Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 206352 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Zaskia Osya Denaya
"Dalam perjanjian investasi internasional pada umumnya, penanam modal asing diberikan hak untuk menggugat negara penerima investasi secara langsung (Investor-State Dispute Settlement / “ISDS”). Dalam beberapa putusan arbitrase, adanya unsur pelanggaran hukum dalam kegiatan investasi mengakibatkan tidak dapat diterimanya gugatan ISDS dengan berlandaskan kepada doktrin clean hands. Doktrin clean hands pada esensinya menekankan adanya kewajiban penanam modal asing untuk memiliki ‘tangan yang bersih’ atau bebas dari pelanggaran hukum agar ia berhak mengajukan gugatan. Skripsi ini membahas kedudukan doktrin clean hands hukum investasi dan penerapannya dalam beberapa yurisprudensi, yakni putusan arbitrase Hesham Al Warraq v. Republic of Indonesia dan Churchill Mining PLC and Planet Mining Pty Ltd v. Republic of Indonesia. Penelitian ini adalah penelitian hukum dengan metode pendekatan yuridis-normatif yang bersifat deskriptif analitis untuk menggambarkan berbagai pandangan mengenai kedudukan doktrin clean hands dalam hukum investasi dan penerapannya dalam beberapa yurisprudensi. Hasil penelitian dari skripsi ini menyimpulkan bahwa kedudukan doktrin clean hands dalam sumber hukum investasi masih menuai pro dan kontra dari berbagai pihak. Sebagian menilai bahwa doktrin ini telah menjelma menjadi prinsip hukum umum dalam Pasal 38 ayat (1) ICJ Statute, sedangkan sebagian lagi menilai bahwa doktrin ini masih berstatus doktrin semata. Namun, konsep dasar doktrin ini telah termanifestasi dalam beberapa putusan arbitrase untuk menolak gugatan ISDS penanam modal asing yang telah melakukan pelanggaran hukum, termasuk dalam studi kasus Hesham Al Warraq v. Republic of Indonesia dan Churchill Mining PLC and Planet Mining Pty Ltd v. Republic of Indonesia.

Most of international investment agreement granted foreign investors the right to resolve disputes with the government of the host state where their investment was made (Investor- State Dispute Settlement / “ISDS”). In several arbitral awards, an incompliance or illegal conduct related to the investment has rendered the claims deemed inadmissible based on the clean hands doctrine. Clean hands doctrine requires a claimant to comply with the law in order to be entitled to sue and obtain remedies. This thesis addresses the status of clean hands doctrine in investment law and its manifestation in Hesham Al Warraq v. Republic of Indonesia's and Churchill Mining PLC and Planet Mining Pty Ltd v. Republic of Indonesia's arbitral awards. This research is a legal study with normative juridicial approach and descriptive analytical analysis which aim is to illustrate the status of clean hands doctrine in investment law and its application in various jurisprudences. The result of this thesis concludes that the status of clean hands doctrine as one of the source of international law is remain unclear. There are debates regarding its status as a general principle of law stated in Article 38 (1) ICJ Statute. Nonetheless, the fundamental concept of this doctrine has been manifested in some of the arbitral awards as a bar relief for the claims brought by investors which investments were either made or operated in violation with the host state's domestic law, including in the Hesham Al Warraq v. Republic of Indonesia's and Churchill Mining PLC and Planet Mining Pty Ltd v. Republic of Indonesia's case."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Irene Mira
"Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis prinsip dan standard fair and equitable treatment FET dalam kerangka hukum investasi internasional dan menganalisis interpretasi prinsip FET pada sengketa investasi internasional terutama dalam sengketa yang melibatkan Indonesia untuk kemudian dijadikan suatu pembelajaran dan materi evaluasi bagi kebijakan hukum Indonesia mengenai investasi asing di masa yang akan datang. Prinsip FET sebagai prinsip fundamental dalam hukum investasi internasional sudah dipraktekkan secara global. Tetapi, prinsip yang bertujuan untuk menjaga dan memberikan perlakuan sama rata dan non-diskriminatif terhadap investor dan investasi asing ini tidak luput dari permasalahan hukum. Ragam klausula FET di tiap perjanjian investasi internasional menimbulkan multiinterpretasi mengenai standard keberlakuan FET terutama dalam sengketa investasi internasional. Dalam kerangka hukum investasi internasional terdapat beberapa klasifikasi standard FET: FET sebagai ldquo;FET unqualified rdquo;/FET sebagai autonomous/ independent standard, FET sebagai customary international law minimum standard dan FET mencakup standard lainnya seperti salah satu contohnya full protection and security FPS . Metode penelitian yang digunakan adalah metode doktrinal melalui studi kepustakaan. Melalui penelitian ini, kesimpulan yang diraih adalah klasifikasi FET sebagai customary international law minimum standard merupakan standard yang menjadi preferensi investor dan juga host States dan pengaturan hukum Indonesia mengenai investasi asing masih lemah dan belum berhasil mengakomodir perkembangan hukum investasi internasional. Langkah strategis untuk memperbaiki dan memperkuat pengaturan hukum investasi asing di Indonesia diperlukan agar posisi dan kepentingan Indonesia sebagai host States lebih solid tanpa melanggar hak-hak investor asing terutama hak asasi yang mendasar.

