Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159943 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Hendra Wahyuni MS
"Latar Belakang: Kejadian pandemi penyakit Coronavirus disease 2019 (COVID-19) telah menyebar ke berbagai belahan dunia dengan peningkatan angka pasien terkonfirmasi dan meninggal. Cedera miokard akut merupakan salah satu manifestasi klinis yang sering timbul pada pasien terkonfirmasi COVID-19 yang mengakibatkan meningkatnya risiko morbiditas dan mortalitas. Meskipun demikian, kejadian cedera miokard akut pada pasien COVID-19 belum banyak didokumentasikan. Penelitian ini bertujuan mengetahui kejadian cedera miokard akut pada pasien COVID-19 serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan menggunakan data rekam medis pasien COVID-19 yang dirawat di RSUP Persahabatan, Jakarta, selama periode Juni-Desember 2020. Prevalens cedera miokard akut dinilai dengan menggunakan kadar pemeriksaan high sensitivity Troponin I (hsTrop-I). Penelitian ini juga menentukan hubungan antara faktor demografi, riwayat penyakit komorbid kardiovaskular, derajat penyakit, penanda respon inflamasi serta faktor koagulasi dengan kejadian cedera miokard akut pada pasien terkonfirmasi COVID-19.
Hasil: Dari total 340 sampel yang diikutkan dalam penelitian ini didapatkan sebanyak 62 (18,2%) sampel mengalami cedera miokard akut, mayoritas berusia diatas 40 tahun (93,5%). Cedera miokard akut lebih dominan terjadi pada sampel dengan riwayat komorbid (90,3%) dan derajat penyakit berat-kritis (87,1%). Prokalsitonin dan d-Dimer secara konsisten menunjukkan hubungan yang bermakna pada uji bivariat dan multivariat dengan kejadian cedera miokard akut.
Kesimpulan: Prevalens cedera miokard akut pada pasien COVID-19 di RS Persahabatan sebesar 18,2%. Cedera miokard akut berhubungan dengan kadar prokalsitonin, d-Dimer dan komorbid kardiovaskular.

Background: The pandemic of Coronavirus disease 2019 (COVID-19) has spread worldwide with the growing number of confirmed patients and deaths. Acute myocardial injury is one of the most common clinical manifestations in COVID-19 patients, results in higher risk of morbidity and mortality. However, the prevalence of acute myocardial injury in COVID-19 patients is not well documented. This study aimed to assess the prevalence of acute myocardial injury in COVID-19 patients.
Methods: This is a cross-sectional study utilizing medical record on COVID-19 patients admitted to Persahabatan hospital, Jakarta, within the period of June to December 2020. The prevalence of acute myocardial injury was assessed through high sensitivity Troponin I (hsTrop-I) levels examination. The association of demographic factors, cardiovascular disease comorbidities, disease severity, levels of inflammatory biomarkers and coagulation factor with acute myocardial injury were also determined.
Results: From a total of 340 patients enrolled in the study, 62 (18.2%) samples experienced acute myocardial injury, in which majority (93.5%) aged >40 years. The prevalence of acute myocardial injury was more dominant in patients with the history of comorbidities (90.3%) and severe-critically ill COVID-19 patients (37.1%). Procalcitonin and d-Dimer levels consistently showed significant association with acute myocardial injury from bivariate and multivariate analysis.
Conclusion: The prevalence of acute myocardial injury in COVID-19 patients in Persahabatan Hospital was 18,2%. Acute myocardial injury was significantly associated with procalcitonin levels, d-Dimer levels and cardiovascular comorbidities.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Intan Anggun Pratiwi
"Latar Belakang: Pandemi COVID-19 telah menjadi tantangan besar bagi dunia kesehatan. Tenaga kesehatan merupakan populasi yang sangat rentan tertular dikarenakan tingginya intensitas dan frekuensi pajanan SARS-CoV-2. Risiko penularan meningkat apabila tenaga medis melakukan tindakan yang memicu aerosilisasi, salah satunya adalah intubasi endotrakeal karena tingginya viral load pada saluran napas. Sebanyak 3,2% pasien COVID-19 memerlukan tindakan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis. Intubasi endotrakeal yang efektif pada pasien COVID-19 penting dilakukan untuk menurunkan mortalitas dan risiko penularan. Penelitian ini bertujuan intuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi efektivitas intubasi endotrakeal pada pasien terkonfirmasi COVID- 19 di RSUP Persahabatan.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional yang menggunakan desain potong lintang yang dilakukan di IGD, ICU Rasmin Rasjid dan ICU PINERE RSUP Persahabatan pada bulan Juni 2021 – Juni 2022. Subjek peneltian ini adalah pasien terkonfirmasi COVID-19 yang dilakukan tindakan intubasi endotrakeal yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Tindakan intubasi endotrakeal dinilai dari observasi rekaman CCTV. Selanjutnya karakteristik subjek, karakteristik intubasi endotrakeal dan faktor-faktor yang memengaruhi intubasi endotrakeal dievaluasi.
