Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 71612 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dayinta Prakasita
"Penelitian ini bertujuan menganalisis bagaimana konstruksi gender direpresentasikan dalam film animasi Disney Princess “Raya and the Last Dragon” melalui penokohan, adegan (scene) dan narasi (monolog atau dialog). Studi-studi terdahulu mengenai representasi perempuan pada film animasi Disney tentang “Princess” tahun 1950-1990-an menunjukkan masih kental stereotip gender berbasis konstruksi feminitas pada perempuan, dan maskulinitas pada laki-laki. Sementara pada kurun 2000an hingga akhir 2000an film film Disney menunjukkan konstruksi perempuan sebagai pemberontak dan ambisius. Seiring dengan wacana pergeseran konstruksi kepada pencairan gender di masyarakat, pertanyaannya apakah Disney juga mempresentasikannya dalam film filmnya? Melalui kajian terhadap film Disney bergenre princess, “Raya and The Last Dragon” (2021) akan digali apakah film tersebut sudah lebih progresif dalam merepresentasikan isu gender? Dalam arti, film tersebut mengkonstruksikan suatu gagasan tentang feminitas dan maskulinitas. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif semiotika oleh Roland Barthes untuk menganalisis makna representasi dalam tanda/simbol. Teknik dokumentasi dilakukan dengan teknik screencapture sebagai pengumpulan data. Hasil Penelitian menunjukkan bagaimana adanya tiga representasi, antara lain: (1) Raya sebagai Pendekar Perempuan; (2) Raya sebagai PemimpinPerempuan; (3) Raya sebagai Perempuan Mandiri. Hasil kajian menunjukkan bahwa perempuan direpresentasikan sebagai karakter yang maskulin, digambarkan dengan sifat tangguh, dominan, dan mandiri. Konstruksi gender tradisional yang cenderung stereotip kini bergeser ke arah yang lebih progresif.

This study aims to explore and reveal how gender construction is represented in the Disney Princess animated film "Raya and the Last Dragon" through characterizations, scenes and narratives (monologue or dialogue). Previous studies on the representation of women in Disney's animated film “Princess” in the 1950s-1990s show a strong gender stereotype based on the construction of femininity in women and masculinity in men. While Disney films in the early 2000s to the late 2000s showed the construction of women as rebellious and ambitious. Along with the discourse of shifting construction to gender disbursement in society, the question is how does Disney present it in its films? Through a study of the Disney princess film genre, “Raya and The Last Dragon” (2021), it will be explored whether the film is more progressive in representing gender issues and ideas about femininity and masculinity? The method used in this research is Roland Barthes' qualitative semiotics to analyze the meaning of representation in signs/symbols. Documentation technique with screen capture technique as data collection. The results of the study show how there are three representations, including: (1) Raya as a female warrior; (2) Raya as Female Leader; (3) Raya as an Independent Woman. The results of the study show that women are represented as masculine characters, described as tough, dominant, and independent. The traditional gender construction that tends to stereotype has shifted to a more progressive direction. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dam Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Giovanni Cornelia
"Dengan mempertimbangkan inklusivitas perempuan dan perkembangan dari representasi keragaman budaya di media Barat, Walt Disney Animation Studio telah mempromosikan identitas Asia Tenggara dan emansipasi perempuan dalam waralaba Disney’s Princess. Dengan mayoritas penontonnya adalah perempuan dari generasi muda, Disney memiliki tuntutan untuk menyajikan keragaman dan kesetaraan gender di layar kaca (Giroux & Pollack, 2010). Berdasarkan survei yang dilakukan terhadap delapan siswi SMP swasta Malang, penelitian ini menggunakan film Raya and the Last Dragon (2021) sebagai sarana untuk mendiskusikan tujuan hidup perempuan Asia Tenggara di era modern yang melampaui standar stereotip patriarki. Menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan literasi kritis, survei dilakukan melalui esai jurnal dan pertemuan Zoom. Tulisan ini menganalisis tanggapan yang diberikan oleh para siswi setelah menonton film untuk mengetahui apakah film tersebut membantu untuk memahami penjelasan mengenai pandangan hidup dan cita-cita perempuan di Asia Tenggara dan apakah mahasiswa mampu bersikap kritis terhadap isu-isu terkait di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa mahasiswa tidak hanya mampu mengidentifikasi isu-isu terkait dengan ambisi perempuan Asia Tenggara yang tergambar secara implisit dalam film, tetapi juga mampu membangkitkan ambisi dan soft skill dalam kehidupan pribadi mahasiswa dengan menganalisis secara kritis film tersebut, berbagi pengalaman dan cita-cita, serta menjelaskan cara untuk mencapainya meskipun adanya tantangan yang akan ditemui.

