Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 96969 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aryo Pradhana Putrasatriyo
"Pandemi Covid-19 membawa tantangan terhadap bagaimana pandanangan hukum internasional menanggapi penyebaran penyakit menular melalui penerbangan internasional. Dalam menanggapi penyeabran penyakit menular, negara-negara memberlakukan serangkaian kebijakan untuk mencegah penyebaran penyakit tersebut, termasuk dalam menanggapi Covid-19. Salah satu kebijakan yang dilakukan adalah pembatasan penerbangan sipil internasional. Fenomena tersebut perlu dilihat baik dari sudut pandang hukum udara internasional melalui Konvensi Chicago 1944 maupun dari sudut pandang hukum kesehatan internasional melalui International Health Regulations 2005. Oleh sebab itu, penelitian ini menganalisis bagaimana ketentuan hukum internasional pada pencegahan penyakit menular melalui penerbangan internasional, praktik-praktik terdahulu terkait dengan pembatasan penerbangan internasional untuk mencegah penyebaran penyakit menular, dan pandangan hukum internasional terhadap penanganan Covid-19 dalam konteks lalu lintas dan penerbangan internasional. Dalam menganalisis permasalahan tersebut, peneltian ini menggunakan metode deskriptif untuk menjelaskan peran dari aturan-aturan yang ada dan praktik terdahulu terkait dengan pembatasan penerbangan internasional dalam mencegah penyakit menular. Penelitian ini menggunakan referensi baik dari Konvensi Chicago 1944, International Health Regulations 2005, maupun panduan serta pendoman dari organisasi internasional terkait. Hasil yang ditemukan dalam penelitian ini adalah bahwa sebagian besar kebijakan yang diambil oleh negara-negara telah merefleksikan ketentuan dalam Konvensi Chicago 1944 maupun International Health Regulations 2005. Walaupun demikian, beberapa kebijakan seperti pembatasan penerbangan dari negara-negara tertentu, perlu dilihat kembali agar dapat merefleksikan isi dari Konvensi Chicago 1944 maupun Internaitonal Health Regulations 2005.

Covid-19 pandemic has brought challenges towards how international law views and responds towards the spread of communicable disease through international flight. In responding towards the spread of communicable disease, states imposed a series of policies to prevent the spread of such disease, including Covid-19. One of those policies is through flight restrictions. This phenomenon needs to be viewed from the perspective of international air law through Chicago Convention 1944 and from the perspective of International Health Regulations 2005. Therefore, this research analyze how international law regulates the prevention of the spread of communicable disease, previous policies regarding flight restrictions to prevent the spread of communicable disease, and how international law views the response towards Covid-19 from the context of international flight and traffic. This research uses refferences Chicago Convention 1944, International Health Regulations 2005, and subsequent documents from related inernational organizations. This research finds that most of the policy that states implemented has reflected the regulation under Chicago Convention 1944 and International Health Regulations 2005. Although most of the policies has been reflected, several policies that states implemented, such as travel restrictions from specified countries, needs to be reviewed in order to truly reflect both the Chicago Convention 1944 and International Health Regulations 2005."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Citra Yuda Nur F.
"Skripsi ini membahas pengaturan mengenai penumpang indisipliner di dalam tiga instrumen hukum internasional, yaitu Konvensi Tokyo 1963, Annex 17 Konvensi Chicago 1944, dan peraturan yang dikeluarkan oleh ICAO, ICAO Guidance Material on the Legal Aspects of Unruly/Disruptive Passengers, serta penerapannya di dalam praktik legislasi nasional negara Amerika Serikat, Inggris, dan Indonesia dengan mengambil beberapa studi kasus. Melalui perbandingan penerapan hukum terhadap beberapa studi kasus penumpang indisipliner di ketiga negara tersebut, diharapkan dapat ditemukan praktik terbaik (best practices) dalam hal penanganan penumpang indisipliner dalam penerbangan sipil internasional. Penelitian dalam skripsi ini dilaksanakan dalam bentuk penelitian hukum yuridis-normatif. Hasil penelitian menyarankan agar otoritas penyelenggara penerbangan sipil, dalam hal ini Direktorat Jenderal Kementerian Perhubungan Republik Indonesia dapat menyusun suatu prosedur khusus untuk menangani penumpang indisipliner dalam dunia penerbangan sipil di Indonesia.

