Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 197611 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Ayu Sasmita Rany
"Latar belakang. Pandemi COVID-19 dapat menyebabkan peningkatan masalah psikososial pada remaja dari populasi umum. Talasemia merupakan penyakit kronik yang banyak ditemukan pada anak dan remaja di Indonesia. Pasien dengan penyakit kronik rmerupakan kelompok yang rentan mengalami peningkatan masalah psikososial selama pandemi COVID-19. Peningkatan masalah psikososial menyebabkan risiko peningkatan morbiditas dan penurunan kualitas hidup. Pandemi juga dapat berdampak pada praktik transfusi darah pasien talasemia. Saat ini belum diketahui gambaran masalah psikososial dan praktik transfusi darah pada remaja talasemia mayor di Indonesia selama masa pandemi COVID-19.
Tujuan. Mengetahui gambaran masalah psikososial pada remaja dengan talasemia mayor selama pandemi COVID-19 di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dan dampak pandemi COVID-19 pada praktik transfusi darah di RSCM.
Metode. Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang dilakukan pada 121 pasien talasemia mayor berusia 10 sampai <18 tahun di RSCM. Penilaian psikososial dilakukan melalui pengisian Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ). Penilaian depresi dilakukan melalui pengisian Children’s Depression Inventory (CDI). Analisis komparatif kategorikal berpasangan dilakukan untuk menilai perbedaan frekuensi transfusi dan nilai rerata Hb pretransfusi sebelum dan selama pandemi COVID-19.
Hasil. Sebanyak 11,6% remaja talasemia mayor memiliki total skor SDQ abnormal dengan gambaran masalah meliputi masalah emosi (18,2%), masalah conduct (9,9%), hiperaktivitas (5%), masalah hubungan dengan teman sebaya (8.3%), dan masalah perilaku prososial (1,7%). Sebanyak 19% remaja talasemia mayor mengalami peningkatan gejala depresi berdasarkan penilaian CDI. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada frekuensi transfusi sebelum dan selama pandemi COVID-19, tetapi terdapat perbedaan bermakna pada pola interval transfusi pasien (p=0,017) dan nilai rerata Hb pretransfusi (p=0,043) sebelum dan selama pandemi COVID-19. Volume darah yang didapatkan oleh pasien talasemia mayor lebih rendah selama pandemi COVID-19 daripada volume darah yang dibutuhkan yang bermakna secara statistik (p<0,001).
Kesimpulan. Skrining masalah psikososial pada remaja talasemia mayor menunjukkan masalah yang paling banyak ditemukan selama masa pandemi COVID-19 adalah masalah emosi dan masalah conduct, dengan sejumlah pasien mengalami peningkatan gejala depresi. Pandemi COVID-19 memberikan dampak pada pola interval transfusi darah oleh pasien talasemia mayor.

Background. The COVID-19 pandemic may increase the risk of psychosocial problems in adolescents from general population. Thallasemia is highly prevalent chronic disease in children and adolescents in Indonesia. Patients with chronic disease are vulnerable to have more psychosocial problems during the COVID-19 pandemic. An increase in psychosocial problems may lead to high morbidity and the risk of decreased quality of life. The pandemic can also have an impact on the transfusion practice of thalassemia patients. The psychosocial problems and its impact on transfusion practice in adolescents with thalassemia major during the COVID-19 pandemic in Indonesia have not been established.
Objectives. To evaluate the magnitude of psychosocial problems in adolescents with thalassemia major during the COVID-19 pandemic and the impact of the COVID-19 pandemic on the transfusion practice at Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta.
Methods. This is a cross-sectional study on 121 thalassemia mayor patients aged 10-<18 years old at Cipto Mangunkusumo Hospital. Psychosocial aspect was evaluated using the Strengths and Difficulties Questionnaire (SDQ) form. Depression was further assessed using the Children’s Depression Inventory (CDI) form. A comparative paired categorical analysis was performed to analyze the difference between before and during the COVID-19 pandemic concerning transfusion frequency and average pretransfusion haemoglobin.
