Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143853 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fahrurrahman
"Pengisian jabatan presiden dan wakil presiden merupakan aspek utama pada sistem pemerintahan presidensial. Saat ini, mekanisme pengisian jabatan presiden dan wakil presiden Indonesia dilakukan melalui pemilihan umum. Namun, UUD NRI 1945 masih memberikan kewenangan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat untuk menyelenggarakan sidang pemilihan wakil presiden jika terjadi kekosongan jabatan atau pemilihan jabatan presiden dan wakil presiden jika terjadi kekosongan jabatan secara bersamaan sebagaimana menurut Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945. Tulisan ini dihasilkan melalui penelitian normatif dengan metode kualitatif yang menjadikan sumber-sumber hukum sebagai landasan utama. Kesimpulan yang didapatkan adalah bahwa adanya kewenangan yang dimiliki oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dalam memilih lembaga kepresidenan sebagaimana menurut Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 merupakan pelaksanaan prinsip ‘checks and balances’ yang dibangun oleh UUD NRI 1945 dalam rangka penguatan sistem presidensial. Oleh sebab itu, penguatan sistem presidensial terkait kandungan Pasal 8 ayat (2) dan ayat (3) UUD NRI 1945 kedepannya perlu diatur secara komprehensif dalam suatu undang-undang terkait lembaga kepresidenan.

Filling the positions of president and vice president is a major aspect of the presidential government system. Currently, the mechanism for filling the positions of president and vice president of Indonesia is carried out through general elections. However, the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia still authorizes the People's Consultative Assembly to hold a vice presidential election session in the event of a vacancy in office or the election of the president and vice president in the event of a vacancy of office simultaneously as stated in Article 8 paragraph (2) and paragraph (3) of the Constitution of the Republic of Indonesia. 1945. This paper was produced through normative research with qualitative methods that use legal sources as the main basis. The conclusion obtained is that the existence of the authority possessed by the People's Consultative Assembly in choosing the presidential institution as stated in Article 8 paragraph (2) and paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia is the implementation of the principle of 'checks and balances' developed by the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia in order to strengthen presidential system. Therefore, strengthening the presidential system related to the contents of Article 8 paragraph (2) and paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia needs to be comprehensively regulated in a law related to the presidential institution."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Syafri Hariansah
"Salah satu permasalahan ketatanegaraan yang perlu dikaji secara akademis untuk mendapatkan jawaban akademis adalah permasalahan pengisian jabatan Presdien dan Wakil Presiden di Indonesia. Secara teoritis Pengisian jabatan dapat ditafsirkan dalam 2 (dua) persepktif, Pertama dalam artian sempit pengisian jabatan hanya dipahami sebagai sebuah proses pengisian jabatan apabila terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden saja. Kedua dalam artian luas pengisian jabatan dapat dipahami sebagai suatu proses atau mekanisme yang didalamnya memuat ketentuan tentang syarat calon, mekanisme pengisian jabatan, masa jabatan dan dalam hal terjadi kekosongan jabatan.
Penelitian yang terangkum dalam Tesis ini mengkaji pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia dalam artian luas. Di Indonesia pengaturan tentang pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden ini tercantum dalam Ketentuan pasal 6, 6A, 7, dan pasal 8 Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang RI No. 42 Tahun 2008 Tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia.
Bertitik tolak pada penjelasan sebelumnya, tesis ini menganalisis 3 permasalahan utama yang akan terbagi dalam beberapa sub-bab. yakni menganalisis pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presdien di Indonesia khsusnya setelah perubahan, kemudian menganalisis dan mengkaji pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden di beberapa negara dan terakhir merumuskan konsep ideal berkenaan dengan pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Penelitian dalam Tesis ini diklasifikasikan sebagai penelitian dengan tipe decriptive explanatory, yakni dengan mengumpulkan dan menyimpulkan informasi tentang permasalahan yang diteliti. Sementara studi explanatory digunakan untuk menjelaskan dan menghitung informasi deskriptif. Pendekatan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Selain itu untuk memperdalam analisis dalam tesis ini, metode comparative analysis digunakan untuk mendapatkan fokus studi yang khusus dalam masyarakat yang berbeda.
