Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 207693 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aidal Masrura
"Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa ada kebutuhan dasar psikologis harus terpenuhi, yakni keterhubungan (connectedness/relatedness). Umumnya keterhubungan hanya dibahas dalam konteks hubungan sosial saja, padahal keterhubungan ini juga dapat berupa keterhubungan/kedekatan dengan lingkungan alam (nature relatedness), terlebih orang yang memiliki kedekatan dengan alam beradaptasi dengan baik selama pandemi. Walaupun kedekatan dengan alam secara konsistens memprediksi kebahagiaan, namun ada perbedaan individu dan situasi yang dinilai memoderasi hubungan kedekatan dengan alam dan kebahagiaan. Melalui penelitian ini, peneliti meneliti faktor kelekatan lingkungan yang terjadi di era digital saat ini. Kelekatan lingkungan menjadi semakin nyata di saat pandemi, yang mana ada kecenderungan untuk merasa terhubung pada lingkungan berbasis tempat (place-based) dan berbasis internet (cyber-based) dan dinilai dapat memoderasi hubungan kedekatan dengan alam dan kebahagiaan. Penelitian ini merupakan penelitian non-eksperimen dengan sampel masyarakat umum warga negara Indonesia yang berusia 18-65 tahun (N=3938). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi kelekatan lingkungan (CB) tidak memoderasi hubungan kedekatan dengan alam dan kebahagiaan psikologis secara negatif, melainkan secara positif.

Previous research has shown that basic psychological need of connectedness/relatedness that must be fulfilled in order to achieve happiness. Generally, relatedness is only discussed in the social context, despite this could be in the form of connectedness/closeness to the natural environment (nature relatedness). Besides, people who have nature relatedness adapt well during the pandemic period. Although closeness to nature consistently predicts happiness, there are individual and situational differences that are considered as moderator in the relations of nature relatedness and happiness. This paper aims to examine environmental attachment factors that occur in the digital era and profoundly become more salient during pandemic which are considered as the moderator between nature relatedness and happiness. Environmental attachment is the tendency to feel connected to place-based and internet-based (cyber-based). This research is a correlational study with general population sampel of Indonesian citizens aged 18-65 years (N=3938). The results showed that the environmental attachment dimension (CB) did not moderate the relationship between nature relatedness and happiness negatively, but in a positive way."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bartolomeus Yofana Adiwena
"ABSTRAK

Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa lingkungan alami berkontribusi positif terdahap kebahagiaan hidup (wellbeing) individu. Namun demikian, sebagian besar penelitian tentang lingkungan alami dan kebahagiaan hidup masih terpusat pada faktor-faktor situasional, seperti kontak atau paparan lingkungan alami, dan mengabaikan faktor-faktor disposisional, seperti tingkat kedekatan dengan alam (nature relatedness). Penyelidikan tentang peran lingkungan alami terhadap kebahagiaan hidup sebaiknya mempertimbangkan kedua faktor tersebut. Melalui penelitian ini, penulis menguji peran faktor disposisional (kedekatan dengan alam) dan faktor-faktor situasional (kontak dengan alam dan persepsi kerusakan lingkungan) dalam meningkatkan kebahagiaan hidup masyarakat urban di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian korelasional dengan sampel individu dewasa dari berbagai kota di Indonesia yang berjumlah 596 orang. Data yang diperoleh dianalisis dengan Structural Equation Modeling (SEM). Penelitian ini terdiri dari dua studi; studi pertama bertujuan mempersiapkan instrumen penelitian, dan studi kedua bertujuan menguji hipotesis penelitian. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kedekatan dengan alam memprediksi kebahagiaan hidup individu secara positif. Hubungan tersebut dimediasi secara parsial oleh intensitas kontak atau paparan individu dengan lingkungan alam di sekitarnya. Namun demikian, penulis tidak berhasil membuktikan bahwa persepsi kerusakan lingkungan memoderasi hubungan antara kedekatan dengan alam dan kebahagiaan hidup. Penelitian ini membuktikan mekanisme dibalik hubungan antara kedekatan dengan alam dan kebahagiaan hidup, serta menunjukkan faktor situasional, seperti keberadaan ruang terbuka hijau dan kondisi lingkungan yang berkualitas, dan faktor disposisional, seperti tingkat kedekatan dengan alam, sama-sama berperan penting bagi kebahagiaan hidup masyarakat urban.


ABSTRACT

 

 


Previous studies have shown that the natural environment has positive contribution to wellbeing. However, most studies on the natural environment and wellbeing are focused on situational factors, such as contact or exposure to the natural environment, and tend to ignore the dispositional factors, such as nature relatedness. Investigations about natural environment and wellbeing should consider those two factors. Through this research, author examines the role of dispositional factor (i.e. nature relatedness) and situational factors (i.e. contact with nature and perceptions of environmental degradation) to enhance wellbeing with sample of urban communities in Indonesia. This research use correlational design with sample of adult man from various cities in Indonesia numbered 596 people. The data is analyzed with Structural Equation Modeling (SEM). This research consisted of two studies; The first study aims to prepare the research instruments, and the second study aims to test the research hypothesis. The results show that level of nature relatedness predicts individual wellbeing positively. That relationship is partially mediated by the intensity of contact or exposure of individuals to the natural environment. However, the author failed to prove that perception of natural degradation moderates the relationship between nature relatedness and wellbeing. This research proves the mechanism behind the relationship between nature relatedness dan wellbeing empirically, and show that both situational factors, such as the existence of green space, and dispositional factors such as the level of nature relatedness have important role for the wellbeing of urban communities.

