Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 101561 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Bagus Adi Saputro
"Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman suku, budaya, dan ras. Akan tetapi, pluralitas yang ada saat ini sedang diuji dalam penyelesaian terhadap permasalahan Papua. Salah satu peristiwa yang menjadi awal perdebatan adalah hasil dari Perjanjian New York tahun 1962. Konflik Papua telah ada sejak masa transisi dari orde lama ke orde baru. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh militer dalam upayanya untuk menyelesaikan konflik Papua seringkali menjadi cara untuk meredam justru memperpanjang konflik. Sejak masa orde baru penggunaan kekuatan militer semakin meningkat dan hingga saat ini pendekatan militeristik masih gencar dilakukan. Tidak hanya berhenti di situ saja, isu lain yang menjadi persoalan di Papua adalah kemiskinan yang terjadi. Persoalan lain yang muncul adalah diskriminasi dan rasisme yang ditujukan kepada orang asli Papua. Dengan menggunakan konsep rekognisi dari Axel Honneth. Rekognisi adalah perjuangan untuk pengakuan untuk mengubah kondisi yang ada di dalam masyarakat. Penelitian ini berusaha untuk mengungkap permasalahan fundamental dan merefleksikan konflik Papua dalam pendekatan filosofis. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis konseptual, refleksi kritis, dan abduksi. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konflik Papua telah menjadi patologi sosial dan orang asli Papua itu sendiri juga harus terlibat aktif sebagai subjek yang mengemansipasi dirinya dan bukan lagi sebagai objek pembangunan semata.
Indonesia is a country that has ethnic, cultural and racial diversity. However, the current plurality is being challenged in solving the Papuan problem. One of the events that started the debate was the outcome of the 1962 New York Agreement. The Papuan conflict has existed since the transition from the old order to the new order. Violent acts carried out by the military in its efforts to resolve the Papuan discord are often a way to dampen and prolong the conflict. Since the New Order era, the use of military force has been increasing and until now, the militaristic approach is still being carried out vigorously. It doesn't just stop there, an additional issue in Papua is the problem of poverty. That results in discrimination and racism directed at indigenous Papuans. Using the concept of recognition from Axel Honneth. Recognition is struggle for changing the reality that happens in society. This study seeks to uncover fundamental problems and reflect on the Papuan conflict in a philosophical approach. The method used in this research is conceptual analysis, critical reflection, and abduction. The results of this study indicate that the Papuan conflict has become a social pathology and the indigenous Papuans themselves must also be actively involved as subjects who emancipate themselves and are no longer mere objects of development.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Adi Saputro
"Indonesia adalah negara yang memiliki keanekaragaman suku, budaya, dan ras. Akan tetapi, pluralitas yang ada saat ini sedang diuji dalam penyelesaian terhadap permasalahan Papua. Salah satu peristiwa yang menjadi awal perdebatan adalah hasil dari Perjanjian New York tahun 1962. Konflik Papua telah ada sejak masa transisi dari orde lama ke orde baru. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh militer dalam upayanya untuk menyelesaikan konflik Papua seringkali menjadi cara untuk meredam justru memperpanjang konflik. Sejak masa orde baru penggunaan kekuatan militer semakin meningkat dan hingga saat ini pendekatan militeristik masih gencar dilakukan. Tidak hanya berhenti di situ saja, isu lain yang menjadi persoalan di Papua adalah kemiskinan yang terjadi. Persoalan lain yang muncul adalah diskriminasi dan rasisme yang ditujukan kepada orang asli Papua. Dengan menggunakan konsep rekognisi dari Axel Honneth. Rekognisi adalah perjuangan untuk pengakuan untuk mengubah kondisi yang ada di dalam masyarakat. Penelitian ini berusaha untuk mengungkap permasalahan fundamental dan merefleksikan konflik Papua dalam pendekatan filosofis. Metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah analisis konseptual, refleksi kritis, dan abduksi. Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa konflik Papua telah menjadi patologi sosial dan orang asli Papua itu sendiri juga harus terlibat aktif sebagai subjek yang mengemansipasi dirinya dan bukan lagi sebagai objek pembangunan semata.

