Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 156346 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Panut
"Turki, Suriah, dan Irak merupakan tiga negara yang dilintasi oleh sungai Efrat dan Tigris. Sejak dibangunnya bendungan-bendungan modern di Turki dan Suriah pada 1960-an, konflik ketegangan muncul di antara ketiga negara. Akan tetapi, munculnya Arab Spring di Tunisia kemudian memicu pemberontakan rakyat Suriah terhadap rezim yang dictator dan represif sehingga menyebabkan perang saudara di Suriah. Sedangkan di Irak, instabilitas politik telah terjadi sejak invasi Amerika Serikat tahun 2003. Instabilitas yang terjadi Suriah dan Irak kemudian memberikan celah kepada kelompok-kelompok Violent Non-state Actors untuk mengambil alih beberapa fasilitas air yang ada di Suriah dan Irak. Sehingga kelompok-kelompok tersebut menggunakan fasilitas air tersebut untuk mencapai kepentingan mereka baik ekonomi maupun politik, bahkan mereka juga menjadikan air sebagai alat penyerangan dan pertahanan. Di sisi lain, Turki harus menghadapi ancaman dari PKK, kelompok separatis Kurdi yang milisinya juga terdapat di Suriah dan Irak. Hal ini tentu menjadi babak baru dalam sejarah konflik air tawar di kawasan sungai Efrat dan Tigris. Tulisan ini membahas faktor penyebab konflik air tawar di kawasan sungai Efrat dan Tigris pasca-Arab Spring, serta dinamika konflik dan peleraiannya. Tulisan ini menggunakan teori hidropolitik dan Metodologi deskriptif kualitatif dengan mengumpulkan data dari Jurnal, buku dan website terkait.

Turkey, Syria, and Iraq are three countries where the Euphrates and Tigris rivers intersect. Tension conflicts have arisen between the three countries since the construction of modern dams in Turkey and Syria in the 1960s. However, the arrival of the Arab Spring in Tunisia subsequently triggered a rebellion of the Syrian people against a dictatorial and oppressive regime, causing a civil war in Syria. Meanwhile, political instability has surfaced in Iraq since the invasion of the United States in 2003. The instability experienced in Syria and Iraq provided an opportunity for violent non-state actor groups to hijack several water services in Syria and Iraq. These groups may even use water as a means of attack and defense to use water facilities to claim economic and political interests. Meanwhile, Turkey faces a threat from the  Kurdish separatist group PKK, which also has militias in Syria and Iraq. This is certainly a new chapter in the history of freshwater conflicts on the Euphrates and Tigris rivers. This paper discusses the causes of freshwater conflicts in the Euphrates and Tigris river basins after the Arab Spring,  the dynamics of the conflict, and its resolution. This treatise collects data from relevant journals, books, and websites using hydro political theory and qualitative description methods."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nawan Yulianto
"Periode pasca-Arab Spring telah menjadi sebuah arena politik dimana partai-partai Islamis memainkan peran yang relatif signifikan dalam transisi politik demokratis di Timur Tengah. Meski banyak pihak menafsirkan adopsi kalangan Islamis atas nilai-nilai demokrasi sebagai sekedar upaya pragmatis, taktis, dan minim ketulusan, persoalan Islam dan demokrasi telah menjadi perhatian beberapa pemikir Islamis berpengaruh bahkan beberapa dekade sebelum pecahnya Arab Spring. Mengkaji Islamisme lebih sebagai sebuah tradisi pemikiran, penelitian ini berupaya menelusuri genealogi pemikiran kalangan Islamis mengenai demokrasi pada tradisi pemikiran Islam modernis hingga munculnya kelompok yang dikenal sebagai “neo-Islamis”. Berbarengan dengan analisis terhadap aspek-aspek doktrinal dari pemikiran kalangan Islamis, penelitian ini akan mendemonstrasikan bagaimana perdebatan intra-Islamis mengenai teologi politik tertentu dapat menimbulkan perbedaan-perbedaan penting, baik secara ideologis maupun politis. Hal ini dilakukan dengan melihat pada praktik politik partai-partai Islamis di Mesir, Tunisia, dan Maroko. Studi ini mendapati adanya kontinuitas sekaligus perubahan pada pemikiran kalangan Islamis mengenai demokrasi dari tradisi pemikiran Islam modernis dan menganalisis bagaimana hal ini memengaruhi trayek politik partai-partai Islamis di tiga negara tersebut setelah Arab Spring. Meski terdapat ambivalensi terhadap gagasan demokrasi, bahkan kecenderungan anti-demokrasi, di kalangan Islamis awal; periode pasca-Arab Spring menegaskan mungkinannya upaya rekonsiliasi antara pemikiran Islamisme dan aspek-aspek demokrasi tertentu.