 

"
2019
T53415
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sabikhism Noorfajr
"Penulisan ini berupaya untuk menganalisis bagaimana pemerintah menanggapi permasalahan mengenai isu lingkungan hidup yang sudah hadir pada tahun 1960-an. Sejak meningkatnya kebutuhan infrastruktur serta teknologi di Indonesia menyebabkan perkembangan yang meningkat begitu pesat. Infrastruktur yang dibangun diantaranya seperti industri, gedung-gedung perkantoran, hingga pemukiman warga. Akan tetapi, dengan adanya pembangunan-pembangunan tersebut memberikan dampak terhadap lingkungan. Pemerintah pada masa Orde Baru menanggapi permasalahan tersebut dengan menerapkan berbagai kebijakan, seperti dibentuknya Kementerian Lingkungan Hidup serta memberikan mandat kepada Emil Salim sebagai Menterinya guna mengatasi masalah lingkungan Hidup yang semakin mengakar. Salah satu langkah awal yang dilakukan Kementerian Lingkungan Hidup adalah dengan menetapkan Undang-Undang No. 4 Tahun 1982 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Pengelolaan Lingkungan Hidup. Selain itu, Pemerintah juga membuat kebijakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dalam upaya mengontrol dan mengawasi industri-industri yang berpotensi besar dapat merusak lingkungan hidup. Karya penulisan ini berbeda dengan karya- karya sebelumnya karena dari hasil yang didapat dalam penelitian-penelitian mengenai permasalahan lingkungan hanya ditulis secara umum dalam aspek lingkungan ataupun hukum tanpa menggunakan penulisan sejarah, sedangkan penulisan ini ditulis dengan pendekatan penulisan sejarah lingkungan. Dari hasil penulisan ini dapat dijelaskan bahwa penerapan kebijakan AMDAL pada masa ini terbukti belum dapat diimplementasikan dengan sesuai karena sejak kebijakan tersebut diterapkan masih banyak penyelewengan-penyelewengan yang terjadi.

This study aims to define how the government responds to problems regarding environmental issues that present in the early 1960s. Since the increase of infrastructure development as well as technology in Indonesia, the country’s development is increasing rapidly. Several infrastructures that were built are such as industry, office buildings, to residential areas. However, with those infrastructures being built, it gave bad impacts to the environment. In the new order era, the government responded to that problem by applying a series of policies, such as the formation of the Ministry of Environment and giving Emil Salim a mandate as the minister to resolve problems regarding the living environment which was getting bigger. One of the initial steps done by the Ministry of Environment was establishing Law No. 4 of 1982 regarding basic provisions of environmental management. Besides that, the government also established Analysis Regarding Environmental Impact (AMDAL) in an attempt to control and to supervise industries which have big potential to harm the environment. This study is different from the previous studies because the results of the previous ones regarding environmental problems were only written generally in the aspects of environment and law but not in the aspect of history, while this study is written with an approach of environmental history. From this study, it can be explained that the practice of AMDAL policy in this era is proven cannot be implemented yet accordingly, because since the establishment of that policy there are still many frauds and deceptions that happen."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Suwandi
"Penelitian ini dilatarbelakangi atas pemikiran Peneliti, bahwa pada era tinggal landas nanti Indonesia sangat membutuhkan kualitas sumber daya manusia yang tinggi, seperti konsep Rostow, berdasarkan beberapa hasil penelitia ternyata menimbulkan suatu masalah, sehingga penelitian ini perlu diadakan dengan tujuan untuk mengungkap sejauhmana sumbangan latar belakang pendidikan, pelatihan dan persepsi peran individu karyawan terhadap unjuk kerja karyawan pada organisasi perusahaan tersebut. Dengan mengangkat model unjuk kerja dalam organisasi oleh L.w. Porter, model produktivitas organisasi oleh Robert A. Sutermeister, dan model hubungan persepsi peran dengan organisasi oleh Lawler & Porter, diperoleh model hubungan Latar belakang pendidikan, Pelatihan dan Persepsi peran sebagai variabel bebas dengan Unjuk kerja karyawan sebagai variabel terikat, untuk memperoleh sejumlah hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini. Sejumlah hipotesis penelitian yang telah dikembangkan tersebut diuji dengan menggunakan teknik analisis Regresi Berganda (Multiple Regression/MR) yang terdapat dalam program komputer SPSS/PC+ ver.5.0.
Hasil yang didapat adalah sebagai berikut: Ternyata baik variabel pelatihan maupun variabel persepsi peran secara bersama-sama memiliki pengaruh dalam meningkatkan unjuk kerja karyawan baik yang berlatar belakang pendidikan SMA maupun STM di perusahaan ini. Meskipun kedua variabel tersebut sama-sama memiliki pengaruh dalam peningkatan unjuk kerja karyawan, namun variabel persepsi peran memiliki pengaruh yang lebih besar daripada variabel pelatihan. Besarnya pengaruh variabel persepsi peran bila dibandingkan dengan pengaruh variabel pelatihan terhadap peningkatan unjuk kerja karyawan tersebut juga terjadi pada seluruh unit organisasi yang diteliti, yakni unit organisasi Fabrikasi, Rotary Wing, dan Fixed Wing.
