Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164219 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Roi Lesmana
"Undang-undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang telah memberikan jalan keluar dari permasalahan utang piutang yaitu dengan kepailitan dan/atau dengan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU) yang diharapkan dapat memberikan solusi penyelesaian bagi kedua belah pihak baik itu kreditor maupun debitor. Penelitian ini bertujuan menganalisis Prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus Dan Pembuktian Sederhana Dalam Perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Penelitian ini menggunakan metode penelitian yuridis-normatif melalui pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan sejarah dan pendekatan konseptual dengan menyajikan hasil penelitian dalam bentuk deskriptif-analitis. Prinsip exceptio non adimpleti contractus dapat diterapkan dalam permohonan Kepailitan maupun PKPU, Majelis Hakim yang memeriksa permohonan PKPU dapat menolak permohonan PKPU karena konsep utang menjadi tidak sederhana, dalam perkara permohonan PKPU ini para pihak tidak dapat menunjukan perjanjian yang menjelaskan mengenai kapan jatuh waktu dari utang yang didalilkannya sehingga dapat ditagih maka sulit untuk menentukan kapan jatuh waktunya utang tersebut sehingga masih diperlukan suatu pembuktian rumit dan tidak sederhana. Adapun prinsip pembuktian sederhana terkait utang debitor sesuai ketentuan Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU juga diterapkan di dalam pemeriksaan permohonan PKPU, hal mana menyebabkan permohonan PKPU ditolak oleh Hakim Pengadilan Niaga karena utang debitor memerlukan pemeriksaan yang rumit (tidak sederhana) sehingga tidak memenuhi prinsip utang yang sederhana sebagaimana dimaksud Pasal 8 ayat (4) UUK-PKPU. Dengan demikian pemeriksaan perkara permohonan PKPU juga menerapkan prinsip pembuktian sederhana sebagaimana yang diterapkan dalam permohonan Pailit.

Law of The Republic Of Indonesia Number 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Payment has provided settlement of the debt and credit problems, namely by bankruptcy and/or with a suspension of payment (PKPU) which is expected to provide solutions for both parties, creditors and debtors. This study aims to analyze the Principles of Exceptio Non-Adimpleti Contractus and simple justification in cases of Suspension of Payment. This study uses a juridical-normative research method through a statutory approach, a historical approach, and a conceptual approach by presenting the research results in descriptive-analytical form. The principle of exceptio non adimpleti contractus can be applied in Bankruptcy and PKPU applications, the Panel of Judges can reject the PKPU Application because the Debt concept is not simple, in this PKPU’s application, agreement which explaining debt overdue and collectible cannot be proved by both parties. Then, complicated justification related the debt and the due time is needed. The principle of Simple Justification according to Article 8 paragraph (4) UUK-PKPU is also applied in the examination of PKPU applications, which causes the PKPU application to be rejected by the Judge of the Commercial Court because the debtor's debt requires a complicated (not simple) justification, simple debt principle as referred to in Article 8 paragraph (4) UUK-PKPU. Thus, the examination of the PKPU application applies the simple principle of proof as applied in the Bankruptcy application."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Parlindungan, Jobby Cresna
"Restrukturisasi Utang adalah sebuah keniscayaan dalam hal Debitur tidak dapat memenuhi kewajibannya kepada Kreditur tetapi di lain sisi Debitur masih memiliki itikadi baik dan prospek untuk menjalankan usahanya. Peraturan perundang-undangan tidak memberikan pengaturan yang pasti dalam hal Restrukturisasi Utang sehingga Debitur dan Kreditur diberikan kebebasan sepenuhnya untuk mencapai kesepakatan dalam mekanisme Restrukturisasi Utang tersebut. Hal tersebut mengartikan bahwa mendirikan sebuah badan usaha baru juga dapat dijadikan sebagai sarana untuk Restrukturisasi Utang. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan dampak dan kedudukan hukum pihak-pihak dalam Restrukturisasi Utang melalui skema pembentukan Perseroan Terbatas sebagai Debitur baru. Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis-normatif dengan studi pustaka yang didasarkan pada studi kasus. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa badan hukum bertanggung jawab dalam hal tindakan sah yang dilakukan oleh organ atau telah disetujui oleh organ yang lebih tinggi. Hasil penelitian juga mengungkapkan bahwa kedudukan hukum yang terpisah diantara para pihak mengakibatkan perbedaan hak dan kewajiban sebelum dan setelah dilakukan Restrukturisasi Utang.