The post-Arab Spring period had been a political arena where Islamist parties played relatively significant roles in the democratic political transition in the Middle East. Despite the fact that many have interpreted the adoption of democratic values by Islamist parties as merely pragmatic, tactical effort and lacking sincerity, the question of Islam and democracy had been discussed by some prominent Islamist thinkers, even decades before the break of the Arab Spring. Approaching Islamism more as an intellectual tradition, the present study seeks to trace the genealogy of Islamist thought on the issue of democracy in the discourses of some Islamic modernist thinkers until the emergence of the so called “new-Islamist”, in the years prior to the Arab Spring. Along with an analysis on the doctrinal aspects of Islamist thought, this study will then demonstrate how intra-Islamist debates on certain political theology can cast light on important differences among Islamists themselves, both ideologically and politically. This will be done by looking at the politics of Islamist parties in Egypt, Tunisia, and Morocco. The study notices the existence of both continuity and change in the Islamist thought on democracy from the Islamic modernist tradition and analyzes how they affect the different political trajectories of Islamist parties in those three countries in the aftermarth of the Arab Spring. Eventhough there had been an ambivalence attitude, or even a hostile tendency, toward democracy among the early Islamists; the post-Arab Spring has confirmed the possibility of reconciliation between Islamist political thought and certain aspects of democracy"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fadhilah Fitri Primandari
"Prinsip normatif mengenai kesetaraan dalam konsep maupun teori demokrasi dan demokratisasi telah berkontribusi kepada asumsi bahwa demokratisasi berdampak baik bagi perempuan. Apabila merujuk kepada kasus-kasus demokratisasi yang diikuti oleh stagnasi maupun memburuknya hak perempuan, timbul urgensi untuk meninjau ulang persoalan demokratisasi dan hak perempuan. Tulisan ini menghadirkan kerangka teori baru untuk menjelaskan persoalan tersebut. Dengan berpijak pada logika bahwa konsepsi masyarakat mengenai demokratisasi dapat berbeda-beda dan memengaruhi hasil dari transisi politik, tulisan ini berargumen bahwa meluas-tidaknya konsepsi masyarakat mengenai demokratisasi memengaruhi kondisi hak perempuan pascademokratisasi. Studi perbandingan terhadap kasus demokratisasi di Tunisia dan Mesir pasca-Arab Spring membuktikan bahwa konsepsi demokratisasi yang bersifat minimalis diikuti oleh stagnasi atau progres hak perempuan yang terbatas pula. Penelitian ini pun menunjukkan bahwa kategorisasi konsep dan konsepsi mengenai demokrasi (dan demokratisasi) ke dalam kelompok minimalis dan maksimalis secara konvensional tidak mampu menjelaskan persoalan hak perempuan dalam demokrasi dan demokratisasi, sehingga diperlukan cara baru untuk mendefinisikan kedua kategori tersebut. Dengan menggunakan perspektif gender yang lintas ruang publik-privat, tulisan ini memperkenalkan definisi baru mengenai demokrasi (dan demokratisasi) minimalis dan maksimalis serta ‘membumikan’ definisi tersebut untuk menjelaskan bagaimana konsepsi masyarakat mengenai demokratisasi memengaruhi dampak demokratisasi bagi hak perempuan. Terbuktinya kerangka teori yang diajukan tulisan ini melemahkan teori-teori terdahulu yang memosisikan peran aktif perempuan sebagai faktor penentu hak perempuan pascademokratisasi
