Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 117429 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Audrey Graciela Naftali
"Media sosial telah memfasilitasi penggunanya dengan ruang untuk berkomunikasi dengan orang lain dan mengungkapkan pendapat mereka kepada publik. Dengan media sosial, cancel culture semakin marak terjadi. Pasalnya, opini dari individu mudah tersebar menggunakan fitur status di media sosial. Pemanfaatan status untuk mempengaruhi orang lain itulah yang terjadi dalam peristiwa Dewa Kipas. Status Ali yang menjadi viral mengakibatkan aksi kolektif berupa cancelling dari netizen Indonesia terhadap Levy Rozman (@GothamChess). Menariknya, fenomena ini membawa dampak yang signifikan bagi pihak-pihak yang terlibat. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi terjadinya cancel culture yang dilakukan oleh netizen Indonesia di media sosial dan menganalisis implikasi dari tindakan dominasi netizen Indonesia dalam peristiwa Dewa Kipas. Metode kualitatif dengan analisis wacana digunakan untuk mengkaji studi kasus ini. Melalui penelitian ini, ditemukan bahwa konteks budaya Indonesia yang kuat berperan besar dalam tindakan cancel culture tersebut.

Social media has facilitated its users with a space to communicate with other people and express their opinion to the masses. With social media, cancel culture is being reinforced. The reason is because opinions from individuals are being spread easily using status features on social media. The utilization of status to influence other people is what happened with Dewa Kipas incident. Ali’s status that went viral led to collective action of canceling from Indonesian netizens towards Levy Rozman (@GothamChess). Interestingly, this phenomenon brought significant impact to the parties involved. This paper aims to Investigate the occurrence of Indonesian netizens’ cancel culture on social media and analyze the implication of Indonesian netizens’ predominance action in Dewa Kipas incident. Qualitative method with discourse analysis is being used to analyse the case. Through this research, it is found that Indonesians’ strong cultural context played a big role in the canceling act.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Audrey Graciela Naftali
"Media sosial telah memfasilitasi penggunanya dengan ruang untuk berkomunikasi dengan orang lain dan mengungkapkan pendapat mereka kepada publik. Dengan media sosial, cancel culture semakin marak terjadi. Pasalnya, opini dari individu mudah tersebar menggunakan fitur status di media sosial. Pemanfaatan status untuk mempengaruhi orang lain itulah yang terjadi dalam peristiwa Dewa Kipas. Status Ali yang menjadi viral mengakibatkan aksi kolektif berupa cancelling dari netizen Indonesia terhadap Levy Rozman (@GothamChess). Menariknya, fenomena ini membawa dampak yang signifikan bagi pihak-pihak yang terlibat. Penelitian ini bertujuan untuk menginvestigasi terjadinya cancel culture yang dilakukan oleh netizen Indonesia di media sosial dan menganalisis implikasi dari tindakan dominasi netizen Indonesia dalam peristiwa Dewa Kipas. Metode kualitatif dengan analisis wacana digunakan untuk mengkaji studi kasus ini. Melalui penelitian ini, ditemukan bahwa konteks budaya Indonesia yang kuat berperan besar dalam tindakan cancel culture tersebut.