Indonesia is a country that has ethnic, cultural and racial diversity. However, the current plurality is being challenged in solving the Papuan problem. One of the events that started the debate was the outcome of the 1962 New York Agreement. The Papuan conflict has existed since the transition from the old order to the new order. Violent acts carried out by the military in its efforts to resolve the Papuan discord are often a way to dampen and prolong the conflict. Since the New Order era, the use of military force has been increasing and until now, the militaristic approach is still being carried out vigorously. It doesn't just stop there, an additional issue in Papua is the problem of poverty. That results in discrimination and racism directed at indigenous Papuans. Using the concept of recognition from Axel Honneth. Recognition is struggle for changing the reality that happens in society. This study seeks to uncover fundamental problems and reflect on the Papuan conflict in a philosophical approach. The method used in this research is conceptual analysis, critical reflection, and abduction. The results of this study indicate that the Papuan conflict has become a social pathology and the indigenous Papuans themselves must also be actively involved as subjects who emancipate themselves and are no longer mere objects of development.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Saragih, Robby
"ABSTRAK
Skripsi ini merupakan analisa filosofis terhadap teori rekognisi dalam keragaman identitas dalam kehidupan sosial masyarakat, yang mana kondisi di dalamnya terjadi diskriminasi individu atas identitas yang dimiliki sehingga menjadi individu yang tidak diakui eksistensinya. Hal ini memberikan celah untuk menganalisa ulang bagaimana seharusnya individu dengan identitasnya dapat diakui keberadaanya dengan sepenuhnya sehingga akhirnya memunculkan kondisi kesetaraan dan solidaritas sosial. Praksis dalam kehidupan sosial memunculkan distribusi sensibilitas yang mengklasifikasikan individu-individu di dalam sistem. Adanya pengklasifikasikasian dalam hal apapun selalu mengarah pada ketidaksetaraan. Ketidaksetaraan dalam kondisi keragaman identitas menurut Axel Honneth akan memunculkan peluang terjadinya konflik. Menanggapi masalah tersebut, terdapat teori rekognisi yang berpotensi memberikan jalan keluar, yaitu dengan cara pengakuan terhadap keragaman identitas inividu-individu dan kesempatan yang setara dalam kehidupan sosial. Terkait dengan permasalahan diatas, teori rekognisi juga memiliki celah dalam usaha untuk memahami keberagaman identitas dalam relasi sosial. Perbedaan tersebut berada pada level rekognisi yang terletak pada interkultural dan intersubjektivitas yang kemudian berpengaruh kepada kondisi subjek individu yang berusaha merealisasikan dirinya melalui rekognisi yang diperolehnya. Dengan usaha perumusan teori rekognisi di level intersubjektivitas dan level interkultural dapat memberikan solusi bagi permasalahan keberagaman identitas.