Hasil: Pada penelitian ini didapatkan 59 subjek penelitian. Proporsi intubasi endotrakeal efektif pada pasien COVID-19 sebesar 20,34%. Median lama waktu tindakan intubasi endotrakeal adalah 38 (19-189) detik. Sebanyak 32 (54,24%) tindakan intubasi endotrakeal dilakukan oleh spesialis anestesi dan 27 (45,76%) oleh PPDS Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi. Hasil analisis bivariat didapatkan hasil bermakna secara statistik pada variabel penyakit kardiovaskular+DM (OR 0,24 (IK 95% 0,06-0,91), p=0,028) dan variabel operator (OR 0,07 (IK 95% 0,01-0,62), p=0,004). Hasil analisis multivariat menunjukkan hasil bermakna secara statistik hanya pada variabel operator (adjusted OR 0,06 (IK 95% 0,01-0,60), p=0,016).
Kesimpulan: Terdapat hubungan penyakit kardiovaskular+DM dan operator terhadap intubasi endotrakeal efektif pada pasien COVID-19 di RSUP Persahabatan.

Background: The COVID-19 pandemic has become a major challenge for the healthcare system. Healthcare workers are vulnerable population of COVID-19 transmission due to high intensity and frequency of exposure to SARS-CoV-2. The risk of transmission increases in aerosolization procedure such as endotracheal intubation because of the high viral load in the airways. Approximately 3.2% of COVID-19 patients require endotracheal intubation and mechanical ventilation. Effective endotracheal intubation in COVID-19 patients is important parameter to reduce mortality and the risk of transmission to healthcare workers. This study aims to determine the factors that influence the effectiveness of endotracheal intubation in patients with COVID-19 in National Respiratory Center, Persahabatan Hospital.
Methods: This study is an observational study using a cross-sectional design which was carried out in the emergency department, ICU Rasmin Rasjid and ICU PINERE of National Respiratory Center, Persahabatan Hospital in June 2021 – June 2022. The subjects of this study were COVID-19 patients who underwent endotracheal intubation who met the criteria inclusion and exclusion. The endotracheal intubation procedure was assessed from the observation of CCTV recordings. The characteristics of the subject, the characteristics of endotracheal intubation and the factors that influence endotracheal intubation were evaluated.
Results: In this study, there were 59 subjects. The proportion of effective endotracheal intubation in COVID-19 patients was 20.34%. The median length of time for endotracheal intubation was 38 (19-189) seconds. Among the subjects, 32 (54.24%) endotracheal intubation were performed by anesthesiologists and 27 (45.76%) were performed by Pulmonology and Respiratory Medicine residents. The results of the bivariate analysis showed statistically significant results on the cardiovascular disease + DM comorbid (OR 0.24 (95% CI 0.06-0.91), p=0.028) and operator (OR 0.07 (95% CI 0.01-0.62), p=0.04). The results of the multivariate analysis showed statistically significant results only for operator (adjusted OR 0.06 (95% CI 0.01-0.60), p=0.016).
Conclusion: There is relationship of cardiovascular disease + DM comorbid and operator with effective endotracheal intubation in COVID-19 patients at National Respiratory Center, Persahabatan Hospital.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Adianto Dwi Prasetio Zailani
"Latar belakang: Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) adalah penyakit baru. Infeksi saluran napas akibat virus yang disertai infeksi bakteri akan meningkatkan derajat keparahan dan angka mortalitas. Insidens ventilator associated pneumonia (VAP) pada kelompok COVID-19 yaitu 21-64%. Kasus VAP dapat menjadi penyebab tingginya mortalitas pada pasien COVID-19 terintubasi.