Results. There are 11,6% thalassemia major adolescents with abnormal total SDQ scores including emotional problems (18,2%), conduct problems (9,9%), hiperactivity (5%), peer problems (8.3%), dan prosocial behavior problems (1,7%).  Nineteen percents thalassemia major adolescents experienced elevated number of depressive symptoms. There was no significant difference between before and during the COVID-19 pandemic concerning transfusion frequency, but there were significant difference between before and during the COVID-19 pandemic concerning blood transfusion pattern (p=0,017) and average pretransfusion haemoglobin (p=0,043). The blood volume obtained by thalassemia major patients was also lower during the COVID-19 pandemic than the required blood volume that is statiscally significant(p<0,001).
Conclusion. Psychosocial screening in adolescents with thalassemia major during the COVID-19 pandemic showed that the most common problems encountered were emotional problems and conduct problems, with a number of patients experiencing elevated symptoms of depression. The pandemic had an impact on the blood transfusion pattern for thalassemia major patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Miranti Fristy Medyatama
"Latar belakang. Hipoparatiroid merupakan salah satu komplikasi yang terjadi pada talasemia mayor akibat deposisi besi di kelenjar paratiroid. Sampai dengan saat ini belum diketahui berapa prevalens hipoparatiroid pada anak talasemia mayor di Indonesia. Keterlambatan dalam diagnosis dan tata laksana dapat menyebabkan risiko terjadinya morbiditas seperti fraktur, osteoporosis, atau kejang.
Tujuan. Mengetahui prevalens hipoparatiroid pada pasien talasemia mayor usia 7-12 tahun dan faktor yang memengaruhi.
Metode. Penelitian ini adalah penelitian potong lintang yang dilakukan pada 64 pasien talasemia mayor usia 7-12 tahun di RSCM. Pengambilan darah puasa dilakukan untuk menilai kalsium ion (Ca), serum fosfat (P), magnesium, 25-(OH)D3 dan intak paratiroid hormon (iPTH). Subyek diklasifikasikan sebagai hipoparatiroid primer bila mengalami hipokalsemia dan penurunan iPTH, hipoparatiroid subklinis bila hipokalsemia dan atau penurunan 25-(OH)D3 tanpa peningkatan iPTH. Analisis bivariat dan regresi multipel logistik dilakukan untuk menilai faktor risiko hipoparatiroid.
Hasil. Rerata usia subyek adalah 9,7(SB 1,6) tahun dengan lelaki 51,6%(n=33). Ditemukan hipoparatiroid primer sebanyak 6/64 (9,4%) subyek (rerata iPTH 11,9(SB 2,3) pg/mL), hipoparatiroid subklinis 34/64 (53,1%) subyek (median iPTH 31,4(20,0-64,0) pg/mL). Kejadian hipoparatiroid lebih banyak ditemukan pada subyek dengan frekuensi transfusi >1x/bulan, kepatuhan kelasi tidak baik dan Hb pre-transfusi <9 g/dL. Namun, berdasarkan hasil analisis regresi logistik hanya lama sakit >5 tahun yang memiliki hubungan bermakna dengan kejadian hipoparatiroid (rasio odd 8,6 interval kepercayaan 2,1-35,7 p=0,003). Terdapat korelasi negatif ringan dan sedang antara nilai rerata feritin (r-0,34, p=0,01) dan saturasi transferin (r=-0,41, p<0,0001) dengan kejadian hipoparatiroid.
Kesimpulan. Prevalens hipoparatiroid pada dekade pertama kehidupan pada pasien talasemia mayor di Indonesia cukup tinggi. Lama sakit >5 tahun adalah faktor prediktor yang sangat memengaruhi kejadian hipoparatiroid pada anak talasemia mayor.

Background. Hypoparathyroidism is a complication that occurs in thalassemia major due to iron deposition in the parathyroid glands. Until now, the prevalence of hypoparathyroidsm in children with thalassemia major is unknown. Delay in diagnosis and treatment can increase the risk of developing morbidities such as fractures, osteoporosis, or seizure.
