Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133939 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Tommy Kuswara
"Latar Belakang: Kaki diabetik dapat sembuh tanpa komplikasi tetapi ada juga yang menjalani amputasi karena luka yang progresif. Luka kaki diabetik yang menjalani debridemen dapat sembuh lebih cepat. Kadar Procalsitonin (PCT), Leukosit, dan protein C-reaktif (CRP) pra dan pasca debridemen diduga bisa menjadi indikator yang baik untuk mengetahui luaran klinis pada pasien dengan kaki diabetik.
Tujuan: Untuk mengetahui hubungan kadar PCT, Leukosit dan CRP pra dan pasca debridemen dengan luaran klinis pada pasien luka kaki diabetik
Metode: Sebanyak 36 pasien yang mengunjungi institusi RSCM dari bulan September hingga bulan November 2020 dilibatkan dalam penelitian ini. Pasien dengan PAD berat, gangguan imunitas dan sepsis berat, dikeluarkan dari kelompok penelitian, dan keadaan luka diseragamkan dengan kriteria PEDIS III. Pasien dibagi ke dalam kelompok luaran baik (n=24) dan kelompok luaran buruk (n=12). Hubungan antara kadar PCT, CRP, dan jumlah Leukosit serum dengan luaran klinis dianalisis. Untuk mengontrol variabel perancu dilakukan analisis multivariat dengan uji regresi logistik.
Hasil: Secara statistik dijumpai adanya perbedaan yang bermakna pada PCT pra dan pasca debridemen serta Leukosit pasca debridemen antara pasien luka kaki diabetik luaran klinis baik dengan luaran klinis buruk (p=0,05). Luas area di bawah kurva ROC PCT pra debridemen adalah 0,842 dengan sensitivitas 75% dan spesifisitas 87.5%. Leukosit pasca debridemen menunjukkan nilai prediksi yang baik untuk luaran buruk dengan sensitivitas 41.7% dan spesifisitas 91.7%. Hasil dari analisis multivariat menggunakan analisis regresi logistik menunjukkan tidak terdapat pengaruh yang signifikan dari Leukosit pasca debridemen terhadap luaran klinis setelah mempertimbangkan anemia sebagai variabel perancu dengan nilai signifikan p adalah 0,077.
Kesimpulan: PCT pra dan pasca debridemen memiliki hubungan yang signifikan secara statistik dengan luaran klinis dan dapat digunakan sebagai prediktor luaran klinis pasien luka kaki diabetik.