Debt restructuring is a necessity in terms of Debtor can not meet its obligations to Creditors, but on the other side of the Debtor still has a good faith and prospects for business. Regulation does not provide definitive arrangement in Debt Restructuring so Creditor and Debtor given that complete freedom to reach agreement in the Debt Restructuring mechanism. This means that setting up a new business entity can also be used as a means for Debt Restructuring. This study aims to explain the impact and the legal position of the parties to the Debt Restructuring scheme as a Limited Liability Company formation as a new Debtor. The method used is juridical-normative based on case studies. Results of the study revealed that the legal entity responsible for the unlawful act committed by the organ or organs that have been approved by the higher. The results also revealed that a separate legal position between the parties resulted in differences in the rights and obligations before and after the Debt Restructuring.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S58707
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silmi Hasyyati Rachman
""ABSTRAK
"
Skripsi ini membahas mengenai penerapan prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus dalam hukum kepailitan. Dengan adanya penerapan prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus dalam sengketa pailit maka akan berkaitan dengan pembuktian sederhana terhadap eksistensi utang yang merupakan salah satu syarat pernyataan pailit yang tercantum dalam Pasal 2 Ayat 1 Jo. Pasal 8 Ayat 4 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Salah satu sengketa kepailitan di Indonesia yang dalam kasusnya terdapat penerapan prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus ini adalah perkara kepailitan PT Sri Melamin Rejeki, terdiri dari 3 tiga tingkatan putusan, yakni putusan tingkat Pertama dengan nomor : 64/Pailit/2012/Pn.Niaga.Jkt.Pst; putusan tingkat Kasasi dengan nomor : 45K/Pdt.Sus/2013; dan putusan tingkat Peninjauan Kembali dengan nomor : 111PK/Pdt.Sus/2013.Penulisan Skripsi ini menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif. Penerapan prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus ini mengindikasikan adanya permasalahan terkait dengan pembuktian sederhana terhadap eksistensi utang tersebut. Permasalahan ini menimbulkan kesulitan dalam menilai apakah syarat pembuktian sederhana terhadap eksistensi utang tersebut terpenuhi ataukah tidak. Pasalnya, salah satu bukti adanya kesulitan dalam menilai ini dapat dilihat pada sengketa pailit PT Sri Melamin Rejeki yang mana pada tingkat Pertama dinyatakan ditolak permohonan pailitnya, sedangkan pada tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali permohonan pailit tersebut diterima. Dengan demikian, dalam perkara yang terdapat penerapan prinsip Exceptio Non Adimpleti Contractus, Majelis Hakim yang memeriksa seharusnya berhati-hati dalam memutus permohonan pailit yang diajukan karena dikhawatirkan pembuktian sederhana atas eksistensi utang tidak dapat terpenuhi.
"
"
"ABSTRACT
This thesis is a study about the implementation of the Exceptio Non Adimpleti Contractus principle in bankcruptcy law. With the implementation of this principle in a Bankcruptcy Case, will be related with the simple substantiation of the existence of debt which is one of the requirements of bankruptcy declaration contained in Article 2 Paragraph 1 Jo. Article 8 Paragraph 4 of Law Number 37 Year 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Obligation for Payment of Debt. There is application of this principle in bankruptcy dispute of PT Sri Melamin Rejeki ldquo SMR rdquo which consists of three levels of judicial decision, the first level decision, number 64 Bankrupt 2012 Pn.Niaga.Jkt.Pst the decision of Cassation, number 45K Pdt.Sus 2013 and the verdict of the Review Level, number 111PK Pdt.Sus 2013.The writing of this thesis uses normative juridical research method. Implementation of Exceptio Non Adimpleti Contractus principle indicates problems related to the simple substantiation of debt existence. This problem poses a difficulty in assessing whether the simple subtantiation conditions for the existence of such debt are met or not. The evidence of difficulties in assessing this can be seen in the dispute PT ldquo SMR rdquo which at the First level has been denied petition for bankruptcy, while at the level of Cassation and Review, the request for bankruptcy is accepted. Thus, in the case of applying the Exceptio Non Adimpleti Contractus principle, the Panel of Judges examining should be cautious in terminating the petition for bankruptcy because it is feared that the simple subtantiation of debt existence can not be fulfilled."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
King, Jeff, 1973-
Cambridge: Cambridge University Press, 2016
343.037 KIN d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dhea Eldi Safiera