Social media has facilitated its users with a space to communicate with other people and express their opinion to the masses. With social media, cancel culture is being reinforced. The reason is because opinions from individuals are being spread easily using status features on social media. The utilization of status to influence other people is what happened with Dewa Kipas incident. Ali’s status that went viral led to collective action of canceling from Indonesian netizens towards Levy Rozman (@GothamChess). Interestingly, this phenomenon brought significant impact to the parties involved. This paper aims to Investigate the occurrence of Indonesian netizens’ cancel culture on social media and analyze the implication of Indonesian netizens’ predominance action in Dewa Kipas incident. Qualitative method with discourse analysis is being used to analyse the case. Through this research, it is found that Indonesians’ strong cultural context played a big role in the canceling act.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Naufal Arif Ramiza
"Cancel cultur merupakan fenomena sosial berupa pembatalan secara sosial seseorang akibat suatu hal dari diri orang tersebut yang dipandang ofensif oleh masyarakat. Tindakan ini umumnya dilakukan oleh masyarakat sebagai bentuk protes agar seseorang yang terkena pembatalan meminta maaf dan tidak mengulangi perbuatannya kembali. Cancel culture telah ada dalam masyarakat sejak lama, namun seiring berkembangnya teknologi, fenomena ini juga berkembang dari segi skala dan intensitas pembatalannya, juga seberapa seringnya pembatalan tersebut terjadi. Perkembangan tersebut terjadi karena teknologi internet dan media sosial yang mempermudah penyebaran informasi sehingga hal-hal kecil dapat menjadi sesuatu yang viral.Cancel culture yang semakin berkembang ini berpotensi menimbulkan suatu masalah yang besar bagi target pembatalan, seperti tercemarnya nama baik korban, kehilangan pekerjaan, dan tersebarnya data pribadi. Target pembatalan yang menderita permasalahan-permasalahan seperti itu dapat dikatakan sebagai korban cancel culture. Walaupun terdapat masalah-masalah tersebut, di dalam hukum pidana Indonesia belum ada suatu peraturan yang memberikan perlindungan hukum bagi target pembatalan. Oleh karena itu, diperlukan suatu perlindungan di bidang hukum untuk memberikan batasan dalam cancel culture dan mencegah terjadinya masalah-masalah tersebut sebelum cancel culture semakin berkembang di masyarakat. Dengan perlindungan hukum ini, hak-hak dari target pembatalan tetap terjamin oleh hukum untuk tidak dilanggar.

Cancel culture is a social phenomenon in a form of socially cancelling somebody because of something from that person that society sees as offensive. The society generally does this action as a form of protest so that the person that is getting cancelled sends an apology and will not repeat their action. Cancel culture has been in the society for a long time, but as the technology is developing, this phenomenon is also developing in terms of the scale and intensity of the cancellation, also how often the cancellation happens. That development happens because of the technology of internet and social media that ease information transmission which causes small things able to become something viral. This development of cancel culture is potential of creating big problems for cancellation targets, such as defamation, job loss, dissemination of personal data. Cancellation targets that suffer those problems can be said as cancel culture victims. Even though those problems exist, Indonesian criminal law does not have any rule that gives legal protection for cancellation targets. Therefore, legal protection is needed for giving restriction to cancel culture and preventing those problems from happening before the cancel culture develops even more in society. With this legal protection, the rights of cancellation targets are guaranteed by law to not be violated."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Nur Azzizah
"Budaya digital membuka ruang baru yang memungkinkan munculnya bentuk-bentuk partisipasi yang cenderung lebih beragam. Kebebasan dalam partisipasi digital ini tidak luput dari berbagai permasalahan, terutama ketika hal tersebut mendorong munculnya kekerasan digital. Salah satu fenomena yang tersangkut dalam problematika partisipasi digital tersebut adalah cancel culture. Studi-studi terdahulu tentang cancel culture melihat fenomena ini melalui dua sisi, yaitu kapasitas cancel culture untuk mewujudkan keadilan sosial melalui penyediaan keadilan alternatif bagi kelompok marginal, dan cancel culture sebagai fenomena yang bersifat disintegratif karena menciptakan permasalahan baru di ruang digital. Penelitian ini berargumen bahwa dualitas ini terkait dengan ambivalensi dualitas partisipasi digital yang berpontensi untuk menciptakan ruang pemberdayaan, namun pada saat yang bersamaan dapat menciptakan kekerasan berbasis digital. Penelitian ini menemukan bahwa terdapat dua bentuk cancel culture yakni reflektif dan nonreflektif. Dualitas tersebut dipengaruhi bentuk literasi digital yang dimiliki pengguna. Literasi digital berhubungan dengan bentuk tindakan dan partisipasi digital yang dilakukan pengguna. Literasi digital kritis ditandai dengan kesadaran tentang kapasitas transformasi sosial melalui ruang digital. Pengguna dengan literasi digital kritis akan melakukan cancelling yang bertujuan mengangkat suara marginal. Sebaliknya, pengguna dengan literasi digital tidak kritis akan melakukan cancelling yang justru menjurus pada kekerasan digital.