ABSTRACT
This thesis is a philosophical analysis of the theory of recognition in the diversity of identity in the social life of society, where the conditions in which there is individual discrimination of the identity that has become an individual who is not recognized existence. This provides a loophole to re analyze how individuals with identities should be fully acknowledged so as to ultimately bring about conditions of social equality and solidarity. Praxis in social life brings out the distribution of sensibilities that classify individuals within the system. The existence of classifiers in any case always leads to inequality. Inequality under the conditions of diversity of identity according to Axel Honneth will raise the chances of conflict. In response to the problem, there is a theory of recognition that has the potential to provide a way out, that is, by recognizing the diversity of identities of individuals and equal opportunities in social life. Associated with the above problems, recognition theory also has a gap in the effort to understand the diversity of identity in social relations. The difference is at the level of recognition that lies in intercultural and intersubjectivity which then affects the condition of the individual subject who seeks to realize himself through the acquired recognition. With the effort of formulating the theory of recognition at the level of intersubjectivity and intercultural level can provide solutions to the problem of diversity of identity."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yasintus Toin Runesi
"Tesis ini merupakan penelisikan teoritis mengenai pluralitas masyarakat semasa ini, dalam kerangka pemikiran teori kritis Axel Honneth. Berangkat dari faktisitas sosio-politik, yang ditandai dengan intensitas keragaman nilai, ideologi, gaya hidup, terjadi pula penajaman perbedaan identitas entah itu bersifat etno-kultural maupun etno-religius. Akibatnya, di satu sisi, kita menemukan dalam masyarakat adanya gejala eksklusivitas mayoritas terhadap minoritas, atau antaretnis dan antaragama akibat gesekan-gesekan sosial, dan di sisi lain, ada upaya untuk mengatasi problem semacam itu dengan mendorong inklusivitas sosial dalam masyarakat. Dengan menggunakan teori pengakuan Axel Honneth, yang dipahaminya sebagai sarana realisasi-diri individu, tesis ini menyatakan bahwa melalui pengakuan intersubjektif, terbuka kemungkinan masyarakat semasa menemukan jalan dialog bagi kebertemuan yang secara legal-normatif menjamin hidup bersama secara berdamai dan berkeadilan. Sehubung itu, dalam tesis ini, pengakuan intersubjektif disebut sebagai prinsip pro-eksistensi masyarakat plural.

This thesis is a theoretical scrutinize of the plurality of contemporary society, in the framework of critical theory of Axel Honneth. Departing from socio-political facticity, which is characterized by the intensity of the diversity of values, ideology, lifestyles, there is also sharpening difference whether it is the identity of ethno-cultural as well as ethno-religious. What emerges is, on the one hand, we find in society the symptoms of exclusivity between different societies, majority against minority, or interethnic and interreligious due to social friction, and on the other, there is an attempt to overcome such problems by encouraging social inclusiveness in agonistic society. By using the theory of Axel Honneth of intersubjective recognition, which is understood as a means of individual selfrealization, this theses states that through intersubjective recognition, opens the condition of finding the path of dialogue during the society for meeting between different socially community, which legally guarantees coexist peacefully and equitably. In this way, I call intersubjective recognition as the principle of proexistence in a plural society."
Depok: Universitas Indonesia, 2015
T43830
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Katamsi Najarudin Puarada
"Tulisan ini menjelaskan bagaimana kearifan lokal masyarakat adat Papua digunakan dalam penyelesaian konflik antar kelompok. Penulis mencoba melakukan perbandingan antara Peacemaking Criminology pada Restorative Justice dengan falsafah Satu Tungku Tiga Batu pada Dudu Tikar. Tujuan dari dilakukannya analisa tersebut adalah untuk menjelaskan kesamaan antara Peacemaking Criminology dan Satu Tungku Tiga Batu sebagai upaya penyelesaian konflik. Data yang Penulis gunakan adalah 3 (tiga) contoh kasus dari media online untuk dianalisis, yaitu konflik yang dilatarbelakangi oleh perkelahian pemuda, perzinahan yang melanggar norma adat, dan permasalahan tanah ulayat. Selanjutnya Penulis melakukan analisa terhadap mekanisme Satu Tungku Tiga Batu pada tahap penyelesaian masalah ketiga kasus tersebut dengan 6 (enam) premis teori Peacemaking Criminology. Berdasarkan hasil analisis Penulis menemukan kesamaan antara Peacemaking Criminology dengan Satu Tungku Tiga Batu. Keduanya memiliki resolusi terhadap konflik tanpa kekerasan dan mengutamakan kearifan lokal dalam meyelesaikannya. Penyelesaian yang diperoleh melalui STTB berlaku pada kasus konflik kelompok, seperti pada permasalahan tanah ulayat namun STTB tidak berlaku pada kasus konflik antar kelompok pemuda berbeda suku dan kasus perzinahan atau lebih luas kasus kesusilaan.