Metode penelitian : Penelitian ini adalah penelitian retrospektif di RS Persahabatan. Seluruh sampel yang digunakan adalah kelompok pasien COVID- 19 terintubasi >48 jam dalam periode tahun 2020-2022 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
Hasil penelitian : Penelitian ini meliputi 196 data penelitian yang memenuhi kriteria inklusi. Proporsi laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan dan hanya 29% adalah populasi usia lanjut. Proporsi VAP pada COVID-19 terintubasi pada tahun 2020-2022 mencapai 60% dengan VAP rates 92,56. Terdapat dua faktor bermakna terhadap VAP pada pasien COVID-19 terintubasi yaitu penggunaan azitromisin (OR 2,92; IK95% 1,29-6,65; nilai-p 0,01) dan komorbid penyakit jantung. (OR 0.38; IK95% 0,17-0,87; nilai-p 0,023). Proporsi terbesar biakan mikroorganisme aspirat endotrakeal adalah Acinetobacter baumannii (44%), Klebsiella pneumoniae (23%), Escherichia coli (9%).
Kesimpulan : Proporsi VAP pada COVID-19 terintubasi adalah 60%. Terdapat hubungan bermakna pada penggunaan azitromisin dan komorbid penyakit jantung sedangkan usia lanjut dan penggunaan steroid tidak memiliki hubungan bermakna terhadap VAP pada pasien COVID-19 terintubasi.

Background : Coronavirus Disease 2019 (COVID-19) is a novel disease. Viral respiratory infection following bacterial infection could increase the severity and mortality of the disease. The incidence of Ventilator (VAP) in COVID-19 group is 21-64%. VAP might be the leading cause of high mortality in intubated COVID-19 patient.
Methods : This research is a retrospective study at Persahabatan hospital. The collected samples is a group of COVID-19 patient intubated for >48 hours in the period of 2020 to 2022 that meet the inclusion and exclusion criteria.
Results : This study consist of 196 data fulfilling the inclusion criteria. Male proportion much greater than female and only 29% is an elderly population. The proportion of VAP in the period of 2020-2022 is 60% with the VAP rates 92,56. There are two factors significantly affected VAP in intubated COVID-19 patient which are the usage of azitromisin (OR 2,92; CI95% 1,29-6,65; p-value 0,01) and cardiovascular disease comorbidity(OR 0.38; CI95% 0,17-0,87; p-value 0,023). The most abundance proportion of endotracheal aspirate microorganism culture are Acinetobacter baumannii (44%), Klebsiella pneumoniae (23%), and Eschrichia coli (9%).
Conclusion : The proportion of VAP in intubated COVID-19 is 60%. There are significant association of azitromicin usage and cardiovascular comorbidity while elderly and the usage of steroid are not significantly associated to VAP in intubated COVID-19 patient.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dini Hari Anggraini
"ABSTRAK
Latar belakang dan tujuan: Gangguan elektrolit merupakan salah satu efek samping yang spaling sering ditemukan pada pasien tuberkulosis multidrug-resistant TB MDR yang mendapatkan obat anti tuberkulosis OAT mengandung obat suntik lini kedua. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui proporsi gangguan elektrolit pada pasien yang mendapatkan OAT suntik lini kedua serta faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguan tersebut.Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang, retrospektif, berbasis rekam medis pada pasien TB MDR di RSUP Persahabatan selama pengobatan fase intensif dari Juli 2015-Juni 2016 dan mendapatkan OAT dengan regimen kanamisin ataukapreomisin, pirazinamid, etambutol, levofloksacin,sikloserin dan etionamid. Hasil: Sebanyak 121 pasien ikut pada penelitian ini. Gangguan elektrolit didapatkan pada 114 pasien 94,2. Rerata waktu terjadinya gangguan elektrolit setelah pengobatan adalah 2,0 bulan. Hipokalemia merupakan jenis gangguan elektrolit yang paling banyak ditemukan 57,9. Hipokalemia berhubungan dengan jenis kelamin dan jenis OAT suntik yang digunakan. Insidens hipokalemia lebih banyak ditemukan pada pasien perempuan 72 dibandingkan dengan laki-laki 47,9 dengan OR 2,8 KI 95 : 1,3-6,1 dan pada pasien yang mendapatkan kapreomisin 68,5 dibandingkan yang mendapatkan kanamisin 49,2 dengan OR 2,2 KI 95 : 1,1-4,7 . Hasil ini bermakna secara statistik. Faktor usia, status gizi, diabetes melitus, gangguan fungsi ginjal dan infeksi HIV tidak berhubungan dengan hipokalemia pada penelitian ini. Kesimpulan: Hipokalemia merupakan gangguan elektrolit yang paling sering terjadi pada pasien TB MDR yang mendapatkan OAT MDR mengandung obat suntik lini kedua. Jenis kelamin perempuan dan kapreomisin merupakan faktor risiko terjadinya hipokalemia namun diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi faktor risiko lainnya yang dapat mempengaruhi kejadian hipokalemia pada pasin TB MDR.