This research aims to scrutinize and to provide answers to three matters the workings of principle of fair and equitable treatment FET within the framework of international investment law, the rationale and approach of FET interpretation in investment disputes, especially those involving Indonesia, and also possible update s or reform s for Indonesia rsquo s future investment policies. Without a doubt, FET has become and is a fundamental principle in international investment law hence its global practice. Contemporary international investment law recognises some FET classifications ldquo FET unqualified rdquo FET as autonomous independent standard, FET as customary international law minimum standard and FET that embraces other standards of treatment such as full protection and security FPS among others. However, FET existence to guard and guarantee equitable and non discriminative measures toward foreign investor and investment is inevitably exposed to legal problem s . Due to different wordings and classifications of FET, different arbitral tribunals subsequently produced multiple interpretations of FET. In essential, the research employs doctrinal method and library based research method. As reflected in the research, one may see that FET as customary international law minimum standard is a much favoured standard by host States and foreign investors alike. One may also see that there are weaknesses in Indonesia foreign investment policies thus strategic moves are necessary to be made in order to update and strengthen Indonesia rsquo s interests and position as host States without putting basic rights of foreign investor in jeopardy.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
T47115
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sophie Dhinda Aulia Brahmana
"ABSTRAK
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji apa saja yang menjadi dasar
diterimanya gugatan Churchill Mining Plc oleh Arbiter pada badan arbitrase
ICSID dan menganalisa apakah dasar-dasar penerimaan gugatan tersebut
menjadikan badan arbitrase ICSID memang memiliki yurisdiksi untuk memeriksa
perkara yang diajukan oleh Churchill Mining Plc. Sehingga perlu untuk ditinjau
secara yuridis apakah memang sepatutnya gugatan Churchill Mining Plc tersebut
diterima oleh ICSID atau tidak. Metode penelitian yang digunakan pada penulisan
ini adalah metode yuridis-normatif. Metode yuridis-normatif tersebut akan
digunakan untuk melakukan analisa terhadap data sekunder. Adapun bahan
hukum primer yang digunakan berupa peraturan Konvensi ICSID, Undangundang
Nomor 5 Tahun 1968 tentang Ratifikasi atas Konvensi ICSID dan bahan
hukum sekunder berupa buku, jurnal ilmiah, dan artikel ilmiah
Bahwa adapun Churchill Mining Plc menggugat Indonesia dengan mendasarkan
gugatannya tersebut terhadap Pasal 7 ayat (1) BIT UK-Indonesia. Dimana atas hal
tersebut tergugat mengemukakan statement of defence tentang keberatan terhadap
yurisdiksi ICSID, maka Dewan Arbitrase harus terlebih dahulu mengemukakan
keputusan mengenai yurisdiksinya untuk menangani perkara. Dimana dewan
arbitrase harus mendasarkan putusannya tersebut terhadap Pasal 25 Konvensi
ICSID yang mengatur secara khusus mengenai yurisdiksi ICSID
Bahwa berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut di atas, maka untuk kasus
Churchill Mining Plc vs Republik Indonesia sepatutnya tribunal ICSID tidak
menerima gugatan tersebut, hal ini karena seharusnya yang menggugat Indonesia
adalah bukan Churchill Mining melainkan perusahaan Ridlatama Group, karena
sesungguhnya yang dicabut Izin Kuasanya adalah Ridlatama Group dan bukan
Churchill. Sehingga sepatutnya masalah ini tidak dicampuradukkan dengan
masalah hukum internasional dan sepatutnya diselesaikan melalui ranah hukum
nasional Indonesia. Adapun menurut penulis untuk menghindari terjadinya hal
yang sama, ada baiknya Indonesia melakukan amandemen terhadap Billateral
Investment Treaty dan bahkan Indonesia juga lebih baik mempertimbangkan
untuk keluar sebagai anggota Konvensi ICSID, dimana berdasarkan Pasal 71
Konvensi ICSID hal tersebut diperolehkan

ABSTRACT
The purpose of this research is to assess what is the basis of the acceptance of
Churchill Mining Plc Lawsuit by the Arbitrator in ICSID and analyze whether the
fundamentals of the acceptence of the lawsuit indeed made the ICSID does have a
jurisdiction to examine the case. Therefore it is necessary to make a judicial
review, whether the Lawsuit which had been filed by Churchill should be received
by ICSID or not. The method used in this paper is a method of juridicalnormative.