Sebagai bahan perbandingan, tesis ini menganalisis 8 (delapan) negara yakni, Amerika Serikat, Republik Federasi Brazil, Republik Federasi Argentina, Republik Prancis, Singapura, Republik Philippines, Republik Islam Iran dan Federasi Russia Setelah melakukan analisis maka dapat disimpulkan bahwa Pengisian jabatan Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia dari masa kemasa mengalami perkembangan yang sangat pesat. Pemilu Presiden dan Wakil Presiden di Indonesia mengalami pergeseran dari sistem indirect vote menjadi direct vote. Secara teoritis pemilu Presiden dan Wakil Presiden menganut sistem dukungan suara mutlak mayoritas (absolute majority) dengan Prinsip pemilu dua putaran (two round system).

One of constitutional issues which need to be reviewed academically in order to get the academic answer is the issue of filling the positions of president and vice president of Indonesia. The positions filling can be interpreted theoretically into two perspectives, first, in a narrow sense the positions filling can be seen as a process of positions filling if there are merely the vacancy of president and vice president position. Second, in a broad sense, the positions filling can be seen as a process or a mechanism which contain stipulation of the candidate, mechanism of positions filling, term of office, and vacancy of positions.
The summarized research in this thesis conducted the study of the positions filling of president and vice president of Indonesia in a broad sense. In Indonesia, the regulation of the positions filling of president and vice president is included in the provision of article 6, 6A, 7, and 8 the constitution of 1945 and the constitution of RI no. 42 2008 regarding the general election of president and vice president of Indonesia.
As noted above, this thesis analysed three main problems which will be divided into some sub-chapters. That are analysing the position filling of president and vice president in Indonesia, specifically after the alteration, analysing and reviewing the positions filling of president and vice president in some states, and ultimately formulating the ideal concept regarding the positions filling of president and vice president.
This research is classified as the descriptive explanatory, which is collecting and concluding the information about the observed problems. Whereas the explanatory study is conducted to describe and to account the descriptive information. This approach is a qualitative research. Moreover, in deepening the analysis, the comparative analysis method is conducted to get the specific study focus in diverse society.
As the matter of comparison, this thesis analysed eight states, US, republic federation of Brazil, republic federation of Argentina, republic of France, Singapore, republic of Philippines, republic of Islam Iran, and republic of Russia. After conducting the analysis, it can be concluded that positions filling of president and vice president in Indonesia from time to time undergoes a rapid development. The general election of president and vice president in Indonesia undergoes a shift from the indirect vote system into the direct vote. The general election of president and vice president theoretically embraces the absolute majority supporting system with the principle of two round systems in general election.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T36045
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Musthofa Faruq
"Presiden pada sistem negara Presidensial memiliki kedudukan yang kuat karena tidak mudah untuk diberhentikan. Namun, mekanisme pemberhentian Presiden tetap diperlukan demi terciptanya checks and balances antar kekuasaan, untuk itu dalam sistem ketatanegaraan Indonesia memberikan ruang bagi cabang kekuasaan lain, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), untuk memberhentikan Presiden, dengan alasan-alasan yang tercantum dalam Pasal 7A Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945), yaitu: pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun apabila terbukti sudah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden. Perumus amendemen UUD NRI 1945 menghendaki proses pemberhentian Presiden jauh dari alasan politis, dan harus berlandaskan alasan hukum, maka dari seluruh alasan pemberhentian Presiden merupakan perbuatan hukum yang diatur dan dijelaskan dalam Undang-Undang Nomor 24 tahun 2004 tentang Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi pada frasa 'perbuatan tercela' batasannya hanyalah 'merendahkan martabat Presiden,' sehingga sangat berpotensi membuka alasan politis untuk memberhentikan Presiden. Berdasarkan hasil penelitian, frasa 'perbuatan tercela' diambil dari frasa misdemeanor, frasa ini awalnya digagas di Inggris sebagai salah satu alasan impeachment, kemudian diadopsi oleh Amerika Serikat dan diadopsi di Indonesia. Walaupun di kalangan ahli hukum masih terjadi perdebatan mengenai batasan perbuatan tercela, perumus amendemen menganggap penting frasa 'perbuatan tercela' sebagai penjaga moral Presiden, karena Presiden adalah panutan rakyatnya. Dari hasil penelitian, diajukan saran untuk frasa 'perbuatan tercela' diperjelas dengan ditambah maknanya yang terdiri dari: penyalahgunaan kekuasaan, mengabaikan tugas, mengganggu hak prerogatif parlemen, pengkhianatan terhadap kepercayaan, dan melanggar moral. Atau apabila proses pembentukan UU tidak berhasil memberikan batasan yang jelas terhadap makna perbuatan tercela, maka demi terwujudnya tujuan proses pemberhentian Presiden yang beralasan hukum dan bukan beralasan politik, untuk itu frasa perbuatan tercela dihapus dari rumusan Pasal 7A UUD NRI 1945 apabila terjadi proses amendemen kelima.