This paper explained about how local wisdom of the Papuan Indigenious People can be used in the settlement of group conflict through the concept comparison of Peacemaking Criminology and Restorative Justice with Satu Tungku Tiga Batu philosophy and its Dudu Tikar method. The purpose of the analysis is to explain the similarity between Peacemaking Criminology and Satu Tungku Tiga Batu as conflict resolution settlement. In the analysis, author used 3 (three) sample cases with different background problems which are group conflict among youths fight as the background, adultery case that violate customary norms, and the communal land problem. Furthermore, based on the data obtained, author conducted an analysis towards Satu Tungku Tiga Batu mechanism on the problem solving stage in those three cases with six premises of Peacemaking Criminology theory. Author found common ground between Peacemaking Criminology and Satu Tungku Tiga Batu, which are having non-violence conflict resolution and accentuate local wisdom in the conflict resolution process. Therefore, the author concluded that Satu Tungku Tiga Batu philosophy in Dudu Tikar is fit in some group conflict such as communal land but Satu Tungku Tiga Batu itself does not match for case fights among youth and case specific decency like raping and adultery."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2019
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ricko Nofriansah
"Multikulturalisme mendambakan tatanan masyarakat yang berbeda-beda identitas serta harmonis di dalam berbagai perbedaan tersebut. Akan tetapi, dalam sukacita perbedaan ini, masih terdapat konflik yang terjadi di berbagai kelompok masyarakat di dunia. Salah satu kasusnya yaitu fenomena konflik di Papua. Konflik panjang yang terjadi di Papua ini telah berlangsung sejak integrasi Papua ke dalam bagian Republik Indonesia sampai saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis secara filosofis dan memberikan pemaknaan terhadap konflik di Papua dengan menggunakan pemikiran Charles Taylor, salah satu filsuf yang memberikan banyak sumbangan pemikiran bagi multikulturalisme. Menurutnya, esensi atau inti yang paling dalam dari wacana multikulturalisme adalah perjuangan untuk mendapatkan pengakuan (rekognisi). Politik rekognisi mendorong masyarakat untuk memperjuangkan lahirnya tindakan untuk mempertahankan identitas yang unik di tengah perbedaan identitas dan budaya. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif, tinjauan kepustakaan melalui pendekatan analisis kritis. Berdasarkan tinjauan kepustakaan, disimpulkan bahwa konflik di Papua dilatarbelakangi oleh tiga diskursus, yaitu diskursus identitas, kekuasaan dan kebebasan yang berimplikasi terhadap terjadinya tindak kekerasan. Langkah dan kebijakan negara dalam penyelesaian konflik di Papua menjadi catatan penting dalam penelitian ini, utamanya agar selaras dengan semangat multikulturalisme di Indonesia.

Multiculturalism craves a different and harmonious social order within these differences. However, in the joy of this difference, there are still conflicts that occur in various groups of people in the world. One case is the phenomenon of conflict in Papua. This long conflict in Papua has been ongoing since the integration of Papua into parts of the Republic of Indonesia to the present. This study aims to analyze philosophically and give meaning to the conflict in Papua by using the ideas of Charles Taylor, one of the philosophers who made many contributions to multiculturalism. According to him, the essence or the deepest core of multiculturalism discourse is the struggle for recognition (recognition). The politics of recognition encourages people to fight for the birth of actions to maintain a unique identity amid differences in identity and culture. The research method used is a qualitative method, literature review through a critical analysis approach. Based on a literature review, it was concluded that the conflict in Papua was motivated by three discourses, namely the discourse on identity, power and freedom that had implications for violence. The steps and policies of the state in resolving conflict in Papua are important notes in this study, especially in order to be in harmony with the spirit of multiculturalism in Indonesia."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2020
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Grecia Anggelita
"Internasionalisasi konflik Papua Barat merupakan hasil dari konflik masa lalu Indonesia dan Belanda di masa kemerdekaan yang di masa sekarang justru semakin meningkat di tingkat regional dan global. Peningkatan jumlah aktor di dalam proses internasionalisasi menjadi salah satu alasan mengapa internasionalisasi konflik Papua Barat terus meningkat. TKA berusaha mengidentifikasi dan membahas aktor-aktor internasional berdasarkan literatur-literatur akademis yang membahas mengenai internasionalisasi konflik Papua Barat untuk memahami bagaimana literatur melihat aktor-aktor di dalam internasionalisasi konflik Papua Barat. Sebagian besar literatur berfokus kepada aktor negara seperti Vanuatu, Papua Nugini dan Fiji dan hanya satu aktor non-negara, yaitu OPM. Kondisi tersebut salah satunya dijelaskan di dalam TKA karena adanya pengaruh state centric view di dalam Ilmu Hubungan Internasional yang mempengaruhi cara pandang penulisan mengenai konflik Papua Barat. Selain itu, dominasi Order Baru selama lebih dari tiga dekade di Indonesia juga tampaknya menyebabkan dominasi penulis asing dan celah waktu penulisan di dalam literatur internasionalisasi konflik Papua Barat.