Juridical-normative methods will be used to conduct an analysis the
secondary data. The primary legal materials use in this research are the regulations
of the ICSID Convention and Law No. 5 of 1968 concerning the Ratification of
the Convention ICSID and the secondary legal materials use in this research are
books, scientific journals and scientific articles
Whereas Churchill file a lawsuit against Indonesia, based on Article 7 paragraph 1
BIT UK-Indonesia and the Approval of BKPM. Where based on the claim by
Churchill, Indonesia as the Defendant also has submit the statement of defence
regarding their objection toward the jurisdiction of ICSID. Based on Article 41
ICSID Convention, the Board of ICSID Arbitration in advance must make a
decisions regarding its jurisdiction to handle the case. Where the decision of
Board of ICSID Arbitration must be made under the Article 25 of the ICSID
Convention that specifically regulates the jurisdiction of ICSID.
Based on the regulations as above, therefore for the case of Churchill Mining vs
Republic of Indonesia, ICSID tribunal should not accept the claim of Churchill
Mining. The reason is because the one who should suing Indonesia is not
Churchill Mining but Ridlatama Group, because the party who‟s their mining
license are revoked by the Regent of Kutai Timur is Ridlatama Group not
Churchill Mining. So this problem should not be yoked with the international law
and should be resolved through national (Indonesia) legal sphere. To prevent the
same thing accure again, Indonesia should consider to amendment the Billateral
Investment Treaty between United Kingdom and Indonesia and it is better to
consider to drop out as a member of the ICSID Convention, where that is possible
under Article 71 of the ICSID Convention"
2016
T46482
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ricky Pratomo
"International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) adalah forum penyelesaian sengketa penanaman modal asing yang memiliki yurisdiksi berdasarkan Pasal 25 Konvensi ICSID. Dalam menentukan yurisdiksi, Majelis Arbiter ICSID mengualifikasi penanaman modal untuk memeriksa syarat ratione materiae. Majelis Arbiter ICSID menggunakan metode Piecemeal Test atau Dual-Test untuk mengualifikasi penanaman modal.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis kualifikasi penanaman modal oleh Majelis Arbiter ICSID pada sengketa antara Rafat Ali Rizvi melawan Republik Indonesia dengan menggunakan penelitian hukum normatif yang dilakukan secara deskriptif analitis. Penelitian ini menemukan bahwa penggunaan metode kualifikasi penanaman modal yang berbeda memengaruhi hasil kualifikasi.

International Centre for Settlement of Investment Disputes (ICSID) is foreign investment dispute settlement forum which has jurisdiction according to Article 25 of ICSID Convention. In determining its jurisdiction, ICSID?s Arbitral Tribunal qualify investment to examine the requirement of ratione materiae. ICSID?s Arbitral Tribunal uses the method of Piecemeal Test or Dual-Test to qualify investment.