Ditinjau dari segi latar belakang pendidikan karyawan dan pengaruh kedua variabel tersebut dalam meningkatkan unjuk kerja karyawan, ternyata persepsi peran karyawan yang berlatar belakang pendidikan STM berpengaruh lebih besar daripada persepsi peran karyawan yang berlatar belakang pendidikan SMA. Namun, untuk variabel pelatihan ternyata peiatihan yang diikuti karyawan berlatar belakang pendidikan SMA berpengaruh lebih besar daripada pelatihan yang diikuti oleh karyawan yang berlatar belakang pendidikan STM. Ditinjau dari peranan pendidikan dalam pembentukan persepsi peran karyawan, ternyata tingginya persepsi peran pada karyawan yang berlatar belakang pendidikan STM dikarenakan kurikulum STM memungkinkan lulusannya memiliki pengetahuan awal mengenai pekerjaan. Padahal, pengetahuan awal tentang pekerjaan merupakan prasyarat tingginya persepsi peran karyawan yang bersangkutan terhadap pekerjaan tersebut."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 1994
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hendaru Tri Hanggoro
"Skripsi ini memaparkan sejarah permukiman kumuh di Jakarta 1960—1969. Di tengah pembangunan ibukota, permukiman kumuh tersebut muncul dan tersebar. Awal 1960, Jakarta sedang bersiap menyambut Asian Games 1962. Gedung, kompleks olahraga, patung-patung, jalan-jalan, dan bangunan baru lainnya dipersiapkan untuk menyambut ajang tersebut. Jakarta mengalami perubahan besar di masa itu. Di saat yang sama, arus urbanisasi ke Jakarta meningkat pesat. Orang-orang dari desa menyerbu kota karena kemiskinan di desa dan pemberontakkan daerah. Hal ini ikut menyebabkan jumlah penduduk Jakarta meningkat. Jumlah penduduk Jakarta telah mencapai tiga juta orang sejak 1961. Penduduk tersebut memerlukan tempat bermukim di kota. Mereka yang mempunyai modal cukup dapat membangun permukiman yang layak. Sementara mereka yang tidak mempunyai cukup modal, seperti gelandangan, hanya mampu mendirikan gubuk-gubuk atau rumah-rumah kumuh tak permanen yang berbahan kayu, bambu, dan kardus. Pekerjaan mereka sebagai buruh kasar, pedagang asongan, penarik becak, dan sektor informal lainnya tidak banyak menghasilkan pemasukkan yang cukup. Sementara itu, pemerintah daerah belum mampu menyediakan permukiman yang layak untuk kelompok masyarakat tersebut. Akibatnya permukiman kumuh muncul dan tersebar di ibukota. Pemerintah daerah berusaha memecahkan masalah permukiman kumuh yang dapat menimbulkan masalah tambahan lainnya seperti pelacuran dan kriminalitas tersebut melalui berbagai cara. Melalui metode sejarah, skripsi ini mencoba memaparkan permasalahan tersebut.

This undergraduate theses describes the history of slum settlements in Jakarta among year 1960—1969. In the midst of capital development, slum settlements were emerged and spread. In the early 1960, Jakarta was preparing to welcome the Asian Games 1962. Buildings, a huge sport complexes, city statues, streets, and other new buildings were prepared to welcome this event. Jakarta had experienced major change in that period. At the same time, urbanization had rapidly increased. People from villages stormed the city because of poverty in rural areas and regional rebellions. It contributed toward the increase of city dwellers number. The population of Jakarta had reached three million people by the year 1961. The residents needed a settlement to live in the city. Those who had enough capital could build proper housing. While those who had no capital, such as nomad people, could only build huts or non-permanent houses which were made of wooden, bamboo, and cardboard. They only worked as unskilled laborers, hawkers, becak pullers, and other informal sector so that they could not raise enough revenue to build a proper house. Meanwhile, local government dad not been able to provide proper housing for these weak communities. As the result, slum settlements emerged and spread in the capital of Indonesia. Local government tried to solve the problem of slums that could cause additional problem such as prostitution and crime by doing many ways. Through the historical method, this undergraduate theses tries to explain the problems."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S94
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Siregar, Mara Oloan
"ABSTRAK
Berkembangnya kehidupan demokrasi di Indonesia telah disusul dengan tuntutan demokratisasi dalam berbagai bidang termasuk dalam penataan ruang. Menguatnya tuntutan masyarakat agar diikutsertakan dalam perencanaan tara ruang kota merupakan salah satu indikasi perubahan tersebut. Sebelumnya, kebijakan nasional yang mengadopsi PSM dalam perencanaan sudah banyak. Fakta lapangan, penyelenggaraan PSM dalam perencanaan tata ruang masih terus dipertanyakan banyak pihak. lni berani pendekatan PSM belum terinstitusionalisasi dalam arti belum diterima, belum dinilai tinggi, dan belum dipaluhi.
Rencana tata ruang kota merupakan kebijakan publik (public poiicy). Pemasalahan kebijakan akan terjadi apabila kebutuhan-kcbutuhan (needs), nilai-nilai (valtrex), dan potensi/peluang untuk perbaikan belum tercalisasi padahal seharusnya dapat didorong melalui public action. Munculnya tunlulan masyaral-:al berperan serla dalam perncanaan lata ruang kota mengindikasikan adanya kebutuhan-kebutuhan yang belum terpenuhi, nilai-nilai terdistorsi, dan peluang perbaikan yang tidak termanfaatkan. Kesenjangan yang ada antara kebijakan pnblik dengan harapan masyarakat merupakan persoalan kebijakan (policy probiem).
Berdasarkan permasalahan dikemukakan diatas, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimanakah persoalan kebijakan (policy problem) PSM dalam perencanaan tata ruang kota di kota Jakarta? 2) Bagaimana model PSM yang diinginkan stakeholders dapat ditransformasikan dalam proses pelembagaan perencanaan tata ruang kota Jakarta? 3) Bagaimana institusionalisasi PSM tersebut di dalam perencanaan tata ruang kota Jakarta?
Penelitian ini berlolak dari asumsi, proses perencanaan tata ruang kota merupakan proses pembuatan kebijakan publik. Berdasar asumsi ini, proses perencanaan tata ruang pada dasarnya mengikuti kerangka proses pembuatan kebijakan publik (public policy making). Untuk mengkaji persoalan kebijakan mengenai PSM, dilakukan analisis secara policy content terhadap tatanan peraturan nasional serta tatanan peraturan dan kebijakan yang terkait langsung dengan PSM dalam perencanaan di DKI Jakarta. Ada beberapa teori yang digunakan sebagai alat analisis. Pertama, A ladder of citizen participation dari Arnstein. Kedua, lnstitusionalisasi yang diangkat dari teori institution building dari The Inter-University Research Programme for Instituion Building. Ketiga teori tentang instrumen kebijakan dari Howlett & Ramesh.