Methods. This study was cross-sectional, conducted on 64 thalassemia major patients, aged 7-12 years, in Cipto Mangunkusumo Hospital (CMH). Blood samples were collected in fasting to determine Calcium ion (Ca), Phosphorus (P), Magnesium (Mg) , 25-(OH)D3 and intact parathyroid hormone (iPTH). Subjects were classified into primary hypoparathyroidism (low Ca and low iPTH), subclinical hypoparathyroidsm (low Ca and/or low 25(OH)D3 without an increase of iPTH). Bivariate analysis and multiple logistic regression were performed to assess risk factors for hypoparathyroidsm.
Result. The mean age of the subjects was 9.7(SD 1.6) years with 51.6% male (n=33). primary hypoparathyroidism was found in 6/64(9.4%) subjects (mean iPTH 11.9(SD 2.3 pg/mL), subclinical hypoparathyroidism in 34/64(53.1%) subjects (median iPTH 31.4(20-64) pg/mL). The prevalence of hypoparathyroidism was more common in subjects with tranfusion frequency >1x/month, poor chelation compliance and pre-transfusion haemoglobin <9 g/dL. However, based on the results of logistic regression analysis, only duration of illness >5 years had a significant relationship with hypoparathyroidism (odds ratio 8.6, confidence inrerval 2.1-35.7 p=0.003). There was a mild and moderate negative correlation between the mean value of ferritin (r=-0.34, p=0.01) and transferrin saturation (r=-0.41, p<0.0001) with hypoparathyroidism.
Conclusion. The prevalence of hypoparathyroidism in the first decade of life in thalassemia major in Indonesia is quite high. Duration of illness >5 years is a predictor factor that greatly influences the incidence of hypoparathyroidism in children with thalassemia major.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Mohamed Amshar
"ABSTRAK
Pubertas terlambat merupakan salah satu komplikasi utama pada pasien thalassemia mayor. Penyebab utama pubertas terlambat pada pasien thalassemia mayor adalah penumpukan besi pada kelenjar hipofisis. Selain itu, anemia kronis pada pasien thalassemia mayor juga dapat menyebabkan pubertas terlambat. Tujuan: Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara profil besi dan kadar hemoglobin pra-transfusi dengan status pubertas pasien thalassemia mayor remaja di Pusat Thalassemia RSCM. Metode: Penelitian ini merupakan studi cross-sectional yang melibatkan 47 pasien thalassemia mayor dengan rentang usia 13-18 tahun untuk pasien perempuan dan 14-18 tahun untuk pasien lelaki di Pusat Thalassemia RSCM. Profil besi subjek ditentukan dari kadar feritin serum dan saturasi transferin subjek. Status pubertas subjek ditentukan berdasarkan Tanner Staging. Hasil & Diksusi: Berdasarkan kadar feritin serum, terdapat 47 (100%) subjek yang mengalami kelebihan besi, dengan 35 (75%) diantaranya mengalami kelebihan besi berat. Nilai median feritin serum subjek adalah 3645 (1415-12636) ng/mL. Berdasarkan saturasi transferin, sebesar 36 (77%) subjek mengalami kelebihan besi, dengan nilai median saturasi transferin sebesar 85 (28-100)%. Terdapat 42 (89%) subjek yang mengalami anemia, dengan nilai median kadar hemoglobin pra-transfusi sebesar 8,0 (4,8-9,5) g/dL. Pubertas terlambat ditemukan pada delapan (17%) subjek. Secara statistik, tidak terdapat hubungan yang bermakna antara feritin serum dengan status pubertas (p = 0,183), saturasi transferin dengan status pubertas (p = 0,650), dan kadar hemoglobin pra-transfusi dengan status pubertas (p = 0,932). Berdasarkan hasil tersebut, profil besi dan kadar hemoglobin pra-transfusi tidak berhubungan dengan status pubertas pasien thalassemia mayor remaja di Pusat Thalassemia RSCM.

