Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 105386 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Raesa Yolanda
"Latar Belakang: Meningitis tuberkulosis (TBM) merupakan manifestasi terberat infeksi TB dan prognosisnya bergantung pada kecepatan memulai terapi. Studi ini bertujuan mengetahui alur perjalanan pasien TBM serta faktor-faktor yang memengaruhi keterlambatan dalam mendapatkan pengobatan.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi potong lintang dari pasien TBM yang sudah mendapatkan terapi OAT dan dirawat di RSCM pada bulan Januari 2020 – April 2022. Data diperoleh melalui wawancara terhadap pasien atau pendamping dan telusur rekam medis.
Hasil: Sebanyak 99 orang subjek yang memenuhi kriteria. Terdapat 6 pola alur perjalanan pasien dengan yang terbanyak adalah mengalami gejala umum diikuti gejala neurologis, mencari pertolongan kesehatan, terdiagnosis, dan mendapatkan pengobatan (52,5%). Fasilitas kesehatan pertama terbanyak dikunjungi pasien adalah praktek dokter swasta (L1b) (35,4%). Median jumlah kunjungan yang dibutuhkan pasien untuk mendapatkan pengobatan adalah 6 (4-9) kunjungan dengan durasi keterlambatan sebagai berikut: keterlambatan pasien 17 (3-33) hari, keterlambatan diagnosis 44 (16-101) hari, keterlambatan pengobatan 1 (0-1) hari, dan keterlambatan total adalah 78 (33-170) hari. Faktor yang secara signifikan berhubungan dengan keterlambatan yang lebih panjang (>78 hari) adalah jumlah kunjungan ke fasilitas kesehatan aOR=3,51 (CI95=1,36-9,10; p=0,01) dan pendidikan rendah aOR=0,30 (CI95=0,01-0,89; p=0,03).
Kesimpulan: Pasien TBM di RSCM menjalani kunjungan multipel dan membutuhkan waktu 2,5 bulan sejak mengalami gejala hingga mendapatkan pengobatan dengan keterlambatan terbesar berasal dari sistem kesehatan.

Background: Tuberculous meningitis (TBM) is the worst manifestation of TB infection. Its prognosis is depend on timely treatment initiation. This study intend to know TBM patient pathway and factors that affect treatment delay.
Methods: This was a crossectional study of TBM patients who have received antituberculous medication and were admitted at the RSCM January 2020-April 2022. Data were obtained from interview to either patient or caregiver and medical reccord.
Results: A total of 99 subjects met the criteria. There were 6 patterns of patient pathway with the most prevalent is having general symptoms followed by neurological symptoms, first healthcare visit, diagnosed, and treated (52.5%). The first healthcare visited by most patients was private doctor's practice (L1b) (35.4%). Median number of visits before recieving treatment was 6 (4-9) visits. Delay duration are as follow: patient delay 17 (3-33) days, diagnosis delay 44 (16-101) days, treatment delay 1 (0-1) day, and total delay 78 (33-170) days. Factors that significantly associated with longer delays were number of visits to healthcare facilities aOR=3.51 (CI95=1.36-9.10; p=0.01) and lower education aOR=0.30 (CI95=0 .01-0.89; p=0.03).