Taking women’s inclusivity and cultural diversity representation development in Western media into account, Walt Disney Animation Studio has promoted Southeast Asian identity and women emancipation in their Disney’s Princess franchise. With the majority of the audience of its franchise being the young female generation, Disney has been in demand to bring diversity and gender equality to the screen (Giroux & Pollack, 2010). Based on the survey conducted with eight Malang private middle school female students as respondents, the study utilized Raya and the Last Dragon (2021) as a tool to discuss the transcending patriarchal expectations of Southeast Asian women’s life purpose in the modern era. Using a qualitative research method with a critical literacy approach, the survey was conducted through journal essays and Zoom meetings. This paper analyzed the responses given by the students after they watched the film to find out whether the film helps to understand the explanations regarding women’s views of life and end goals in Southeast Asia and whether the students are able to be critical of these related issues in Indonesia. The finding showed that students were not only able to identify the issues related to Southeast Asian women’s life ambitions which have been portrayed implicitly in the film, but also to incite ambitions and soft skills in students’ personal life by critically analyzing the movie, sharing their future goals, and explaining the ways to achieve them despite the foreseeable challenges."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Indira Sekarzeta
"Seiring dengan perkembangan budaya populer yang menyuarakan kesetaraan gender, Disney merilis dua film berjudul Mulan (2020) dan Raya and the Last Dragon (2021) yang menampilkan dua wanita kuat sebagai pemeran utama. Seperti diinformasikan di atas, dalam abstrak bahasa Indonesia, tujuan dari penulisan artikel adalah menelusuri bagaimana patriarki dan kesetaraan gender dapat mengakibatkan dua hubungan yang berbeda antara perempuan. Penelitian kualitatif ini akan menggunakan dua konsep: sisterhood (solidaritas antara perempuan untuk menghentikan seksisme) dan persaingan (hubungan kompetitif antara perempuan). Penelitian ini akan berfokus pada aspek visual, dialog, alur cerita, dan perkembangan hubungan antara perempuan pada film Mulan (2020) dan Raya and the Last Dragon (2021). Kedua film ini berbeda jika dibandingkan dengan film-film Disney lainnya dimana para wanita yang berkarakter baik akan membantu satu sama lain, dan antagonis akan selalu bertingkah jahat dari awal hingga akhir cerita. Selain itu, hubungan antara perempuan pada kedua film ini lebih rumit dibandingkan dengan hubungan yang biasa digambarkan oleh film Disney lainnya. Karakter protagonis dan antagonis diilustrasikan sebagai sosok yang mempunyai sisi baik dan buruknya masing-masing. Dalam kedua film ini, hubungan antara perempuan juga memiliki proses yang signifikan. Penulis menarik kesimpulan bahwa patriarki akan mendorong solidaritas antara Mulan dan Xianniang dari film Mulan (2020). Namun ketika kesetaraan gender muncul, para pemimpin perempuan, yang terikat pada kolektif dan komunitas mereka, akan saling bersaing seperti yang digambarkan oleh Raya dan Namaari dari film Raya and the Last Dragon (2021).