ABSTRAK
Introduction Delayed puberty is a major complication in thalassemia major patients. Delayed puberty occurs due to accumulation of iron in the pituitary gland. In addition, chronic anemia in thalassemia major patients can cause delayed puberty.Objectives This study aims to find the association between iron profile and pre transfusion hemoglobin level with pubertal status in adolescent thalassemia major patients in Thalassemia Centre RSCM.Methods This was a cross sectional study that involved 47 thalassemia major patients aged 13 to 18 years for female patients and 14 to 18 years for male patients in Thalassemia Centre RSCM. Iron profile was determined from serum ferritin level and transferrin saturation. Pubertal status was determined by Tanner Staging.Results Discussion Based on serum ferritin level, 47 100 subjects had iron overload, in which 35 75 subjects had severe iron overload. The median of serum ferritin level was 3645 1415 12636 ng mL. Based on transferrin saturation, 36 77 subjects had iron overload. The median of transferrin saturation was 85 28 100 . Forty two 89 subjects were found anemic. The median of pre transfusion hemoglobin level was 8,0 4,8 9,5 g dL. Delayed puberty occurred in eight 17 subjects. Statistically, no significant associations were found between serum ferritin level and pubertal status p 0.183 , transferrin saturation and pubertal status p 0.650 and pre transfusion hemoglobin level and pubertal status p 0,932 . Based on the results, iron profile and pre transfusion hemoglobin level are not associated with pubertal status in adolescent thalassemia major patients in Thalassemia Centre RSCM."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Surya Nelis
"Latar belakang: Thalassemia merupakan kelainan genetik yang paling banyak ditemukan di seluruh dunia. Penyakit ini dapat menimbulkan berbagai masalah dan kelainan berbagai organ tubuh, termasuk pada rongga mulut.
Tujuan: memperoleh gambaran mengenai kelainan yang terjadi pada rongga mulut pasien thalassemia mayor di Pusat Thalassemia RSCM.
Metode: Penelitian cross-sectional terhadap 76 pasien thalassemia mayor yang berusia diatas 12 tahun. Data didapat dengan melakukan pemeriksaan klinis dan wawancara terstruktur menggunakan panduan kuesioner.
Hasil: Keluhan subyektif dalam rongga mulut yang sering dialami adalah: serostomia, diikuti dengan sariawan berulang, bibir mengelupas dan pecah-pecah, serta gusi berdarah. Prevalensi kelainan klinis yang ditemukan meliputi: inkompetensi bibir (25,0%); malokusi: klas I (40,79%), klas II (51,32%) dan klas III (3,95%); higiene oral buruk (67,11%), dan gingivitis (82,89%). Nilai rata-rata DMF-T adalah 4,97. Kondisi dan lesi patologik mukosa mulut yang paling banyak ditemukan adalah pigmentasi mukosa (69,74%), diikuti dengan depapilasi lidah (56,58%), mukosa ikterik (52,63%), cheilosis/cheilitis (50,0%), mukosa pucat (44,74%), erosi/deskuamasi mukosa (44,74%), stomatitis aftosa rekuren (15,79%), glositis defisiensi (14,47%) dan perdarahan gingiva (11,84%).
Kesimpulan: Maloklusi, higiene oral buruk, gingivitis, serostomia, pigmentasi mukosa, depapilasi lidah, mukosa ikterik, dan cheilosis/cheilitis, merupakan masalah yang paling umum ditemukan pada pasien thalassemia mayor dalam penelitian ini, namun indeks karies gigi terlihat rendah.

Background: Thalassemia is the most common genetic disorders worldwide. The disease can cause various problems and disorders of various organs of the body, including in the oral cavity.
Objective: to describe the oral cavity disorders in patients with major thalassemia in Thalassemia Centre at Cipto Mangunkusumo Hospital.
Methods: cross-sectional study involved 76 patients with major thalassemia over 12 years of age. Data obtained by clinical examination and structured interviews using guidance from quistionnare.
Results: Oral subjective symptom which is often experienced is xerostomia, followed by recurrent aphthous stomatitis, cheilosis/cheilitis, and gingival bleeding. Prevalence of clinical findings consist of: incompetence of lips (25%); malocclusion: class I (40,79%), class II (51,32%) and class III (3,94%); poor oral hygiene (67,11), gingivitis (82,89%). DMF-T score was 4,97. Conditions and pathologic lesions more frequently seen are pigmentation of mucosa (69,74%), followed by depapillation of tongue (56,58%), icterus of mucosa (52,63%), cheilosis/cheilitis (50%), pallor of mucosa (44,74%), erosion/desquamation of mucosa (44,74%), recurrent aphthous stomatitis (15,79%), glossitis deficiency (14,47%), and gingival bleeding (11,84%).