This research is aimed to analyse the qualification of investment by ICSID's Arbitral Tribunal in the matter between Rafat Ali Rizvi v. the Republic of Indonesia using normative juridical approach conducted through descriptive-analytic method. This research finds that using different methods of investment qualification influence the result of such qualification.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S64742
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Agaputra Ihsan Oepangat
"Dalam satu dekade terakhir, Indonesia telah mengakhiri hampir semua perjanjian investasi bilateralnya dengan salah satu alasan yang merupakan kemudahan investor dalam mengajukan gugatan terhadap Indonesia ke arbitrase internasional. Pengakhiran massal tersebut disebabkan oleh susunan kata dalam perjanjian bilateral tersebut yang memungkinkan majelis arbiter untuk dengan mudah menyimpulkan bahwa Indonesia telah memberi persetujuan terhadap arbitrase yang memberi majelis arbiter kewenangan untuk mengadili sebuah sengketa. Skripsi ini mengkaji faktor-faktor yang mempengaruhi persetujuan negara terhadap arbitrase berdasarkan hukum investasi internasional sehubungan dengan perkembangan yang terlihat dalam yurisprudensi arbitrase investasi. Selanjutnya, skripsi ini akan juga akan menentukan apakah kerangka hukum Indonesia, yang terdiri dari undang-undang investasinya dan perjanjian investasi internasional yang baru, menangani masalah persetujuan yang sebelumnya menjadi permasalahan. Skripsi ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif dengan pendekatan teoritis maupun pendeketan perundang-undangan. Skripsi ini akan mendalami pengalaman Indonesia dalam menangani persetujuan terhadap arbitrase dengan membahas kata-kata dari perjanjian investasi bilateral yang lama serta sengketa yang muncul dari akibat gugatan yang tidak tepat. Selanjutnya, perjanjian investasi internasional Indonesia yang baru akan dibahas dan dibandingkan dengan perjanjian investasi bilateral yang lama. Skripsi ini akan menyimpulkan bahwa kerangka hukum Indonesia saat ini, yang terdiri dari Undang-Undang Penanaman modal dan perjanjian investasi internasional baru, dengan tepat menangani sebagian besar perkembangan hukum dalam hukum investasi internasional yang mempengaruhi persetujuan negara dan oleh karena itu mengatasi masalah yang timbul dalam perjanjian investasi bilateral lama yang telah diakhiri oleh Indonesia.

Within the last decade, Indonesia has terminated almost all of its bilateral investment treaties with one of the reasons being the ease of which investors were able to submit claims against Indonesia to international arbitration. This mass termination was attributed to the poor wording present within the bilateral investment treaties which allowed arbitral tribunals to infer Indonesia’s consent to arbitration and which provides them with jurisdiction to adjudicate the dispute. This thesis examines the factors which affect state consent to arbitration under international investment law with regards to the developments seen in investment arbitration jurisprudence. Subsequently this thesis will also determine whether or not the Indonesian legal framework, which comprises of its investment law and new international investment agreements, addresses the issues of consent which have previously been of concern. This thesis adopts a juridical normative research method utilizing a theoretical and statutory approach. This thesis will explore Indonesia’s experience in dealing with consent to arbitration as it discusses the wording of its old bilateral investment treaties as well as the disputes which arose out of unwarranted treaty claims. Furthermore, Indonesia’s new international investment agreements will be discussed in comparison to the old bilateral investment treaties. This thesis will conclude that the current Indonesian legal framework, consisting of the Investment Law and the new international investment agreements, properly address the majority of developments which would affect state consent under international investment law and therefore addresses the problems presented by Indonesia’s terminated bilateral investment treaties."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qafaldi Putra Ismayudha
"Dalam proses arbitrase investasi internasional antara suatu investor asing dan pihak negara, terdapat perjanjian investasi internasional yang mengatur persyaratan-persyaratan yang wajib dipenuhi sebelum proses arbitrase dapat dimulai. Persyaratan-persyaratan ini tidak sama untuk setiap perjanjian investasi internasional. Namun, setiap perjanjian investasi internasional pasti mengandung persyaratan ratione materiae, ratione personae, ratione temporis, dan ratione voluntatis. Persyaratan-persyaratan ini menunjukkan apa saja yang perlu dipenuhi investor asing sebelum dapat mengajukan sengketanya kepada proses arbitrase. Ratione voluntatis sendiri merupakan persyaratan mengenai persetujuan negara yang dibagi menjadi Cooling-off period dan Exhaustion of Local Remedies. Cooling-off period merupakan persyaratan yang mengatur bahwa suatu investor asing perlu melakukan negosiasi untuk mendapatkan penyelesaian sengketa yang saling menguntungkan terlebih