Following the mainstreaming of gender equality, Disney recently released two films titled Mulan (2020) and Raya and the Last Dragon (2021) that portray influential ladies as the main characters. This study investigates how the patriarchal society in Mulan and gender equality in Raya and The Last Dragon will result in different relations between women. Focusing on the relationships between protagonist and antagonist in Mulan and Raya and the Last Dragon, the author examines two dynamic connections influenced by the patriarchal system and gender equality. Disney breaks the traditional stereotypes of villains by depicting three-dimensional antagonists. In Mulan, even though Xianniang is introduced as the antagonist, the relationship between her and Mulan evolves positively as they fight against male oppression. However, Princess Namaari starts a friendly yet deceitful connection, leading to competition with another leader named Princess Raya in Raya and the Last Dragon. This qualitative research will use the concept of sisterhood and rivalry to analyze the connections between women, focusing on visual elements, dialogues, plot, and the development of the relationships in Mulan and Raya and the Last Dragon. The writer contends that Disney shows different perceptions regarding relationships between women. Based on these two films, the women in Mulan build sisterhood to gain gender emancipation, whereas when gender equality is achieved in Raya and the Last Dragon, the rivalry between women leaders, who are attached with their collective, appears."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Hastari
"The Princess and the Frog (2009) merupakan film animasi pertama Disney yang menggambarkan kehidupan seorang putri kulit hitam. Isu peran gender dan rasial dalam film ini dianggap krusial untuk dianalisis karena perempuan Afrika-Amerika mengalami kolonisasi ganda, terutama dalam mengejar American Dream. Analisis terhadap beberapa unsur film seperti penokohan, konflik, latar, dan tema berperan penting untuk memahami isu-isu tersebut. Film ini memperlihatkan bahwa Disney melakukan upaya negosiasi terhadap beberapa nilai yang telah dikritik oleh para feminis dalam Disney Princess Fairy Tales sebelumnya. Namun, hasil analisis film ini menunjukkan bahwa Disney tidak menunjukkan perubahan yang begitu berarti dalam menghadirkan aspek cinta dan pernikahan untuk menciptakan sebuah akhir yang bahagia.

The Princess and the Frog (2009) is the first Disney?s animated movie which depicts the life of a Black princess. Gender roles and racial issues are the two important points in this thesis because African-American women experience double-colonization, especially in pursuing American Dream. Those issues will be analyzed by examining some movie elements such as characterization, conflict, setting, and theme. This movie seems to show that Disney try to negotiate some values that have previously been criticized by feminists in Disney Princess Fairy Tales. However, the result of the analysis shows that Disney does not do significant changes in presenting love and marriage aspects to create a happy ending."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2012
S42485
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Laras Sekarchanti
"Film Disney Princess telah dikenal oleh masyarakat luas selama bertahun-tahun. Sebagai film yang dikonsumsi berbagai kalangan dan usia, film animasi membawa beberapa nilai baik dalam alur ceritanya maupun ajaran seperti apa yang dapat kita temukan dalam film Disney. Konsep teaching-tales menjelaskan bahwa dongeng sejak dahulu kala telah menjadi media yang menjadi pembawa nilai. Karakterisasi yang dibawa oleh Disney telah berevolusi menyesuaikan dengan peran jender yang terdapat di dunia nyata pada masanya, seperti bagaimana seseorang dapat mengkategorikan dirinya dalam kelompok jender di masyarakat. Kritik terhadap Disney sering ditujukan terkait lemahnya penggambaran feminitas dalam penokohan yang terdapat dalam film Disney Princess. Karya ini mencoba mengungkap sisi lain Disney yang berperan sebagai media terutama agen sosialisasi peran jender. Karya ini dibuat dengan metode studi literatur dengan mengumpulkan sumber dari skripsi, buku, jurnal ilmiah dan thesis. Karya ini akan membahas secara spesifik film Disney Princess terkait dengan gambarannya mengenai feminitas terutama pada penokohan dalam film.