Conclusions: TBM patients experienced multiple visit and had 2.5 months delay from first symptoms to treatment with the longest delay coming from the healthcare system.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ferry Wardhana
"Umrah dilaksanakan dengan cara melakukan beberapa tahapan ibadah di kota suci Mekkah, khususnya di Masjidil Haram. Berbeda dengan ibadah haji, ibadah umrah dapat dilakukan kapan saja dan tanpa dibatasi batasan umur. Umroh dan haji sebagai salah satu bentuk mass gathering yang rutin dan berulang dengan konsekuensi potensi masalah kesehatan antara lain penularan penyakit infeksi. Saat ini alat transportasi pilihan utama yang digunakan oleh jamaah umrah adalah menggunakan pesawat terbang. Lingkungan pesawat yang unik merupakan salah satu sarana penyebaran penyakit antar penumpang. Mobilitas yang tinggi dari perjalanan pesawat terbang akan menimbulkan penyebaran penyakit antar negara dan berpotensi menyebabkan pandemi. Disiplin Kedokteran Penerbangan berperan penting dalam mencegah terjadinya penularan penyakit pada jamaah umrah yaitu dengan cara memastikan seluruh Jemaah telah mendapatkan vaksinasi. Salah satu penyakit yang penularannya dapat terjadi di pesawat dan dapat dicegah dengan menggunakan vaksinasi adalah meningitis. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor faktor yang berpengaruh terhadap kepatuhan jamaah umrah melaksanakan vaksinasi meningitis. Penelitian menggunakan potong lintang. Seratus jamaah umrah yang tiba di Bandara Soekarno Hatta diambil datanya menggunakan kuesioner. Hasil penelitian menunjukan faktor faktor yang berpengaruh adalah tingkat pendidikan, lokasi penyuntikan, dan asas manfaat. Jamaah umrah dengan tingkat pendidikan tinggi lebih patuh 3,56 kali daripada jamaah umrah yang berpendidikan rendah. Jamaah umrah yang melakukan vaksinasi di KKP lebih patuh 4,3 kali daripada jamaah umrah yang melakukan vaksinasi di klinik/rumah sakit. Sedangkan jamaah umrah dengan persepsi manfaat yang tinggi lebih patuh 4,82 kali daripada jamaah umrah dengan persepsi manfaat yang rendah

Umrah is carried out by performing several stages of worship in the holy city of Mecca, especially at the Grand Mosque. Unlike the pilgrimage, Umrah can be done at any time and without age restrictions. Umrah and hajj are a form of routine and recurring mass gathering with potential consequences for health problems, including the transmission of infectious diseases. Currently, the main mode of transportation used by Umrah pilgrims is by airplane. The unique aircraft environment is one means of spreading disease between passengers. The high mobility of airplane travel will cause the spread of disease between countries and the potential to cause a pandemic. The Discipline of Aviation Medicine plays an important role in preventing the spread of disease in Umrah pilgrims, namely by ensuring that all Congregations have been vaccinated. One of the diseases that can be transmitted on board and can be prevented by using vaccination is meningitis. This study aims to determine the factors that influence the obedience of Umrah pilgrims in implementing meningitis vaccination. Research using cross sectional. One hundred Umrah pilgrims who arrived at Soekarno Hatta Airport were collected using a questionnaire. The results showed that the influencing factors were the level of education, the location of injection, and the principle of benefit. Umrah pilgrims with a higher level of education are 3.56 times more obedient than those with low education. Umrah pilgrims who vaccinate at the KKP are 4.3 times more obedient than Umrah pilgrims who vaccinate in clinics / hospitals. Meanwhile, those with a high perceived benefit were 4.82 times more obedient than those with a low perceived benefit."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Widya Andini
"Latar Belakang: Meningitis tuberkulosis (TBM) memiliki angka kematian yang tinggi khususnya pada kelompok HIV positif. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui karakteristik klinis dan prediktor kesintasan TBM dalam masa perawatan dan 6 bulan berdasarkan status infeksi HIV.
Metode: Studi kohort retrospektif menggunakan data Indonesian Brain Infection Study bulan April 2019-September 2021 dengan diagnosis akhir TBM. Analisis faktor yang berhubungan dengan kesintasan masa perawatan dilakukan dengan regresi logistik. Estimasi probabilitas kesintasan 6 bulan dan prediktor yang berperan dinilai menggunakan kurva Kaplan-Meier dan uji regresi Cox.
Hasil: Sebanyak 133 subjek TBM dimasukkan ke dalam studi (HIV positif 39,8%, TBM definite 31,6%). HIV positif memiliki temuan TBM definite yang lebih rendah, peningkatan sel dan protein cairan serebrospinal (CSS) yang lebih rendah, penurunan rasio glukosa CSS:serum yang lebih rendah, dan temuan TB milier yang lebih tinggi. Kesintasan dalam masa perawatan secara umum adalah 73,7% (HIV positif 67,9% vs. HIV negatif 77,5%, p=0,2), dipengaruhi oleh TBM probable dan TBM derajat 3. Estimasi probabilitas kesintasan 6 bulan adalah 57,9% (HIV positif 54,7% vs. HIV negatif 60%, p=0,4), dipengaruhi oleh waktu inisiasi obat antituberkulosis (OAT) dan TBM derajat 3. Tidak didapatkan perbedaan prediktor kesintasan masa perawatan dan 6 bulan berdasarkan status HIV.