Eksplorasi terhadap model PSM yang diinginkan stakeholders, didekati dari teori tentang lingkup PSM oleh Ronald McGill dan Margareth, teori tentang obyek PSM dari Fagence, teori tentang isu-isu panting dalam penyelenggaraan PSM dari Margareth. Untuk mengetahui pola interaksi antar kelompok stakeholders, didekati dengan paradigma jaringan kolaboratif PSM yang dikemukakan Innes & Booher, serta teori social capital khususnya pola interaksi antar institusi yang dikemukakan Ismail Serageldin & Christian Grootaert. Sedangkan untuk mengetahui institusionalisasi PSM dalam perencanaan tata ruang Kota Jakarta, didekati dari teori institution building dikemukakan diatas.
Penelitian ini dirancang sebagai penelitian deskriptif-eksploratif. Disebut deskriptif karena merupakan penelitian klarifikasi PSM sebagai fenomena sosial. Sebagai penelitian eksploratif penelitian ini berupaya mencari jawaban-jawaban mengenai How dan Why perihal PSM. Data kuantitatif diperoleh dari pengolahan terhadap jawaban responden atas kuesioner, dan data kualitatif diperoleh dari wavtancara mendalam dengan para informan, hasii telaahan terhadap tatanan peraluran, kebijakan, dan dokumen terkait lainnya, Serta observasi lapangan. Responden dipilih dari stakeholders kelompok government, pi-ivote sector, dan civil society secara purposive yang diwakili institusi, asosiasi, organisasi, dan kelompok yang berpartisipasi dalam penataan ruang.
Temuan penelitian menyingkapkan bahwa tatanan peraturan nasional membatasi PSM hanya pada tingkatan informing, consultation, dan plocotion (tangga ke 3, 4, dan 5), dan sedikit pada taraf kemitraan ("partnership?). PSM yang lelah diterapkan oleh Pemda DKI Jakarta mencapai tingkatan kemitraan (partnership) melalui perwakilan institusi dari Perguruan Tinggi, Asosiasi Profesi, Asosiasi Pelaku Bisnis, institusi-institusi pemerintah pusat dan daerah, dan LSM sehingga PSM bersifat institusional. Sedangkan PSM yang diharapkan stakeholders mencapai tingkatan delegated power dan citizen control (tangga ke 7 dan 8 Arstein). Namun khususnya kelompok civil society, memilih tetap dilakukan bersama-sama dengan pemerintah dan private sector secara terbuka.
Sebagian besar stakeholders menyatakan tingkat pelibatan PSM selama ini tidak cukup, padahal dinilai sangat panting. Nilai-nilai keadilan, dan pernerataan sosial-ekonomi dinilai belum terealisasi. Stakeholder menyatakan bahwa tujuan utama PSM adalah untuk memastikan aspek keadilan dan pemerataan sosial ekonomi diakomodasikan dalam rencana tata ruang kota. Penelitian ini menyimpulkan tidal( efektifnya pelaksanaan PSM dalam perencanaan, bersumber dari tidak adanya pcngaturan PSM pada sebagian besar unsur/sub-unsur institusionalisasi, baik pada tatanan peraturan nasional maupun daerah. Kebijakan strategis (UU Penataan Ruang) yang telah mengadopsi pendekatan PSM, temyata juga tidak ditindaklanjuti dengan penetapan instrumen-instrumen kebijakan yang memadai agar kebijakan strategis tersebut efektif sehingga untuk menyelenggarakan PSM pedomannya tidak memadai.
Model PSM dalam perencanaan tata ruang kota yang diinginkan stakeholders, memiliki pola benjenjang/bertahap. Bukan seperti PSM paradigma tradisional lagi, tetapi tidak pula seperti paradigma jaringan kolaboratif yang dikemukakan Innes and Booher. Untuk tahap awal, stakeholders menghendald forum-forum informal, dimana kelompok civil society harus dipisah dengan kelompok bisnis (private sector). Selain itu, stakeholders menginginkan adanya Komisi Perencanaan, bertugas mengembangkan pendekatan, menyusun strategi, mengagendakan, dan membahas hasil akhir dari proses PSM dalam perencanaan tata ruang kota.
Penelitian ini menunjukkan bahwa institusionalisasi PSM masih rnenghadapi masalah besar. Sebanyak 21 dari 27 unsur/sub-unsur institusionalisasi kondisinya masih "tidak memadai? sebagai persyaratan berlangsungnya proses institusionalisasi PSM dalam perencanaan tata ruang kota. Dinas Tata Kota DK1 Jakarta sebagai institusi perencanaan, tidak disiapkan untuk menyelenggarakan PSM dengan partisipasi yang lebih luas dari civil society, private sector dan government sebagai implementasi pendekatan PSM yang sudah diadopsi UU Pcnataan Ruang . Hal ini terkait dengan tidak memadainya instrumen kebijakan dari UU tersebut.

ABSTRACT
The evolvement of democratic life in Indonesia has been followed by the need of democratization in all sectors including in spatial planning. lnvigorating contention from community demanding to be involved in the urban planning process is one ofthe indications of such evolvement. Prior to that, the national policy adopting Public Participation (hereinafter ?PP?) in planning had reached numerous numbers. ln contrary, the empiric Facts show that the implementation of PP in urban planning process remains questioned frequently by many parties. This implies that the approach of PP has not been institutionalized, in a way that it has not been well-accepted, not highly praised, and has been neglected.
