Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 128658 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aditya Wirawan
"Pendahuluan: Malignant pleural mesothelioma merupakan suatu keganasan yang bersifat agresif dan memiliki prognosis yang buruk. Hingga saat ini belum ditemukan suatu pilihan ter- api bermakna yang dapat memberikan respon baik. Dari beberapa penelitian dikatakan bahwa terdapat hubungan antara suatu proses epithelial mesenchymal transition (EMT) dengan kondisi prognosis yang buruk pada keganasan. Lysine specific demethylase-1 (LSD1) merupakan suatu enzim yang terlibat dalam proses EMT dan terdapat pada berbagai jenis kanker. Sehingga LSD1 dinilai memiliki peran penting dalam proses EMT.
Tujuan: Untuk mengetahui peran LSD1 pada malignant pleural mesothelioma
Metode: Studi ini mengobservasi overexpress SNAIL pada ACC-MESO 4 dengan gambaran karakteristik epithelial. Ekspresi protein-protein yang berhubungan dengan EMT dan LSD1 di- periksa menggunakan western blot assay. Uji proliferasi dan migrasi sel dievaluasi dengan wound healling assay
Hasil: Peningkatan ekspresi SNAIL menginduksi perubahan bentuk sel pada ACC-MESO-4 menjadi spindle-like shape sesuai proses EMT. Aktivasi SNAIL dengan ekspresi yang sangat tinggi berpengaruh terhadap proses penurunan ekspresi E-cadherin serta peningkatan ekspresi Fibronectin dan Vimentin. Peningkatan ekspresi SNAIL juga mengakibatkan sel ACC-MESO 4 menjadi agresif sehingga meningkatkan migrasinya. Penekanan ekspresi LSD1 dapat meng- hambat terjadinya proses EMT pada MPM.
Kesimpulan: LSD1 memiliki peran yang penting terhadap proses EMT dan penekanannya dapat menghambat terjadinya proses EMT.

Introduction: Malignant pleural mesothelioma (MPM) has an aggressive characteristic and poor prognosis. To date, there were no significant therapy which have good response to MPM. Several studies said that there were correlation between epithelial mesenchymal transition (EMT) process and poor prognosis in cancer. Lysine-specific demethylase-1 (LSD1), an en- zyme which involved in EMT process and overexpressed in many types of cancers, could be a potential target to attenuate EMT process. This study demonstrated the role of LSD1 during EMT process in MPM.
Aim: To know the role of LSD1 in malignant pleural mesothelioma
Methods: This study observed an overexpressed SNAIL transfection in ACC-MESO 4 that has epithelial characteristic. All protein expression related EMT marker and LSD1 were examined by western blot. We evaluated migration profile with wound healing assay test.
Results: The overexpression of SNAIL have changed the cell morphology to become spindle shape-like, consistent with an EMT process. After the overexpression of SNAIL, e-cadherin expression level was down-regulated while fibronectin and vimentin were up-regulated. This EMT phenotype also increased the migration rate. Finally, when we suppressed LSD1 with LSD1 inhibitor, the EMT process could be attenuated.
Conclusion: This study showed that LSD1 has an important role during EMT process and in- hibition of LSD1 could attenuated EMT process.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Carolina Paolin Kanaga
"Stress oksidatif merupakan dasar dari berbagai penyakit degeneratif dan kanker, termasuk asbestosis dan mesotelioma. Kedua penyakit tersebut terjadi akibat terinhalasinya serat asbes dalam jangka waktu lama dan jumlah pajanan yang tinggi. Penelitian potong lintang di Sekretariat Buruh Karawang bulan Oktober 2014 dilakukan untuk menilai korelasi asupan dan kadar vitamin C, E dengan kadar isoprostan. Lima puluh dua subjek yang bekerja di pabrik asbes selesai mengikuti seluruh protokol penelitian. Hasil menunjukkan bahwa asupan vitamin C dan kadar vitamin E berkorelasi negatif dengan kadar isoprostan, sedangkan asupan vitamin E dan kadar vitamin C berkorelasi positif dengan kadar isoprostan pekerja pabrik asbes. Korelasi tersebut secara statistik tidak bermakna. Penelitian lanjut diperlukan untuk menilai kadar isoprostan secara series, sehingga bila ada peningkatan yang signifikan dapat segera dikethui.