Kesimpulan: Kelompok HIV positif memiliki gambaran inflamasi CSS yang lebih rendah namun cenderung memiliki kesintasan rawat inap dan 6 bulan yang lebih rendah. TBM stadium lanjut berperan pada kesintasan jangka pendek dan panjang, sementara penundaan inisiasi OAT sejak admisi berhubungan dengan kesintasan jangka panjang.

Background: Tuberculous meningitis (TBM) has a high mortality rate, especially in the HIV positive group. This study aims to define the clinical characteristics, as well as to analyze the inhospital and 6 month-survival and the following predictors of TBM patients with and without HIV infection.
Methods: Cohort retrospective study using Indonesian Brain Infection Study data with final diagnosis of TBM, between April 2019 and September 2021. Logistic regression was used to determine the predictors of inhospital survival. Meanwhile, 6-months probability survival was estimated using Kaplan-Meier curves and Cox regression analysis.
Results: A total of 133 subjects were included in the study (HIV positive 39.8%, definite TBM 31.6%). HIV positive group had less TBM definite, lower cerebrospinal fluids (CSF) cells and protein increases, smaller decrease in CSF:serum glucose ratio, and more miliary TB cases. Overall inhospital survival was 73.7% (HIV positive 67.9% vs. HIV negative 77.5%, p=0.2), with predictors of TBM probable and TBM grade 3. Six-month probability survival estimates was 57.9% (HIV positive 54.7% vs. HIV negative 60%, p-=0,4), with predictors of initiation of TB drug timing and TBM grade 3. We found no significant differences of inhospital and 6-month predictors according to HIV status.
Conclusions: Despite less inflammatory profile, HIV positive group had lower inhospital and 6-month survival. Advanced stage TBM had lower inhospital and 6-month survival, while delayed TB drug initiation was more related to the 6-month survival.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
"Angka kematian meningitis tidak mengalami epnurunan walaupun terdapat penurunan angka kejadian meningitis dan berkembangnya penemuan antibiotik."
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Jofizal Jannis
"Angka kematian meningitis tidak mengalami penurunan walaupun terdapat penurunan angka kejadian meningitis dan berkembangnya penemuan antibiotik baru. Tujuan penelitian ini adalah melaporkan pola kematian meningitis dan niengetahui faktor yang berhubungan dengan kematian akibat meningitis pada penderita yang dirawat. Penelitian potong lintang menggunakan data rekam medis penderita meningitis yang dirawat di bangsal Neurologi RS Cipto Mangunkusumo Jakarta dari Januari 1997 - Desember 2005. Data dilaporkan dalam bentuk tekstular dan table, dan kemudian dilakukan analisis mcnggunakan Chi-kuadrat untuk data kategorik dan Student's "t" rest untnk data numerical. Analisis menggunakan program SPSS v 13 for Windows. Penelitian ini mengikutsertakan 273 penderita, yang terdiri dari 81 wanila dan 192 pria, dengan usia antara 12 sampai 78 tahun. Seratuis empat belas penderita meninggal dan 159 hidup. Penurunan kesadaran, terutama sopor (OR 10.44, p 0.000) dun koma (OR 53.333, p 0.000), dan adanya himaparesis (OR 2.068, p 0.009) berhubungan dengan keluaran. Angka kematian meningitis masih tinggi (41.8%). Dari penelitian ini didapatkan tingkat kesadaran dan heiniparesis berhubungan dengan angka kematian. (Med J Indones 2006; 15:236-41).

Mortality rate of meningitis is not decreased even though there is decreasing meningitis rate and advanced development of antibiotics. The purpose of this study is to find out meningitis mortality pattern and to evaluate factors related to meningitis mortality in hospitalized patients. Study was done using retrospective data from medical records of the patients administered in llte Neurology ward of Cipto Mangunkusumo hospital from January 1997 - December 2005. Data were reported descriptively in text* and tables, and analyzed with Chi-square for categorical data and Student's "t" test for numerical data, then for final model using multinomial logistic regression analysis. Two hundred and seventy three patients were included in this study, consisted of 81 female patients and 192 male patients age between 12 to 78 years old. A hundred and fourteen patients died during am! 159 patients lived. Decreased level of consciousness, especially stupor (OR 10.44, p 0.000) and coma (OR 53.333, p 0.000), and presence of motor weakness (OR 2.068, p 0.009) had relationship with outcome. Mortality rate of meningitis is still high (41.8%) because there are some factors that affect its prognosis. From this study, onset, level of consciousness, and motor weakness are predictors for meningitis death. (Med J Indones 2006; 15:236-41)."