ABSTRACT<>br>
Background: Electrolyte imbalance is one of the adverse reactions mostly found in patients with multidrugs resistant tuberculosis MDR TB who treated by injectable agent. The aim of this study is to know the proportion of electrolyte imbalance in MDR TB patients receiving second line injection of antituberculosis drugs and the contributing factors. Methods: This study is a cross sectional, retrospective, medical record based study among MDR TB patients in Persahabatan Hospital during intensive phase from July 2015 to June 2016 who received intensive phase treatment consist of kanamycin or capreomycin, pirazinamid, ethambutol, levofloxacin, cycloserine and ethionamide.Results One hundred and twenty one patients were included in this study. The proportion of electrolyte imbalance was found in 114 patients 94.2. The mean duration of therapy at the time incidence of electrolyte imbalance was 2.0 months. Hypokalemia 57,9 were the most electrolyte imbalance frequently found. Hypokalemia was associated with gender and type of antituberculosis injection drugs. The incidence of hypokalemia significantly high among female 72.0 patients than male 47.9 with OR 2.8 CI 95 1.3 6.1 and also in patients receiving capreomysin 68.5 than kanamycin 49.2 with OR 2.2 CI 95 1.1 4.7. Age, nutrition status, diabetes melitus, renal disfunction and HIV have no association with hypokalemiain our study. Conclusion: Hypokalemia was the most frequent electrolyte imbalance found among patient receiving MDR antituberculosis regimen. Female gender and capreomycin injection using were associated with the incidence of hypokalemia. However, more clinical researchs are needed to identify other risk factors contributing of hypokalemia state in MDR TB patients."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Silmi Kaffah
"Latar Belakang dan tujuan: Masalah penting dalam pengobatan tuberkulosis multidrug-resistant (TB MDR) yaitu pemberian obat lini kedua jangka panjang yang erat kaitannya dengan nefrotoksisitas. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui prevalens acute kidney injury yang terjadi pada pasien yang mendapatkan paduan obat antituberkulosis MDR lini kedua serta faktor-faktor yang mempengaruhinya.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian kohort retrospektif dengan berbasis data rekam medis pasien TB MDR di poliklinik MDR dan ruangan rawat inap TB MDR RSUP Persahabatan yang mendapat paduan standar fase awal OAT MDR lini kedua. Pengambilan sampel dilakukan secara total sampling dalam kurun waktu Januari 2015 sampai dengan Desember 2015.
Hasil: Pada penelitian ini yang memenuhi kriteria inklusi sebesar 123 pasien TB MDR. Prevalens AKI didapatkan pada 64 subjek (52%) dengan tingkat keparahan AKI terdiri 39 subjek (31,7%) dengan AKI ringan, 17 subjek (13,8%) dengan AKI sedang dan 8 subjek (6,5%) dengan AKI berat. Waktu terjadinya AKI terbanyak pada bulan kedua. Prevalens AKI lebih banyak ditemukan pada usia>40 tahun (66,7%) dibandingkan dengan usia <40 tahun (40,6%), komorbid diabetes melitus (71,9%) dibandingkan dengan tanpa komorbid DM (45,1%) dengan OR 2,45 (IK 95% 0,90-6,70) dan pada penggunaan Kapreomisin (76%) dibandingkan dengan Kanamisin (35,7%) dengan OR 5,45 (IK 95% 2,34-12,67). Hasil ini bermakna secara statistik dengan nilai p<0,05. Faktor jenis kelamin, status merokok, indeks brinkman, indeks massa tubuh (IMT), status human immunodeficiency virus (HIV), penggunaan Etambutol, hipotiroid tidak bermakna secara statistik.
Kesimpulan: Usia >40 tahun, komorbid DM dan penggunaan Kapreomisin merupakan faktor risiko terjadinya acute kidney injury pada pasien TB MDR yang medapatkan OAT lini kedua pada fase awal pengobatan MDR.