"Seiring berkembangnya teknologi dan informasi telah terjadi berbagai perubahan yang memengaruhi sistem hukum yang berlaku di Indonesia, salah satunya adalah alat bukti elektronik Informasi Debitur Sistem Layanan Informasi Keuangan yang digunakan dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kekuatan pembuktian Informasi Debitur Sistem Layanan Informasi Keuangan pada perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang setelah adanya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/POJK.03/2017 (POJK 2017) dan perbandingan kekuatan pembuktian Informasi Debitur Sistem Layanan Informasi Keuangan sebelum dan setelah berlakunya Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 109/KMA/SK/IV/2020 pada perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif yang dilakukan secara deskriptif menggunakan data sekunder. Data sekunder yang digunakan mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan tersier. Data sekunder tersebut diperoleh dari studi kepustakaan atau studi dokumen. Untuk melengkapi data tersebut dilakukan wawancara dengan narasumber. Hasil penelitian ini menemukan bahwa kekuatan pembuktian Informasi Debitur Sistem Layanan Informasi Keuangan adalah bebas yaitu hakim tidak terikat dengan alat bukti tersebut dan penilaian alat bukti tersebut diserahkan sepenuhnya kepada hakim untuk menemukan kebenaran formil. Setelah berlakunya Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Nomor 109/KMA/SK/IV/2020, alat bukti Informasi Debitur Sistem Layanan Informasi Keuangan harus didukung bukti lain yang menunjukkan adanya utang yang tercantum dalam Informasi Debitur Sistem Layanan Informasi Keuangan. Saran dari penelitian ini adalah Otoritas Jasa Keuangan harus lebih cermat dan selalu melakukan pemutakhiran data Informasi Debitur Sistem Layanan Informasi Keuangan secara berkala.

Along with the development of technology and information, there have been various changes that affect the legal system in Indonesia, one of which is electronic evidence of the Debtor Information of the Financial Information Service System used in the Debt Payment Obligation Delay case. This study aims to determine the evidentiary power of the Financial Information Service System Debtor Information in the Debt Payment Obligation Delay case after the Financial Services Authority Regulation Number 18/POJK.03/2017 and the comparison of the evidentiary power of the Debtor Information of the Financial Information Service System before and after the enactment of the Decree of the Chief Justice of the Supreme Court Number 109/KMA/SK/IV/2020 in the Debt Payment Obligation Delay case. This research uses a normative juridical method that is carried out descriptively using secondary data. Secondary data used includes primary legal materials, secondary legal materials, and tertiary. The secondary data is obtained from literature studying or document studying. Interviews with sources were conducted to complete the data. The results of this study found that the evidentiary value of the Financial Information Service System Debtor Information is free. The judge is not bound by the evidence. Then, the assessment of the evidence is left entirely to the judge to find the formal truth. After the enactment of the Decree of the Chief Justice of the Supreme Court Number 109/KMA/SK/IV/2020, evidence of the Debtor Information of the Financial Information Service System must be supported by other evidence that shows the existence of debts listed in the Financial Information Service System the Debtor Information. The suggestion from this study is that the Financial Services Authority must be more careful and always update the Debtor Information of the Financial Information Service System data regularly."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mewengkang, Belinda Martha Silvia
"PKPU merupakan pemberian kesempatan kepada debitor untuk merestrukturisasi hutang – hutangnya kepada kreditor dengan cara, debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran untuk melaksanakan pembayaran utang baik secara keseluruhan ataupun sebagian utangnya kepada para kreditor. Rencana perdamaian yang telah disepakati oleh mayoritas kreditor wajib disahkan oleh pengadilan. Namun didalam Pasal 285 Ayat (2) Huruf b UU Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan PKPU mengatur bahwasannya pengadilan dapat menolak suatu rencana perdamaian apabila pelaksanaan perdamaiannya tidak cukup terjamin. Oleh karena itu, tesis ini bertujuan untuk menganalisis kriteria rencana perdamaian yang pelaksanaannya dapat dinyatakan cukup terjamin dalam proses PKPU dan menganalisis implementasi kriteria rencana perdamaian yang pelaksanaannya cukup terjamin di Indonesia. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa UU Kepailitan dan PKPU tidak mengatur mengenai kriteria dalam membuat suatu rencana perdamaian yang pelaksanaannya dapat dinyatakan cukup terjamin. Hal ini berbeda dengan Amerika dan Singapura yang mengatur mengenai kriteria dalam membuat suatu rencana perdamaian. Walaupun tidak adanya pengaturan mengenai kriteria rencana perdamaian di Indonesia, namun terdapat kasus dimana debitor sudah menerapkan kriteria rencana perdamaian dalam PKPU sebagaimana yang terdapat di Amerika dan Singapura.