The grand claim that democracy upholds equality for all its citizens has contributed to the assumption that democratization is good for women. Studies revealing cases of democratization followed by stagnation and worsening of women’s rights gave raise to the urgency to reexamine the issue of democratization and women’s rights. This paper proposes a new theoretical framework to answer the question concerning the two. By founding its idea on evidence that people understand democracy differently and the important role that people play in determining the outcome of political transitions, this paper argues that conceptions of democratization determine women’s rights after democratic transitions. The comparative inquiry into the democratization in Tunisia and Egypt after the Arab Spring finds that minimalist conceptions of democratization in both countries were followed by stagnation and limited progress in women’s rights. This study also reveals that the conventional definitions of minimalist and maximalist democracy are insufficient to explain the issue of women’s rights in democracy and democratization, and thus new definitions are necessary. Through a gender-sensitive lens that delves into both the public and private sphere, this paper redefines what constitutes as a minimalist and maximalist democracy. These new definitions were then used to interpret and demonstrate how different conceptions of democratization lead to different outcomes for women’s rights after democratization. The strengthening of this theoretical framework challenges earlier theories that positions women’s active participation in democratization as the main determinant of progress in women’s rights after democratization.
"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nazilah Qothrunnada
"Latar belakang penulisan karya ilmiah ini berawal dari ketertarikan penulis tentang fenomena Arab Spring yang menjadi awal kemunculan dari konflik-konflik yang terjadi di Timur Tengah, khususnya Suriah. Konflik-konflik ini mengakibatkan penduduk Suriah harus mengungsi di negara lain. Jerman menjadi negara Eropa pertama yang menerima para pengungsi Suriah dengan tangan terbuka. Hal ini berbeda dengan tanggapan negara-negara Timur Tengah yang tidak terlalu terbuka dalam menerima para pengungsi Suriah. Dalam penulisan karya ilmiah ini, penulis menggunakan metode deskriptif. Penulis menggunakan metode ini dengan pendekatan studi pustaka yang bersumber dari surat kabar, jurnal, dan buku mengenai pengungsi Suriah di Jerman. Temuan sementara yang penulis dapat sampaikan bahwa alasan penduduk Suriah mengungsi di Jerman antara lain karena perang saudara dan juga fenomena ISIS yang muncul di negara tersebut. Para pengungsi ini memilih negara Jerman untuk dijadikan tempat mengungsi karena Jerman sangat terbuka dalam menerima pengungsi. Hal ini dilakukan Jerman karena pengalaman di masa lalu yang pernah merasakan menjadi pengungsi dan juga pernah menampung pengungsi dalam jumlah besar. Para pengungsi Suriah di Jerman tidak hanya ditangani oleh pemerintah Jerman saja, akan tetapi lembaga UNHCR juga turut berperan dalam menangani para pengungsi. Hingga saat ini terdapat beberapa masalah yang dirasakan oleh para pengungsi Suriah di Jerman, namun tidak menghalangi mereka untuk tetap tinggal di sana.

This journal is written based on Arab Spring phenomenon around the Middle East. This phenomenon became the beginning of the conflicts in the Middle East especially in Syria. These conflicts led to Syrian people must be fled in other countries. Germany became the first European country that receives Syrian refugees with an open arms. Contrast with the responses of the Middle Eastern countries that are not too open in accepting Syrian refugees. This journal uses descriptive method. The author uses this method with the approach of literature sourced from newspapers, thesis, and books about the Syrian refugees in Germany. The research results in the hypothesis that the Syrian refugees reasons to flee in Germany are because the civil war and ISIS phenomenon in that state. The Syrian people choose Germany to be an assylum for them is because Germany accepting them with open arms. Germany did that based on their history and experience in accepting refugees. Syrian refugees in Germany are not only handled by the government, but UNHCR also played a role in handling the refugees. Until now there are some problems perceived by the Syrian refugees in Germany, but it did not deter them to stay there.