dahulu selama jangka waktu yang ditentukan sebelum investor asing tersebut dapat mengajukan sengketanya untuk diselesaikan melalui arbitrase. Exhaustion of Local Remedies merupakan persyaratan yang mengatur bahwa suatu investor asing perlu mengajukan gugatannya terlebih dahulu kepada pengadilan negeri negara tersebut selama waktu yang ditentukan sebelum investor asing tersebut dapat mengajukan sengketanya untuk diselesaikan melalui arbitrase. Dalam tujuh kasus arbitrase investasi internasional yang telah dilewati Indonesia, semua perjanjian investasi internasional yang berlaku mengandung klausul Cooling-off period sebagai bentuk ratione voluntatis yang ditentukan dalam perjanjian investasi internasional tersebut. Namun, pada tujuh kasus tersebut tidak ada satupun pembahasan mengenai Cooling-off period dikarenakan isu tersebut tidak diajukan oleh Indonesia sebagai keberatan terhadap yurisdiksi majelis arbiter. Dalam tujuh kasus tersebut, hanya satu yang memberikan fakta bahwa investor asing yang mengajukan gugatan telah mencoba melakukan negosiasi dengan pihak negara. Tidak adanya fakta bahwa investor asing mencoba menyelesaikan sengketa melalui negosiasi berarti bahwa persyaratan Cooling-off period tidak dipenuhi oleh investor asing sebelum mengajukan sengketa yang sedang dialami pada arbitrase. Penulis berharap bahwa skripsi ini dapat memberikan pemahaman yang merinci mengenai klausul Cooling-off period beserta penerapan dan dampak dari klausul tersebut pada yurisdiksi majelis arbiter pada arbitrase investasi internasional. Metode penelitian yang akan digunakan pada penulisan skripsi ini adalah dengan metode doktrinal, yakni yaitu penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif.

In international investment arbitration proceedings between a foreign investor and a state party, there is an international investment agreement that sets out the requirements that must be met before arbitration proceedings can commence. These requirements are not the same for every international investment agreement. However, every international investment agreement must contain the requirement of ratione materiae, ratione personae, ratione temporis, and ratione voluntatis. These requirements indicate what a foreign investor needs to fulfil before it can submit its dispute to arbitration proceedings. Ratione voluntatis is a requirement regarding state consent which is divided into the requirement of a Cooling-off period and an Exhaustion of Local Remedies. Cooling-off period is a requirement in which a foreign investor needs to negotiate for amicable resolutions for a specified period of time before it can submit its dispute for resolution through arbitration. Exhaustion of Local Remedies is a requirement in which a foreign investor needs to first file its claim with the country's domestic courts for a specified amount of time before the foreign investor can submit its dispute for resolution through arbitration. In the seven international investment arbitration cases that Indonesia has experienced, all the applicable international investment agreements contain Cooling-off period clauses as a form of ratione voluntatis that is adopted. However, in none of the seven cases was the Cooling-off period discussed as the issue was not raised by Indonesia as a challenge to the jurisdiction of the arbitral tribunal. In the seven cases, only one provided the fact that the foreign investor who filed the arbitration proceedings had tried to negotiate with the state party. The absence of the fact that the foreign investor tried to resolve the dispute through negotiation means that the Cooling-off period requirement was not met by the foreign investor before submitting the dispute to arbitration. The author hopes that this thesis can provide a detailed understanding of the Cooling-off period clause and the application and impact of the clause on the jurisdiction of the arbitral tribunal in international investment arbitration. The research method that will be used in writing this thesis is the doctrinal method, which is research focused on examining the application of rules or norms in positive law."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andry Agustiano
"Tesis ini dibatasi pada kasus dengan terpidana Hesham Al Warraq yang disidangkan secara in
absensia dengan lingkup pembahasan pada analisis mengenai praktek ekstradisi terhadap
terpidana tersebut dan faktor-faktor yang mempengaruhinya, untuk menjawab permasalahan
penelitian bahwa ektradisi terhadap terpidana kasus korupsi dan pencucian uang yang
disidangkan secara in absensia sulit dilakukan karena terdapatnya faktor kepentingan
nasional, faktor ketersediaan perjanjian ekstradisi, faktor alasan mutlak dan fakultatif
penolakan ekstradisi. Merujuk dari temuan penelitian diketahui beberapa hal. Pertama,
praktek ekstradisi terhadap terpidana kasus korupsi dan pencucian uang Hesham Al Warraq
yang disidangkan secara in absensia, jika hanya mengandalkan Model Treaty on Extradition
sebagai hukum kebiasaan internasional ekstradisi akan menyebabkan peluang dikabulkannya
permohonan permintaan ekstadisi dari Indonesia sebagai negara peminta oleh Arab Saudi