Digital culture opens up new spaces that allow the emergence of participation that tend to be more diverse. Freedom in digital participation is not problem-free, especially when it encourages digital violence. One of the phenomena involved in the digital participation problem is cancel culture. Previous studies on cancel culture view this phenomenon through two sides: the capacity of cancel culture to realize social justice through the provision of alternative justice for marginalized groups and cancel culture as a disintegrative phenomenon that creates new problems in the digital space. This study argues that this duality is related to the ambivalence of the duality of digital participation, which can create space for empowerment, but at the same time, it can create digital-based violence. This study found two forms of cancel culture, namely reflective and non-reflective. This duality is influenced by digital literacy the user has. Digital literacy is related to the forms of digital actions and participation that users take. Critical digital literacy is characterized by awareness of the capacity for social transformation through the digital space. Users with critical digital literacy will cancel in support of marginal voices. Canceling conducted by users with uncritical digital literacy will lead to digital violence."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kintara Ayudarma
"Cancel Culture atau dikenal sebagai aksi boikot merupakan fenomena memboikot seseorang akibat mengucapkan atau melakukan tindakan yang bertentangan dengan norma yang ada di masyarakat. Aksi boikot ini banyak terjadi di media sosial dan mayoritas menargetkan seorang selebriti. Fenomena Cancel Culture ramai terjadi di berbagai negara, termasuk di Tiongkok. Penelitian ini membahas tentang pemanfaatan fenomena Cancel Culture oleh pemerintah Tiongkok untuk mengendalikan industri hiburan dan dampaknya bagi perkembangan industri hiburan di Tiongkok. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian kualitatif dengan pendekatan budaya. Pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan pelanggaran yang terjadi di dalam industri hiburan Tiongkok umumnya berkaitan dengan nilai-nilai budaya dalam masyarakat Tiongkok. Pemerintah menggunakan aksi pemboikotan untuk mengatur kembali industri hiburan sekaligus mengingatkan kembali masyarakat atas nilai-nilai budaya yang dianut Tiongkok.

Cancel Culture or known as boycott action is a phenomenon of boycotting someone due to their saying or taking actions that are contrary to the norms that exist in society. These actions happen a lot on social media and the majority target is celebrities. The Cancel Culture phenomenon is happening in various countries, including China. This research article discusses the use of the Cancel Culture phenomenon by the Chinese government to control the entertainment industry and its impact on the development of the entertainment industry in China. This study article used the qualitative research method with a cultural approach. And also collected data through literature studies. The results show that infractions that occur in the Chinese entertainment industry are generally related to cultural values ​​in Chinese society. The government uses boycotts to reorganize the entertainment industry, as well as reminding back the people of China of their cultural roots. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Khalisya Zahwa Rachmadina
"Indonesia dan Belanda dikenal memiliki banyak keterkaitan karena adanya kontak secara terus-menerus pada masa lampau sehingga terdapat berbagai dampak dalam berbagai aspek. Salah satu aspek yang terdampak hingga saat ini adalah budaya, seperti pada restoran-restoran Belanda di Indonesia yang melakukan akulturasi budaya. Penelitian ini dibuat dengan tujuan untuk mengetahui upaya penyesuaian budaya dalam bentuk akulturasi apa yang telah dilakukan oleh Restoran H.E.M.A. TIS Square Tebet dan bagaimana respon dari para pengunjung terhadap akulturasi yang dilakukan. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan teori akulturasi oleh Redfield, Linton, dan Herskovits melalui pendekatan studi kasus yaitu mengumpulkan data dengan mengobservasi objek yang diteliti melalui wawancara dengan pemilik dan pengunjung restoran H.E.M.A. dan survei langsung ke restoran. Hasil dari penelitian ini yaitu Restoran H.E.M.A. TIS Square Tebet melakukan akulturasi dalam bentuk bahasa, makanan, pakaian, dan juga arsitektur bangunan sebagai upaya untuk menyesuaikan budaya Belanda di Indonesia. Upaya akulturasi budaya Belanda dan Indonesia yang dilakukan oleh Restoran H.E.M.A. ini berhasil menarik perhatian para pengunjung karena dapat menambah pengetahuan budaya Belanda dan Indonesia.