Conclusion: Malocclusion, poor oral hygiene, gingivitis, xerostomia, pigmentation of mucosa, depapillation of tongue, icterus of mucosa, and cheilosis/cheilitis, were most prevalent problems in patients with major thalassemia in this study; nevertheless, dental caries show low index.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Indonesia, 2013
T35045
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chakti Ari Swastika
"Latar belakang: Salah satu aspek penting dalam upaya menurunkan angka
kematian dan morbiditas Ibu adalah sistem rujukan yang efektif. Pandemi
COVID-19 memberikan tantangan tersendiri dalam pelaksanaan sistem rujukan.
Belum pernah dilakukan penilaian terhadap penerapan sistem rujukan obstetri di
era pandemi COVID-19.
Metode: Penelitian deskriptif-analitik berdesain potong lintang yang
membandingkan efektivitas rujukan sebelum (Juli-Desember 2019) dan saat di era
pandemi COVID-19 (Maret-Agustus 2020) di Rumah Sakit Umum Pusat
Nasional dr. Cipto Mangunkusumo. Efektivitas rujukan dinilai berdasarkan dua
kriteria, yakni kesesuaian diagnosis rujukan dan ketepatan prosedur yang meliputi
komunikasi melalui sistem penanggulangan gawat darurat terpadu (SPGDT),
pengantaran dengan ambulans, dan pelampiran surat rujukan.
Hasil: Penelitian menemukan 198 kasus rujukan dari 464 kasus obstetri (42,67%)
sebelum pandemi dan 231 kasus rujukan dari 486 kasus obstetri (47,53%) di era
pandemi. Kesesuaian diagnosis dan ketepatan prosedur rujukan di era pandemi
COVID-19 secara signifikan lebih tinggi. Kesesuaian diagnosis meningkat dari
57,58% sebelum pandemi menjadi 71,00% di era pandemi (p = 0,004). Ketepatan
prosedur rujukan meningkat dari 28,28% sebelum pandemi menjadi 45,45% di era
pandemi (p < 0,001). Berdasarkan kriteria tersebut, efektivitas rujukan di Rumah
Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo pada era pandemi COVID- 19 ditemukan lebih tinggi secara signifikan, yakni sebelum masa pandemi sebesar 21,72% dan di era pandemi sebesar 40,26% (p < 0,001).
Kesimpulan: Terdapat peningkatan efektivitas rujukan ke Rumah Sakit Umum Pusat Nasional dr. Cipto Mangunkusumo berdasarkan kesesuaian diagnosis dan
ketepatan prosedur di era pandemi COVID-19 hingga 2x dibanding sebelum masa pandemi COVID-19."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eka Arya Limianto
"Latar belakang: Mortalitas pascaoperasi dan komplikasi respiratorik berat telah didokumentasikan pada pasien COVID-19 pada berbagai studi. Namun, belum terdapat penelitian yang secara khusus mengevaluasi luaran dari laparatomi gawat darurat dengan perforasi gastrointestinal selama pandemi COVID-19 tahun 2020.
Metode: Studi dilakukan dengan desain observasional retrospektif sejak bulan Desember 2020-Februari 2021. Pasien perforasi gastrointestinal berusia lebih dari 15 tahun yang menjalani laparotomi gawat darurat diinklusi dalam penelitian. Luaran yang dievaluasi adalah mortalitas dan morbiditas, yang meliputi sindrom distres pernapasan akut (ARDS), reoperasi, durasi perawatan di rumah sakit, sepsis, admisi ke ruang perawatan intensif (ICU), dan infeksi daerah operasi (IDO).