Background: Diabetic foot can heal without complications, but others undergo amputation due to progressive wounds. Diabetic foot wounds that undergo debridement can heal faster. Pre and post debridement levels of procalcitonin (PCT), leukocytes, and C-reactive protein (CRP) are thought to be good indicators to determine clinical outcomes in patients with diabetic foot.
Objective: To determine the relationship between pre and post debridement PCT, leukocyte and CRP levels with clinical outcomes in diabetic foot wound patients.
Methods: A total of 36 patients who visited RSCM from September to November 2020 were included in this study. Patients with severe PAD, immunocompromise and severe sepsis, were excluded from the study group, and the wound condition was uniform with PEDIS III criteria. Patients were divided into a good outcome group (n=24) and a bad outcome group (n=12). The relationship between level of PCT, CRP, and serum leukocyte counts and clinical outcome was analyzed. To control confounding variables, multivariate analysis was performed using logistic regression test.
Results: There were significant differences in pre debridement PCT, post debridement PCT and post debridement leukocytes between diabetic foot wound patients with good clinical outcome and poor clinical outcome (p = 0.05). The area under the curve for pre debridement PCT ROC was 0.842 with 75% sensitivity and 87.5% specificity. Post debridement PCT give prediction value for bad clinical outcome with 41.7% sensitivity and 91.7% specificity. The results of multivariate analysis using logistic regression analysis showed that there was no significant effect of post debridement leukocytes on clinical outcome in diabetic foot wound patients after considering anemia as a confounding variable with a significant p-value of 0,077.
Conclusion: Pre and post debridement PCT in statistic have significant correlation for clinical outcome and can be used as a predictor of clinical outcome in diabetic foot ulcer
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chrispian Oktafbipian Mamudi
"ABSTRAK
Latar Belakang: Angka mortalitas ARDS khususnya di RSCM masih tinggi, sebesar 75,3%. Prokalsitonin dan CRP bisa dipakai sebagai prediktor mortalitas pada ARDS. Saat ini belum didapatkan penelitian yang fokus pada peran PCT dan CRP sebagai prediktor mortalitas tujuh hari pada pasien ARDS di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui peran PCT dan CRP sebagai prediktor mortalitas tujuh hari pada pasien ARDS di RSCM.
Metode: Penelitian ini menggunakan disain kohort prospektif yang dilakukan secara konsekutif pada pasien ARDS di RSCM, November 2015-Januari 2016. Saat pasien didiagnosis ARDS, dalam 6-24 jam dilakukan pemeriksaan PCT dan CRP, diobservasi selama tujuh hari, lalu dilakukan analisis statistik. Data kategorikal disajikan dalam jumlah dan persentase. Data numerik dengan sebaran tidak normal disajikan dalam bentuk median dan rentang. Variabel faktor-faktor yang memengaruhi mortalitas diuji dengan analisis bivariat (menggunakan uji Mann Whitney bila memenuhi persyaratan distribusi tidak normal). Untuk menentukan cutoff PCT dan CRP dipakai kurva ROC dengan mencari sensitivitas dan spesifisitas yang terbaik.
Hasil: Dari 66 pasien ARDS, didapatkan 40 (60,61%) meninggal dan 26 (39,39%) hidup. Uji normalitas PCT dan CRP didapatkan distribusi dari data-data tersebut tidak normal. Dengan uji Kolmogorov-Smirnov didapatkan p<0,05. Median PCT pada yang meninggal sebesar 4,18 (0,08-343,0) dibandingkan yang hidup sebesar 3,01 (0,11-252,30) p=0,390, AUC 0,563 (IK 95% 0,423-0,703). Median CRP pada yang meninggal sebesar 130,85 (9,20-627,78) dibandingkan yang hidup sebesar 111,60 (0,10-623,77) p=0,408, AUC 0,561 (IK 95% 0,415-0,706).
Simpulan: Pemeriksaan PCT dan CRP hari pertama pada penelitian ini belum dapat digunakan sebagai prediktor mortalitas tujuh hari pada pasien ARDS.
Kata kunci: ARDS, CRP, mortalitas, PCT

ABSTRACT