Background: An important problem in multidrug resistant tuberculosis (MDR TB) treatment is the second line tuberculosis drug therapy related to nephrotoxicity given in a long term. The aim of this study was to investigate the prevalence of acute kidney injury that occured in multidrug resistant tuberculosis patients who received second line tuberculosis drug therapy and the contributing factors in Persahabatan Hospital.
Method: This is a retrospective cohort study based on medical record data of multidrug resistant tuberculosis patients who received standard regimen of multidrug resistent tuberculosis program at MDR Clinic and inward MDR patients in the intensive phase of second line anti tuberculosis drug. Sampling was conducted from January 2015 until December 2015.
Results: Sample of this study was 123 patients multidrug resistant tuberculosis. Prevalence of AKI was obtained from 64 subjects (52%) based on its severity, consisting 39 subjects (31,7%) with mild severity, 17 subjects (13,8%) with moderate severity, and 8 subjects (6,5%) with high severity. The most occurrence of AKI was found in second month. Prevalence AKI was higher in patients with age >40 years (66,7%) than those with age <40 years (40,6%), higher in patients with diabetes melitus comorbid (71,9%) than those without comorbid DM (45,1%) with OR 2,45 (IK 95% 0,90-6,70) and higher in patients receiving Kapreomisin (76%) than those receiving Kanamisin (35,7%) with OR 5,45 (CI 95% 2,34-12,67). These result were statistically significant with p<0,05. Gender, smoking status, index brinkman, body mass index (BMI), human immunodeficiency virus (HIV) status, treatment with Etambutol, and hypothyroidism were not statiscally significant.
Conclusion: Age >40 years, DM and using Kapreomycin are risk factors for acute kidney injury in MDR TB patients whose received second line tuberulosis drugs in intensive phase."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2017
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Raden Roro Isti Mardiana
"Latar Belakang : Lima belas persen (15%) pasien yang terinfeksi COVID- 19 jatuh ke dalam kondisi penyakit yang berat dan memerlukan suplementasi oksigen (O2). Lima persen (5%) lainnya mengalami perburukan lebih lanjut dan jatuh ke dalam penyakit kritis dengan komplikasi. Pemberian terapi O2 dilakukan segera kepada pasien dengan atau tanpa tanda-tanda kegawatdaruratan dengan saturasi oksigen (SpO2) < 90%. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara Skor Acute Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II dengan kejadian desaturasi pada pasien Pneumonia COVID-19.
Metode : Penelitian ini merupakan penelitian analitik observasional
kohort prospektif yang dilakukan di Instalasi Gawat Darurat (IGD) dan ruang rawat inap RSUP Persahabatan periode 31 Juli 2021 – 30 September 2021. Subjek penelitian didapatkan dari pasien yang datang ke IGD RSUP Persahabatan sejak 30 Juli 2021 – 30 September 2021 dan terdiagnosis COVID-19 dari hasil pemeriksaan PCR usap tenggorok positif. Dilakukan pengumpulan data klinis, tanda vital, pemeriksaan penunjang dan Skor APACHE II sejak subjek tiba di IGD hingga masuk ruang rawat dalam 24 jam pertama. Hasil : Pada penelitian ini didapatkan 100 subjek penelitian. Hasil penelitian ini menyatakan bahwa tidak terdapat hubungan yang bermakna antara Skor APACHE II dengan kejadian desaturasi pada pasien Pneumonia COVID-19 (p 0,257). Selain itu, tidak ditemukan perbedaan bermakna skor APACHE II pada kelompok pasien dengan derajat keparahan COVID-19 yang berbeda pada PaO2 sesuai hasil pemeriksaan AGD (p 0,073) namun didapatkan hubungan yang bermakna pada penggunaan PaO2 seusai kurva disosiasi O2 (p <0,001).
Kesimpulan : Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara Skor
APACHE II dengan kejadian desaturasi pada pasien Pneumonia COVID-19.

Background : Fiftheen percents (15%) patients infected with COVID-19
falls to severe disease and require oxygen (O2) therapy and the other 5% suffered
progressive worsening to critical disease with complications. Oxygen therapy
conducted in patients with or without emergency condition with low O2 saturation
(SpO2 < 90%). This study aim to determine the correlation between Acute
Physiology and Chronic Health Evaluation (APACHE) II score with desaturation
in Pnuemonia COVID-19 patients.