The president in the presidential state system has a strong position because President is not easy to impeach. However, the mechanism of impeachment of the President is still needed for the sake of checks and balances between powers, for this reason the Indonesian constitutional system provides chance for other branches of power, the People's Consultative Assembly (MPR), to impeach the President with reasons stated in Article 7A State Law of the Republic of Indonesia 1945 (UUD NRI 1945): betrayal of the state, corruption, bribery, other serious crimes, or misdemeanors or if it is proven that it no longer fulfills the requirements as President. The formulator of the 1945 Indonesian Constitution amendment requires the process of dismissing the President away from political reasons, and must be based on legal reasons, so that all reasons for dismissal of the President are legal actions based on regulation and explanation in Law Number 24 of 2004 concerning the Constitutional Court. However, in the phrase 'misdemeanor' the limits are only 'degrading the President', so it has the potential to open up political reasons for dismissing the President. Based on the results of the study, the phrase 'misdemeanor' was taken from the phrase misdemeanor, this phrase was originally conceived in England as one of the reasons for impeachment, later adopted by the United States and adopted in Indonesia. Although there are still debates among legal experts regarding the limits of despicable acts, the amendment formulator consider it important that the phrase 'misdemeanor' be the guardian of the President's morality, because the President is a role model for his people. From the results of the study, researcher suggest for the phrase 'misdemeanor' must be clarified by adding their meaning consisting of: abuse of power, neglecting duties, disrupting parliamentary prerogatives, betrayal of trust, and violating morals. Or if the process of forming a law does not succeed in giving a clear boundary to the meaning of a misdemeanor act, then for the purpose of the termination of the President's legal grounds and not political reasons, for this reason the phrase misdemeanor is removed from the formulation of Article 7A 1945 Constitution in the event of the fifth amendment process."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kuntari
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang keabsahan penggunaan Ketetapan MPR Tap MPR sebagai dasar hukum pembentukan Undang-Undang. Sebelum Perubahan UUD 1945 Tap MPR memiliki sifat mengikat terhadap pembentuk Undang-Undang sehingga lazim digunakan sebagai dasar hukum pembentukan Undang-Undang. Setelah Perubahan UUD 1945, hanya Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor XVI/MPR/1998 tentang Politik Ekonomi Dalam Rangka Demokrasi Ekonomi yang telah ditempatkan sebagai dasar hukum pembentukan UU. Hal tersebut karena Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan tidak menegaskan posisi Tap MPR sebagai dasar hukum pembentukan Undang-Undang maupun peraturan dibawahnya, meskipun Pasal 7 menempatkan Tap MPR sebagai jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan serta Angka 41 Lampiran II UU Nomor 12 Tahun 2011 pada prinsipnya menentukan sebagai dasar hukum harus peraturan perundang ndash;undangan yang tingkatannya sama atau lebih tinggi. Dari 54 Tap MPR yang digunakan sebagai dasar hukum 228 Undang-Undang sejak Tahun 1961 hingga Tahun 2014 ada Tap MPR yang masih berlaku, termasuk Tap MPR tentang Demokrasi Ekonomi. Tap MPR tersebut sebagai penjabaran lebih lanjut amanat UUD 1945 seharusnya dapat digunakan sebagai dasar hukum pembentukan Undang-Undang secara formal sekaligus menjadi arah pengaturan bagi Undang-Undang secara material, agar kebijakan pembangunan yang dilakukan sejalan dengan tujuan bernegara yang digariskan dalam UUD 1945. Tesis ini menggunakan penelitian yuridis normatif karena menitikberatkan pada penelitian kepustakaan yang intinya meneliti asas-asas hukum, sistematika hukum, dan sinkronisasi hukum dengan cara menganalisanya. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif, sehingga diperoleh kepastian pemahaman terhadap permasalahan Tap MPR yang dapat digunakan sebagai dasar hukum pembentukan Undang-Undang.