Background: The mortality rate of ARDS, specifically in RSCM is still high, that is of 75.3%. Procalcitonin and CRP can be used as mortality prediktor on ARDS. Until today there is no research focusing in the role of PCT and CRP as seventh day mortality predictor on ARDS patients in Indonesia.
Objectives: To identify the role of PCT and CRP as mortality predictors on seventh day of ARDS patients in RSCM.
Methods: This research used a prospective cohort design that was done consecutively on ARDS patients in RSCM during November 2015 to January 2016. When a patient was diagnosed with ARDS, within the next 6-24 hours, the PCT and CRP test were run and an observation was done for seven days, and a statistical analysis followed after. The categorical data descriptions are presented in numbers and percentage. Numerical data with abnormal distribution are presented in the forms of medians and spans. The variables of the factors that influence mortality were tested by using bivariate analysis (using Mann Whitney’s test whenever they met the conditions of abnormal distribution). To determine the PCT and CRP cutoff (values), the ROC curve is used to search for the best sensitivity and specificity.
Results: Out of the 66 patients ARDS, 40 (60.61%) died and 26 (39.39%) survived. The PCT and CRP normality tests results obtained from the distribution of those data are not normal. By using the Kolmogorov-Smirnov the value of p<0.05 was obtained. The PCT median on those who died is 4.18 (0.08-343.0) compared to those who survived that is 3.01 (0.11-252.30) p=0.390, AUC 0.563 (CI 95% 0.423-0.703). CRP median on those who died is 130.85 (9.20-627.78) compared to those who survived that is 111.60 (0.10-623.77) p=0,408, AUC 0.561 (CI 95% 0.415-0.706).
Conclusions:, The PCT and CRP tests on first day in this research are not yet available to be used as mortality predictor on seventh day of ARDS patients.
Key words : ARDS, CRP, mortality, PCT"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jimmy Candra Putra
"Latar belakang: Pada 2012, angka insiden tahuna kaki diabetes yang mengalami ulkus dan gangren diperkirakan sekitar 2%-5% dari populasi umum. Sekitar 15% pasien dengan kaki diabetes dapat mengalami amputasi pada ekstremitas bawah. Kaki diabetes adalah masalah kesehatan yang sangat sulit untuk mengalami penyembuhan. Hal ini semakin diperparah dengan kondisi infeksi yang berat dan mengganggu proses regenerasi jaringan, sehingga harus dilakukan amputasi untuk mencegah penyebaran infeksi. Infeksi yang tidak terkontrol dengan baik dapat menghambat seluruh fase penyembuhan luka.
Metode: Studi Potong Lintang, subjek penelitian adalah pasien luka kaki diabetes yang berobat ke IGD dan poliklinik RSCM selama bulan Agustus-Desember 2019. Analisis statistik dengan uji hipotesis korelatif antara perubahan nilai penanda infeksi dan perubahan luas luka. Jika sebaran data normal menggunakan uji Pearson dan jika sebaran data tidak normal menggunakan uji Spearman. Pengujian dilakukan dengan menggunakan piranti lunak SPSS version 20 for Windows.
Hasil : Selama periode Agustus 2019 sampai Desember 2019 terdapat 30 subjek yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Terdapat 14 subjek (46,77%) laki-laki dan 16 subjek (53,3%) perempuan. Dari diagnosis, terdapat 20 subjek (66,3%) ulkus pedis dan sebanyak 10 subjek (33,3%) gangren pedis. Dari penelitian ini didapatkan rata-rata dan standar deviasi dari perubahan nilai ABI 0,9080 ± 0,09998, perubahan jumlah leukosit sebesar 4899.87±4512.048, perubahan nilai LED 1.8333±1.14721, perubahan nilai CRP 2.6500±1.70228, perubahan luas luka 10.2727±6.51246, dan albumin 2.9487±.39207. Dari analisis korelatif, antara perubahan jumlah leukosit dengan perubahan luas luka (p=0,058, r=0,350), perubahan nilai LED dengan perubahan luas luka (p=0,034, r=0,388), dan perubahan nilai CRP dengan perubahan luas luka (p=0,008, r=0,477)
Kesimpulan: Terdapat hubungan yang signifikan antara perubahan nilai LED, nilai CRP dengan perubahan luas luka serta memiliki korelasi yang sedang. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara perubahan jumlah leukosit dengan perubahan luas luka serta memiliki korelasi sedang.

