidence of OASIS were respectively 3,54; 4,34;
3,95; and. 1,77%. As many as 57,8% subjects with OASIS were approproately
managed according to RCOG guideline. Surgery performed at delivery suite, surgery
performed by resident (not an expert), and not using postoperative foley catheter
were the items that frequently missed in the management.
Conclusion : We found a relatively high incidence of OASIS in our hospital. There was several items included in RCOG guideline that should improved in our hospital.;Background : OASIS may lead to several morbidities i.e pelvic organ dysfunction,
dysparenia, chronic pain, and psychosocial problems leading to impaired quality of
life of women. Audit of OASIS management is needed to improve the clinical
guideline and practice of OASIS management in a hospital.
Objective : To determine the incidence of OASIS and assess the case management at
Cipto Mangunkusumo National Hospital during 2011-2014 using the criteria stated
in the Royal College of Obstetricians and Gynecologist (RCOG) guideline 2015.
Methods : A cross-sectional descriptive study was conducted using the delivery
database in Cipto Mangunkusumo Hospital, a tertiary referral university hosptal in
Jakarta, Indonesia during 2011-2014. The OASIS management of each subjects
were assessed based on 9 items listed at RCOG 2015 guideline of OASIS
management (consultant presence during repair, place of repair, use of anesthesia,
methods of suturing, suturing material, use of post-operative antibiotic, use of
urinary catheter 24 hour after surgery, use of laxative agent.
Result : During 2011-2014, the incidence of OASIS were respectively 3,54; 4,34;
3,95; and. 1,77%. As many as 57,8% subjects with OASIS were approproately
managed according to RCOG guideline. Surgery performed at delivery suite, surgery
performed by resident (not an expert), and not using postoperative foley catheter
were the items that frequently missed in the management.
Conclusion : We found a relatively high incidence of OASIS in our hospital. There was several items included in RCOG guideline that should improved in our hospital.;Background : OASIS may lead to several morbidities i.e pelvic organ dysfunction,
dysparenia, chronic pain, and psychosocial problems leading to impaired quality of
life of women. Audit of OASIS management is needed to improve the clinical
guideline and practice of OASIS management in a hospital.
Objective : To determine the incidence of OASIS and assess the case management at
Cipto Mangunkusumo National Hospital during 2011-2014 using the criteria stated
in the Royal College of Obstetricians and Gynecologist (RCOG) guideline 2015.
Methods : A cross-sectional descriptive study was conducted using the delivery
database in Cipto Mangunkusumo Hospital, a tertiary referral university hosptal in
Jakarta, Indonesia during 2011-2014. The OASIS management of each subjects
were assessed based on 9 items listed at RCOG 2015 guideline of OASIS
management (consultant presence during repair, place of repair, use of anesthesia,
methods of suturing, suturing material, use of post-operative antibiotic, use of
urinary catheter 24 hour after surgery, use of laxative agent.
Result : During 2011-2014, the incidence of OASIS were respectively 3,54; 4,34;
3,95; and. 1,77%. As many as 57,8% subjects with OASIS were approproately
managed according to RCOG guideline. Surgery performed at delivery suite, surgery
performed by resident (not an expert), and not using postoperative foley catheter
were the items that frequently missed in the management.
Conclusion : We found a relatively high incidence of OASIS in our hospital. There was several items included in RCOG guideline that should improved in our hospital."
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>