PKPU is an opportunity for debtors to restructure their debts to creditors by means of the debtor's proposed accord plan which includes an offer to pay off debts in whole or in part of their debts to creditors. An accord plan that has been agreed by creditors must be approved by the court. However, in Article 285 (2) Letter b of UU No 37/2004, the court can reject an accord plan that is not adequately assured. Therefore, this thesis aims to analyze of proposal accord plan criteria that adequate assured in PKPU process and to analyze the implementation of the criteria in Indonesia. The results of this study indicate that in Act No. 37/2004 there is no criteria in making an accord plan whose implementation can be declared adequately assured. This is different from America and Singapore which are contained the criteria of an accord plan in their regulation. Although there is no regulation regarding the criteria for an accord plan in Indonesia, there have been cases where the debtor has applied the PKPU accord plan criteria as in America and Singapore."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Erika Leony
"Rencana Perdamaian dalam PKPU merupakan suatu penawaran yang diajukan oleh Debitor melalui suatu dokumen hukum yang meliputi pembayaran utang-utangnya kepada Para Kreditor, dengan mekanisme yang telah terlebih dahulu disepakati oleh Debitor dengan Para Kreditornya sebagaimana diatur dalam Pasal 281 ayat (1) UUK PKPU, namun dalam praktek, ternyata permasalahan pada proses pemungutan suara (voting) atas rencana perdamaian tersebut dapat terjadi. Sebagaimana dalam Putusan Nomor 12/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Smg. Bahwa dalam putusan PKPU tersebut, setelah dilakukan proses pemeriksaan terhadap kelengkapan dokumen kreditor, tim pengurus menyatakan bahwa terdapat dua kreditor yang tidak dapat memberikan suaranya terhadap rencana perdamaian padahal Kreditor tersebut telah ditetapkan dalam suatu Daftar Piutang Tetap. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, tulisan ini bertujuan untuk menganalisis mengenai dikesampingkannya hak pemungutan suara (voting) kreditor dalam proses persetujuan rencana perdamaian PKPU, serta pertimbangan Majelis Hakim dalam menjatuhkan putusan pada Putusan Nomor 12/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Smg. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa ditetapkannya Kreditor dalam suatu Daftar Piutang Tetap menandakan bahwa Para Kreditor telah melewati tahap verifikasi legalitas Para Kreditor; status tagihan, dan jumlah hak suara yang dimiliki. Sehingga tidak terdapat kualifikasi maupun faktor apapun yang memungkinkan Hakim untuk mengesampingkan / meniadakan hak suara Kreditor untuk melakukan voting atas Rencana Perdamaian. Akibat hukum dikesampingkannya hak suara Kreditor tidak serta merta menghilangkan status sebagai Kreditor dan hak tagihnya hilang, melainkan tetap ada sebagaimana dalam Daftar Piutang Tetap dan setelah perdamaian disahkan maka akan mengikat seluruh Kreditor Konkuren, kecuali Kreditor Separatis sebagaimana dalam Pasal 281 ayat (2) UUK PKPU, kemudian upaya hukum yang dapat dilakukan adalah kasasi ke Mahkamah Agung. Selanjutnya, terkait dengan analisis putusan, maka Hakim telah melanggar Pasal 281 ayat (1) UUK PKPU.