The internationalization of the West Papua conflict is the result of past conflicts between Indonesia and the Netherlands in the independence era, which at present is increasing at the regional and global political level. The increasing number of actors in the internationalization process is one reason why the internationalization of the West Papua conflict continues to increase. TKA seeks to identify and discuss international actors based on academic literature discussing the internationalization of the West Papua conflict to understand how the literature looks at actors in the internationalization of the West Papua conflict. Most of the literature focuses on state actors such as Vanuatu, Papua New Guinea and Fiji, and only one non-state actor, OPM. One of the conditions is explained in the TKA because of the influence of the state-centric view in International Relations that affects the perspective of writing about the West Papua conflict. Besides, the dominance of the New Order for more than three decades in Indonesia also seems to lead to the dominance of foreign writers and the time gap of writing in the literature of internationalization of the West Papua conflict.

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia , 2020
TA-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Stella Lydia Maria
"The distribution of subsidized fuel in Indonesia is still out of lane. It is manifested in the existence of groups which were targeted as subsidized fuel recipients but have not received the subsidy. This condition could be seen as what happened in Papua and Maluku. Those regions always receive the lowest quantity of subsidized fuel. The discrepantion between subsidized fuel volume in Papua and Maluku region towards another regions in Indonesia, like Java, Bali, and Sumatera island, is highly significant. The uneven distribution of subsidized fuel is problem that should be resolved, but not by distributing fuel evenly or in the same amount, but by funnelling to suit the needs in each respective regions. This research is confined to the region of Papua and Maluku. The purpose of this study is to obtain the estimation of subsidized fuel volume in Papua and Maluku region for 2015. The premium and solar volume are calculated based on the amount of vehicles used subsidized fuel data, Gross National Product data, and the number of residents data from 2010 until 2014. The amount of vehicles represents the number of subsidized fuel users. The way to estimate the subsidized volume in 2015 is through extended LEAP approach. Premium volume is calculated based on the amount of cars, motorcycles, and GNP datas. The solar volume is calculated based on the amount of cars, bus, trucks, boats, and GNP datas. The result of this study is expected to be used as a benchmark in the distribution of subsidized fuel, so that the Papua and Maluku region will receive the fuel subsidy no less nor excess the needs.