Methods : A prospective cohort observational analytic study
conducted at National Respiratory Ceter Persahabatan Hospital Emergency Unit
from July 2021-September 2021. The study subjects were patients admitted to
Emergency Unit and diagnosed with COVID-19 from positive result of
nasopharing PCR swab. Clinical data, vital signs, supportive examination and
APACHE II score are collected since Emergency Unit admission to inward unit in
first 24 hours.
Results : There were 100 subjects participating in this study. The
result stated there were no significant correlation between APACHE II Score with
desaturation in Pneumonia COVID-19 patients (p-value 0,257). There was also no
significant correlation between APACHE II score with disease severity of COVID-
19 based on O2 partial pressure collected from blood gas analysis examination (pvalue
0,073) but there was a significant correlation between APACHE II score with
disease severity of COVID-19 based on O2 partial pressure referred to O2
dissociation curve (p-value <0,001).
Conclusion : There was no significant correlation between APACHE II
Score with desaturation in Pneumonia COVID-19 patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Meliala, Jimmy Pridonta Sembiring
"Latar Belakang: Tenaga kesehatan (nakes) menjadi garda terdepan dalam pelayanan kesehatan di saat pandemi COVID-19. Tidak hanya dokter, perawat atau bidan dan nakes penunjang seperti petugas radiologi rentan untuk risiko terinfeksi COVID-19. Zona kerja nakes merupakan salah satu faktor yang berpengaruh terhadap risiko terinfeksi COVID-19. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor risiko kejadian COVID-19 pada nakes yang bekerja di perawatan isolasi COVID-19.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dengan metode total sampling pada tenaga kesehatan yang bekerja di ruang rawat inap isolasi COVID-19 periode Maret sampai Desember 2020. Respons kuesioner penelitian elektronik yang disebarkan akan ditabulasi dan dianalisis.
Hasil Penelitian: Subjek penelitian yang memenuhi kriteria inklusi sebanyak 292 orang dengan mayoritas berusia ≥30 tahun (75,7%), profesi nondokter (91,8%), bekerja di zona kerja non-ICU (70,2%) dan hasil PCR COVID-19 negatif (64%). Zona kerja non-ICU, jenis kelamin, kekerapan kadang-kadang, jarang dan tidak pernah dalam penggunaan APD level 3 serta pelatihan PPI dari RS dalam hal standar APD era pandemi bermakna meningkatkan peluang risiko kejadian COVID-19. Sedangkan, kepatuhan protokol kesehatan dalam hal kontak erat dengan selain orang serumah, salah satu tidak memakai masker dan lama kontak >15 menit, pemasangan kanula hidung dan kontak dengan kolega positif COVID-19 bermakna menurunkan peluang risiko kejadian COVID-19.

k Berbahasa Inggris:
Background: : Health workers are at the forefront of health services during the COVID-19 pandemic. Not only doctors, nurses or midwives and supporting health workers such as radiology officers are vulnerable to being infected with COVID-19. The health worker's work zone is one of the factors that influences the risk of contracting COVID-19. This study aims to determine the risk factors for the occurrence of COVID-19 in health workers who work in isolation care for COVID-19.
Methods: This research is a cross-sectional study using total sampling method on healthcare workers who work in the COVID-19 isolation ward from March to December 2020. The responses of the distributed electronic research questionnaire will be tabulated and analyzed.