[place of publication not identified]: Medical Journal of Indonesia, 2006
MJIN-15-4-OctDec2006-236
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Tara Wandhita Usman
"Latar Belakang : Gangguan fungsi hati pada meningitis tuberkulosis (MTB) dilaporkan sebesar 9,5- 43,3%. Gangguan hati dapat mempengaruhi tata laksana berupa interupsi pemberian obat anti tuberkulosis (OAT) yang dapat menyebabkan perburukan klinis dan meningkatkan risiko kematian terutama pada fase intensif. Metode : Studi kohort retrospektif pada pasien MTB untuk mengetahui karakteristik demografi, laboratorium gangguan fungsi hati dan mortalitas baik pada kelompok dengan dan tanpa interupsi OAT fase intensif. Penelurusan rekam medis pada pasien MTB yang dirawat di RSUPN Cipto Mangunkusumo pada Januari 2019 – April 2023. Hasil : Dari 200 subjek yang memenuhi kriteria, sebanyak 145 subjek (72,5%) mengalami gangguan fungsi hati, terdiri dari 88 subjek (60,7%) derajat ringan, 25 subjek (17,2%) derajat sedang, dan 32 subjek (22,1%) derajat berat. Gangguan fungsi hati banyak terjadi pada lak-laki (59,3%), median usia 37 tahun. Interupsi OAT dilakukan pada 43 subjek (29,7%). Perbedaan karakteristik yang bermakna adalah laki-laki (72,1% vs 53,9%, p=0,04), kadar tertinggi serum glutamic ocaloacetic transaminase (SGOT) (195 (10-2.945) vs 53,5 (14-464), p=<0,001) serum glutamic pyruvic transaminase (SGPT) (128 (10-1.268) vs 50 (10-294), p=<0,001), bilirubin total (1,57 (0,34-8,98) vs 1,08 (0,25-2,43), p=<0,001) dan direk (1,11 (0,19-8,05) vs 0,56 (0,12-2,01), p=<0,001). Gangguan fungsi hati derajat berat lebih banyak pada kelompok dengan interupsi (62,8% vs 4,9%, p=<0,001). Mortalitas lebih banyak pada kelompok dengan gangguan fungsi hati (34,5% vs 16,4%, p=0,012) dan pada kelompok dengan interupsi (55,8% vs 44,2%, p=<0,001). Kesimpulan : Gangguan fungsi hati pada MTB lebih banyak ditemukan pada laki-laki dengan usia dekade ketiga. Perbedaan karakteristik bermakna pada kelompok dengan interupsi OAT adalah kadar fungsi hati dan derajat gangguan fungsi hati yang lebih buruk. Mortalitas lebih banyak pada kelompok dengan gangguan fungsi hati dan kelompok dengan interupsi OAT.