Urban planning is a public policy. Policy problems will occur if needs, values, and opportunities for improvement have not been executed, whereas they could be encouraged through public action. The existence of public contention to be involved in urban planning indicates that there arc unfullilled needs, distorted values, and unutilized opportunities for invoking improvement. Gap occurred between settled public policies with public?s expectations constitutes as a policy problem. According to problems elaborated above, this research questions: l) ?What are policy problems of implementating PP in urban planning process in Jakarta?? 2) ?How could the PP model desired by stakeholders be transformed in institutionalization process of urban planning of .lakarta'?? 3) ?How has the institutionalization of PP in the urban planning of Jakarta been institutionalized??
This research is based on the assumption that the process of urban planning is a process of public policy making. Evolving from such assumption, the process of urban planning basically follows the frame of public policy making process. In reviewing policy problem of PP in urban planning, analysis through policy content is conducted towards the set of national regulations and provincial regulations directly attached with PP in the planning of Jakarta. There are several theories utilized as tools of analysis in this research. The first theory is ?A ladder of Citizen Participation" from Amstein. The second theory is the institutionalization which arises from the theory of institution building from ?The Inter-University Research Programme for Institution Building?. The third theory is concerning the policy instrument by Howlett & Ramesh.
Exploration of the PP model intended by the stakeholders is observed by the approach using several theories; the theory on the coverage of PP by Ronald McGill and by Margareth, the theory on the object of PP by Fagence, and also the theory conceming major issues in the implementation of PP also by Margareth. In identifying the interaction pattern among the stakeholders, a theory on the paradigm of colaborative network of PP by Innes & Booher, and also a theory on social capitol specifically on the interaction pattem among institutions by Ismail Serageldin & Christian Grootaert, are applied. In the other hand, in identifying the institutionalization of PP in the Jakarta urban planning, the aforementioned institution building theory is applied.
This research is built as descriptive-explorative research. It is descriptive because it is a research on the clarification of PP as a social phenomenon. It is an explorative research because it aims to find solutions on ?how? and ?why? regarding PP. Quantitative data is obtained through the analysis of respondents? answers to questionnaires, and qualitative data is obtained through profound interviews with informants, critical review on the set of regulations, law, related documents and field observation. Respondents are chosen from groups of stakeholders, government, private sector, and civil society in purposive order represented by institutions, associations, organizations, and groups of participants on spatial planning.
Research finding reveals that the set of national regulation enacts limitation to PP only to the degree of informing, consultation, and placation (the 3rd, 4th, and 5th ladder), and a little to the degree of partnership. PP implemented by the provincial government of Jakarta has reached the degree of partnership through institution representatives from universities, professional associations, business associations, central and regional govemmental institutions, and non-governmental organizations that makes PP institutional. However, PP aspired by stakeholders reaches the degree of delegated power and citizen control (the 7th and 8th Amstein?s ladders). Though, groups of civil society in particular, prefer to participate together with government and private sector transparently.
Most of stakeholders narrated that the involvement degree of PP up to the present is not suflicient, whereas its value considered being very substantial. Values of justice and redistribution of social-economics are argued to be not realized yet. Stakeholders affirm that the main objective of PP is to ensure that the aspects of justice and social-economics equality are being accommodated in urban planning process. This research concludes that the ineffectivencss of the implementation of PP in planning is rooted from the absence of the regulation of PP in most of institutionalization elements in both national and regional/provincial set of regulations and policies. The strategic policy (The Spatial Planning Act No.24/1992) adopting PP implementation is infact not equipped with sufficient policy instruments in order to make the strategic policy becomes effective. Thus, the directive of PP implementation is also insufficient.
Model of PP in urban planning process intended by the stakeholders has a grading pattern. It is not similar to the traditional paradigm of PP or either to the collaborative network paradigm stated by limes & Booher. In the first grade of the model, stakeholders yearn for informal forums, in which civil society groups must be separated from private sector groups. Moreover, stakeholders request for a Commission of Planning. This commission has the obligation to develop model of approach, set strategies, arrange agenda and discuss the linal results of PP process in urban planning.
This research illustrates that the institutionalization of PP still faces problems. 21 out of 2? elements/sub-elements of institutionalization still struggle with the condition of ?insufficiency? as a requirement to implement PP institutionalization process in the urban planning. City Planning Agency of Jakarta?s Government, as a planning institution, is not prepared to perform PP implementation with a wider range of participation from the civil society, private sector, and the govemment, as an implementation of PP approach that had been adopted by The Spatial Plaruiing Act No.24/1992. This is in accordance to the fact of the insufficient policy instrument in the derivative of such act."
Depok: 2007
D818
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dian Ayu Fitria
"Penelitian bertujuan mengetahui peran pemerintah dalam meningkatkan daya saing pasar tradisional, studi kasus peran Dinas Pengelolaan Pasar (Dinlopas) Kota Yogyakarta di Pasar Beringharjo Yogyakarta Tahun 2013 s.d. Juni 2014. Metode yang digunakan adalah kualitatif dengan analisis menggunakan teori peran pemerintah dalam pembangunan.
Hasil penelitian ini adalah (1) Dinlopas Kota Yogyakarta berperan menonjol sebagai inovator dan modernisator. (2) Program/kegiatan yang dilakukan Dinlopas Kota Yogyakarta dapat dibagi 3 (tiga), promosi keluar; pembangunan internal; program/kegiatan bersifat ke dalam dan ke luar. (3) Keterbatasan anggaran dan sumber daya manusia (SDM) menjadi persoalan Dinlopas Kota Yogyakarta. (4) Pedagang memiliki tingkat partisipasi tinggi dalam mengembangkan pasar tradisional sehingga memiliki daya saing terhadap pasar modern. Peningkatan daya saing pasar tradisional perlu untuk dilakukan guna mendukung ketahanan ekonomi daerah melalui peningkatan pendapatan asli daerah yang mendukung pembangunan ekonomi daerah.