Oxidative stress is the base of various degenerative diseases and cancers, including asbestosis and mesothelioma. Both of them occur due to prolonged inhalation of asbestos fibers and high level of exposure. A cross-sectional study at a labor secretariat in October 2014 was performed to assess the correlations between intakes and levels of vitamin C and vitamin E and isoprostane level. Fifty two subjects working at an asbestos factory finished the study. The result showed that vitamin C intake and vitamin E level were negatively correlated with isoprostane level. Meanwhile, vitamin E intake and vitamin C level were positively correlated with isoprostane level in asbestos factory workers. These correlations were statistically insignificant. Asbestos factory workers should be educated to increase their intakes of vitamin C and vitamin E.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Fariz Nurwidya
"Latar belakang: Insulin-like growth factor 1 receptor(IGF1R) diekspresikan pada banyak tumor solidtermasuk kanker paru dan peningkatan aktivasi IGF1R mencerminkan progresivitas kanker. Epithelial-mesenchymal transition (EMT) merupakan salah satu mekanisme yang digunakan sel kanker untuk bermetastasis dan menyebabkan perburukan pasien. Kondisi lingkungan mikroseperti hipoksia dapat menginduksi EMT. Tujuan penelitian ini adalah untuk menentukan peran aktivasi IGF1R pada EMT yang diinduksi hipoksia pada kanker paru dan untuk menguji apakah inhibisi IGF1R dapat mencegah EMT pada sel kanker paru yang hipoksik.
Metode: Sel kanker paru, yaitu A549, dipajankan pada lingkungan hipoksia untuk menilai ekspresi genotipe dan fenotipe EMT. Analisis ekspresi gen dilakukan dengan quantitative real-time PCR (qPCR)dan fenotipe sel dipelajari dengan penilaian morfologi, scratch wound assay dan imunofloresen.
Hasil: Sel-sel yang hipoksik menunjukkan perubahan morfologi menjadi berbentuk spindle, peningkatan motilitas sel, penurunan ekspresi E-cadherin dan peningkatan ekspresi fibronektin dan vimentin yang mencerminkan fenomena EMT. Hipoksia juga mengakibatkan peningkatan ekspresi insulin-like growth factor 1 (IGF1), IGF1-binding protein 3 (IGFBP3) dan IGF1R, namun transforming growth factor β (TGFβ) tidak meningkat. Inhibisi hypoxia-inducible factor 1α (HIF1α) dengan YC-1 menekan aktivasi IGF1R dan menurunkan ekspresi IGF1 dan IGFBP3 pada sel yang hipoksik.Lebih lanjut, inhibisi IGF1R dengan AEW541 pada keadaan hipoksia mengembalikan ekspresi E-cadherin dan menurunkan ekspresi penanda mesenkimal fibronektin dan vimentin.Akhirnya, stimulasi sel normoksik dengan IGF1 menginduksi terjadinya EMT.
Kesimpulan: Hasil penelitian ini mengindikasikan peran aktivasi IGF1R dalam terjadinya EMT yang diinduksi keadaan hipoksia dan inhibisi IGF1R bisa mencegah fenomena EMT. Temuan dalam penelitian ini memperlihatkan potensi pencegahan progresivitas kanker yang distimulasi hipoksia dan dimediasi EMT dengan terapi target IGF1R.