The Reconciliation Plan in PKPU is an offer submitted by the Debtor through a legal document covering payment of his debts to Creditors, with a mechanism that has been previously agreed upon by the Debtor and his Creditors as stipulated in Article 281 paragraph (1) UUK PKPU, but in practice, it turns out that problems in the voting process for the Reconciliation Plan can occur. As in Decision Number 12/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Smg. Whereas in the PKPU decision, after an examination of the completeness of creditor documents, the management team stated that there were two creditors who were unable to vote on the reconciliation plan even though the creditors had been determined in a List of Fixed Receivables. By using normative-juridical research methods, this article aims to analyze the exclusion of creditors' voting rights in the approval process for the PKPU Reconciliation Plan, as well as the considerations of the Panel of Judges in passing a decision on Decision Number 12/Pdt.Sus-PKPU/2021/PN.Niaga.Smg. The results of this study are that the determination of Creditors in a Register of Receivables indicates that the Creditors have passed the legality verification stage of the Creditors; the status of the invoice, and the number of voting rights held. So that there are no qualifications or any factors that allow the Judge to set aside / cancel the Creditors' voting rights to vote on the Reconciliation Plan. The legal consequence of setting aside the Creditor's voting rights does not necessarily eliminate the status as a Creditor and the rights to collect are lost, but remain as in the List of Fixed Receivables and after the settlement is ratified, it will bind all Creditors except Separatist Creditors as in Article 281 paragraph (2) UUK PKPU, then legal remedy that can be done is cassation to the Supreme Court. Furthermore, related to the analysis of the decision, the Judge has violated Article 281 paragraph (1) of the PKPU Law."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafia Rizky Hanifah
"Skripsi ini membahas mengenai penolakan pengesahan atau homologasi rencana perdamaian dalam perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dialami oleh PT Korea World Center Indonesia (PT KWCI) yang berakhir pada kepailitan. Penulis melakukan tinjauan hukum mengenai isu tersebut mulai dari segi utang yang dimiliki Debitur sebagai syarat mengajukan permohonan PKPU ke Pengadilan Niaga hingga segi imbalan jasa Pengurus yang tidak dibayarkan atau tidak dijamin pembayarannya yang menyebabkan Debitur jatuh pailit. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui penerapan dari pengertian utang menurut Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 sebagai syarat permohonan PKPU dan mengetahui apakah Bilyet Giro dapat dianggap sebagai alat pembayaran maupun jaminan pembayaran bagi imbalan jasa Pengurus dalam perkara PKPU. Metode penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini merupakan metode penelitian yang bersifat kualitatif, yaitu penelitian yang menghasilkan data yang bersifat deskriptif analitis. Penelitian ini termasuk ke dalam penelitian hukum normatif, di mana Penulis menggunakan sumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Dari penelitian ini diketahui bahwa Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK-PKPU) mendefinisikan utang secara luas, sehingga ganti kerugian materil atas putusan Perbuatan Melawan Hukum (PMH) yang telah berkekuatan hukum tetap (in kracht) dapat dikatakan sebagai utang sebagai syarat permohonan PKPU. Selain itu, diketahui pula bahwa Bilyet Giro dapat dianggap sebagai alat pembayaran maupun jaminan pembayaran bagi imbalan jasa Pengurus dalam perkara PKPU apabila penerbitan, pengunjukan, dan pemrosesannya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

This thesis discusses the rejection of the ratification or homologation of the composition plan in the case of Suspension of Debt Payment Obligations Process (PKPU) experienced by PT Korea World Center Indonesia (PT KWCI) which ended in bankruptcy. The author conducts a legal review of this issue, starting from the aspect of debt owned by the Debtor as a condition for submitting a PKPU application to the Commercial Court to the aspect of Management fees that are not paid or the payment is not guaranteed which causes the Debtor to go bankrupt. The purpose of this study is to determine the application of the definition of debt according to Law No. 37 of 2004 as a requirement for PKPU application and to find out whether the Bilyet Giro can be considered as a means of payment or as a guarantee of payment for the Management's services in a PKPU case. The research method used in this research is a qualitative research method, namely research that produces data that is descriptive and analytical. This research is included in normative legal research, where the author uses sources from primary, secondary, and tertiary legal materials. From this research it is known that Law No. 37 of 2004 concerning Bankruptcy and Suspension of Debt Payment Obligations Process (UUK-PKPU) broadly defines debt, so that material compensation for the decision on Unlawful Acts (PMH) which has permanent legal force (in kracht) can be said to be debt as a requirement for PKPU application. In addition, it is also known that Bilyet Giro can be considered as a means of payment as well as a guarantee of payment for Management's compensation in a PKPU case if the issuance, appointment and processing are in accordance with the prevailing laws and regulations."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Himarasmi Jyesthaputri Aji
"Adanya mekanisme penundaan terhadap kewajiban pembayaran utang yang harus dilakukan oleh Debitor, dapat memberikan Debitor waktu untuk melakukan restrukturisasi terhadap utangnya. Pada praktiknya, upaya restrukturisasi utang ini seringkali tidak memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada Kreditor PKPU. Hal ini dapat terjadi salah satunya karena tindakan Debitor yang mengulur-ulur proses beracara, sehingga perkara kepailitan yang sedang terjadi tidak dapat dilaksanakan sesuai dengan marwah dari UU K-PKPU itu sendiri yang menghendaki terselesaikannya sengketa dengan cepat dan sederhana. Hal inilah yang melatarbelakangi perlunya pemberian perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada Kreditor dalam perkara PKPU yang dapat menghindarkan Kreditor mengalami kerugian atas tindakan Debitor. Pemberian perlindungan hukum diperlukan untuk mencapai tujuan dari hukum itu sendiri, yakni menciptakan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Untuk menjawab permasalahan tersebut, Penulis kemudian menggunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder. Penelitian ini menggunakan studi kasus Putusan No. 373/Pdt.Sus-Pkpu/2021/Pn.Niaga.Jkt.Pst dan akan dikaji melalui studi kepustakaan dalam rangka menjawab pokok permasalahan berdasarkan hukum yang berlaku untuk memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi Kreditor yang terlibat dalam perkara PKPU. Dalam Hukum Kepailitan, kepastian hukum dapat terwujud melalui penerapan prinsip penyelesaian perkara secara cepat dan pembuktian yang sederhana sesuai dengan prinsip kepailitan dan PKPU yang tercantum dalam UU K-PKPU. Penulis kemudian menarik kesimpulan bahwasannya UU K-PKPU pada dasarnya telah memberikan perlindungan hukum bagi Kreditor, meskipun demikian Majelis Hakim kurang cermat dalam menerapkan hukum sehingga putusan tersebut dapat merugikan Kreditor Konkuren. Selanjutnya, UU K-PKPU juga pada dasarnya telah memberikan kepastian hukum, namun demikian Majelis Hakim tidak konsisten dalam menerapkan hukum sehingga kepastian hukum tidak tercapai.