Background: In 2012, the annual incidence rate of diabetic foot ulcers and gangrene is estimated to be around 2% -5% of the general population. About 15% of patients with diabetic foot can have an amputation in the lower limb. Diabetic foot is a health problem that is very difficult to experience healing. This is further exacerbated by severe infection conditions and disrupt the process of tissue regeneration, so amputation must be done to prevent the spread of infection. Infection that is not well controlled can inhibit the entire phase of wound healing.
Methods: A cross-sectional study, research subjects were diabetic foot ulcers patients who went to the emergency room and the CMGH polyclinic during August-December 2019. Statistical analysis with a correlative hypothesis test between changes in infection markers and changes in wound area. If the data distribution is normal use the Pearson test and if the data distribution is not normal use the Spearman test. The test was carried out using SPSS version 20 for Windows software.
Results: During the period August 2019 to December 2019, there were 30 subjects met the inclusion and exclusion criteria. There were 14 subjects (46.77%) male and 16 subjects (53.3%) female. From the diagnosis, there were 20 subjects (66.3%) pedis ulcers and 10 subjects (33.3%) diabetic gangrene. From this study, the average and standard deviation of changes in ABI values 0.9080 ± 0.09998, changes in the number of leukocytes amounted to 4899.87 ± 4512.048, changes in ESR values 1.8333 ± 1.14721, changes in CRP values 2.6500 ± 1.70228, changes in wound area 10.2727 ± 6,51246, and albumin 2.9487 ± .39207. From the correlative analysis, between changes in leukocyte counts with changes in wound area (p = 0.058, r = 0.350), changes in ESR values with changes in wound area (p = 0.034, r = 0.388), and changes in CRP values with changes in wound area (p = 0.008, r = 0.477)
Conclusion: There is a significant relationship between changes in ESR values, CRP values with changes in wound area and have a moderate correlation. There is no significant relationship between changes in the number of leukocytes with changes in wound area and has a moderate correlation."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Robby Anggara
"Latar Belakang: Ulkus diabetik merupakan komplikasi diabetes melitus dengan morbiditas dan mortalitas yang tinggi, dengan prevalensi 6,3% populasi dunia dan angka amputasi mencapai 139,97 kasus per 100.000 orang. Pada kasus lanjut, pasien ulkus diabetik dilakukan debridemen atau bahkan amputasi yang sangat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Prediksi penyembuhan luka pasca debridemen merupakan suatu penilaian yang sangat penting untuk memberikan pelayanan terbaik bagi pasien. Namun, hingga saat ini, penelitian untuk mengetahui hubungan antara tekanan sistolik, fasisitas dan volume flow pada pasien ulkus diabetik terhadap penyembuhan luka pasca debridemen belum banyak dilakukan.