Disney Princess movies have been known to the public for many years. As movies are consumed by various member of society, animated films can deliver value in the storyline as well teachings similar to what we can find in Disney movies. The concept of teaching-tales explains that fairy tales have long been a medium that became a messenger of values. Characterization brought by Disney has evolved to adapt to the gender roles that exist in the real world of current time, such as how one can categorize himself in a gender group in society. Criticisms of Disney often addressed the weakness of femininity depiction in the characterizations contained in the Disney Princess movie. This work tries to reveal another side of Disney that acts as a media, especially the gender role socialization agency. This work is made by literature study method by collecting sources from thesis, book, scientific journal and thesis. This work will specifically address the Disney Princess films related to its image of femininity especially regarding characterization."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2018
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rani Ratnasari
"Skripsi ini menganalisis perbedaan representasi Disney Princess yang terjadi pada kedua film animasi Disney, yaitu The Princess and the Frog dan Tangled. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan kecurigaan terhadap Disney Princess versi modern yang terkesan mendekonstruksi bentuk klasiknya. Untuk menganalisis masalah tersebut penulis menggunakan teori dekonstruksi dan feminisme pada bentuk arketipenya. Hasil penelitian membuktikan bahwa untuk beberapa dekade konsep Disney Princess telah mengalami perubahan di beberapa bagiannya. Penulis menganggap perubahan yang parsial tersebut bukanlah sebuah dekonstruksi melainkan sebuah inovasi dalam pembentukan Disney Princess dilihat dari sudut pandang feminisme. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa konsep Disney Princess tidak mengalami dekonstruksi.

This undergraduate thesis focuses on Disney Princess different representation at both Disney animated movies, The Princess and the Frog and Tangled. The aim of this research is to find out the truth about modern Disney Princess which seems to deconstruct the classical form. To analyze the problem, deconstruction and feminism theory are used toward the archetype. The result of this research indicates that in some decades, Disney Princess concept has partially changed. The changes aren’t considered as a deconstruction but an innovation regarding feminism’s point of view. Therefore, it is assumed that deconstruction doesn’t occur toward Disney Princess concept."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2011
S138
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Alifia Hamidah Wiryawan
"Penelitian ini menganalisis teknik terjemahan judul film animasi Disney dengan teori teknik penerjemahan oleh Yoko Hasegawa. Studi ini memiliki tujuan untuk mengetahui teknik penerjemahan yang digunakan dalam menerjemahkan judul film animasi Disney ke bahasa Jepang serta alasan penggunaan teknik tersebut. Metode penelitian kualitatif digunakan untuk menganalisis sumber data berupa judul film animasi Disney yang diakses dari https://www.disney.co.jp/studio/animation.html. Dari hasil penelitian ini, terdapat lima teknik yang digunakan dalam penerjemahan judul film animasi Disney, yaitu teknik borrowing, literal, modulation, equivalence, dan addition/deletion. Dalam total 57 data, terdapat 37 penggunaan teknik borrowing, 2 penggunaan teknik literal, 1 penggunaan teknik modulation, 1 penggunaan teknik equivalence, dan 34 penggunaan teknik addition/deletion. Teknik borrowing paling banyak digunakan karena kata/kalimat yang ada pada judul film tidak memiliki padanan yang baik dalam BSa dan juga digunakan untuk memperkenalkan tokoh utama dalam film tersebut.

This study analyses the translation techniques of Disney’s animated film titles by using Yoko Hasegawa’s translation techniques theory. This study aims to determine the techniques used in translating Disney’s animated film titles into Japanese and the reasons for using these techniques. Qualitative research method is used to analyse the data source of Disney’s animated film titles accessed from https://www.disney.co.jp/studio/animation.html. The results are there are 5 techniques that is used to translate Disney’s animated film titles, which is borrowing technique, literal technique, modulation technique, equivalence technique and addition/deletion technique. From the total of 57 data, there are 37 use of borrowing technique, 2 use of literal technique, 1 use of modulation technique, 1 use of equivalence technique and 34 use of addition/deletion technique. Borrowing technique is mostly used because the words/sentences in the film titles do not have a good equivalent in SL and are also used to introduce the main character in the film."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simbolon, Marnida Julita
"Penelitian ini menganalisis representasi perilaku perempuan pada foto kiriman pembaca di majalah segmentasi anak perempuan di Indonesia dan representasi perilaku feminin dalam foto kiriman pembaca berdasarkan fashion mereka. Hal ini berkaitan dengan fungsi media sebagai salah satu agen sosialisasi bagi anak. Penellitian ini menggunakan konsep representasi untuk menganalisis representasi perilaku feminin. Selain itu juga dipakai konsep semiotika yang dibuat oleh Sausurre yang menyatakan bahwa suatu tanda terdiri dari penanda dan petanda yang akan menunjukkan makna dari suatu tanda. Hasilnya adalah terdapat tiga representasi yang sama-sama diangkat oleh kedua majalah anak ini, yaitu representasi perilaku perempuan menggunakan make up, perempuan mengenakan aksesoris, dan perempuan berperilaku ramah dengan tersenyum.