Introduction: Insulin-like growth factor 1 receptor (IGF1R) is expressed in many types of solid tumors including non-small cell lung cancer (NSCLC), and enhanced activation of IGF1R is thought to reflect cancer progression.Epithelial-mesenchymal transition (EMT) has been established as one of the mechanisms responsible for cancer progression and metastasis, and microenvironment conditions, such as hypoxia, have been shown to induce EMT. The purposes of this study were to address the role of IGF1R activation in hypoxia-induced EMT in NSCLC and to determine whether inhibition of IGF1R might reverse hypoxia-induced EMT.
Methods: Human NSCLC cell line A549 was exposed to hypoxia to investigate the expression of EMT-related genes and phenotypes. Gene expression analysis was performed by quantitative real-time PCR (qPCR) and cell phenotypes were studied by morphology assessment, scratch wound assay, andimmunofluorescence.
Results: Hypoxia-exposed cells exhibited a spindle-shaped morphology with increased cell motility reminiscent of EMT, and demonstrated the loss of E-cadherin and increased expression of fibronectin and vimentin. Hypoxia also led to increased expression of IGF1, IGF binding protein-3 (IGFBP3), and IGF1R, but not transforming growth factor β1 (TGFβ1). Inhibition of hypoxia-inducible factor-1α (HIF1α) with YC-1 abrogated activation of IGF1R, and reduced IGF1 and IGFBP3 expression in hypoxic cells. Furthermore, inhibition of IGF1R using AEW541 in hypoxic condition restored E-cadherin expression, and reduced expression of fibronectinand vimentin. Finally, IGF1 stimulation of normoxic cells induced EMT.
Conclusions: Our findings indicated that hypoxia induced EMT in NSCLC cells through activation of IGF1R, and that IGF1R inhibition reversed these phenomena. These results suggest a potential role for targeting IGF1R in the prevention of hypoxia-induced cancer progression and metastasis mediated by EMT."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Masayu Syarinta Adenina
"Epithelial Mesenchymal Transition (EMT) adalah salah satu mekanisme resistensi Sorafenib pada kanker hepatoseluler. Alfa Mangostin diketahui dapat menurunkan aktifitas jalur TGF-βpada hepatic stellate cells. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh Alfa Mangostin pada Epithelial Mesenchymal Transition (EMT), HepG2 yang tahan terhadap Sorafenib melalui jalur TGF-β/SMAD. Sel lestari kanker hati, HepG2 dibagi menjadi enam kelompok perlakuan, yaitu kelompok DMSO 0,01%, Alfa Mangostin20μM, Sorafenib10μM, Sorafenib10μM+Sorafenib10μM, Sorafenib10μM-Alfa Mangostin20μM, dan Sorafenib10μM +Sorafenib10μM - Alfa Mangostin20μMselama 24 jam. Sel dihitung menggunakan trypan blue exclusion method. Kadar TGF-β medium diukur menggunakan ELISA. Ekspresi TGF-β,TGF-βRI, SMAD3, SMAD7, E-cadherin dan Vimentin diukur dengan qRT-PCR. Pemberian Alfa Mangostin pada sel HepG2 yang tahan terhadap Sorafenib dapat menurunkan jumlah sel hidup. Namun terdapat peningkatan ekspresi TGF-β, kadar TGF-β1 aktif, TGF-βRI, SMAD3, dan Vimentin serta penurunan ekspresi SMAD7 dan E-cadherin setelah pemberian Sorafenib dan Alfa Mangostin. Alfa Mangostin menurunkan jumlah sel hidup namun tidak menghambat EMT melalui jalur TGF-β/SMAD pada sel HepG2 yang tahan terhadap Sorafenib. 
Epithelial Mesenchymal Transition (EMT) is one of resistance mechanism through Sorafenib in hepatocellular carcinoma. Alpha Mangosteen is known to have reduced TGF-β/SMAD pathway in hepatic stellate cells. This research purpose is to explore the effect of Alpha Mangosteen on Epithelial Mesenchymal Transition (EMT) on human hepatoceluller carcinoma HepG2 cells surviving Sorafenib via TGF-β/SMAD pathways. Immortalized HCC cell line, HepG2 cells, were divided into 6 groups: DMSO0,01% group, Alpha Mangosteen 20μMgroup, Sorafenib10μM group, Sorafenib 10μM-Sorafenib10μM group, Sorafenib10μM +  Alpha Mangosteen 20μM group, dan Sorafenib10μM + Sorafenib10μM - Alpha Mangosteen 20μMgroup for 24 h. Cells were harvested and counted by trypan blue exclusion method. TGF-β medium concentration was evaluated by ELISA. Expression of TGF-β,TGF-βRI, SMAD3, SMAD7, E-cadherinand Vimentin measured by qRT-PCR. Alpha Mangosteen administration on HepG2 surviving Sorafenib cells reduced mean live cells. However, the expression of TGF-β, TGF-β1 active concentration, TGF-βR, SMAD3, and Vimentin were elevated. Alpha Mangosteen also decreased SMAD7 dan E-cadherin expression. Alpha Mangosteen reduced live cells but did not have effect on preventing EMT activation through TGF-β/SMAD pathways on HepG2 surviving Sorafenib cells. "
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T59190
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Paramita
"ABSTRAK
Latar Belakang: Endoksifen merupakan terapi baru pada pengobatan sel kanker payudara yang responsif terhadap endokrin. Studi terdahulu menunjukkan bahwa paparan endoksifen jangka panjang dapat menyebabkan resistensi melalui mekanisme Epithelial-Mesenchymal Transition (EMT). EMT adalah sebuah proses dimana suatu sel epithelial berubah menjadi sel mesenkimal. Proses EMT ditandai dengan adanya modulasi marker-marker epitelial seperti E-cadherin, vimentin dan TGF-β1. Berbagai penelitian telah menunjukan bahwa paparan singkat kurkumin dapat memperbaiki marker-marker EMT. Namun, kurkumin memiliki keterbatasan karena bioavailabilitasnya yang rendah. Oleh karena itu, pada penelitian ini kami menggunakan nanokurkumin untuk mencegah jalur EMT.
Metode: ini merupakan penelitian in vitro menggunakan sel MCF-7. Kami membagi sel menjadi beberapa kelompok yaitu: Endoksifen 1000 nM+β-estradiol 1 nM, Endoksifen 1000 nM+β-estradiol 1 nM + nanokurkumin (8.5 μM dan 17 μM), Endoksifen 1000 nM+β-estradiol 1 nM+kurkumin 17 μM dan DMSO selama 8 minggu. Sel kemudian dipanen dan dihitung setiap minggu. Setelah minggu ke-4 dan ke-8 paparan, ekspresi E-cadherin, TGFβ1 dan vimentin diukur menggunakan two-step qRT PCR. Pada minggu ke-8, kadar protein TGF-β1 diukur dengan ELISA, sementara morfologi sel MCF-7 diamati menggunakan mikroskop konfokal.
Hasil: Terdapat peningkatan viabilitas sel pada kelompok Endoksifen 1000 nM+β-estradiol 1 nM. Viabilitas sel menurun secara signifikan pada kelompok nanokurkumin dan kurkumin 17 μM, tetapi tidak pada kelompok nanokurkumin 8.5 μM. Analisis marker EMT pada minggu ke-8 menunjukkan terdapat peningkatan ekspresi mRNA vimentin dan TGF-β1 sementara ekspresi mRNA E-cadherin dan kadar protein TGF-β1 tampak menurun. Hasil menunjukkan bahwa pemberian nanokurkumin pada semua dosis tidak mampu memperbaiki ekspresi vimentin, TGF-β1, dan E-cadherin. Tidak tampak perbedaan yang signifikan antara nanokurkumin dan kurkumin terhadap modulasi marker-marker EMT pada sel kanker payudara yang dipaparkan endoksifen berulang. Pengamatan morfologi menggunakan mikroskop konfokal menunjukkan adanya sel mesenkimal baik pada kelompok endoksifen+β-estradiol maupun kelompok yang mendapat nanokurkumin/kurkumin.
Kesimpulan: nanokurkumin tidak mampu mencegah aktivasi EMT walaupun dapat menurunkan viabilitas sel pada penggunaan jangka panjang. Meskipun nanokurkumin lebih terakumulasi di dalam sel. tidak tampak perbedaan potensi dibandingkan dengan kurkumin dalam menurunkan marker EMT.