"
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2017
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Wahyu Hidayat
"Skripsi ini membahas mengenai wacana politik berupa peran semantis dan pragmatik yang terdapat di dalam Pidato Raja Yordania Abdullah II Pasca ArabSpring sejak 2011 sampai dengan 2015. Penelitian ini memfokuskan kepada analisis relasi semantis dan analisis tindak tutur ilokusi yang digunakan RajaAbdullah II pasca Arab Spring. Penelitian ini menggunakan studi deskriptif kualitatif yang digabungkan dengan studi kuantitatif enklitik . Adapun teori yang digunakan berupa teori relasi makna dan teori tindak tutur Searle 1979 yang meliputi ilokusi asertif, direktif, komisif, ekspresif, dan deklaratif. Pidato Raja Yordania yang menjadi korpus data, adalah pidato politik Parlemen yang memuat permasalahan bangsa Yordania pasca Arab Spring antara tahun 2011-2015.Penelitian ini menemukan bahwa tindak tutur yang dilakukan oleh Raja Yordania Abdullah II mengacu kepada konteks pragmatik yang ditimbulkan dari permasalahan politik di negara Yordania seperti permasalahan demokrasi,ekonomi, keamanan, reformasi politik, dan hubungan internasional. Salah satukarakteristik bentuk tindak tutur direktif yang digunakan oleh Raja Abdullah IIadalah penggunaan tekanan ilokusi dengan menggunakan partikel. Selain partikel tersebut penggunaan tindak tutur direktif jugadilakukan dengan penggunaan retorika bahasa Arab Al Iqtibas. Dalam ujaran ekspresif pujian, Raja Abdullah II juga menggunakan makna reflektif sebagai bentuk pujian. Sedangkan konteks Arab Spring antara tahun 2011-2015, sangat jelas mempengaruhi tindak tutur yang berkaitan dengan topik Palestina, Suriah,Terorisme dan Fanatisme serta Dewan Kerjasama Teluk. Relasi makna yang dibangun Raja Abdullah II terbentuk atas pengaruh dimensi konteks yang adapada ujarannya.

This undergraduate thesis is discussed about political discourse that concentratedwith the semantic relational and pragmatic speech act of discourse . Therefore,this topic was focussed on the analysis semantic and pragmatic from politicaldiscourse on Speeches of King Abdullah II Kingdom of Hashemite of Jordan postArab Spring 2011 2015 .This thesis undergraduate used mixing method ofqualitative description and quantitative enclitic . The theory of Speech Act ofSearle 1979 and theory of semantic relational is main theory. The Speech Act ofSearle 1979 to including of Assertive, Directive, Commisive, Expressive, andDeclarative. The speeches of King Abdullah II to be main corpus data whichsubject of political issues of Jordan after Arab Spring on 2011 2015. This researchwas founded Abdullah II rsquo s speech act using utterance pragmatics that haverelation with Jordan political issues as democracy, economy, security, politicreformation, and international relationship. On the speech act of King Abdullah IIhave characteristic on his utterance. One of characteristic of King Abdullahutterance is directive illocution that using the particles of laa budda , inna , akkada , yajibu , usyaddidu and ad daruuriyy . In additionto this particles, on King Abdullah II rsquo s directive illocution, he did utterance withthe Al Iqtibas Arabic Rhetoric . For praise illocution expressive , KingAbdullah II occasionally, he used reflective meaning as praising. The Arab SpringInfluence 2011 2015 effected his illocutions on the topic of Palestine, Syria,terrorism, fanaticism, and Gulf Cooperation Council GCC . And on his utterancefounded of semantic relational which influenced dimension of political context onhis utterances.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fauzan Irvan
"Penelitian ini bertujuan menganalisis serangkaian upaya Tunisia dalam mengkonsolidasi Negara demokrasi pasca Arab Spring pada periode 2014 sampai 2020. Periode tahun 2014 sebagai titik awal langkah maju untuk membangun demokrasi di Tunisia yang membawa harapan bagi masyarakat Tunisia akan ketidakstabilan politik dan di tahun 2020 sebagaimana dalam Indeks Demokrasi Tunisia pada tahun 2019 mendapatkan skor 6.72 (dari 10,00). Ini menunjukan bahwa Tunisia telah melakukan lompatan besar dalam mengonsolidasikan demokrasinya setelah Arab Spring. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus, dan data dianalisis dengan menggunakan model interaktif Miles dan Huberman. Analisis tahapan kondisi konsolidasi demokrasi di Tunisia dapat dilihat dalam perjalan sistem pemilihan Presiden dan Parlemen Tunisia pada periode 2014 dan 2019 yang bebas dan adil serta digunakannya Konstitusi baru 2014 menjadi tonggak utama demokratis yang menghormati kebebasan berorganisasi, kebebasan beragama, menjamin check and balance yang berkaitan dengan eksekutif dan mengakui kesetaraan gender. Faktor pendukung proses konsolidasi demokrasi di Tunisia diantaraya: 1) Kemauan tokoh-tokoh politiknya untuk berkompromi; 2) Sektor keamanan (militer) yang lemah dan 3) Kuatnya civil society mengawal proses demokrasi. Namun demikian, penerapan sistem demokrasi tersebut masih menjadi perdebatan dengan masalah tingkat ketidakpuasan yang signifikan tidak hanya dengan partai politik dan Parlemen, tetapi juga dengan institusi demokrasi itu sendiri. Pemerintahan masih belum mampu mengatasi tantangan mendesak, seperti pengangguran kaum muda, kesenjangan sosial ekonomi regional, marjinalisasi politik islam dan korupsi yang merajalela sehingga menjadi penghambat proses konsolidasi demokrasi.

This study aims to analyze a series of Tunisian efforts in consolidating a post-Arab Spring democratic state in the period from 2014 to 2020. The 2014 period is the starting point for moving forward to build democracy in Tunisia which brings hope to the Tunisia society for the political instability in 2020 as shown in the Tunisia Democracy Index in 2019 got a score of 6.72 (out of 10,00). This shows that Tunisia has made a big leap in consolidating its democracy after the Arab Spring. This study uses a qualitative approach with a case study method, and the data is analyzed by using the interactive Miles and Huberman model. An analysis of the stages of the consolidation of democracy in Tunisia can be seen in the course of the Tunisian Presidential and Parliamentary election system in the 2014 and 2019 periods which were free and fair and the use of the new 2014 Constitution as the main democratic pillar that respects freedom of association, freedom of religion, guarantees checks and balances related to executive and recognizes gender equality. Contributing factors of the democratic consolidation process in Tunisia include: 1) the Willingness of political figures to compromise; 2) The security sector (military) is weak and 3) The strength of civil society overseeing the democratic process. However, the implementation of the democratic system has still in conflict with the problem of a significant level of dissatisfaction, not only with political parties and Parlement but also with the democratic institutions themselves. The government is still unable to overcome urgent challenges, such as youth unemployment, regional socio-economic disparities, the marginalization of Islamic politics and rampant corruption which have become obstacles to the process of consolidating democracy.  "
Jakarta: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Saggs, H.W.F.
New York: New American Library, 1968
913.35 SAG g
Buku Teks SO  Universitas Indonesia Library
cover
Nurul Hanifah
"Artikel ini membahas tentang perkembangan sinema di Mesir pada tahun 2011-2020. Industri film Mesir mengalami krisis selama periode krisis pasca peristiwa Arab Spring tahun 2011-2013 yang berdampak pada penurunan jumlah produksi film. Selama masa krisis terdapat dua jenis film yang mengisi perfilman nasional, yaitu film komersial yang berfokus pada kuantitas produksi untuk meraih profit sebesar-besarnya dan film independen yang berfokus pada kualitas sinematografi. Di samping itu layanan video on demand berkembang sebagai metode distribusi film baru seiring meningkatnya penggunaan internet. Penelitian ini menemukan bahwa perfilman Mesir mengalami kebangkitan serta kembali produktif sejak tahun 2016 akibat berkembangnya produksi film independen, distribusi film secara daring, dan kerjasama yang baik dalam komunitas film. Pada penyusunan artikel ini digunakan metode kualitatif dengan melakukan studi pustaka terhadap beberapa buku, jurnal, dan sumber resmi yang terkait. Teori pada penulisan ini adalah teori Third Cinema oleh Teshome Gabriel, yaitu Third Cinema sebagai bentuk revolusi estetika dan politik dalam film yang mencerminkan kehidupan rakyat secara realistis.