Results: There were 292 subjects who met the inclusion criteria with the majority aged ≥30 years (75.7%), non-doctors (91.8%), working in non-ICU work zones (70.2%) and negative COVID-19 PCR results (64%). Non-ICU working zone, gender, frequency of sometimes, rarely and never in the use of level 3 PPE as well as PPI training from hospitals in terms of PPE standards in the pandemic era significantly increased the risk of COVID-19 incident. Meanwhile, adherence to health protocols in terms of close contact with other than people in the household, one of them does not wear a mask and the duration of contact is >15 minutes, installation of nasal cannulae and contact with positive COVID-19 colleagues significantly reduced the COVID-19 incident.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Thereatdy Sandi Susyanto
"Tetralogy of Fallot (TOF) merupakan salah satu kelainan jantung kongenital sianotik paling umum, dengan insiden sekitar empat dari setiap 10.000 kelahiran hidup. Operasi koreksi TOF dapat diperberat dengan cedera ginjal akut yang berkaitan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Prevalensi cedera ginjal akut pada populasi pasien pascaoperasi koreksi TOF belum banyak diketahui. Penelitian ini menggunakan metode kohort restrospektif. Data diambil secara sekunder dari rekam medis RSPJNHK terhadap semua pasien TOF yang di lakukan koreksi TOF pada tahun 2019 -2023.Terdapat 520 pasien yang dianalisis dalam penelitian ini. Terdapat hubungan bermakna antara kelompok cedera ginjal akut dan kelompok tidak cedera ginjal akut pada variabel lama CPB (p=0.000; MD =-35.78; IK 95% -51.21 - -20.35) dan lama klem silang aorta (p=0.000;MD =-13.68(IK 95% -21.42 - -5.94). Terdapat hubungan bermakna secara antara lesi residual pulmonary regurgitation (p=0.024; RR=1.56; IK 95% 1.07 – 2.28, dan lesi residual pulmonary stenosis dan kejadian cedera ginjal akut (p=0.035; RR =1.49; IK 95% 1.03 – 2.15). Dapat disimpulkan bahwa lama CPB, klem silang aorta dan adanya lesi residual yakni pulmonary regurgitation dan pulmonary stenosis berhubungan dengan kejadian cedera ginjal akut pada pasien yang menjalani koreksi TOF.

Tetralogy of Fallot (TOF) is one of the most common cyanotic congenital heart defects, with an incidence of approximately four per 10,000 live births. Corrective surgery for TOF is often complicated by acute kidney injury (AKI), which is associated with significant morbidity and mortality. The prevalence of AKI in patients undergoing postoperative TOF correction is not well established. A retrospective cohort study was conducted using medical records from PJNHK Hospital. Data was collected for TOF patients who underwent corrective surgery between 2019 and 2023. A total of 520 patients were analysed. There was a significant difference between the AKI group and the non-AKI group in terms of cardiopulmonary bypass (CPB) duration (p = 0.000; MD = -35.78; 95% CI: -51.21 to -20.35) and aortic cross-clamp time (p = 0.000; MD = -13.68; 95% CI: -21.42 to -5.94). Residual pulmonary regurgitation lesions were significantly associated with AKI incidence (p = 0.024; RR = 1.56; 95% CI: 1.07–2.28), as were residual pulmonary stenosis lesions (p = 0.035; RR = 1.49; 95% CI: 1.03–2.15). In conclusion, CPB duration, aortic cross-clamp time, and the presence of residual lesions, such as pulmonary regurgitation and pulmonary stenosis, are significantly associated with the incidence of acute kidney injury in patients undergoing TOF corrective surgery."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2025
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sri Wahyuni
"Insidensi TB di Indonesia menempati urutan kedua terbesar di dunia tahun 2016. Buruknya, sebagian besar provinsi di Indonesia masih belum bisa mencapai target keberhasilan pengobatan tahun 2016, salah satunya DKI Jakarta. Hal ini dapat disebabkan karena banyaknya jumlah putus pengobatan (default treatment). Jika dibiarkan, kondisi ini dapat menimbulkan dampak yang lebih buruk yaitu peningkatan kasus TB MDR. Oleh karena itu faktor yang berhubungan dengan kejadian putus pengobatan perlu identifikasi, namun faktornya bervariasi di berbagai tempat.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian putus pengobatan pada pasien TB MDR di RSUP Persahabatan tahun 2016-2018. Penelitian dilakukan dengan desain potong lintang menggunakan rekam medis dan wawancara 60 subjek.
Hasil penelitian menunjukkan prevalensi TB MDR dengan riwayat putus pengobatan di RSUP Persahabatan tahun 2016-2018 adalah 16,9%. Berdasarkan analisis bivariat, faktor yang memiliki hubungan signifikan dengan putus pengobatan adalah perilaku merokok (p=0,008). Melalui analisis multivariat diketahui bahwa hanya perokok sedang yang berhubungan dengan putus pengobatan (p = 0,035, OR = 4,364; KI95% = 1,112-17,128). Dari hasil tersebut disimpulkan bahwa perokok sedang merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian putus pengobatan TB pada pasien TB MDR.

TB incidence of Indonesia ranks the second largest in the world in 2016. Poorly, most provinces in Indonesia still cannot reach the target of successful TB treatment in 2016, one of which is DKI Jakarta. This can be caused by the large number of dropouts (treatment default). This finding is worrisome, individuals who default from tuberculosis (TB) treatment experience an increased risk of multi drugs resistance tuberculosis cases. Therefore it is important to identify local risk factors for default and for further research to demonstrate the best programme models for reducing default.