sebagai negara diminta menjadi sangat tipis kemungkinannya. Hal ini mengingat dalam
Model Treaty on Extradition tersebut terdapat ketentuan yang secara tegas mengatur bahwa
peradilan secara in absensia merupakan alasan yang bersifat mutlak untuk menolak ektradisi,
selain ketentuan mengenai warga negara yang bersifat fakultatif. Kedua, Resolusi PBB
Nomor 55/25 tanggal 15 Nopember 2000 tentang United Nation Convention against
Transnational Organized Crime (UNTOC) dan Resolusi PBB Nomor 58/4 tanggal 31
Oktober 2003 tentang United Nation Convention against Corruption (UNCAC) telah tepat
dijadikan landasan hukum pada praktek ektradisi ini, di tengah kekosongan perjanjian
ektradisi kedua negara, karena tindak pidana korupsi dan pencucian uang yang dilakukan
Hesham Al Warraq merupakan tindak pidana yang pelakunya wajib diektradisikan oleh
negara-negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ketiga, praktek ektradisi terhadap kasus
korupsi dan pencucian uang Hesham Al Warraq yang disidangkan secara in absensia menjadi
sulit untuk dilaksanakan akibat adanya faktor kepentingan nasional, ketersediaan perjanjian
ektradisi, alasan yang bersifat mutlak berupa peradilan in absensia dan alasan yang bersifat
fakultatif berupa kewarganegaraan orang yang diminta untuk menolak ektradisi yang masingmasing
memiliki keterkaitan satu sama lain. Rekomendasi dari penelitian ini adalah (1)
ektradisi lebih berorientasi pada landasan hukum berupa UNTOC dan UNCAC; (2)
mempersiapkan permintaan agar terpidana dapat menjalani hukuman di negara diminta sesuai
Artikel 16 butir 12 UNTOC dan Artikel 44 butir 13 UNCAC; (3) meningkatkan frekuensi
diplomasi untuk mewujudkan perjanjian ektradisi bilateral.

The thesis focuses on the case of Hesham Al Warraq, a convict tried in an absentia trial of
corruption and money laundering. The study is limited to the analysis of the extradition
process and factors influencing such process in order to answer the problem stating that an
extradition process of a convicted of corruption and money laundering cases who is tried in
absentia trial is difficult to execute due to some factors, such as: the existing national
interests, the availability of extradition treaties, the absolute reasons and the facultative
rejection of extradition. The results of the research reveals that: first, it is almost never
successful to execute an extradition if the requesting country only relies on the Model Treaty
on Extradition as the customary law of international extradition due to the fact that the Model
Treaty on Extradition clearly states that an absentia trial is an absolutely reason to reject an
extradition request in addition to facultative stipulations on citizenship; second, it is
appropriate to employ the UN Resolution No. 55/25 dated November 15, 2000 on the United
Nations Convention against Transnational Organized Crime (UNTOC) and the UN
Resolution No. 58/4 dated October 31, 2003 on the United Nations Convention against
Corruption (UNCAC) as the legal basis on the extradition because the two countries do not
have an extradition treaty yet; and third, the extradition process of Hesham Al Warraq as the
convict of corruption and money laundering case cannot easily be executed because of some
reasons as mention above. The author recommends (1) to execute an extradition that is
oriented on legal bases such UNTOC and UNCAC; (2) to prepare a request so that the
convict can serve his or her sentence in the requested country as stated in Article 16 Clause
12 of UNTOC and Article 44 Clause 13 of UNCAC; and (3) to improve diplomatic
relationships in order to realize a bilateral extradition treaty.
"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2013
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fabianus Krisna Adhiatma
"Konsep nominee masuk ke Indonesia sebagai suatu perjanjian karena adanya asas kebebasan berkontrak dan sistem hukum perjanjian yang sifatnya terbuka. Setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal, pada Pasal 33 telah ditegaskan mengenai larangan penggunaan struktur nominee pemegang saham dalam Perseroan dengan fasilitas penanaman modal. Walaupun demikian praktik nominee pemegang saham PT PMA di Indonesia masih terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk memberikan penjelasan mengenai peran dan pertanggungjawaban notaris berkaitan dengan pembentukan struktur nominee pemegang saham PT PMA. Penulisan tesis ini menggunakan bentuk penelitian hukum yuridis normatif dengan metode kualitatif untuk menganalisis data dan tipe penelitian deskriptif analitis. Peran notaris dalam praktik nominee pemegang saham PT PMA adalah memberikan penilaian terhadap isi akta dan memberikan penyuluhan hukum sehubungan dengan pembuatan akta. Praktik nominee pemegang saham PT PMA dapat menimbulkan kerugian bagi para pihak sebagai akibat dari kebatalan demi hukum sehingga dapat membawa notaris ke dalam pertanggungjawaban berupa sanksi perdata, administrasi dan kode etik jabatan notaris. Sehingga dalam menjalankan jabatannya notaris harus memahami betul hukum yang berlaku berkaitan dengan akta dan bagi notaris yang melakukan perbuatan melawan hukum dalam menjalankan jabatannya, sebaiknya notaris dimintai pertanggungjawaban sesuai dengan peraturan.