ABSTRACT
Background: Endoxifen is a novel therapy in the treatment of endocrine responsive type of breast cancer. Previous study showed that long-term exposure of endoxifen may lead to resistance through the mechanism of Epithelial-Mesenchymal Transition (EMT). EMT is a process where epithelial cells turn into mesenchymal cells. EMT is characterized by the modulation of epithelial markers such as E-cadherin, vimentin and TGF-β. Various studies have shown that short term treatment with curcumin may improve EMT markers. However, the efficacy of curcumin is limited by its low bioavailability. In this study, we use nanocurcumin to prevent the activation of EMT.
Methods: This is an in vitro study in MCF-7. We exposed the cells to several groups, which are: endoxifen 1000nM + β-estradiol 1 nM, endoxifen 1000nM + β-estradiol 1 nM + nanocurcumin (8.5 μM and 17 μM), endoxifen 1000nM + β-estradiol 1 nM + curcumin 17 μM and DMSO, for 8 consecutive weeks. Cells were then harvested and counted weekly. After 4 and 8 weeks of treatments, E-cadherin, TGF-β and vimentin expressions were measured using a two-step qRT PCR. At week 8, protein level of TGF-β1 was measured by ELISA, while MCF-7 cell morphology was observed using confocal microscope.
Results: MCF-7 cell viability was increased in endoxifen + β-estradiol group. Cell viability was significantly decreased in nanocurcumin and curcumin 17 μM, but not in nanocurcumin 8.5 μM group. Analysis of EMT markers at week 8 indicates that there were increase in vimentin and TGF-β mRNA expressions, while E-cadherin mRNA expressions and TGF-β1 protein concentrations were shown to decrease. The results showed that administration of nanocurcumin in all the dose administered were incapable improving the expressions of vimentin, TGF-β1 and E-cadherin. There were no significant differences between nanocurcumin and curcumin on the modulation of EMT?s markers in breast cancer cells exposed to repeated endoxifen and estradiol. Morphological observation using confocal microscope showed the presence of mesenchymal cells both in the endoxifen+β-estradiol group and the group given nanocurcumin/curcumin.
Conclusion: nanocurcumin is incapable to prevent the activation of EMT, although it may reduce cell viability on a long-term use. Although nanocurcumin are more accumulated in the cells, they show no difference in efficacy compared with curcumin in reducing EMT markers.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noza Hilbertina
"Pendahuluan: Cancer-associated fibroblasts (CAFs) merupakan populasi sel yang heterogen dan memiliki hubungan timbal balik dengan sel tumor. Bagaimana mekanisme molekuler yang mendasari pengaruh CAFs terhadap prognosis karsinoma kolorektal (KKR) masih belum diketahui. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sekretom CAFs terhadap transisi epitel-mesenkim (TEM), invasi dan kepuncaan sel KKR melalui jalur pensinyalan hepatocyte growth factor (HGF)/c-mesenchymal-transition receptor (c-Met)
Metode: Dilakukan pemeriksaan histopatologi pada tiga puluh dua blok paraffin KKR untuk menilai tipe CAFs dan stroma, imunoekspresi α-SMA dan HGF, tumor budding, kedalaman invasi dan metastasis kelenjar limfe. Pemeriksaan in vitro berupa suplementasi sekretom fibroblast primer dari area tumor (CAFs) dan area non tumor dari tiga pasien KKR kepada sel lestari KKR (HT-29) untuk menilai pengaruhnya terhadap TEM, invasi dan kepuncaan sel KKR. Analisis statistik menggunakan uji beda proporsi, uji beda rerata berpasangan serta uji korelasi. Nilai p<0,05 dianggap bermakna secara statistik.
Hasil: Tipe CAFs dan metastasis kelenjar limfe berhubungan bermakna dengan derajat tumor budding. Sedangkan variabel lain pada pemeriksaan histopatologi tidak memperlihatkan hubungan yang bermakna. CAFs yang diisolasi dari pasien KKR memperlihatkan ekspresi mRNA α-SMA yang lebih tinggi, sedangkan ekspresi mRNA dan protein HGF memperlihatkan pola yang berbeda diantara ketiga pasang fibroblast. Suplementasi sekretom CAFs kepada sel HT-29 meningkatkan ekspresi mRNA c-Met sebagai reseptor HGF, meningkatkan ekspresi mRNA dan protein vimentin dan E-cadherin sebagai marka TEM, meningkatkan ekspresi mRNA MMP-2 sebagai marka invasi dan meningkatkan ekspresi mRNA CD44 dan CD133 sebagai marka kepuncaan. Terdapat korelasi positif bermakna antara c-Met dengan TEM dan kepuncaan serta korelasi positif kuat dan bermakna antara TEM dan kepuncaan sel KKR.
Kesimpulan: Sekretom CAFs menginduksi TEM, invasi dan kepuncaan sel KKR melalui pensinyalan HGF/c-Met. Mekanisme molekuler ini mendasari hubungan yang bermakna antara tipe CAFs dengan tumor budding."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Roza Kurniati
"Latar Belakang: Keganasan merupakan salah satu penyebab terbanyak pada efusi pleura, baik sebagai tumor primer di pleura maupun merupakan metastasis dari berbagai tumor di tempat lain. Prognosis efusi pleura maligna pada umumnya buruk dengan survival rata-rata 3-12 bulan. Belum ada suatu model dalam bentuk skoring yang memprediksi mortalitas pasien efusi pleura pada keganasan di IndonesiaTujuan: Mengetahui proporsi mortalitas 90 hari pasien efusi pleura pada keganasan dan mengidentifikasi faktor-faktor yang mempengaruhi mortalitas dan membuat model skoring untuk memprediksi mortalitas 90 hari pasien efusi pleura pada keganasanMetode: Penelitian berupa kohort retrospektif, data diambil dari rekam medik Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo secara konsekutif, yaitu pasien yang secara klinis dan dari hasil pemeriksaan penunjang didiagnosis sebagai efusi pleura maligna,Variabel penelitian dikelompokkan menjadi data kategorik dan dilakukan analisis bivariat dengan chi square dan analisis multivariat menggunakan regresi logistik dengan metode backward stepwise sehingga didapatkan model akhir berupa variabel dengan nilai