Indonesia and the Netherlands are known to have many connections because there was continuous contact in the past so that there were various impacts in various aspects. One aspect that has been affected to this day is culture, as in Dutch restaurants in Indonesia which carry out cultural acculturation. This research was made with the aim of knowing what cultural adjustment efforts in the form of acculturation have been carried out by the H.E.M.A. Restaurant. TIS Square Tebet and how the response from visitors to the acculturation carried out. This study uses a qualitative method with the theory of acculturation by Redfield, Linton, and Herskovits through a case study approach, namely collecting data by observing the object under study through interviews with H.E.M.A. restaurant owners and visitors. then survey directly to the restaurant. The results of this study are the H.E.M.A. Restaurant. TIS Square Tebet acculturates in the form of language, food, clothing, and also building architecture as an effort to adapt Dutch culture in Indonesia. Efforts to acculturate Dutch and Indonesian culture carried out by the H.E.M.A. Restaurant This succeeded in attracting the attention of the visitors because it could increase knowledge of Dutch and Indonesian culture."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Ajanti Trijanuary
"Tren cancel culture saat ini telah menjadi topik yang mengundang banyak perdebatan di media sosial. Yang dimaksud dari tren cancel culture adalah sebuah konsep bahwa seorang individu atau kelompok dapat “dibatalkan” atau “disingkirkan” akibat memiliki perilaku bermasalah yang tidak dapat diterima oleh publik (Mayasari, 2022). Pada topik penelitian ini, penulis mengakarkan permasalahan pada pertanyaan mengapa dominasi pandangan subjektif dapat mengindikasikan bahwa tren cancel culture termasuk ke dalam satu bentuk baru dari budaya perundungan. Subjektivitas pada tren cancel culture ini nyatanya berperan besar pada asumsi bahwa cancel culture merupakan satu bentuk baru dari budaya perundungan. Hal tersebut menyatakan bahwa dominasi pandangan subjektif individu tidak seharusnya menjadi upaya untuk menghasilkan output yang objektif sebab dapat mengesampingkan aspek logis dalam menilai individu lain dan mengindikasikan hadirnya hasrat kebencian di dalam pandangan subjektif tersebut. Banyak dijumpai masyarakat yang didapati memiliki intensi kebencian (dalam konteks rasial ataupun non-rasial) kepada korban dari tren cancel culture dan hal tersebut dianggap inheren dengan budaya perundungan. Seperti pada beberapa kasus cancel culture yang diterapkan kepada beberapa tokoh publik seperti Gofar Hilman, Kim Seon Ho, dan Johnny Depp yang sama-sama memiliki pola kejadian serupa. Maka dari itu, penelitian ini berupaya untuk melahirkan kesadaran akan dominasi keberadaan subjektivitas yang nyatanya menghasilkan kepercayaan objektif yang buruk dengan hadirnya tren cancel culture sebagai sebuah bentuk budaya perundungan yang baru. Penulis menjadikan teori ketidakadilan epistemik atau epistemic injustice yang digagas oleh Miranda Fricker (1966), seorang filsuf Inggris, yang menegaskan pemikirannya pada ketidakadilan epistemik yang bersumber dari konsep ketidakadilan yang dilakukan agen penahu terhadap seseorang. Dominasi subjektivitas yang terdapat pada tren cancel culture ini membawa penulis pada analisis mengenai adanya ketidakadilan epistemik yang terdapat dalam subjektivitas tersebut.