ABSTRACT
This thesis discusses about the validity of Decree of The People s Consultative Assembly Tap MPR as The Legal Basis in Law Making Process. Before Amendment of UUD 1945, Tap MPR binding the legislature so that commonly used as the legal basis in law making process. After the Amendment, only Tap MPR No. XVI MPR 1998 on Political Economy in term of Democracy Economy used as the legal basis. This is because the Law No. 12 Year 2011 does not mention it s position exactly as the legal basis, even though Article 7 puts Tap MPR as the type and hierarchy of legislation and Figures 41 Appendix II determine the legal basis of legislation must in the same level or higher. Over 54 Tap MPR used as the legal basis of 228 Act from 1961 till 2014, there are number of them are still valid, including Tap MPR on Democracy Economy. Tap MPR as a further elaboration of constitution mandate should be used as a legal basis Basis in Law making process formally as well as a direction setting for Law materially, so that development policies in line with the state purpose outlined in Constitution. This thesis using normative juridical research focuses on the research literature that examines and analize the principles of the law, legal systematics, and synchronization of law. Data were analyzed using descriptive qualitative methods in order to obtain the certainty understanding of which Tap MPR can be used as a legal basis in Law making process."
2017
T48276
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR-RI, 2010
342.009 598 IND u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Taufik Hidayat
"Penelitian ini membahas mengenai analisa kewenangan Mahkamah Konstitusi (MK) dan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Tujuannya adalah untuk mengetahui yang didasarkan pada suatu analisa mengenai pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden, terutama yang terkait dengan kewenangan MK dan MPR. Metode penelitian menggunakan metode penelitian kepustakaan, deskriptif, komparatif, dan dengan metode pengolahan data secara kualitatif. Diadopsinya MK dan perubahan dalam kedudukan dan kewenangan MPR dalam perubahan UUD NRI Tahun 1945 pada akhirnya merubah konsep pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden. Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 sesudah perubahan, pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak hanya semata merupakan proses politik, yaitu proses di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan MPR. Akan tetapi, juga harus melalui proses hukum di MK. Kewenangan MK dalam pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah memutus pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sedangkan kewenangan MPR adalah memutus diberhentikan atau tidaknya Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya atas usul pemberhentian oleh DPR dimana sebelumnya MK telah memutus untuk membenarkan pendapat DPR.

This research examines about analysis of the Constitutional Court’s and the National Assembly’s authorities in impeachment of President and/or Vice President. The research intends to know, based on analysis, impeachment President and/or Vice President, especially about the Constitutional Court’s and National Assembly’s authorities. The methods of research used are of literature research, descriptive, comparative, and qualitative data processing. The Constitutional Court existence and change of the National Assembly’s position and authority in the amandement of the Constitution of The Republic of Indonesia 1945 finally become different concept of impeachment of Presiden and/or Vice President. Based on the Constitution of the Republic of Indonesia 1945 after amandement, impeachment of Presiden and/of Vice President is not only a political process, that is mechanism in the House of Representative (Dewan Perwakilan Rakyat) and the National Assembly. But also a proceeding process in the Constitutional Court. The Constitutional Court’s authority in impeachment of President and/or Vice President decides motion of the House of Representative that President and/or Vice President have done violation of treason, corruption, bribery, other high crime, or misdemeanor; and/or have not qualification any more as a Presiden and/or Vice President. While the National Assembly’s authority decides remove from office or not President and/or Vice President for motion of the House of Representative, after the Constitutional Court decided for verify motion of the House of Representative."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S25464
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Rosdiana
"ABSTRAK
Tesis ini membahas tentang kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan DPR RI menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD. Dengan menggunakan metode penelitian Yuridis Normatif, pendekatan dengan menggunakan teori Negara Hukum, Teori Demokrasi, Teori Perwakilan, Etika, Moral, dan Kode Etik, serta Teori Pengawasan. Adapun konsep-konsep yang digunakan adalah tentang kewenangan Mahkamah Kehormatan Dewan, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, dan hak imunitas Anggota DPR RI. Untuk mendapatkan kesimpulan dari tujuan penelitian, hal-hal yang disampaikan adalah terkait dengan sejarah pembentukan lembaga perwakilan di Indonesia dan pembentukan Alat Kelengkapannya, kode etik dan relevansinya terhadap Mahkamah Kehormatan Dewan, serta penjabaran mengenai tugas, fungsi, dan tata beracara Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai lembaga penegak etik dan tata tertib DPR. Berdasarkan hasil penelitian diperoleh bahwa Mahkamah Kehormatan Dewan sebagai salah satu dari Alat Kelangkapan Dewan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD merupakan lembaga penegak etik dan tata tertib bagi Anggota Dewan yang memiliki peran penting dalam menjaga dan memelihara citra dan wibawa Anggota Dewan. Namun kewenangan yang diberikan kepada Mahkamah Kehormatan Dewan dibatasi, sehingga kinerja dari lembaga ini tidak dapat maksimal meski tugas dan wewenangnya sudah dilaksanakan dengan baik. Kendala yang menyebabkan tidak maksimalnya kerja Mahkamah Kehormatan Dewan diantaranya karena keanggotaan dari Mahkamah Kehormatan Dewan berasal dari internal Anggota Dewan yang terdiri dari berbagai Fraksi, sehingga menimbulkan konflik kepentingan.