Hasil: Terdapat 117 pasien pascalaparotomi yang direkrut dalam penelitian ini, dengan 95 (81,2%) pasien tidak terinfeksi SARS-CoV-2. Median usia untuk kelompok non-COVID dan kelompok COVID secara berturut-turut sebesar 41 (14¬92) tahun dan 39 (15¬77) tahun. Mortalitas umum tercatat pada angka 23,9%. Pasien perforasi COVID-19 yang menjalani tindakan laparotomi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami kematian, ARDS, dan sepsis, serta mendapatkan tindakan reoperasi dibandingkan pasien non-COVID, dengan risiko odds masing-masing sebesar 2,769 (95% IK; 1,032–7,434), 8,50 (95% IK; 2,939–24,583), 3,36 (95% IK; 1,292–8,735), dan 3,69 (95% IK; 1,049–13,030). Tidak terdapat perbedaan antara pasien perforasi gastrointestinal yang terkonfirmasi COVID-19 dan pasien non-COVID dalam hal risiko IDO, lama durasi perawatan, dan admisi ke ICU. Usia, sepsis, dan ARDS merupakan faktor prognostik bermakna untuk mortalitas COVID-19.
Simpulan: Pasien perforasi gastrointestinal pascalaparotomi yang terkonfirmasi COVID-19 memiliki risiko mortalitas, ARDS, sepsis, dan menjalani tindakan reoperasi yang lebih tinggi dibandingkan pasien non-COVID.

Background: Postoperative mortality and severe respiratory complications have been documented in COVID-19 patients in various studies. However, no studies specifically evaluate the outcome of emergency laparotomy with gastrointestinal perforation during the 2020 COVID-19 pandemic.
Methods: The study was conducted with a retrospective observational design from December 2020-February 2021. Patients with gastrointestinal perforations aged more than 15 years who underwent emergency laparotomy were included in the study. The outcomes evaluated were mortality and morbidity, which included acute respiratory distress syndrome (ARDS), reoperation, duration of hospital stay, sepsis, admission to the intensive care room (ICU), and surgical site infections (SSI).
Results: There were 117 post-laparotomy patients recruited, with 95 (81.2%) COVID-19 negative patients. The median ages for the non-COVID group and the COVID group were 41 (14¬92) years and 39 (15¬77) years. General mortality was recorded at 23.9%. Patients with perforated COVID-19 who underwent laparotomy had a higher risk of dying, ARDS, and sepsis, as well as receiving re-surgery than non-COVID-19 patients, with an odds risk of 2.769 each (95% CI; 1,032–7,434), 8,50 (95% CI; 2,939–24,583), 3.36 (95% CI; 1,292–8,735), and 3.69 (95% CI; 1,049¬ – 13,030). There was no difference between gastrointestinal perforated patients with confirmed COVID-19 and non-COVID-19 patients in terms of risk of SSI, length of stay, and admission to the ICU. Age, sepsis, and ARDS are significant prognostic factors for COVID-19 mortality.
Conclusion: Post-laparotomy confirmed gastrointestinal perforation patients with COVID-19 have a higher risk of mortality, ARDS, sepsis, and undergoing reoperation than non-COVID-19 patients."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Harsya Dwindaru Gunardi
"Setidaknya 1 dari 200 pasien COVID-19 akan mengalami DVT, dan sekitar 20% kasus VTE berhubungan dengan COVID-19. Risikonya meningkat empat kali lipat pada pasien COVID-19. Munculnya berbagai faktor patofisiologis yang berkontribusi terhadap terjadinya DVT pada pasien COVID-19 menimbulkan pertanyaan menarik mengenai perbedaan dalam karakteristik luaran pasien DVT sebelum dan selama pandemi, serta variasi dalam perawatan dan hasil pasien. Desain penelitian yang digunakan adalah studi kohort retrospektif untuk melihat perbandingan karakteristik dan manajemen pasien DVT (Deep Vein Thrombosis) sebelum dan selama pandemi COVID-19. Didapatkan data 489 subyek yang diikutsertakan dalam penelitian ini dengan nilai rata-rata usianya adalah 50.72 ± 18.00. Berdasarkan waktu terkenanya DVT, dari 489 subyek tersebut, sebagian besar sampel yaitu sebanyak 344 orang (72.9%) merupakan pasien yang mengalami DVT selama pandemi COVID. Berdasarkan status mortalitas, terdapat 336 orang (71.8%) yang masih hidup setelah mengalami DVT. Berdasarkan keberadaan