This study aims to determine the role of government in enhancing the competitiveness of traditional markets with a case study of the role of the Department of Market Management of Yogyakarta (Dinlopas Yogyakarta) in Beringharjo Yogyakarta from 2013 to June 2014. The method used in this study is qualitative. Meanwhile theory used is theory of the role of government in development.
The study found that (1) Dinlopas Yogyakarta has a prominent role as an innovator and modernisator. (2) Programs and activities undertaken by Dinlopas Yogyakarta to improve the competitiveness of Beringharjo market can be divided into three types, i.e. external promotion; internal development; internal and external programs. (3) The limited budget and human resources is an issue for Dinlopas Yogyakarta. (4) Wholesalers in Beringharjo have so high participation in developing traditional market that it can compete with modern market.
"
Jakarta: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rachma Fitriati
Jakarta: Sekretariat Jenderal DPD RI, 2017
307.1 RAC s
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muharram
"Mandailing Natal merupakan kabupaten muda, dari pemekaran kabupaten Tapanuli Selatan yang berpusat di Panyabungan sebagai pusat administratifnya, kini melakukan kendali administratif sendiri sesuai dengan potensi daerahnya secara struktural, kultural, sosial dan psikologis mengalami perubahan dari sebelumnya. Perubahan ini terlihat begitu jelas, terutama pembangunan pisik, mendahului pembangunan bidang-bidang lainnya seperti pendidikan, kesehatan, ekonomi, sosial bahkan religiositas (sifat keberagamaan). Khususnya bidang pendidikan, kesehatan, pendapatan akan berawal dari kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) nya yang baik.
Permasalahan yang ada dalam penelitian ini adalah; (1). Mengapa IPM Kabupaten Mandailing Natal masih rendah. (2). Apa yang akan dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Mandailing Natal untuk meningkatkan IPM didaerah ini.
Tujuan penelitian ini adalah; (1). Mendiskripsikan dan menganalisis secara mendalam mengenai IPM di Kabupaten Mandailing Natal. (2). Menganalisis upaya-upaya yang telah dilaksanakan dan akan dilaksanakan Pemerintah Daerah Kabupaten Mandailing Natal untuk meningkatkan IPM.
Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah; wawancara, observasi/pengamatan, dokumentasi, audio dan visual serta studi pustaka. Dengan analisis deskriptif dimana data?data mentah yang masih berupa kata-kata, kalimat, statement, perilaku, kejadian, uraian, paparan akan diolah agar mudah dipahami dalam bentuk informasi.
Teori yang digunakan untuk mendukung penelitian ini adalah; Indeks Pembangunan Manusia, Cara mengukur IPM, Pendidikan, Kesehatan, Pendapatan, Pertumbuhan ekonomi, Tenaga kerja, Kebijakan, Pengambilan, Keputusan, Pembangunan manusia dalam meningkatkan kualitas masyarakat, Hubungan antara IPM dengan pertumbuhan ekonomi, Ketahan Daerah.
Sektor IPM. IPM di Mandailing Natal pada saat ini berada pada urutan 29 dari 33 Kabupaten/Kota yang ada di Provinsi Sumatera Utara. IPM yang berada dibawahnya adalah Nias urutan ke 30, Nias Utara urutan 31, Nias Selatan urutan 32, Nias Barat urutan 33, sedang Indek Pembangunan Manusia tertinggi di Sumatera Utara adalah Pematang siantar berada pada urutan ke 1. Posisi ini terlihat jauh tertinggal dalam 25 tahun terakhir, karena sebelumnya Daerah Mandailing Natal dikenal menjadi basis Sumber Daya Manusia untuk Sumatera Utara. Pemerintah mengupayakan peningkatan IPM di Mandailing Natal termasuk peningkatan kualitas guru/pendidik, Hal ini disadari harus dilakukan secara terus menerus sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang cepat dan dinamis.
Dengan menyadari sepenuhnya bahwa sumber daya guru merupakan faktor langsung bagi peningkatan Indeks Pembangunan Sumber Daya Manusia. SDM merupakan faktor utama dalam mencapai tujuan pembangunan, untuk itu diperlukan SDM yang berkualitas dan baik. Untuk memperoleh SDM yang berkualitas tidak bisa lepas dari pendidikan karena pendidikan merupakan salah satu faktor utama dalam meningkatkan kualitas SDM, untuk mendapatkan SDM yang berkualitas dan baik, kualitas pendidikannya juga harus baik, termasuk ketersediaan perangkat pisik, sarana dan prasarana pendidikan, seperti gedung, guru yang berkualitas, kurikulum dan alat-alat pendidikan juga suasana belajar yang kondusif guna mendukung kegiatan proses belajar mengajar. Peningkatan Kualitas SDM, bisa melalui pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Karena pendidikan merupakan salah satu faktor utama dalam keberhasilan pembangunan suatu bangsa, maka apabila perhatian Pemerintah Daerah berkurang terhadap dunia pendidikan maka pendidikan itu sendiri akan mengalami kemerosotan, sehingga pembangunan di daerah tersebut juga akan mengalami kemerosotan. Pendidikan sangat besar pengaruhnya terhadap kualitas SDM, apabila tingkat pendidikan rendah maka kualitas SDM juga akan rendah, kualitas SDM yang rendah akan menyebabkan kualitas hidup rendah yang akan meningkatkan kemiskinan sehingga masyarakat akan kesulitan untuk memperoleh pendidikan yang baik. Maka seyogianya Pemerintah mengambil peran besar dalam memajukan dunia pendidikan di daerah Mandailing Natal. Dinas Pendidikan Kabupaten Mandailing Natal mempunyai tugas dan tanggungjawab dalam melaksanakan tugas Pemerintah Daerah dibidang pendidikan. Oleh sebab itu Dinas Pendidikan mempunyai tugas dan tanggungjawab yang besar atas kemajuan pendidikan untuk memperoleh SDM yang berkualitas dan baik di Kabupaten Mandailing Natal, meskipun hal ini merupakan tanggung jawab seluruh komponen, baik pemerintah maupun masyarakat.