Background : Liver dysfunction in tuberculosis meningitis (TBM) has been reported 9,5 – 43,3%. Liver dysfunction could impact to the therapy with interuption of antituberculosis therapy (ATT). That interruption can caused clinical deterioration and increase risk of death, especially in the intensive phase. Methods : Retrospective study on TBM patients to determine the demographic and laboratory characteristics of liver dysfunction and mortality in both groups with and without interruption of intensive phase ATT. Using medical records of TBM patients who admitted at Dr. Cipto Mangunkusumo National General Hospital from January 2019 to April 2023. Results : Total 200 subjects met the criteria, there were 145 subjects (72.5%) had liver dysfunction, the degree were consist of 88 subjects (60.7%) mild, 25 subjects (17.2%) moderate, and 32 subjects (22.1%) severe. Interruption ATT were in 43 subjects (29.7%). Liver dysfunction was common in male and median age were 37 years. Significant characteristics difference were male (72.1% vs 53.9%, p=0.04), peak level of aspartate transaminase (AST) (195 (10-2945) vs 53.5 (14-464), p=<0.001), alanine aminotransferase (ALT) (128 (10-1268) vs 50 (10-294), p=<0.001), total bilirubin (1.57 (0.34-8.98) vs 1.08 (0.25-2.43), p=<0.001) and direct bilirubin (1.11 (0.19-8.05) vs 0.56 (0.12-2.01), p=<0.001). Severe liver dysfunction more common in group with interruption (62.8% vs 4.9%, p=<0.001). Mortality was higher in liver dysfunction group (34.5% vs 16.4%, p=0.012), and in group with interruption (55.8% vs 44.2%, p=<0.001). Conclusion : Liver dysfunction in TBM more common in male in third decade. Significant characteristics difference were male, higher level of liver function test and degree of liver dysfunction. Mortality was higher in liver dysfunction group and group with interruption"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Siskawati Suparmin
"Latar Belakang: Tuberkulosis (TB) merupakan masalah kesehatan utama di dunia, khususnya di Indonesia. Tuberkulosis umumnya menyerang paru (TB paru), namun bisa juga menyerang organ lain (TB ekstraparu), seperti kolitis TB. Diagnosis kolitis TB menjadi tantangan karena klinis dan hasil pemeriksaannya menyerupai penyakit lain, seperti inflammatory bowel disease (IBD). Studi ini bertujuan untuk mengetahui proporsi hasil PCR-TB feses pada pasien teduga kolitis TB dan uji diagnosis pemeriksaan PCR-TB feses jika dibandingkan dengan hasil kolonoskopi, histopatologi, dan evaluasi klinis. Metode: Dilakukan studi uji diagnostik pada 60 subjek terduga kolitis TB di RSCM yang menjalani pemeriksaan kolonoskopi pada bulan Februari-April 2019. Ekstraksi DNA dari feses dilakukan dengan menggunakan QIAamp® Fast Stool DNA Mini Kit dan PCR dilakukan dengan kit artus® M. tuberculosis RG dengan target gen 16s rRNA. Hasil pemeriksaan PCR-TB feses dibandingkan dengan hasil kolonoskopi, histopatologi, dan evaluasi klinis. Hasil: Terdapat 60 subjek terduga kolitis TB yang disertakan dan dianalisis dalam penelitian ini. Diperoleh 26 (43,3%) hasil PCR-TB feses positif, yang terdiri atas 7/8 subjek kolitis TB dan 19/52 subjek bukan kolitis TB. Dari hasil penelitian ini, didapatkan nilai diagnostik PCR-TB feses dibandingkan hasil kolonoskopi, histopatologi, dan evaluasi klinis memiliki sensitivitas 87,5%, spesifisitas 63,5%, NPP 26,9%, dan NPN 97,1%. Simpulan: Pemeriksaan PCR-TB feses memiliki sensitivitas baik namun spesifisitas yang rendah untuk diagnosis kolitis TB sehingga lebih baik sebagai pemeriksaan penyaring untuk kolitis TB.