This thesis discusses the regulation on unruly/disruptive passengers in three instruments of international law, namely the Tokyo Convention 1963, Annex 17 of the Chicago Convention of 1944, and the regulations issued by ICAO, ICAO Guidance Material on the Legal Aspects of Unruly/Disruptive Passengers, as well as its application in national legislation practices in three countries, United States, United Kingdom, and Indonesia, by comparing several case studies. Through the comparison of the application of the law to the unruly/disruptive passengers based on the case studies in those three countries, it’s expected to find best practices in terms of handling the unruly/disruptive passengers in the international civil aviation. This thesis research method is conducted in the form of juridicalnormative legal research. The result of this thesis suggests the Indonesia national civil aviation authority, in this case the Directorate General of Civil Aviation of the Ministry of Transport of the Republic of Indonesia, establish a special procedure in terms of handling the unruly/disruptive passengers in Indonesia."
Universitas Indonesia, 2014
S53668
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gadis Azkarilla
"Codeshare agreement merupakan kontrak transportasi udara dimana suatu pengangkut memberikan izin kepada pengangkut kedua untuk menggunakan kode penanda penerbangannya dalam sebuah penerbangan, atau dimana dua pengangkut berbagi kode penanda penerbangan dalam suatu penerbangan. Dengan demikian, penumpang diangkut oleh perusahaan penerbangan yang bukan merupakan pihak yang diidentifikasikan dalam tiket penerbangan. Codeshare agreement melibatkan contracting carrier dan actual carrier yang dapat berbeda status personalnya, sehingga menimbulkan permasalahan di bidang Hukum Perdata Internasional. Praktik codesharing memungkinkan pengalihan tanggung jawab dari contracting carrier kepada actual carrier yang berpengaruh terhadap konsep dan sistem tanggung jawab pihak actual carrier dan pihak contracting carrier yang berlaku terhadap penumpang.

Codeshare agreement is an air transportation contract, by which one carrier permits a second carrier to use its airline designator code on a flight, or by which two carriers share the same airline code on a flight. Passengers actually fly on an airline other than the one identified on the ticket. The contracting carrier and the actual carrier might have different nationalities, which cause Private International Law issues. In the operation of codesharing, there might be a transfer of liability from the contracting carrier to the actual carrier, which give an impact regarding the concept and system of liability which will be applied towards passengers."
2014
S55546
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shanna Priangka Ramadhanti
"Pada zaman sekarang, teknologi terus berkembang agar dapat membantu manusia melakukan kegiatannya sehari-hari. Dengan adanya tekonologi yang dapat membuat informasi menjadi digital, terbuka serta meluas maka masyarakat semakin bergantung pada jaringan dan tekonologi informasi. Tidak hanya pada masyarakat, teknologi informasi sangat diperdaya oleh pemerintahan untuk dapat membangun negaranya. Suatu negara dapat menggunakannya untuk kegiatan militer dan bahkan melakukan aktivitas-aktivitas dengan menggunakan cyber. Suatu cyber operation dapat membantu militer, namun tidak dapat dipungkiri bahwa hal ini dapat mempengaruhi keamanan negara. Terdapat kasus-kasus dimana negara menuduh negara lain untuk melakukan cyber operation terhadap negaranya dan telah terbukti memberikan dampak-dampak terhadap infrastruktur negara. Cyber operation dan aktivitas cyber merupakan hal yang baru dan belum terdapat pengaturan khusus yang mengaturnya. Dengan demikian, skripsi ini melihat bagaimana penerapan hukum internasional ( khususnya dari segi jus ad bellum) yang ada pada perkembangan cyber, khususnya terhadap cyber operation. Skripsi ini akan menganalisa tiga kasus yakni kasus pada Estonia (2007), Iran (2010) dan Ukraina (2015).