Tujuan: Mengetahui hubungan antara tekanan sistolik, fasisitas and volume flow pasien ulkus diabetik terhadap penyembuhan luka pasca debridemen.

Metode: Desain penelitian ini adalah potong lintang, dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Penelitian dilaksanakan pada bulan Agustus 2023 – Oktober 2023.

Hasil: Terdapat 40 subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Profil subjek penelitian  sebagian besar terdiri dari jenis kelamin perempuan dengan rata-rata usia 56,93 tahun. Jumlah pasien yang memiliki riwayat hipertensi adalah 21 orang (52,5%), riwayat dislipidemia adalah 10 orang (25%), dan riwayat merokok adalah 17 orang (42,5%). Analisis bivariat dengan uji Pearson mendapatkan faktor risiko yang berhubungan signifikan terhadap skor DFUAS adalah diabetes melitus (p<0,001), merokok (p<0,001), dan hipertensi (p=0,007). Terdapat hubungan korelasi yang kuat dan signifikan antara nilai ABI yang semakin kecil dengan skor DFUAS yang semakin besar (p<0,001). Selain itu, terdapat juga hubungan korelasi kuat dan signifikan antara fasisitas arteri poplitea bifasik dengan nilai DFUAS yang semakin besar (p<0,001). Sementara itu, tidak terdapat hubungan korelasi yang signifikan antara tekanan sistolik arteri poplitea, fasisitas arteri femoralis komunis, dan volume flow arteri poplitea maupun femoralis komunis terhadap skor DFUAS atau penyembuhan luka.

Kesimpulan: Pemeriksaan ABI dan fasisitas arteri poplitea dengan ultrasonografi dapat menjadi prediksi penyembuhan luka pada pasien ulkus diabetik.


Diabetic ulcer is a complication of diabetes mellitus with high morbidity and mortality, with a prevalence of 6.3% of the world population and an amputation rate of 139.97 cases per 100,000 people. In advanced cases, diabetic ulcer patients undergo debridement or even amputation which greatly affects the patient's quality of life. Prediction of wound healing after debridement is a very important assessment to provide the best service for patients. However, until now, there has not been much research to determine the relationship between systolic pressure, fascicity and volume flow in diabetic ulcer patients on post-debridement wound healing.

Objective: Knowing the relationship between systolic pressure, fascicity and volume flow of diabetic ulcer patients on wound healing after debridement.

Method: The design of this study was cross-sectional, conducted at Cipto Mangunkusumo Hospital. The study was conducted in August 2023 - October 2023.

Results: There were 40 research subjects who met the inclusion criteria. The profile of the research subjects mostly consisted of female gender with an average age of 56.93 years. The number of patients who had a history of hypertension was 21 people (52.5%), a history of dyslipidemia was 10 people (25%), and a history of smoking was 17 people (42.5%). Bivariate analysis with the Pearson test found that the risk factors significantly associated with DFUAS scores were diabetes mellitus (p<0.001), smoking (p<0.001), and hypertension (p=0.007). There was a strong and significant correlation between a smaller ABI value and a larger DFUAS score (p<0.001). In addition, there was also a strong and significant correlation between biphasic popliteal artery fascicity and greater DFUAS score (p<0.001). Meanwhile, there was no significant correlation between popliteal artery systolic pressure, common femoral artery fascicity, and popliteal or common femoral artery flow volume on DFUAS score or wound healing.

Conclusion: Ankle brachial index examination and popliteal artery fascicity with ultrasonography can be predictive of wound healing in diabetic ulcer patients."

Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ahmad Syaifudin
"Latar Belakang: Penyakit Kaki Diabetik memiliki prevalensi 6,3% populasi dunia. Angka amputasi mayor 139,97 kasus per 100.000 populasi. Penyakit arteri perifer pada kaki diabetik erat kaitannya dengan arteri femoralis ke distal yaitu arteri femoralis komunis sebagai gambaran inflow dan arteri poplitea sebagai arteri yang berhubungan langung dengan arteri infrapoplitea. Keputusan tatalaksana debridemen dan amputasi sangat penting dan berhubungan dengan biaya, morbiditas dan mortalitas yang salah satunya bisa ditentukan dengan pemeriksaan vaskular. Penelitian untuk mengetahui hubungan antara tekanan sistolik, fasisitas and volume flow pasien kaki diabetik terhadap keputusan debridemen atau amputasi belum banyak dilakukan.
Metode: Desain penelitian adalah potong lintang, dilakukan di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Penelitian dilaksanakan pada bulan Januari 2023 – April 2023.
Hasil: Total subyek 38 orang, sebanyak 19 subyek yang dilakukan debridemen, 19 subjek yang dilakukan amputasi. Terdapat hubungan yang bermakna antara gambaran fasisitas bifasik arteri poplitea dengan keputusan amputasi pasien kaki diabetik (p<0,05). Uji Chi-Square menunjukkan hasil pemeriksaan ultrasonografi bifasik memiliki faktor prediksi terhadap keputusan amputasi pada pasien kaki diabetik, didapatkan jumlah subjek yang bifasik dan dilakukan amputasi tiga kali lipat lebih tingi daripada yang dilakukan debridemen. Pada pemeriksaan tekanan sistolik arteri popliteal, fasisitas arteri femoralis komunis, volume flow arteri popliteal dan arteri femoralis komunis tidak didapatkan hubungan yang bermakna terhadap keputusan tatalaksana debridemen atau amputasi pada pasien kaki diabetik.
Kesimpulan: Pemeriksaan fasisitas ultrasonografi pada arteri popliteal dapat menjadi prediksi tindakan amputasi pada pasien kaki diabetik.

Background: Diabetic Foot Disease has a prevalence of 6.3% of the world's population. The major amputation rate is 139.97 cases per 100,000 population. Peripheral arterial disease in the diabetic foot is closely related to the distal femoral artery. Common femoral artery as an inflow feature and the popliteal artery as an artery that is directly related to the infrapopliteal artery. The decision to treat debridement and amputation is very important and is related to costs, morbidity and mortality, one of which can be determined by vascular examination. Research to determine the relationship between systolic pressure, fascisity and volume flow of diabetic foot patients on debridement or amputation decisions has not been carried out much.
Methods: The research design was cross-sectional, conducted at Cipto Mangunkusumo General Hospital. The research was conducted in January 2023 – April 2023.
Results: A total of 38 subjects, 19 subjects underwent debridement, 19 subjects underwent amputations. There was a significant relationship between the description of the popliteal artery biphasic phasicity and the decision to amputation in diabetic foot patients (p<0.05). The Chi-Square test showed that the results of biphasic ultrasound examination had a predictive factor for the decision to amputation in diabetic foot patients. It was found that the number of subjects who were biphasic and had amputation three times higher than those who underwent debridement. On examination of popliteal artery systolic pressure, common femoral artery phasicity, popliteal artery volume flow and common femoral artery found no significant relationship to the decision of debridement or amputation treatment in diabetic foot patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sari Febriana
"ABSTRAK
Latar Belakang. Kaki diabetik terinfeksi masih menjadi permasalahan serius bagi penderitanya dan kerapkali berujung pada amputasi ekstremitas bawah. Penentuan agresifitas tindakan diperlukan untuk mencegah perburukan kondisi pasien. Prokalsitonin sebagai salah satu penanda infeksi sensitif diharapkan dapat membantu untuk mendiagnosis lebih awal sehingga manajemen yang diterapkan lebih tepat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan prokalsitonin terhadap risiko terjadinya amputasi ekstremitas bawah. Metode. Dilakukan studi analitik komparatif dengan desain cross-sectional yang dilakukan di Divisi Bedah Vaskular dan Endovaskular Departemen Ilmu Bedah FKUI-RSCM periode Januari 2013-Juni 2016 pada semua pasien kaki diabetik terinfeksi yang datang ke IGD RSCM yang tidak disertai infeksi pneumonia, malaria, trauma berat, luka bakar, autoimun, dan karsinoma tiroid medula. Subjek dikelompokkan menjadi amputasi dan tidak, kemudian dilakukan analisis untuk melihat hubungan nilai prokalsitonin terhadap terjadinya amputasi ekstremitas bawah. Sumber data diambil dari rekam medik data sekunder . Dilakukan uji statistik dengan kemaknaan p ABSTRACT
Background. Diabetic foot infection remains a serious problem for the patient and often lead to lower limb amputation. Determination of aggressive action is needed to prevent the worsening of the patient 39 s condition. Procalcitonin as a sensitive marker of infection is expected to help to diagnose early so that management implemented more precise. This study aims to determine the relationship of procalcitonin on the risk of lower limb amputation. Method. Comparative analytic study with cross sectional design conducted at the Vascular and Endovascular Divison Department of Surgery Faculty of Medicine Universitas Indonesia Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2013 to June 2016 in all patients with diabetic foot infection who come to the ER RSCM without pneumonia, malaria, severe trauma, burns, autoimmune, and medullary thyroid carcinoma. Subject are grouped into amputation and not amputation, then do analysis to find correlation values of procalcitonin on the occurence of the lower limb amputation. Data are extracted from medical records secondary data and performed statistical tests with significance p "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rangga Ardianto Prasetyo
"ABSTRAK
Variabel laboratorium selain untuk mendiagnosis penyakit juga berguna sebagai penanda untuk keberhasilan terapi, kondisi pasien dan prognosis dari suatu penyakit. Dalam penelitian ini, variabel laboratorium seperti LED, CRP, LDH dan ALP digunakan sebagai referensi untuk keberhasilan kemoterapi osteosarkoma. Penelitian ini berdesain deskriptif analitik dengan metode potong lintang dan melibatkan 57 pasien osteosarkoma pada periode Januari 2015 hingga Agustus 2016 di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo. Uji statistik dilakukan menggunakan Statistic Program for Social Science SPSS berupa uji deskriptif dan komparatif variabel kategorik dan numerikal. Variabel LED, CRP, LDH dan ALP menurun setelah diberikan berbagai regimen terapi pembedahan dan kemoterapi. LDH berhubungan dengan kematian p=0.013 sedangkan ALP berhubungan dengan metastasis p=0.04 . Kesintasan kelompok kemoterapi neoadjuvan-pembedahan-adjuvan dan kelompok pembedahan-adjuvan lebih baik dibandingkan diberikan neoadjuvan saja atau pembedahan saja