Background: Tuberculosis (TB) is a major health problem in the world, particularly in Indonesia. Tuberculosis commonly affects lung (pulmonary TB), but it can also affect other organs (extrapulmonary TB), such as TB colitis. The diagnosis of TB colitis has become a challenge because the clinical manifestation and its tests result can mimic other diseases, such as inflammatory bowel disease (IBD). This study was aimed to find the proportion of stool TB-PCR result in patients which suspected with TB colitis and the diagnostic value of stool TB-PCR if compared to colonoscopy, histopathology, and clinical evaluation. Methods: Diagnostic study was done in 60 subjects suspected for TB colitis in RSCM which underwent colonoscopy and histopathology examination in February-April 2019. The DNA extraction from the stool was done by using QIAamp® Fast Stool DNA Mini Kit and TB-PCR was done with artus® M. tuberculosis RG PCR kit which targeting 16s rRNA gene. The result of stool TB-PCR then was compared to the result of colonoscopy, histopathology, and clinical evaluation. Results: There were 60 subjects suspected with TB colitis recruited and analyzed in this study. There were 26 (43,3%) positive stool TB, consist of 7/8 subjects with TB colitis and 19/52 subjects with non-TB colitis. From this study, the diagnostic value of stool TB-PCR that was compared to combination of colonoscopy, histopathology, and clinical evaluation were: sensitivity 87,5%, specificity 63,5%, positive predictive value (PPV) 26,9% and negative predictive value (NPV) 97,1%. Conclusion: Stool TB-PCR has good sensitivity but low specificity for diagnosing TB colitis. Therefore, stool TB-PCR is better utilized for TB colitis screening."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
T57653
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muthia Octaviana Widianti
"Peran perawat spesialis diperlukan untuk peningkatan kualitas pelayanan asuhan keperawatan yang kompleks dan akurat sebagai pemberi asuhan keperawatan tingkat lanjut kasus neurosain, pendidik, advokat, serta agen pembaharu melalui penerapan evidence based nursing (EBN) dan proyek inovasi. Asuhan keperawatan tingkat lanjut menggunakan teori Adaptasi Roy yaitu pengelolaan pasien meningitis tuberkulosis sebagai kasus utama dan 30 resume gangguan sistem neurologi. Teori Roy banyak bertujuan meningkatkan perilaku adaptif dan mengubah perilaku inefektif. Diagnosis keperawatan yang paling banyak ditemukan pada pasien gangguan sistem neurologi adalah ketidakefektifan perfusi jaringan serebral dan hambatan mobilitas fisik.
Penerapan EBN dilakukan pada pasien stroke yang mengalami disfagia. Pasien diberikan latihan menelan shaker exercise hasilnya menunjukkan peningkatan kemampuan menelan dan tidak terjadi aspirasi. Proyek inovasi kelompok menerapkan Pengembangan Media Edukasi Perawatan Pasien Brain Tumor Craniotomy. Penerapan proyek inovasi meningkatkan pengetahuan pasien, keterampilan pasien latihan napas dalam dan mobilisasi setelah operasi, dan menambah kepercayaan diri perawat saat memberikan edukasi. Pengalaman praktik residensi diharapkan menambah kompetensi dan peran perawat spesialis di lahan klinik.

The role of nurse specialists is needed to improve the quality of complex and accurate nursing care services as providers of advanced nursing care in cases of neuroscience, educators, advocates, and agents of reform through the application of evidence based nursing (EBN) and innovation projects. Advanced nursing care uses Roy's Adaptation theory, which is the management of meningitis tuberculosis patients as the main case and 30 resumes of neurological system disorders. Roys theory aims to improve adaptive behavior and change ineffective behavior. The most common nursing diagnoses found in patients with neurological system disorders are ineffective perfusion of cerebral tissue and barriers to physical mobility.
EBN application is performed on stroke patients who have dysphagia. The patient is given training to swallow the exercise shaker, which results in increased swallowing ability and no aspiration. The group innovation project applies Development of Educational Media for Nursing Brain Tumor Craniotomy Patients. The application of innovation projects increases patient knowledge, the skills of patients in deep breathing exercises and mobilization after surgery, and increases nurse confidence when providing education. The residency practice experience is expected to increase the competency and role of specialist nurses on the clinic grounds.
"
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2019
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ni Luh Jayanthi Desyani
"Praktik klinik lanjut pada sistem neurologi keperawatan merupakan praktik profesi yang bertujuan untuk meningkatkan kemampuan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan berkualitas dalam lingkup keperawatan neurosains, menerapkan evidance based nursing (EBN) serta peran perawat sebagai inovator. Program spesialis keperawatan dilaksanakan selama 2 semester. Peran sebagai pemberi asuhan keperawatan langsung dilakukan pada pasien dengan meningitis kriptokokus dan 30 pasien dengan gangguan sistem persarafan menggunakan Model adaptasi Roy (RAM). Perilaku maladaptif paling banyak adalah mode adaptasi fisiologi, yaitu risiko ketidakefektifan perfusi jaringan serebral. Intervensi keperawatan manajemen edema serebral ditujukan untuk meningkatkan adaptasi pasien dalam meningkatkan perfusi jaringan serebral. Penerapan EBN modified constraint induced movement therapy (mCIMT) dilakukan pada 5 pasien stroke dan hasil penerapan menunjukkan bahwa mCIMT efektif dalam perbaikan fungsi motorik dan peningkatan status fungsional pada pasien stroke dengan hemiparesis unilateral ekstremitas atas. Proyek inovasi berupa flipchart tatalaksana stroke terkini bermanfaat dalam memberikan intervensi yang berbasis bukti untuk penanganan dampak stroke. Pengalaman praktik residensi penulis rasakan bermanfaat untuk meningkatkan kompetensi asuhan keperawatan yang berkualitas.