In the current era, technology continues to evolve and develop in order to help humans perform its daily activities. With the technology and digital information, it has made the public?s reliability towards them for its lives. Not only the people, information technology is being deceived by the government to be able to build and develop the country. A country can use them for military activities and even perform various activities using cyber. A military cyber operation can be a positive thing, however, it be denied that this could affect the security of the state. There have been cases where a state has been accused by other countries to conduct cyber operations against its country and has likely provide the effects on the country's infrastructure. Cyber operations and cyber activity is new and there are no specific law which govern them. Thus, this thesis seek to see how the current international law (from the perspective of jus ad bellum) applies towards the development of cyber particularly against cyber operation. This thesis will analyze three cases of the case in Estonia (2007), Iran (2010) and Ukraine (2015)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
S65488
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Salwa Safira
"Dalam upaya menjaga lingkungan, Uni Eropa memberlakukan peraturan Renewable Energy Directive 2018/2001 (RED II). Gagasan perubahan penggunaan lahan tidak langsung (ILUC), yang membatasi perdagangan minyak sawit mentah (CPO) sementara barang domestik setara lainnya bebas dari pengurangan tersebut, akan menjadi area utama di mana penulis menilai bagaimana RED II diskriminatif terhadap perdagangan Indonesia. dari CPO. Indonesia meminta WTO untuk menyelidiki apakah RED II sesuai dengan komitmen internasional yang digariskan dalam WTO setelah kebijakan ini diumumkan. Penulis akan mengkaji non-diskriminasi berdasarkan hukum WTO, terutama berdasarkan persyaratan Pasal 2.1, 2.2 Technical Barriers to Trade (TBT) serta Pasal I:1 dan III:4 General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994 bersama dengan kasus hukum WTO terkait. Dengan menggunakan data sekunder dan sumber pustaka, dalam penelitian ini digunakan teknik yuridis-normatif. Kesimpulan dari analisis ini menunjukkan bahwa RED II melanggar kewajiban non-diskriminasi berdasarkan GATT dan TBT karena memperlakukan item yang sebanding secara berbeda, yang menghasilkan perlakuan yang kurang menguntungkan dan kemungkinan persaingan yang tidak merata untuk CPO.

In an effort to safeguard the environment, the European Union enacted the Renewable Energy Directive 2018/2001 (RED II) regulation. The idea of indirect land use change (ILUC), which restricts trade toward crude palm oil (CPO) while other domestically equivalent goods are free from such reduction, will be the main area in which the authors assess how RED II is discriminatory toward Indonesian trade of CPO. Indonesia asked the WTO to investigate whether RED II complies with the international commitments outlined in the WTO after this policy was announced. The author will examine non-discrimination under WTO law, especially based on the requirements of Articles 2.1, 2.2, of the Technical Barriers to Trade as well as Articles I: 1 and III:4 of the General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) 1994, along with pertinent WTO case law. Using secondary data and library resources, the juridical-normative technique is being used for this research. The conclusion of this analysis demonstrates that RED II does break the non-discrimination duties based on GATT and TBT since it treats comparable items differently, which results in less favorable treatment and uneven possibilities for competition for CPO."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aisyah Sharifa
"

Pandemi Covid-19 telah membuat Indonesia berada dalam keadaan darurat karena krisis ekonomi dan kesehatan. Perubahan anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) pun dijadikan salah satu cara untuk mengatasi permasalahan keadaan darurat covid-19. Pemerintah kemudian menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 (yang sudah disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020) untuk mengatasi keadaan darurat tersebut. Penelitian ini merupakan penelitian yuridis-normatif dengan metode analisis kualitatif. Rumusan masalah penelitian ini mengenai alasan perubahan APBN dengan mekanisme di dalam Perppu 1/2020 dan mekanisme perubahan APBN yang diatur di dalam UU 2/2020. Simpulan dari penelitian ini adalah tidak adanya kapasitas yang memadai dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk melakukan perubahan APBN dengan cepat dan tanggap seperti yang dilakukan Parlemen negara lain, selain itu, memang terdapat hukum yang tidak memadai di dalam sistem hukum APBN Indonesia sehingga memerlukan Perppu untuk mengubah hukum yang sudah ada. Mekanisme perubahan APBN dengan Peraturan Presiden pun sudah tepat dilakukan di masa darurat tanpa menghilangkan hak budget DPR. Saran dari penelitian ini adalah agar Pemerintah dan DPR menyusun Undang-Undang Keuangan Negara Darurat yang mengatur fleksibilitas dari perubahan APBN, jangka waktu perubahan kebijakan dan mekanisme untuk kembali ke kondisi normal.