This article discusses the development of cinema in Egypt in the period of 2011-2020. The Egyptian film industry experienced a crisis during the critical period after the Arab Spring event in 2011-2013 which resulted in a decline in the number of film productions. During the crisis period, there were two types of films which are present in cinema, namely commercial films which focused on the quantity of production to achieve maximum profit, and the others are independent films which focused on their quality of cinematography. In addition, video on demand services are developing as a new film distribution method along with the increasing use of the internet. This study finds that Egyptian cinema has experienced a revival and has been productive again since 2016 due to the development of independent film production, online film distribution, and good cooperation in the film community. In preparing this article, a qualitative method was used by conducting a literature study of several books, journals, and related official sources. The theory used in this writing is the theory of Third Cinema by Teshome Gabriel, namely Third Cinema as a form of aesthetic and political revolution in films that reflect the social reality."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Universitas Indonesia, 1994
S33475
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindi Riyanika Hidayah
"Arab Spring yang bermula di Tunisia merupakan awal baru bagi Tunisia melepaskan diri dari pemerintahan diktaktor di bawah rezim Ben Ali. Revolusi ini melambungkan nama seorang sosok Rachid Ghannouchi yang dalam penelitian ini akan dibahas mengenai perannya dalam masa transisi demokrasi di Tunisia pasca Arab Spring. Tujuan penilitian ini adalah untuk mengetahui sosok Rachid Ghannouchi dan perannya dalam transisi demokrasi di Tunisia pasca Arab Spring. Proses pengumpulan data dilakukan dengan dua jenis. Pertama, pengumpulan data primer melalui wawancara tidak langsung, selain wawancara data primer didapat dari buku-buku karya Rachid Ghannouchi. Kedua, pengumpulan data sekunder diperoleh melalui beberapa kajian pustaka salah satunya buku, penelitian terdahulu, artikel, jurnal dan informasi dari media elektronik. Penelitian ini menerapkan teori kepemimpinan dan teori peran yang digunakan untuk menganalisa siapa sosok Rachid Ghannouchi dan perannya pasca Arab Spring. Berdasarkan penelitian yang dilakukan didapat hasil berupa Rachid Ghannouchi memiliki peran dalam menjembatani pihak sekularis dan islamis di Tunisia pada masa transisi demokrasi pasca Arab Spring. Sehingga tujuan dari penelitian ini bisa menjawab permasalahan dan hasilnya bisa dijadikan acuan atau literasi dalam aktivitas akademik.

The Arab Spring which began in Tunisia is a new movement for Tunisia to break away from the dictatorial government under Ben Ali's regime. This revolution catapulted the name of a figure of Rachid Ghannouchi, who in this study will discuss his role in the transition period of democracy in Tunisia after the Arab Spring. The purpose of this study was to find out the figure of Rachid Ghannouchi and his role in the transition to democracy in Tunisia after the Arab Spring. Ellipsis data collection is done in two types. First, primary data collection was obtained through indirect interviews and several books by Rachid Ghannouchi. Second, secondary data collection was obtained through several literature studies, such as books, previous research, articles, journals and information from electronic media. The researcher used the theory of the leadership and the role theory used to analyze who the figure of Rachid Ghannouchi and his role after the Arab Spring. Based on the research conducted, the results obtained in the form of Rachid Ghannouchi have a role in bridging secularists and Islamists in Tunisia during the democratic transition period after the Arab Spring. So the purpose of this study can answer the problem and the results can be used as a reference or literacy in academic activities.
"
Depok: Sekolah Kajian Stratejik dan Global Universitas Indonesia, 2019
T52015
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>