Background Malignancy is one of the most common causes of pleural effusion, either as a primary tumor in the pleura or a metastasis of various tumors elsewhere. The prognosis of malignant pleural effusion is generally poor with an average survival of 3 12 months. There is not yet a model in the form of scores predicting mortality of malignant pleural effusion patients in Indonesia.Objective To know the 90 days mortality proportion, to identify factors affecting mortality and also to create a scoring prediction models of 90 days mortality in malignant pleural effusion patientsMethods The study was a retrospective cohort. Data were taken from Cipto Mangunkusumo Hospital rsquo s medical record on a consecutive basis, the diagnosis of malignant pleural effusion was made on the basis of clinical and investigation. The variables of study were grouped into categorical data. Bivariate analysis was performed using chi square and multivariate analysis was performed using logistic regression with backward stepwise method to get the final model in the form of variable with p value "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jihan Luqmannul Khakim
"Latar belakang: Pemasangan indwelling pleural catheter (IPC) untuk efusi pleura maligna untuk mengeluarkan cairan pleura, memungkinkan paru-paru mengembang dan tercapai autopleurodesis. Di masa lalu, kami mendidik pasien untuk mendrainase kateter hanya ketika mereka merasa sesak, metode di bagian kami sekarang mendrainase kateter pleura yang ada di dalam tubuh secara terus-menerus setiap hari. Studi ini membandingkan autopleurodesis dan tingkat infeksi antara kateter pleural yang didrainase harian dan berkala.
Metode: Dilakukan penelitian kohort retrospektif. Subjek dipilih secara konsekutif di mana seluruh subjek yang telah didiagnosis EPM dan terbagi menjadi dua kelompok pasien dengan drainase harian dan drainase berkala. Subjek ditindaklanjuti selama 2 bulan, hasil utama adalah autopleurodesis. Hasil sekunder adalah durasi waktu antara pemasangan kateter pleura dan autopleurodesis serta tingkat infeksi antara dua kelompok. Uji chi-square atau fisher exact digunakan untuk analisis bivariat antara dua kelompok.
Hasil: Hasil: Antara Januari 2019 - Mei 2020 ada 56 subyek kasus kateter pleura yang menetap, 31 kasus dengan drainase berkala, 25 subjek dengan drainase harian. Autopleurodesis yang dicapai pada kelompok drainase harian secara signifikan lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok drainase berkala (88% vs 22,5%, p = 0,001). Durasi waktu autopleurodesis yang dicapai secara signifikan lebih singkat pada drainase harian dibandingkan dengan drainase berkala (45 hari vs 93 hari, p = 0,000). Tak satu pun dari subyek mengalami infeksi.
Simpulan : Drainase IPC harian pada EPM lebih singkat mencapai autopleurodesis daripada drainase berkala. Kekhawatiran tingkat infeksi yang lebih tinggi dalam drainase berkelanjutan dari kateter pleura yang menetap tidak terjadi dalam penelitian ini.