 


The Covid-19 pandemic has put Indonesia in a state of emergency due to the economic and health crisis. Changes in the state budget were also used as one way to overcome the problem of the Covid-19 emergency. The government then issued Emergency Decree (ED) Number 1 of 2020 (which was ratified as Law Number 2 of 2020) to overcome this emergency. This research is a juridical-normative research with a qualitative analysis method. The formulation of problems related to the reasons for the revision of the state budget with the mechanisms in ED 1/2020 and the state budget amendment mechanism regulated in Law 2/2020. The conclusion of this research is that there is no sufficient capacity of the parliament to make changes to the state budget quickly and responsively as has been done by Parliaments of other countries, besides that, there is indeed an inadequate law in the legal system of the Indonesian State Budget so that it requires ED to change existing laws. The mechanism for revising the state budget by Presidential Regulation is already appropriate in an emergency without eliminating the parliament's budgetary rights. The suggestion from this research is that the Government and the Parliament should draft an Emergency State Finance Law which regulates the flexibility of state budget changes, the time frame for policy changes and the mechanism for returning to normal conditions.

"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naadiyah Fauziyyah
"ABSTRAK
Pandemi Coronavirus Disease 2019 menjadi catatan kelam bagi dunia termasuk Indonesia. Berbagai protokol kesehatan telah diputuskan oleh pemerintah untuk menanggulangi pandemi ini. Namun hingga saat ini masih banyaknya pelanggaran yang terjadi. Kurangnya pengetahuan seseorang menjadi salah satu penyebab rendahnya penerapan perilaku pencegahan COVID-19. Media audiovisual menjadi rekomendasi media yang dapat digunakan dalam menjalani pendidikan kesehatan mengenai COVID-19. Intervensi asuhan keperawatan keluarga dilakukan selama tiga minggu menggunakan media audiovisual dalam pendidikan kesehatan yang menjadi intervensi unggulan dalam meningkatkan pengetahuan serta perilaku kontrol infeksi COVID-19. Hasil intervensi didapati peningkatan pengetahuan serta perilaku klien dalam melaksanakan kontrol infeksi COVID-19 di kehidupan sehari-hari.

ABSTRACT
Coronavirus Disease 2019 pandemic is a dark record for the world including Indonesia. Various health protocols have been decided by the government to tackle this pandemic. But until now there are still many violations that occur. Lack of knowledge of a person is one of the causes of the low application of COVID-19 prevention behavior. Audiovisual media is a media recommendation that can be used in undergoing health education regarding COVID-19. Family health care nursing interventions carried out for three weeks using audiovisual media in health education which became the leading intervention in increasing knowledge and behavior of COVID-19 infection control. The results of the intervention found an increase in client knowledge and behavior in carrying out control of COVID-19 infection in daily life.

"
2020
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rini Wulandari
"Bantuan Operasional Sekolah (BOS) berperan sangat penting dalam penyelenggaraan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar di masa pandemik Covid-19. Kebutuhan di masa pandemik yang belum diakomodir dalam peraturan sebelumnya memaksa Pemerintah untuk melakukan perubahan sehingga BOS dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan sekolah di masa pandemik. Namun perubahan pada komponen pendanaan BOS disingkapi berbeda dikarenakan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Dalam upaya menyusun penelitian ini, jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan, pendekatan konseptual, pendekatan historis, dan pendekatan perbandingan. Pada akhirnya diketahui bahwa pendanaan BOS dari Kementerian Keuangan ada yang dilakukan secara sentralisasi oleh Kementerian Agama dan desentralisasi melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dengan melibatkan Kementerian Dalam Negeri. Dalam sistem desentralisasi dimana Pemerintah Daerah bukanlah organ dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, terjadi permasalahan diantaranya keraguan melaksanakan BOS yang disesuaikan dengan kebutuhan di masa pandemik, sehingga pelaksanaan BOS di masa pandemik Covid-19 di tingkat daerah sempat terkendala. Selain itu perubahan penganggaran akibat perubahan BOS yang disesuaikan dengan kebutuhan di masa pandemik juga mengakibatkan perubahan pada anggaran daerah yang telah ditetapkan di tahun sebelumnya. Agar dapat melaksanakan BOS yang telah disesuaikan dengan kebutuhan di masa pandemik Covid-19 maka pemerintah daerah berinisiatif dengan tindakan diskresi dan melakukan perubahan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).