ABSTRACT
Laboratory values in addition to diagnose the disease is also useful as a marker for the success of the therapy, the patient 39 s condition and prognosis of the disease. In this study, laboratory values such as ESR, CRP, LDH and ALP used as a reference for the success of chemotherapy in osteosarcoma. This is a descriptive analytical research with cross sectional design. Total of 57 osteosarcoma patients during January 2015 period up to August 2016 was collected at Cipto Mangunkusumo Hospital. Statistical analysis was done using Statistic Program for Social Science SPSS by means of description analysis and comparison tests on the categorical and numerical variables. ESR, CRP, LDH and ALP decreased after regimens of surgery and chemotherapy. LDH is associated with mortalities p 0.01 and.post adjuvant ALP was associated with metastasis p"
2016
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Rozanah
"ABSTRAK
Infeksi saluran nafas akut (ISNA), baik yang disebabkan oleh virus maupun bakteri seperti 'common cold', faringitis trakeitis, bronkitis, bronkiolitis, pneumonia dan bronkopneumonia masih merupakan masalah yang penting di berbagai negara oleh karena prevalensinya yang masih sangat tinggi.
'Committee on Child Health Services' di London tahun 1978 melaporkan bahwa 50% penyakit anak balita ialah infeksi saluran nafas dengan kematian sebanyak 2000/tahun dan 21.1% di antaranya perawatan di rumah sakit dengan kematian sekitar 34.7%. (Martin dkk.,1978).
Dalam beberapa tahun belakangan ini perhatian terhadap ISNA semakin meningkat setelah penyakit diare akut berhasil dikontrol. Walaupun sebagian besar infeksi adalah infeksi saluran nafas bagian atas (ISNA-A), namun infeksi saluran nafas bagian bawah (ISNA-B) cukup memberi masalah bagi seorang dokter (Denny dan Clyde,1988).
Di negara sedang berkembang, 20-25% kematian anak balita disebabkan oleh ISNA. Jenis ISNA yang merupakan penyebab kematian terbesar adalah pneumonia (WHO,1981) ; dan pneumonia merupakan salah satu komplikasi dari bronkitis.
Bronkitis sebenarnya telah dikenal sejak tahun 1808, pertama kali dikemukakan oleh Badham (dikutip oleh Holland, 1982) . Walaupun pengetahuan mengenai paru-paru dan penyakit saluran nafas makin meningkat, namun sampai sekarang istilah bronkitis masih sering dipergunakan terhadap semua penyakit dengan gejala batuk (Turner,1983).
Dahulu bronchitis kurang mendapat perhatian, terbukti hanya
ditemukan 3 artikel mengenai bronkitis antara tahun 1935 - 1959. Setelah diadakan simposium mengenai bronkitis oleh para ahli di
Britania Raya dan Irlandia pada tahun 1951, minat para ahli terhadap bronkitis semakin meningkat (Fletcher,1959). Bronkitis akut jarang dibicarakan secara khusus ; para ahli umumnya membicarakannya sebagai salah satu sindrom klinis ISNA bawah yang terdiri dari `croup', trakeobronkitis, bronkiolitis dan pneumonia (Landau,1979 ; Denny dan Clyde,1986).
Bronkitis akut sebenarnya adalah suatu proses inflamasi akut yang mengenai saluran nafas besar termasuk bronkus besar dan bronkus sedang dan biasanya disertai trakeitis (Edwards,1966 ; Williams dan Phelan,1975). Penyakit ini dapat timbul karena infeksi menurun dari saluran nafas atas atau infeksi primer pada percabangan trakeobronkial. Infeksi dapat disebabkan oleh virus maupun bakteri. Di negara maju hampir 90% infeksi saluran nafas atas maupun bawah disebabkan olaeh infeksi virus sedangkan di negara berkembang infeksi bakteri memegang peranan yang lebih besar (Williams dan Phelan, 1975 ; Denny dan Clyde, 1985). Di Indonesia saat ini belum pernah ada laporan mengenai faktor etiologi pada bronkitis akut ini.
"
1989
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Deryl Ivansyah
"ABSTRAK
Introduksi Spondilitis tuberculosis (TB) merupakan kasus infeksi tulang belakang tersering terutama di negara berkembang. Tiga hingga 5% kasus Spondilitis TB berkembang menjadi deformitas kifosis >60 derajat. Deformitas kifosis dapat mengakibatkan paraplegia dan gangguan fungsi lainnya, sehingga harus ditatalaksana dan dicegah dengan koreksi operatif. Studi ini bertujuan untuk mengetahui luaran klinis dan radiologis pada deformitas kifosis pasca koreksi operatif dan hubungannya dengan faktor-faktor yang memengaruhi deformitas kifosis.
Metode Penelitian ini menggunakan desain potong lintang terhadap pasien Spondilitis TB dengan deformitas kifosis yang dilakukan tindakan koreksi operatif selama tahun 2014-2018 di RSUPN Cipto Mangunkusumo. Dilakukan penilaian luaran klinis ODI (Oswestry Disability Index) dan ASIA Impairment Scale, serta penilaian radiologis berupa persentase derajat koreksi dan loss of correction. Penilaian tersebut dilakukan pada saat pra-operasi, pasca-operasi, 6 dan 12 bulan pasca operasi, serta saat kontrol terakhir.
Hasil Dari 78 pasien yang diikut sertakan dalam penelitian ini, rata-rata berusia 31,4 tahun dan mayoritas perempuan. Gejala awal tersering adalah backpain. Median jumlah keterlibatan vertebra adalah 2 dengan lokasi tersering pada level torakal. Durasi kontrol adalah 6 hingga 54 bulan. Pemilihan teknik operasi posterior lebih sering digunakan dibanding kombinasi dan tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada pemilihan teknik operasi dengan luaran klinis maupun radiologis (p>0,05). Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada perbandingan nilai klinis, dan radiologis pre dengan pasca operasi (p<0,001). Perbaikan neurologis ASIA scale tampak mulai signifikan sejak 6 bulan pasca operasi (p<0,001). Sudut kifosis awal memberikan pengaruh yang signifikan terhadap semua kategori luaran (p<0,001). Terdapat komplikasi berupa pseudoarthrosis pada 2 pasien dan defisit neurologis yang menetap pada 1 pasien.
Kesimpulan Tatalaksana operasi korektif pada pasien spondilitis TB dengan deformitas kifosis menunjukkan perbaikan luaran klinis, laboratorium dan radiologis. Sudut awal kifosis mempengaruhi luaran klinis dan radiologis.