The existence of a mechanism for delaying debt payment obligations that must be carried out by the debtor can give the debtor time to restructure his debt. In practice, these debt restructuring efforts often do not provide legal protection and legal certainty to PKPU creditors. This can happen, in part, because the debtor's actions are delaying the proceedings, so that the ongoing bankruptcy case cannot be carried out in accordance with the dignity of the K-PKPU Law itself, which requires the resolution of disputes quickly and simply. This is the background to the need to provide legal protection and legal certainty to creditors in the PKPU case which can prevent creditors from experiencing losses due to the actions of the debtor. Providing legal protection is necessary to achieve the objectives of the law itself, namely creating justice, benefit and legal certainty. To answer these problems, the author then uses normative juridical legal research methods by examining literature or secondary data. This research uses a case study of Decision No. 373/Pdt.Sus-Pkpu/2021/Pn.Niaga.Jkt.Pst and will be reviewed through a literature study in order to answer the main issues based on applicable law to provide legal protection and legal certainty for Creditors involved in the PKPU case. In Bankruptcy Law, legal certainty can be realized through the application of the principle of quick settlement of cases and simple proof in accordance with the principles of bankruptcy and PKPU as stated in the K-PKPU Law. The author then draws the conclusion that the K-PKPU Law has basically provided legal protection for Creditors, even though the Panel of Judges was not careful in applying the law so that the decision could be detrimental to Concurrent Creditors. Furthermore, the K-PKPU Law has basically provided legal certainty, however, the Panel of Judges has been inconsistent in applying the law so that legal certainty has not been achieved."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Baghia Nurul Ilman
"Dalil Exceptio Non Adimpleti Contractus merupakan dalil pembelaan debitur yang didalilkan wanprestasi oleh kreditur dengan dasar kreditur juga dianggap telah lalai menjalankan kewajibannya. Skripsi ini membahas dan menjelaskan bagaimana sejarah hukum dari dalil tersebut dan perbandingan peraturannya antara negara Indonesia dan negara Belanda serta penerapannya saat ini di Indonesia. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif menggunakan data sekunder.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalil tersebut ditemukan oleh Romawi dan dikembangkan oleh Canonist, serta pada zaman Hukum Perancis dan Hukum Belanda dalil ini sudah diatur didalam aturan yang berlaku saat itu. Dalam penerapannya saat ini, Indonesia masih menerapkan dalil tersebut sebagai suatu dasar hukum berupa yurisprudensi, namun tidak diatur lebih jelas selain diatur di dalam Pasal 1478 KUHPerdata.

Exceptio Non Adimpleti Contractus is a defense argument that argued by the debtor who is declared by the creditor that they have breach the contract, assuming that the creditor is also absentminded. This thesis discuss about the legal history of the defense argument, its regulation comparison between Indonesia and Netherland and its current application in Indonesia. This research method is the normative-juridical using secondary data.
The results shows that the argument was discovered by the Romans and developed by the Canonists, in the days of French and Dutch law this argument has been applied in their regulations. In practice today, the argument is still applicable in Indonesia as a legal basis in the form of jurisprudence, but it is only regulated in the Article 1478 of the Civil Code.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S62501
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>