School Operational Assistance (BOS) has a very important role in the implementation of education, notably during the Covid-19 pandemic. The needs during the pandemic that had not been accommodated in the previous regulations, forced the Government to amendments so could also be used to meet the needs of schools during the pandemic. However, amendments are interpreted differently due to the Regional Government’s constitution. Therefore, to compile this research, used normative legal research using statutory, conceptual, historical, and comparative approach. BOS funding from the Ministry of Finance was carried out centrally by the Ministry of Religious Affairs and decentralized through the Ministry of Education and Culture with the involvement of the Ministry of Home Affairs. In a decentralized system where the Regional Government is not an organ of the Ministry of Education and Culture, there are issues including doubts about implementing BOS which has been adjusted to the needs during the pandemic, so the implementation of BOS during the Covid-19 pandemic at the regional level was hampered. In addition, changes in budgeting due to changes in BOS also resulted in changes to the regional budgets that have actually been set in the previous year. In order to implement BOS that has been adapted to the needs of Covid-19 pandemic, the regional government has taken the initiative to take discretionary actions and make changes to the regional revenue and expenditure budget (APBD)."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Khairunnisa Imaduddin
"Latar Belakang : Coronavirus disease 2019 (COVID-19) menjadi pandemi pada Maret 2020. Luaran penyakit ini sangat bervariasi, hingga mengakibatkan kematian. Mortalitas COVID-19 dipengaruhi oleh banyak faktor. Pemeriksaan radiografi merupakan salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada COVID-19 untuk skrining, diagnosis, menentukan derajat keparahan penyakit dan memantau respons pengobatan. Foto toraks merupakan modalitas yang banyak tersedia di berbagai fasilitas layanan kesehatan, murah, mudah, dan dapat dilakukan di tempat tidur pasien. Skor Brixia merupakan salah satu sistem penilaian derajat keparahan foto toraks yang mudah dan cepat.
Metode : Desain penelitian ini adalah kohort retrospektif menggunakan data rekam medik awat inap RSUP Persahabatan yang dipilih secara acak sistematis. Subjek penelitian adalah pasien COVID-19 yang dirawat pada Maret hingga Agustus 2020. Subjek penelitian dipilih sesuai kriteria inklusi dan eksklusi.
Hasil : Pada penelitian ini didapatkan total 313 subjek dengan pasien yang memiliki luaran meninggal sebanyak 65 subjek dan yang hidup sebanyak 248 subjek. Nilai tengah skor Brixia 8 dengan nilai paling rendah 0 dan paling tinggi 18. Jenis kelamin terbanyak adalah laki-laki sebanyak 185 subjek (59,1%). Sebanyak 79 subjek (25,2%) merupakan pasien berusia lanjut (> 60 tahun). Status gizi subjek terdiri atas gizi cukup (53,7%), gizi lebih (42,5%), dan gizi kurang (3,8%). Pasien yang memiliki komorbid sebanyak 143 subjek (45,7%) dengan jenis komorbid terbanyak adalah hipertensi dan diabetes melitus. Pada titik potong 7,5, skor Brixia memiliki nilai sensitivitas 61,5% dan spesifisitas 50%. Terdapat hubungan bermakna skor Brixia dengan status gizi (p < 0,001) dan ada tidaknya komorbid (p 0,002). Tidak terdapat hubungan bermakna antara usia (p 0,420), jumlah komorbid (p 0,223) dan mortalitas (p 0,121) dengan skor Brixia. Skor Brixia 16-18 memiliki risiko mortalitas 3,29 kali lebih besar daripada skor Brixia 0-6.