Distribusi BBM bersubsidi di Indonesia sampai saat ini masih belum merata Banyak kelompok yang menjadi sasaran penerima subsidi BBM tetapi belum dapat menikmatinya Seperti yang terjadi di wilayah Papua dan Maluku yang selalu menerima BBM bersubsidi dengan kuantitas paling kecil Diskrepansi antara volum BBM bersubsidi di wilayah Papua dan Maluku dengan wilayah lainnya di Indonesia seperti Pulau Jawa Bali dan Sumatera pun cukup signifikan Ketidakmerataan distribusi BBM bersubsidi merupakan permasalahan yang harus diatasi namun bukan dengan mendistribusikan BBM bersubsi secara merata atau dalam jumlah yang sama untuk seluruh wilayah melainkan dengan menyalurkan sesuai dengan kebutuhan di suatu wilayah dimana pada penelitian ini dikhususkan untuk wilayah Papua dan Maluku Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memperoleh perkiraan besar volum BBM bersubsidi di wilayah Papua dan Maluku pada tahun 2015 Pada penelitian ini dilakukan perhitungan volum premium dan solar berdasarkan data jumlah kendaraan yang menggunakan BBM bersubsidi PDRB mulai tahun 2010 hingga 2014 sehingga dapat diperkirakan volum BBM bersubsidi pada tahun 2015 melalui pendekatan extended LEAP Volum premium dihitung berdasarkan data jumlah mobil dan motor serta PDRB tani dan jasa Volum solar dihitung berdasarkan data jumlah mobil bus truk dan perahu serta PDRB tani dan jasa Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai patokan dalam pendistribusian BBM bersubsidi sehingga wilayah Papua dan Maluku menerima subsidi BBM tidak kurang dari kebutuhannya namun juga tidak berlebih."
Depok: Universitas Indonesia, 2014
S59251
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Winona Amabel
"ABSTRAK
Realitas dalam pemberitaan konflik Papua dengan pemerintah pusat di media arus utama
seringkali dikonstruksikan secara parsial. Menggunakan bahasa sebagai simbol representasi
dalam konstruksi realitas, media arus utama melakukan legitimasi terhadap pemerintah dan
delegitimasi terhadap Orang Asli Papua (OAP). Konstruksi ini memiliki implikasi politis, yang
mana pemerintah sebagai rezim representasi melakukan mekanisme terstruktur yaitu
pembatasan pers dan penindasan jurnalis untuk mempertahankan realitas versi rezim. Sebagai
konsekuensinya, terdapat kegagalan pemahaman orang luar Papua mengenai permasalahan
pelanggaran HAM dan ketidakadilan historis di tanah Papua.

ABSTRACT
Reality within the reporting of West Papua conflict with the central government of Indonesia
in the mainstream media is often partially constructed. Using language as a representation in
the construction, mainstream media are inclined to legitimize the government and delegitimize
the Orang Asli Papua (OAP). Said construction implicated in how the government as a
representation regime carries out a structured mechanism, namely press restrictions and
journalist oppression to maintain the regimes version of reality. As a consequence, outsiders
failed to understand the fundamental problems of human rights violations and historical
injustices in Papua."
2018
PR-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Isma Saparni
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang peran kepemimpinan Majelis Rakyat Papua MRP Provinsi Papua Barat dalam penyelesaian konflik di Papua Barat sepanjang tahun 2011 sampai 2016. Penelitian ini menggunakan metode penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pertama, MRP Papua Barat memiliki peran dalam penyelesaian konflik yang terjadi di Papua Barat diantaranya konflik hak ulayat tanah adat Marga Anny, Konflik Ibukota Kabupaten Maybrat, kasus LNG Tangguh dan kasus Genting Oil. Kedua, MRP memiliki kendala dalam penyelesaian konflik diantaranya; belum ada Perdasus mengenai dana bagi hasil pengelolaan SDA, Belum ada Perdasus mengenai jaminan iklim investasi, dan terbatasnya kewenangan Majelis Rakyat Papua.

ABSTRACT
This Thesis discuss about The Role Of Papuan People rsquo s Assembly Of West Papua Province In The Context Of Conflict Resolution In West Papua Period 2011 2016. This research using descriptive method with qualitative approach. The conclusions are. Firstly, MRP West Papua had a role to settle up the problems in West Papua including Anny rsquo s customary land, Genting Oil and many more. Secondly, MRP had an obstacles to finish the conflict, there is no Perdasus to regulate investmenst in West Papua and limitary of authority of MRP to solve the conflicts."
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>