The nominee concept enters Indonesia as a treaty because of the principle of freedom of contract and an open system of contractual law. After the enactment of Law Number 25 Year 2007 on Capital Investment, Article 33 has stipulated the prohibition on the use of nominee structure of shareholders in the Company with investment facilities. Nevertheless, the nominee practice of shareholders of PT PMA in Indonesia is still happening. This study aims to provide an explanation of the roles and responsibilities of notaries relating to the formation of nominee structure of shareholders of PT PMA. The writing of this thesis uses the form of normative juridical legal research with qualitative method to analyze data and type of descriptive analytical research. Notary's role in the nominee practice of shareholders of PT PMA is to provide an assessment of the contents of the deed and to provide legal counseling in relation to the making of the deed. The practice of nominee of shareholders of PT PMA may cause harm to the parties as a result of the legal negligence so as to bring the notary into account in the form of civil sanction, administration and code of ethics of notary. Thus, in the performance of his / her position, the notary must fully understand the applicable law relating to the deed and for the notary who commits the act unlawfully in carrying out his / her position, the notary should be held accountable in accordance with the rules."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
T50147
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shanghai: Hilights Law Offices, 2009
346.02 SUR l
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Shinta
"Konsep nominee diakui keberadaannya di negara-negara bertradisi hukum Common Law seperti di Singapura, nominee shareholders dan nominee director diperbolehkan berdasarkan undang-undang trustee dan undang-undang perusahaan Singapura. Sementara di negara-negara bertradisi hukum Civil Law seperti di Indonesia tidak mengakui keberadaan nominee. Bahkan di Indonesia, diatur secara tegas larangan nominee shareholders dan akibatnya adalah perjanjian batal demi hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 33 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Penanaman Modal. Larangan ini tidak terlepas dari tujuan ekonomi nasional yaitu melindungi pengusaha lokal agar sektor-sektor ekonomi tidak dikuasai dan/atau dieksploitasi oleh pihak asing.
Adanya pembatasan bidang usaha yang tertutup bagi pihak asing dan bidang usaha yang terbuka dengan batasan kepemilikan saham bagi pihak asing sebagaimana diatur dalam Peraturan Presiden nomor 44 Tahun 2016 dan persyaratan paling sedikit perseroan terbatas didirikan oleh 2 (dua) orang sebagaimana diatur dalam Pasal 7 Undang-Undang Perseroan Terbatas, menyebabkan pihak-pihak tidak dapat menguasai atau memiliki perusahaan sepenuhnya. Hal tersebut mendorong penggunaan nominee shareholders di Indonesia, baik dengan mengadakan perjanjian nominee secara langsung maupun secara tidak langsung untuk menyiasati larangan nominee shareholders.

Nominee concept is recognized in Common Law countries such as Singapore, nominee shareholders and nominee directors are allowed under the Trustee Act and Company Act of Singapore. While, in Civil Law countries such as Indonesia does not recognize nominee concept. In addition, Indonesia prohibit nominee shareholders and consequently the agreement is null and void as stipulated in Article 33 paragraph 1 and paragraph 2 of the Investment Act. This prohibition cannot be separated from the nation?s economic purpose which is protecting local entrepreneurs so that economy sectors are not controlled and / or exploited by foreign investor.
The restrictions on business sectors, whether totally closed or limited share ownership for foreign investor as stipulated in Presidential Regulation number 44 Year 2016, as well as the requirement of at least two (2) people in creating a limited liability company as stipulated in Article 7 of Law Limited Liability company, causes a party to not able to fully own the company. It encourages the use of nominee shareholders in Indonesia, either by entering a nominee agreement, directly or indirectly to circumvent the prohibition of nominee shareholders.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45876
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>