Background: The indwelling pleural catheter for malignant pleural effusion drains the pleural fluid, allows the lung to expand and autopleurodesis is achieved. In the past time, we educate the patient to drain the catheter only when they feel dyspnea. The trend in our institution is now draining the indwelling pleural catheter daily drainage continuously connected to the bag. This study comparing the autopleurodesis and infection rate between the daily and intermittent drainage of indwelling pleural catheter.
Method: This was a retrospective cohort study. The subjects were selected consecutively. Two group of patients with daily drainage and intermittent drainage in the past time. Subjects were followed up for 2 months, the primary outcome is autopleurodesis. The secondary outcome was time duration between indwelling pleural catheter insertion and removal and infection rate between two groups. The chi-square or fisher exact test is used for bivariate analysis between two groups.
Results: Between January 2019 - Mei 2020 there were 56 subjects of indwelling pleural catheter cases, 31 cases with intermittent drainage, 25 subjects with daily drainage. The autopleurodesis achieved in the daily drainage group was significantly higher compared to the intermittent drainage group (88% vs 22,5%, p=0,001). Time duration of autopleurodesis achieved was significantly faster in the daily drainage compared to intermittent drainage (45 days vs 93 days, p=0,000). None of the subjects had infection.
Conclusions: Continuous drainage of the indwelling pleural catheter is better than intermittent drainage in achieving the autopleurodesis. Concern of higher infection rate in the continuous drainage of indwelling pleural catheter did not happen in the study.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patricia Budi Hartanti Liman
"