ABSTRACT
This thesis discusses the authority of the Committee on Ethics of the Parliament according to Law Number 17 Year 2014 on the MPR, DPR, DPD and DPRD. By using normative juridical research methods, approaches using the theory of the State of Law, Theory of Democracy, Representation Theory, Ethics, Moral, and the Code of Conduct, as well as the Theory of Control. The concepts used are about the authority of the Conduct Council, Law Number 17 Year 2014 on the MPR, DPR, DPD and DPRD, and the right of immunity Member of Parliament. To get the conclusions of the research objectives, things delivered is related to the history of the establishment of representative institutions in Indonesia and the establishment of complementary Organs of DPR, code of ethics and its relevance to the Committee on Ethics, as well as the elaboration of the duties, functions and procedures of litigation the Conduct Council as an institution enforcement of ethics and rules of procedures. The result showed that the Committee on Ethics as one of DPR permanent organs stipulated in Law No. 17 Year 2014 on the MPR, DPR, DPD and DPRD an enforcement agency of conduct and rules of procedures for the Members have an important role in maintaining and maintain the image and authority of the Members. But the authority given to the Committee on Ethics is limited, so that the performance of these institutions can not be maximal even though its duties and powers already implemented. Obstacles that have not maximal work of the Committee on Ethics such as the composition and membership of the Conduct Council Members come from internal sources consisting of various factions, giving rise to a conflict of interest. "
2017
T46994
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Calyna Salsabila Nikmatullah
"Tesis ini membahas kewenangan pemerintah dalam rangka penataan ruang di era otonomi daerah berdasarkan Pasal 18 Ayat (2) dan Ayat (5) UUD 1945 beserta peran kementerian terkait penataan ruang. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan kasus (case approach), dan pendekatan historis serta sosiologi hukum. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa ketentuan persetujuan substansi dan evaluasi oleh menteri terhadap rancangan Perda Tata Ruang Wilayah adalah konstitusional; dan kementerian memiliki peranan yang dominan dalam rangka penataan ruang di daerah.

This research about The Government Authority in Spatial Planning Based On Article 18 Clause (2) and Clause (5) The 1945 Constitution of The Republic of Indonesia in regional autonomy era and the role of the relevant ministries of spatial planning. This research is a normative juridical approach legislation, the approach of the case, and a historical approach and sociology of law . The study concluded that the provisions of substance approval and evaluation by the minister for Spatial draft law is constitutional ; and the ministry has a imperative role in the framework of spatial planning in regional autonomy era."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2016
T45490
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Zebua, Sadarieli
"Salah satu tuntutan masyarakat pada awal gerakan reformasi adalah perubahan Undang-Undang Dasar 1945, yang bertujuan mewujudkan demokratisasi melalui penerapan 3(tiga) pilar "good governance" yaitu transparansi, partisipasi dan akuntabilitas lembaga-lembaga negara. Hal ini sesuai dengan bunyi pasal I ayat (2) perubahan Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa "kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar".
Rendahnya pemahaman masyarakat terhadap perubahan Undang-Undang Dasar 1945, telah mendorong MPR mengeluarkan kebijakan tentang penugasan Badan Pekerja melaksanakan pemasyarakatan atau sosialisasi perubahan Undang-Undang Dasar 1945, sesuai ketentuan pasal 31 huruf e, TAP MPR No. III MPR/l2003, dengan tujuan memberikan pemahaman yang utuh dan menyeluruh kepada masyarakat.