This study aims to determine the factors associated with default from TB treatment in multi drugs resistance tuberculosis patients in RSUP Persahabatan in 2016-2018. The study was conducted with a cross-sectional design using medical records and 60 tuberculosis patients were interviewed.
The results showed the prevalence of multi drugs resistance tuberculosis with a history of default tb treatment at RSUP Persahabatan in 2016-2018 is 16.9%. Based on bivariate analysis, significant factor associated with default for drug-sensitive TB programmes is smoking behavior (p = 0.008). In multivariate logistic regression, it was found that only moderate smokers were associated with default from treatment (p = 0.035, OR = 4.364; CI95% = 1.112-17.128). From these results it was concluded that moderate smokers were a factor identified to be associated with treatment default in multi drugs resistance tuberculosis patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamad Yandinoer Moelamsyah
"Latar belakang: Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan penyakit tidak menular yang menjadi salah satu masalah di Indonesia dan dunia. Kepatuhan pasien PPOK dalam menggunakan inhaler ditemukan relatif buruk dengan tingkat ketidakpatuhan berkisar antara 50 dan 80%. Penelitian ini bertujuan untuk menelusuri faktor-faktor yang dapat memengaruhi kepatuhan pasien PPOK dalam penggunaan inhaler. Metode: Penelitian ini adalah potong lintang menggunakan total 75 subjek yang dilakukan di poli asma-PPOK di RSUP Persahabatan Jakarta. Kuesioner yang digunakan merupakan adaptasi dari kuesioner test of adherence to inhaler (TAI) yang telah dilakukan alih bahasa,uji validitas, dan reliabiliatas. Hasil: Dari total seluruh subjek, 57,3% memiliki kepatuhan baik, 26,7% memiliki kepatuhan sedang, dan 16% memiliki kepatuhan buruk. Sebanyak 68% subjek memiliki ketidakpatuhan sporadis, 46,7% subjek memiliki ketidakpatuhan disengaja, dan 56% subjek memiliki ketidakpatuhan tidak disengaja. Faktor yang berhubungan dengan kepatuhan subjek adalah jumlah device yang digunakan (p=0,025), jumlah eksaserbasi per tahun (p=0,002), durasi kontrol (p=0,009), lama pengobatan (p=0,013), nilai mMRC (p=0,011), dan nilai CAT (p=0,030). Kesimpulan: Faktor yang berhubungan dengan kepatuhan pasien PPOK terhadap penggunaan inhaler adalah jumlah device inhaler yang digunakan, durasi saat kontrol, dan lama pengobatan yang telah dijalani. Kepatuhan terhadap penggunaan inhaler berhubungan dengan jumlah eksaserbasi per tahun, nilai mMRC, dan nilai CAT. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan sampel yang lebih luas serta kuesioner yang lebih objektif.

Background: Chronic obstructive pulmonary disease (COPD) is a non-communicable disease that is a problem in Indonesia and the world. COPD patients' compliance in using inhalers was found to be relatively poor with non-compliance rates ranging between 50 and 80%. This study aims to explore factors that may influence COPD patients' adherence in using inhalers. Methods: This study was a cross-sectional study using a total of 75 subjects conducted at the asthma-COPD clinic at Persahabatan Central General Hospital Jakarta. The questionnaire used was an adaptation of the test of adherence to inhaler (TAI) questionnaire which had been translated, tested for validity, and tested for reliability. Results: Of the total subjects, 57.3% had good compliance, 26.7% had moderate compliance, and 16% had poor compliance. A total of 68% of subjects had sporadic noncompliance, 46.7% of subjects had deliberate noncompliance, and 56% of subjects had unintentional noncompliance. Factors associated with adherence were the number of devices used (p=0.025), number of exacerbations per year (p=0.002), duration of control (p=0.009), length of treatment (p=0.013), mMRC score (p=0.011), and CAT score (p=0.030). Conclusion: Factors associated with COPD patients' adherence to inhaler use were the number of inhaler devices used, duration at control, and length of treatment. Adherence is associated with the number of exacerbations per year, mMRC scores, and CAT scores. Further research needs to be done with a wider sample and a more objective questionnaire."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>