Carborxymethyl lysine dalam makanan (dCML), CML plasma (pCML), dan tumor necrosis alpha plasma (pTNF-α) mungkin dapat memengaruhi obesitas. Namun database kandungan CML makanan di Indonesia dan penelitian tentang pengaruh asupan CML terhadap obesitas pada wanita Asia belum pernah dilaporkan sebelumnya.

Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan database CML makanan Indonesia dan menilai efek mediator dCML, pCML, dan pTNF-α terhadap lingkar pinggang (WC), rasio lingkar pinggang terhadap tinggi badan (WHtR), dan indeks masa tubuh (IMT).

Penelitian potong lintang dilakukan terhadap 235 wanita sehat berusia 19-50 tahun, yang bertempat tinggal di daerah pesisir pantai dan pegunungan di Sumatra Barat dan Jawa Barat. Database CML dibuat berdasarkan estimasi dari database CML yang telah dipublikasi dan pemeriksaan secara langsung pada makanan yang diambil dari kedua provinsi tersebut, dengan menggunakan metode liquid chromatography-tandem mass spectrometry. Asupan CML, pCML, dan pTNF-α didapatkan berturut-turut dari 2x24 jam recalls, ultra-performance liquid chromatography-tandem mass spectrometry, and enzyme-linked immunosorbent assay. Perbedaan di antara kelompok dianalisis dengan menggunakan Chi-square atau t-test tidak berpasangan, efek mediator dianalisis dengan structural equation modelling, dan untuk perilaku makan dilakukan dengan wawancara mendalam dan observasi.

Terdapat 161 dari 252 jenis makanan dalam database CML yang telah diidentifikasi kandungan CMLnya secara langsung. Kelompok daging dan kacang-kacangan memiliki nilai rerata kandungan CML tertinggi pertama dan kedua. Geometric means ± SD dari dCML, pCML, dan pTNF-α berturut-turut sebesar 1.7±0.8 mgCML/hari, 22.3±7.9 ng/mL, dan 0.68 ± 0.38 IU/mL. Asupan CML berhubungan langsung dan positif terhadap pCML (β= 0.99 [95%CI: 0.53, 1.78]) demikian pula pCML terhadap pTNF-α (β= 0.12 [95%CI: 0.28, 0.49]). Plasma CML dan pTNF-α berhubungan secara langsung dan positif terhadap WC (β= 0.21 [95%CI: 0.08, 0.33] dengan β= 0.23 [95%CI: 0.11, 0.35]) dan juga terhadap WHtR (β= 0.18 [95%CI: 0.06, 0.31] dengan β= 0.23 [95%CI: 0.11, 0.35]). Pada wawancara mendalam didapatkan bahwa kelompok suku Sunda lebih banyak mengosumsi makanan yang diproses seperti ikan peda goreng, ikan asin goreng dan bakso dibandingkan kelompok suku Minangkabau.