The current cancel culture trend has become a topic that invites a lot of debate on social media. What is meant by the cancel culture trend is a concept that an individual or group can be “canceled” or “removed” due to having problematic behavior that is unacceptable to the public (Mayasari, 2022). On this research topic, the authors root the problem on the question why the dominance of subjective views can indicate that the cancel culture trend is included in a new form of bullying culture. The subjectivity of the cancel culture trend actually plays a major role in the assumption that cancel culture is a new form of bullying culture. This states that the domination of individual subjective views should not be an effort to produce objective outputs because it can override the logical aspect of judging other individuals and indicates the presence of a desire for hatred in that subjective view. There are many people who are found to have hateful intentions (in a racial or non-racial context) towards victims of the cancel culture trend and this is considered to be inherent in a culture of bullying. As in several cases of cancel culture which was applied to several public figures such as Gofar Hilman, Kim Seon Ho, and Johnny Depp who both had a similar pattern of incidents. Therefore, this research seeks to raise awareness of the domination of subjectivity which in fact produces bad objective beliefs with the presence of the cancel culture trend as a new cultural form of bullying. The author makes the theory of epistemic injustice initiated by Miranda Fricker (1966), a British philosopher, who emphasizes her thoughts on epistemic injustice originating from the concept of injustice perpetrated by a knowledge agent against someone. The dominance of subjectivity in the cancel culture trend brings the author to an analysis of the existence of epistemic injustice in that subjectivity."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Arintia Diah Martiana
"Beberapa penelitian mengenai budaya fan menunjukkan bahwa demokratisasi kebudayaan tengah terjadi. Demokratisasi kebudayaan adalah proses transformasi perilaku konsumen, keberkuasaan konsumen atas media, juga hubungan hirarkis antara produsen dan konsumen. Selama proses transformasi ini berlangsung, produsen dan konsumen memiliki kekuasaan yang semakin setara terhadap media melalui budaya partisipasi. Fenomena ini juga terpantau pada masyarakat Jepang bilamana hubungan dialogis antara produsen dan konsumen ini mulai terjadi pada beberapa fandom di Jepang. Dengan menggunakan metode projected interactivity, penelitian ini berupaya mendefinisikan hubungan antara produsen dan fan dalam fandom grup musik Jepang, Sound Horizon, sebagai salah satu fandom yang menunjukkan gejala demokratisasi kebudayaan.

Some studies on fan culture indicated that the democratization of culture is taking place. Democratization of culture is a transformation in consumer rsquo s behavior, consumer rsquo s authority upon media, and the hierarchical relationship between producer and consumer of media. During this transformation, producer and consumer are approaching an equal standing in front of media through the participatory culture. This phenomenon is also taking place in Japanese society, where the dialogical producer fan relationship is observable in some Japanese fandoms. By employing the projected interactivity methodology, this research leads to a greater understanding of producer fan relationship within a fandom for the Japanese musical band, Sound Horizon, as one of the Japanese fandoms which show the signs of democratization of culture.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2016
S66027
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldo Ramadhan Adiputra
"Budaya adalah alat penting yang menetapkan asumsi dasar yang beredar di dalam suatu organisasi. Makalah ini mengevaluasi budaya organisasi empat perusahaan E-commerce Indonesia dengan menggunakan Denison Organizational Culture Survey model. Model tersebut mencakup empat indikator: Keterlibatan, konsistensi, kemampuan beradaptasi, dan misi. Pengukuran budaya merupakan kegiatan penting untuk menemukan perbedaan nilai ideal vs nilai yang terimplementasi. Penelitian ini melibatkan 370 responden dari berbagai latar belakang departemen, masa kerja, dan usia untuk memastikan keterwakilan di seluruh perusahaan. Hasil menunjukkan keseimbangan yang baik dari semua indikator di keempat perusahaan. Hasil juga menunjukkan bahwa perusahaan e-commerce global cenderung lebih adaptif dibandingkan dengan lokal. Wawasan tersebut digunakan untuk menunjukkan perbandingan hasil survei antara keempat perusahaan dan selanjutnya menemukan implikasi manajerial di baliknya.

Culture is an important tool that sets circulating basic assumption inside an organization. This paper evaluates organizatinal culture of four Indonesian E-commerce companies using the Denison Organizational Culture Survey Model. The model includes four indicators: Involvement, consistency, adaptability, and mission. Cultural measurement is an important activity to find differences in ideal vs realized values. This resaerch includes 370 respondents from various background of departments, working period, and age to ensure representativeness across the company. The result shows a good balance of all indicators in all four companies. Results also shows that global e-commerce companies tend to be more adaptive compared to local. The insights are used to show comparison of the survey result between all four companies and further find managerial implications behind it."
Depok: Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>