Sektor kesehatan. Kondisi sarana dan prasarana kesehatan di Kabupaten Mandailing Natal saat ini sudah baik, dengan adanya dukungan anggaran DAK dari pusat yang diambil dari APBN. Dukungan APBN dapat membantu pengadaan sarana dan prasarana kesehatan, karena prioritas pembangunan kesehatan baik pisik, non pisik maupun peralatan sesuai dengan petunjuk teknis. Anggaran dari APBN dipergunakan untuk pembangunan sarana dan prasarana Puskesmas, rehab Puskesmas, pembangunan Poskedes untuk tempat tinggal bidan desa. Pemerintah menyiapkan anggaran untuk pembangunan Poskedes, sedangkan kesiapan lahan dari masyarakat. Kesehatan tidak hanya merupakan tanggung jawab oleh Pemerintah Daerah dalam hal ini Dinas Kesehatan, akan tetapi peran serta dari masyarakat juga sangat diharapkan untuk mendukung tercapaianya tingkat kesehatan yang baik di Kabupaten Mandailing Natal. Sejak adanya pemekaran Kabupaten pada tahun 1998 kondisi sarana pisik, peralatan, pelayanan kesehatan di Kabupaten Mandailing Natal kondisinya membaik.
Sektor Pendapatan. Laju pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Mandailing Natal untuk tahun 2012 sudah mencapai angka 6,4 %, tahun 2013 ditargetkan mencapai 6,7 % berarti kategori cukup bagus khususnya di Kabupaten Mandailing Natal. Pertumbuhan ekonomi yang paling menonjol adalah sektor pertanian, karena tingkat pertumbuhan ekonomi paling maju adalah yang ditopang oleh sektor pertanian. Kemudian perkebunan dan sektor lainnya tiap tahun berubah, seperti perdagangan, jasa, meskipun sebagai sektor yang paling lemah terutama jasa perhotelan. Peningkatkan laju pertumbuhan ekonomi diproyeksikan pada sektor pertanian karena yang menopang perekonomian sebagian besar adalah pertanian, dalam hal ini yang paling berperan adalah Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan. Dinas Pertanian setiap tahun sudah memprogramkan pelatihan petani, dalam bentuk sekolah lapangan yang dipandu oleh penyuluh-penyuluh dan setiap tahunnya diupayakan untuk menambah jumlah penyuluh yang ada di Kabupaten Mandailiang Natal, agar bisa memberikan pengarahan, bimbingan, tuntunan kepada para petani yang ada di Kabupaten Mandailing Natal.
Hasil menunjukkan bahwa pendidikan, kesehatan dan pendapatan sangat berperan dalam meningkatkan Indek Pembangunan Manusia. Dilihat dari aspek pendidikan, kesehatan dan pendapatan. Pendidikan mempunyai peranan dalam pertahanan keamanan karena aspek pedidikan ini dapat memberikan pemahaman yang lebih baik dari masyarakat terhadap jiwa nasionalisme, rasa cinta terhadap tanah air, dan rasa lebih mencintai daerahnya sendiri. Dari aspek kesehatan, masyarakat yang sehat lebih berkualitas dari pada masyarakat yang tidak sehat hal ini akan berpengaruh terhadap ketahanan daerah, keluarga dan ketahanan diri, sehingga ketahanan daerahnya dapat lebih terjamin. Dari aspek pendapatan masyarakat yang lebih baik pendapatannya akan berpengaruh terhadap ketahanan daerah, ketahanan keluarga dan ketahanan pribadi, dengan demikian ketahanan daerah tersebut akan lebih baik. Dari penjelasan diatas memberikan gambaran bahwa Indeks Pembangunan Manusia mempunyai peranan yang sangat penting dalam meningkatkan ketahanan daerah. Ketahanan daerah yang baik tidak terlepas dari peran serta dari pada pendidikan, kesehatan dan pendapatan.

Mandailing Natal is a young district, from district division based in South Tapanuli Panyabungan as its administrative center, is now doing its own administrative control of the region in accordance with the potential structural, cultural, social and psychological changes from the previous. This change is made apparent, especially physical development, precedes the development of other fields such as education, health, economic, social and even religiosity (religious nature). Particularly in education, health, income will be started from the quality of Human Resources (HR) its good.
The problems that exist in this research are: (1). How HDI District Mandailing Natal remains low. (2). What will be done by the District Government Mandailing Natal to improve the HDI in this area.
The goal of this research are: (1). Describe and analyze in depth the District IPM in Mandailing Natal. (2). Analyzing the efforts that have been implemented and will be implemented Mandailing Natal regency administration to improve the HDI.
The methodology used in this study are; interview, observation/observation, documentation, audio and visuals as well as the study of the literature. With descriptive analysis where the data raw is still in the form of words, sentences, statements, behavior, events, descriptions, exposure will be processed in order to be easily understood in the form of information.
The theory is used to support this research are: the Human Development Index, HDI measure Way, Education, Health, Income, Economic Growth, Labor, Policy, Decision, Decisions, Human development in improving the quality of society, relationship between HDI and economic growth, Resilience areas HDI sector. IPM in Mandailing Natal at this time are on the order of 29 of the 33 districts/municipalities in the province of North Sumatra. IPM that are below it is number 30 Nias, North Nias order of 31, South Nias sequence 32, 33 West Nias sequence, being the highest Human Development Index in North Sumatra is Siantar was ranked 1. This position looks far behind in the last 25 years, since before the Regional Mandailing Natal is known to be bases of Human Resources for North Sumatra.