Simpulan: Asupan CML, pCML, dan pTNF-α tampaknya lebih berperan sebagai mediator terhadap WC dan WHtR, dibandingkan terhadap BMI. Pembatasan asupan CML diperlukan untuk menurunkan risiko obesitas sentral pada populasi ini.


Carborxymethyl lysine in foods (dCML), plasma CML (pCML), and plasma tumor necrosis alpha (pTNF-α) may have an influence on obesity. However, there have been no reports on databases of CML content in Indonesian foods and on studies of the influence of CML intake on obesity in Asian women.

This study aims to develop a database of CML content in Minangkabau and Sundanese foods and to evaluate the mediator effects of dCML, pCML, and pTNF-α on waist circumference (WC), waist to height ratio (WHtR), and body mass index (BMI).

A cross-sectional study was conducted in 235 healthy women aged 19-50 years, who resided in coastal and mountainous areas of West Sumatra and West Java. The CML database was developed based on an estimate from published database and direct measurement of foods obtained from these two provinces, using liquid chromatography-tandem mass spectrometry. The dCML, pCML, and pTNF-α concentrations were obtained from 2x24 hour recalls, ultra-performance liquid chromatography-tandem mass spectrometry, and enzyme-linked immunosorbent assay, respectively. Between-group differences were analyzed by chi-square test or unpaired t-test, the mediator effects by structural equation modelling, and eating behavior by in-depth interviews and observations.

There were 161 of 252 food items of which the CML content was determined. The group of meats and the group of legumes had the highest and second highest mean CML content, respectively. The Geometric means ± SD of dCML, pCML, and pTNF-α were 1.7±0.8 mgCML/day, 22.3±7.9 ng/mL, and 0.68 ± 0.38 IU/mL, respectively. There was a direct positive association between dCML and pCML (β= 0.99 [95%CI: 0.53, 1.78]) and between pCML and pTNF-α (β= 0.12 [95%CI: 0.28, 0.49]). Plasma CML and pTNF-α were directly and positively associated with WC (β= 0.21 [95%CI: 0.08, 0.33] and β= 0.23 [95%CI: 0.11, 0.35]) and WHtR (β= 0.18 [95%CI: 0.06, 0.31] and β= 0.23 [95%CI: 0.11, 0.35]). In eating behavior, it was seen that the Sundanese women consumed more CML from processed foods such as fried fermented fish (ikan peda goreng), fried salted fish (ikan asin goreng) and meatballs (bakso) than Minangkabau women.

Conclusion: Dietary CML, pCML, and pTNF-α apparently had a greater role as mediators in the path from ethnicity to WC and WHtR, than in the path from ethnicity to BMI. Limitation of CML intake is necessary to reduce the risk of central obesity in this population

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
D-Pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Alexander Randy Angianto
"ABSTRAK
Pleural effusion is a condition when there is an accumulation of fluid in pleural space. The condition may manifest in breathing impariment by limiting lung expansion space. Pleural effusion is suffered by more than 1.5 million people per year in America. A study held ini Persahabatan Hospital between 2010-2011 found 119 cases of pleural effusion, 42,8% was malignant pleural effusion. Pleural malignancy is the most common indication for thoracocentesis, thus must be considered in massive pleural effusion (MPE). Theraphy for MPE is palliative with the goal being relief of dyspnea. Treatment option for MPA are deteminded by several factors: symptoms and performance status of the patient, the primary tumor type and its response to systematic therapy, and degree of lung re-expansion following pleural fluid removal. In this case, we will present a case of malignant pleural effusion as an illustration in searching of evidence in comparing between pleurodesis and indwelling pleural catheter in management of malignant pleural effusion. "
Jakarta: Departement of Internal Medicine. Faculty of Medicine Universitas Indonesia, 2016
616 UI-JCHEST 3:1 (2016)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>