Berdasarkan kerangka teori dari Sabatier dan Mazmanian yang mengatakan bahwa implementasi merupakan tahap-tahap proses yang terdiri atas lima variabel yaitu keluaran kebijakan, kepatuhan kelompok sasaran, dampak nyata, dampak yang dikehendaki dan revisi/penyempurnaan kebijakan, serta Edwards III yang mengatakan bahwa implementasi kebijakan dipengaruhi oleh variabel komunikasi, sumber-sumber, sikap pelaksana dan struktur birokrasi, serta metode penelitian deskriptif kuantitatif, diketahui bahwa implementasi kebijakan pemasyarakatan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 pada tahun 2002-2003 oleh Badan Pekerja MPR, belum sepenuhnya berhasil memberikan pemahaman yang utuh dan menyeluruh kepada masyarakat.
Belum tercapainya tujuan kebijakan pemasyarakatan perubahan Undang-Undang Dasar 1945 oleh Badan Pekerja MPR, diduga disebabkan variabel sumber daya, variabel komunikasi, variabel kelembagaan dan variabel lingkungan.
Kelemahan sumber daya pelaksanaan kebijakan terutama disebabkan oleh kurang memadainya jumlah dan kemampuan pelaksana kebijakan yang tercermin dari rendahnya jangkauan sosialisasi, kurangnya disiplin, rendahnya kesepahaman di antara pelaksana kebijakan, lemahnya persiapan dan intensitas hubungan dengan kelompok sasaran, serta lemahnya sosialisasi internal diantara para pelaksana kebijakan. Terbatasnya sumber daya tersebut di atas jugs berpengaruh terhadap kurang efektifnya komunikasi, yang tercermin dari kurangnya kesepahaman, kurang jelasnya pembagian tugas, kurangnya kesamaan bahasa diantara para pelaksana kebijakan, serta rendahnya intensitas komunikasi antara pelaksana kebijakan dengan kelompok sasaran. Frekuensi pemberitaan yang rendah, serta rendahnya citra dan penguasaan opini publik telah mengakibatkan rendahnya daya tanggap masyarakat terhadap pelaksanaan sosialisasi.
Kelemahan organisasi pelaksanaan/kelembagaan, terutama disebabkan oleh rendahnya akses kelembagaan Badan Pekerja MPR sebagai pelaksana kebijakan kepada kelompok sasaran, serta tidak adanya kelembagaan khusus yang menangani kebijakan sosialisasi perubahan Undang-Undang Dasar 1945. Kondisi demikian mengakibatkan pola hubungan dengan masyarakat sebagai kelompok sasaran bersifat insidental.
Pencapaian tujuan kebijakan sosialisasi juga dipengaruhi oleh kelemahan kondisi lingkungan, terutama lemahnya layanan informasi, kurang sesuainya metode sosialisasi, kurangnya kesepahaman dan rendahnya tindak lanjut aspirasi masyarakat telah menimbulkan kejenuhan diantara kelompok sasaran.
Untuk memperbaiki implementasi kebijakan sosialisasi perubahan Undang-Undang Dasar 1945, perlu dilakukan beberapa hal antara lain :
1. Meningkatkan disiplin, pemahaman dan penguasaan substansi materi perubahan Undang-Undang Dasar 1945, serta meningkatkan sosialisasi internal di antara Anggota Badan Pekerja MPR, untuk mencapai pemahaman yang sama terhadap substansi materi perubahan Undang-Undang Dasar 1945.
2. Meningkatkan intensitas dialog untuk mencapai kesepahaman, kejelasan pembagian tugas, kesamaan bahasa diantara pelaksana kebijakan sosialisasi dan intensitas pemberitaan atau komunikasi antara Badan Pekerja MPR dengan kelompok sasaran (public relations), untuk menjaga citra dan opini publik terhadap Badan Pekerja MPR.
3. Membentuk sebuah kelembagaan khusus yang dapat melakukan evaluasi dan pengkajian menyeluruh terhadap metode sosialisasi, serta menjalin kerjasama atau hubungan kelembagaan dengan kelompok sasaran dan seluruh pihak terkait (stakeholders).
4. Mengoptimalisasikan sistem informasi yang ada (website dan Internet) secara profesional dengan memanfaatkan teknologi informasi yang tepat dan sesuai, sehingga perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dapat disebarluaskan kepada seluruh lapisan masyarakat atau kelompok sasaran."
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2004
T11550
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>