The government effort to improve IPM in Mandailing Natal including improving the quality of teachers / educators, This is realized must be done in accordance with the continuous development of science and technology that is fast and dynamic. Knowing full well that the teacher resource is a direct factor for improving the Human Development Index. HR is a major factor in achieving development goals, it is necessary and good quality human resources. To obtain the qualified human resources can not be separated from education because education is one of the major factors in improving the quality of human resources, to ensure the recruitment of qualified and good, quality education should also be good, including the availability of the physical, educational facilities, such as buildings, teachers quality, curriculum and educational tools are also conducive learning environment to support teaching and learning activities. Improved quality of human resources, either through formal and non-formal education. Because education is one of the major factors in the successful development of a nation, the Local Government reduced if attention to the world of education, the education itself will decline, so that development in the area will also decline.
Education is a big influence on the quality of human resources, low levels of education if the quality of human resources will also be low, the low quality of human resources will lead to lower quality of life will increase poverty so that people will find it hard to get a good education. So the government should take a larger role in promoting education in the area Mandailing Natal. Mandailing Natal District Education Office has the duty and responsibility in carrying out the duties of Local Government in the field of education. Therefore, the Department of Education have a duty and a great responsibility for the advancement of education to obtain a good quality human resources and in the District of Mandailing Natal, although it is the responsibility of all components, both government and society.
Health sector . The condition of health infrastructure in the district Mandailing Natal is good now, with the support from the central budget DAK taken from the state budget. Budget support can help procurement of health infrastructure , health priorities well as physical, non- physical and technical equipment according to the instructions . Budget of the budget is used for the construction of facilities and infrastructure health center , health center rehabilitation, development Poskedes to stay midwife. The government prepared a budget for the construction Poskedes, while the readiness of the public lands. Health is not just the responsibility of the Regional Government in this case the Department of Health , but the participation of the community are also expected to support tercapaianya level of good health in the District Mandailing Natal. Since the division of the district in 1998 physical condition of facilities, equipment, health services in the District of Mandailing Natal condition improved.
Income sector. The rate of economic growth in the District Mandailing Natal for 2012 has reached 6.4%, in 2013 is expected to reach 6.7% means the category is quite good, especially in the District Mandailing Natal. The most prominent economic growth is the agricultural sector, as the most advanced level of economic growth is sustained by the agricultural sector. Then the estate and other sectors changed each year, such as trade, services, although as the weakest sector, especially hospitality services. Increasing the rate of economic growth is projected to sustain the agricultural sector as the economy is mostly agricultural, in this case the greatest role is the Department of Agriculture and Food Security. Department of Agriculture each year already programmed training of farmers, in the form of a field school hosted by the extension-extension and every year sought to increase the number of extension workers in the district Mandailiang Natal, in order to provide direction, guidance, guidance to farmers in the district Mandailing Natal.
The results showed that education, health and income play an important role in improving the Human Development Index. Viewed from the aspect of education, health and income. Education has a role in security and defense aspects of the education because it can provide a better understanding to the people of spirit nationalism, love for the homeland, and a sense of its own country more love. From the aspect of health, a healthy society is more qualified than the people who are not healthy it will affect the local resistance, and resilience in the family, so that the region can be assured durability. From the aspect of people's income better earnings will affect regional resilience, family resilience and personal resilience, thus the resilience of the area would be better. From the above explanation suggests that the Human Development Index has a very important role in enhancing regional resilience. Resilience is not a good area in spite of the participation of the education, health and income.
"
Depok: Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Thanthowi Jauhari
"Otonomi Khusus Pemerintahan Aceh berbeda dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Indonesia, berupa kekhususan bidang politik pemerintahan, ekonomi, sosial budaya dan keuangan. Sebagai format penyelesaian permasalahan Aceh secara menyeluruh dan bermartabat dengan pendekatan pembangunan sosial. Penelitian ini untuk memastikan adanya pelaksanaan, institusionalisasi dan efektifitas pembangunan sosial. Menggunakan pendekatan penelitian kualitatif dengan jenis penelitian deskriptif. Menunjukkan bahwa pembangunan sosial termuat dalam peraturan perundang-undangan. Proses dan hasil pelaksanaan pembangunan sosial telah dapat menjadi alat integrasi sosial, menghasilkan alat peningkatan pemenuhan dan peningkatan kualitas hidup, serta dapat menjadi alat untuk memberikan akses yang sama bagi semua anggota masyarakat untuk maju dan berkembang melalui peningkatan lapangan kerja produktif dan pengurangan pengangguran. Institusionalisasi pembangunan sosial dilaksanakan dalam bentuk implementasi kebijakan otsus dalam pemerintahan dan budaya masyarakat Aceh. Reintegrasi dan rekonstruksi sudah diterima masyarakat dan hasilnya sudah dimanfaatkan oleh masyarakat Aceh. Terdapat pencapaian peningkatan HDI, terdapat kemajuan pendidikan, kesehatan dan pendapatan masyarakat mengalami peningkatan.

Special Autonomy for Local Government of Aceh is different government application from the other provinces in Indonesia. The differences include specialty in political, governmental, economy, social cultural and financial. Special autonomy is a form of problem solution in Aceh generally and pride with social development approach. This research is to make sure the implementation, institutionalization, and how effective social development. This research used qualitative research approach with descriptive research. The result of research presents that social development in the regulation is already match with the aspiration of society, Government of Aceh and country. Process and result of the implementation of social development could become social integration tool, needs improvement tool and life improvement tool, and also could become tool to give the same access for all member of society to develop through. Institutionalization of social development in special autonomy for local government of Aceh has been implemented in the policy of special autonomy in government and culture of Aceh. Re-integration and re-construction has been accepted by society and the result already has been used by society of Aceh. About the achievement of increasing the number of HDI is already good, in education, health and society income."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>