Advanced clinical practice in the nursing neurology system is a professional practice that aimed to improve the ability of nurses to provide quality nursing care within the scope of neuroscience nursing, implementing evidence-based nursing (EBN) and the role of nurses as innovators. The specialist nursing program is carried out for two semesters. The role as a direct nursing care provider was performed in patients with cryptococcal meningitis and 30 patients with nervous system disorders using Roy's adaptation model (RAM). Maladaptive behavior is the most common mode of physiological adaptation, which is the risk of ineffective cerebral tissue perfusion. Nursing interventions for cerebral edema management are aimed at increasing patient adaptation in improving cerebral tissue perfusion. The application of EBN modified constraint induced movement therapy (mCIMT) was performed in 5 stroke patients and the results of the application showed that mCIMT was effective in improving motor function and improving functional status in stroke patients with unilateral hemiparesis of the upper limb. Innovative projects in the form of a recent stroke management flipchart are useful in providing evidence-based interventions for managing the effects of stroke. The experience of the residency practice of the author feels useful to improve the competence of quality nursing care."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universiats Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shela Putri Sundawa
"Anak merupakan populasi yang memiliki risiko lebih tinggi untuk terjadinya tuberkulosis ekstraparu (TBC-EP). Namun demikian, sampai saat ini data mengenai keberhasilan pengobatan TBC ekstraparu pada anak dan faktor yang memengaruhinya di Indonesia masih sangat terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui keberhasilan pengobatan TBC-EP pada anak dan mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhinya. Pengambilan data dilakukan di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Kiara dengan metode kohor retrospektif pada populasi anak terdiagnosis TBC ekstraparu. Dari 953 pasien anak usia 0 bulan-17 tahun yang terdiagnosis TBC, 458 (48%) anak mengalami TBC-EP dengan tiga bentuk yang paling sering bertutur-turut adalah TBC osteoartikular (21,7%), limfadenitis (21,1%) dan sistem saraf pusat (16,3%). Sebanyak 70,6% pasien TBC ekstraparu anak dinyatakan sembuh selama 2015-2021. Mayoritas pasien TBC-EP berusia 11-18 tahun (46%) dengan sebaran jenis kelamin yang seimbang, laki-laki (49,3%) dan perempuan (50,7%). Riwayat kontak dengan pasien TBC ditemukan pada 41,1% dan jaringan parut BCG ditemukan pada 34,7% kasus. Komorbiditas TBC ekstraparu dan TBC paru ditemukan pada 45,7% pasien. Analisis multivariat pada faktor prediktor keberhasilan pengobatan TBC ekstraparu mendapati hasil yang bermakna pada status gizi baik (RR 1,285, IK 95% 1,135-1,456) dan jenis TBC ekstraparu yang dialami bukanlah TBC ekstraparu berat (RR 1,330, IK 95% 1,094-1,616).

Children is highly susceptible to extrapulmonary tuberculosis (EPTB). However, knowledge about childhood EPTB in Indonesia and its treatment success is limited. This study aimed to determine treatment success rate of EPTB and factors affecting successful treatment outcome in children. We conducted a retrospective cohort study in Cipto-Mangunkusumo Kiara Hospital. A total of 953 pediatric patients below 18 years old were diagnosed with TBC. Extrapulmonary TB was found in 458 children (48%), with the most prevalent type: bone and joint (21.7%), lymph node (21.1%), and central nervous system (16.3%). There were 70.6% EPTB pediatric patients successfully treated during 2015-2021. The majority of patient with EPTB were in the age group of 11-18 years (46%) with balanced sex distribution, male (49.3%) and female (50.7%). Comorbidity of pulmonary TBC and EPTB was found in 45.7% patients. Multivariate analysis in factors predicting successful treatment outcome with significant results were good nutritional status (RR 1.285, 95% CI 1.135-1.456) and suffered from non-severe EPTB form (RR     1.330, 95% CI 1.094-1.616)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>