This research analyzes feminine behavior representation in the reader photo submission in girls' magazine in Indonesia and the feminine behavior representation in the reader photo submission based on their fashion. This relates to the function of the media as one of the socialization agents for children. This research uses representation concept to analyze the representation of feminine behavior. Besides, this research also uses semiotic concept by Saussurre which states that a sign consists of signifier and signified that disclose the meaning of a sign. The result is that there are three representations are equally appointed by this two girls? magazine, they are behavior representation that woman uses make up, woman uses accessory, and women behave friendly by smiling.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2015
S61163
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Noor Endah Nanda Sri Rizky
"Using Roland Barthes's semiotics as a tool of analysis, this article intends to find out the implications made by Disney's changes on this story of Chinese women and people in general. Barthes's multilevel semiotics shows how the same medium-the animation Mulan-could be viewed from different perspectives. Disney claimed that Mulan is a message on women's heroism. This is based on Disney's convictions that Mulan is an animation produced with "respect to women and non-Western peoples." Through feminist frame of thought and knowledge of the differences between the original Chinese and the Disney version, women experienced multilayered subordinations in the animation. The first subordination against women occurs when a person is born as a girl. Based on myths, society gives a set of characterizations to women, called the feminine character. The character is used as the basis to subordinate women and repress them. The next subordination against women occurs when the feminine character, having been applied to women for as long as they live (and taken for granted), is applied to a certain thing, person or group. Thus, whatever is regarded as having the feminine characteristics are placed in a subordinate position, and thus experience repression. Using the ethnographic approach, the writer finds that the viewers of Mulan could be categorized into three groups based on their meaning of Mulan: the "lover" group, the "ironists" group, and the "hater" group."
2006
PDF
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Leona Dwi Untari
"Penelitian ini menggunakan film Mulan (1998) versi animasi dan Mulan (2020) versi live action sebagai korpus penelitian. Korpus tersebut memuat permasalahan gender androgini dengan narasi yang berbeda. Berbeda dari penelitian-penelitian terdahulu yang telah mengangkat permasalahan gender, penelitian ini berfokus pada isu androginitas (femininitas dan maskulinitas yang tinggi dalam satu individu) yang direpresentasikan melalui tokoh Mulan. Dengan menggunakan konsep Androgini Bem S.L (1974)., penelitian ini mencoba membongkar transformasi androginitas pada tokoh Mulan dalam kedua film tersebut dan refleksinya. Hasil analisis menemukan androginitas Mulan terbentuk karena adanya dukungan dari lingkungan sekitar, peran orang tua, dan keyakinan diri sendiri dalam menentukan identitas yang diinginkan. Transformasi tersebut dapat dimaknai dengan adanya upaya Disney (sebagai rumah produksi film bertema princess/putri) untuk melakukan koreksi terhadap cara pandangnya terhadap permasalahan gender.

This study uses the animated version of the Mulan (1998) film and the live action version of Mulan (2020) as the research corpus. The corpus contains androgynous gender issues formulated in different narratives. Different from previous studies that have raised gender issues, this research focuses on the issue of androgyny (high femininity and masculinity in one individual) which is represented through the character Mulan. By using the concept of Androgynous Bem S.L. (1974), this research tries to uncover the androgynous transformation of Mulan's character in the two films and her reflection. The analysis found that Mulan's androgyny was formed because of the support from the surrounding environment, the role of parents, and her self-confidence in determining the desired identity. This transformation can be interpreted by Disney's efforts (as a princess/princess-themed film production house) to make corrections to its perspective on gender issues.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>