Background : Coronavirus disease 2019 (COVID-19) became a pandemic in March 2020. The outcome of this disease varies widely, including death. There are many risk fators for mortality in COVID-19. Imaging is one of the supporting examinations that can be performed on COVID-19 for screening, diagnosis, determining the severity of the disease and monitoring response to treatment. Chest X-ray is a modality that is widely available in various health care facilities, is cheap, easy, and can be done bedside patient. The Brixia score is an easy and fast chest radiograph severity rating system.
Methods : The design of this study was a retrospective cohort using medical records of inpatients at Persahabatan General Hospital which were selected systematically random sampling. The research subjects were COVID-19 patients who hospitalized from March to August 2020. The study subjects were selected according to the inclusion and exclusion criteria.
Results : In this study, a total of 313 subjects were obtained with 65 died and 249 survived. The median of Brixia score was 8 with the lowest score 0 and the highest score 18. The male population was 185 subjects (59.1%). Total of 79 subjects (25.2%) were elderly patients (> 60 years). The subjects are grouped into three categories nutritional status based on body mass index. There were normal (53.7%), overweight (42.5%), and malnutrition (3.8%). Patients who had comorbidities were 143 subjects (45.7%). The most frequent comorbidities were hypertension and diabetes mellitus. At the cut point of 7.5, the Brixia score has a sensitivity value 61.5% and a specificity 50%. There is a significant relationship between the Brixia score and nutritional status (p < 0.001) and the presence or absence of comorbidities (p 0.002). There was no significant relationship between age (p 0.420), number of comorbidities (p 0.223) and mortality (p 0.121) with the Brixia score. Brixia score of 16-18 has a mortality risk 3.29 times higher than Brixia score of 0-6.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Maransdyka Purnamasidi
"Latar Belakang: Aktivasi komplemen dapat menyebabkan respon imun berlebihan dan merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap morbiditas serta mortalitas pasien COVID-19. Beberapa penghambat aktivasi komplemen saat ini sedang dipelajari untuk menghambat aktivasi sistem komplemen yang berlebihan pada pasien COVID-19. Resiko, keuntungan, waktu pemberian dan bagian dari sistem yang akan ditargetkan perlu dipertimbangkan pada saat akan menggunakan penghambat komplemen, oleh karena itu telaah sistematis ini dibuat untuk mengambil kesimpulan apakah pemberian terapi penghambat sistem komplemen dapat menurunkan mortalitas pasien COVID-19 yang dirawat di Rumah Sakit berdasarkan penelitian-penelitian yang tersedia.
Tujuan: Mengetahui efek pemberian terapi penghambat sistem komplemen terhadap mortalitas pasien COVID-19 yang dirawat di Rumah Sakit.
Metode: Dengan menggunakan kata kunci spesifik, dilakukan pencarian artikel potensial secara komprehensif pada PubMed, Embase, Cochrane, dan Scopus database dengan pembatasan waktu 2019 sampai dengan sampai 31 Desember 2022. Protokol studi ini telah diregistrasi di PROSPERO (CRD42022306632). Semua penelitian pemberian terapi penghambat komplemen pada pasien COVID-19 dimasukkan. Analisis statistik dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak Review Manager 5.4.
Hasil: 5 penelitian memenuhi kriteria dan dimasukkan dalam telaah sistematis serta meta-analisis dengan total 739 pasien COVID-19. Hasil analisis Forest plot menunjukan bahwa pemberian terapi penghambat sistem komplemen menurunkan mortalitas sebesar 28% pada pasien COVID-19 yang dirawat di Rumah Sakit (RR 0,72; 95% CI: 0,46 – 1,14, I2 = 61%, P-value = 0.16).
Kesimpulan: Pemberian terapi penghambat sistem komplemen secara statistik tidak signifikan menurunkan mortalitas pada pasien COVID-19 yang dirawat di Rumah Sakit

Background: Complement activation can cause an exaggerated immune response and is one of the factors that influence the morbidity and mortality of COVID-19 patients. Several complement activation inhibitors are currently being studied to inhibit excessive complement activation in COVID-19 patients. The risks, benefits, time of administration and the part of the system to be targeted need to be considered when using complement inhibition, therefore this systematic review was made to conclude whether the administration of complement system inhibition therapy can reduce the mortality of COVID-19 patients who are hospitalized based on available studies.
Objective: To determine the effect of complement system inhibitory therapy on the mortality of hospitalized COVID-19 patients
Methods: Using specific keywords, we comprehensively searched the PubMed, Embase, Cochrane, and Scopus databases for potential articles from 2019 to December 31, 2022. The research protocol was registered with PROSPERO (CRD42022306632). All studies administering complement inhibitory therapy to COVID-19 patients were processed. Statistical analysis was performed using Review Manager 5.4 software.
Result: 5 studies met the criteria and were included in a systematic review and meta-analysis of a total of 739 COVID-19 patients. The results of the Forest plot analysis showed that administration of complement system inhibitor therapy reduced mortality by 28% in hospitalized COVID-19 patients (RR 0.72; 95% CI: 0.46 – 1.14, I2 = 61%, P -value = 0.16).
Conclusion: Providing complement system inhibitor therapy did not statistically significantly reduce mortality in hospitalized COVID-19 patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>