ABSTRACT
Introduction Spondylitis tuberculosis (TB) is the most common case of spinal infection, especially in developing countries. Three to 5 % of Spondylitis TB cases will develop into more than 60o of kyphotic deformity. Kyphotic deformity can cause late paraplegia and other functional disturbances, therefore a kyphotic correction should be performed to prevent and treat the complications. The purpose of the study is to analyze the clinical and radiological outcome of kyphotic deformity in Spondylitis TB patients post kyphotic correction and to analyze the factors influencing the kyphotic deformity
Method This study used cross-sectional design on Spondylitis TB patients who underwent corrective surgery as one of the treatment during 2014-2018 at Cipto Mangunkusumo Hospital. Evaluation of delta ODI (Oswestry Disability Index) and ASIA impairment scale were used to assess the clinical outcome. For radiological outcome, we assessed the percentage of correction and loss of correction. The data was collected from the medical record and also the patient; pre-surgery, post-surgery, 6 and 12 months post-surgery, also the current condition
Result Out of the 78 patients included in this study, the average age was 31.4 years and for the majority of women. The majority of initial symptoms was complaint of backpain. The median number of vertebral involvement was 2, the majority of the location of the vertebrae involved were at the thoracic level. The choice of posterior surgery techniques is more often used than combination (posterior-anterior), however no significant differences was found when we compared the technique used with the clinical and radiological outcome (p>0,005) There were significant differences between pre and post-operative clinical and radiological value (p<0,001). Neurological improvement (ASIA scale) appears to be significant since 6 months postoperatively (p <0.001). Pre-operative kyphotic angle was found to be an influential factor in all outcome categories (p<0,001). There was pseudoarthrosis in 2 patients and refracter neurological deficit in 1 patient."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sanny Ngatidjan
"Kaki diabetik merupakan komplikasi pada diabetes melitus (DM) tipe 2 tersering yang menyebabkan pasien menjalankan perawatan di rumah sakit. Penyulit lain pada DM tipe 2 berkontribusi terhadap peningkatan morbiditas dan mortalitas pasien. Terapi medik gizi pada pasien DM tipe 2 dan kaki diabetik dengan berbagai penyulit berperan penting dalam kontrol glikemik, mencegah perburukan status gizi, serta perbaikan penyembuhan luka. Serial kasus ini melibatkan empat pasien DM tipe 2 dan kaki diabetik dengan berbagai penyulit yang diberikan terapi medik gizi berupa asupan energi, makronutrien, mikronutrien, nutrien spesifik, dan edukasi gaya hidup. Pasien dilakukan pemantauan selama 19 hari sesuai fase proliferasi penyembuhan luka. Satu pasien dengan ketoasidosis diabetikum, satu pasien dengan hipertensi, dan dua pasien dengan diabetic kidney disease. Kontrol glikemik keempat pasien tercapai pada akhir perawatan di rumah sakit dan tidak didapatkan penurunan berat badan yang bermakna selama masa pemantauan. Penyembuhan luka berupa luka mengering, edema berkurang, dan timbulnya jaringan granulasi didapatkan pada tiga diantara empat pasien. Satu pasien tidak didapatkan penyembuhan luka yang signifikan karena adanya stenosis multipel pembuluh darah arteri di tungkai kiri. Terapi medik gizi pada pasien DM tipe 2 dan kaki diabetik dengan berbagai penyulit berperan pada perbaikan kontrol glikemik, mencegah perburukan status gizi, dan penyembuhan luka.

The most common cause of complication and hospitalization in type 2 diabetes mellitus (T2DM) patients are those associated with diabetic foot (DF). Complication of T2DM contribute to increasing morbidity and mortality. Medical nutrition therapy in patients with T2DM and DF with various complication plays an important role in management of glycemic control, worsening nutritional status, and repair wound healing. This case series include four patients T2DM and DF with various complication that given nutritional medical therapy consisting of energy intake, macronutrients, micronutrients, spesific nutrient, and healthy lifestyle education. Patients was monitored for 19 days according to the proliferation phase of wound healing. One patient with diabetic ketoacidosis, one patient with hypertension, and two patients with diabetic kidney disease. All patients got glycemic control during hospitalization. No significant weight loss was observed during monitoring period. Wounds in three of the four patients appeared to heal with dry wound, reduced edema, and formation of granulation tissue. One patient found insignificant wound healing due to multiple arterial stenosis in the left leg. Medical nutrition therapy with type 2 diabetes and diabetic foot with various complications plays an important role in management of glycemic control, preventing worsening nutritional status, and repair wound healing.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>