perdarahan hebat, sebagian besar subyek yaitu 402 orang (82.2%) tidak mengalami perdarahan hebat. Berdasarkan status rekurensi, terdapat 321 orang (65.7%) yang mengalami rekurensi yaitu kembali dirawat dengan diagnosa yang sama dalam 1 tahun pertama setelah pertama kali dirawat. Sebanyak 479 orang (97.9%) tidak mengalami emboli paru. Didapatkan nilai rata-rata durasi rawat inap selama 13.41 ± 9.89 hari. Berdasarkan hasil pemeriksaan D-Dimer, didapatkan nilai rata-rata 3008.21 ± 1494.59 ng/mL. Sedangkan hasil pemeriksaan fibrinogen, didapatkan nilai rata-rata 301.06 ± 58.63 mg/dL. Dalam melihat komparasi data DVT sebelum dan selama pandemic COVID-19, dari 4 variabel yang dilihat, hanya D-Dimer yang memiliki perbedaan yang signifikan berupa peningkatan nilai rata-rata apabila dibandingkan antara sebelum pandemic COVID (2052.34 ± 568.30 ng/mL) dan selama COVID (3363.89 ± 1573.79 ng/mL) dengan nilai p < 0.001. Hasil berbeda terjadi pada fibrinogen yang tidak memiliki perbedaan yang signifikan antara sebelum pandemic COVID (295.66 ± 57.28 mg/dL) dibandingkan dengan selama COVID (303.06 ± 59.08 mg/dL) dengan nilai p 0.223. Ditemukan bahwa pada pasien COVID-19 didapati nilai D-Dimer yang lebih tinggi (nilai p <0.001) serta fibrinogen yang lebih tinggi secara signifikan (p=0.032).

At least 1 in 200 COVID-19 patients will experience DVT, and approximately 20% of VTE cases are related to COVID-19. The risk increases fourfold in COVID-19 patients. The emergence of various pathophysiological factors that contribute to the occurrence of DVT in COVID-19 patients raises interesting questions regarding differences in the outcome characteristics of DVT patients before and during the pandemic, as well as variations in patient care and outcomes. The research design used was a retrospective cohort study to compare the characteristics and management of DVT (Deep Vein Thrombosis) patients before and during the COVID-19 pandemic. Data were obtained for 489 subjects who were included in this study with an average age value of 50.72 ± 18.00. Based on the time of DVT, of the 489 subjects, the majority of the sample, namely 344 people (72.9%) were patients who experienced DVT during the COVID pandemic. Based on mortality status, there were 336 people (71.8%) who were still alive after experiencing DVT. Based on the presence of severe bleeding, the majority of subjects, namely 402 people (82.2%) did not experience severe bleeding. Based on recurrence status, there were 321 people (65.7%) who experienced recurrence, namely being treated again with the same diagnosis within the first year after first being treated. A total of 479 people (97.9%) did not experience pulmonary embolism. The average duration of hospitalization was 13.41 ± 9.89 days. Based on the results of the D-Dimer examination, an average value of 3008.21 ± 1494.59 ng/mL was obtained. Meanwhile, the results of the fibrinogen examination showed an average value of 301.06 ± 58.63 mg/dL. In looking at the comparison of DVT data before and during the COVID-19 pandemic, of the 4 variables looked at, only D-Dimer had a significant difference in the form of an increase in the average value when compared between before the COVID pandemic (2052.34 ± 568.30 ng/mL) and during COVID (3363.89 ± 1573.79 ng/mL) with p value < 0.001. Different results occurred in fibrinogen which did not have a significant difference between before the COVID pandemic (295.66 ± 57.28 mg/dL) compared to during COVID (303.06 ± 59.08 mg/dL) with a p value of 0.223. It was found that COVID-19 patients had higher D-Dimer values (p value <0.001) and significantly higher fibrinogen (p=0.032)."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Dika Ayu Anggraini
"Coronavirus Disease 2019 menjadi krisis kesehatan masyarakat baru yang mengancam manusia. setiap orang semakin rentan mengalami gangguan psikososial. Penelitian yang dilakukan oleh Czeisler et. al (2020), pervalensi perempuan dewasa mengalami gangguan ansietas atau depresi lebih tinggi dari pada laki-laki, yaitu sebesar 31,5%. Termasuk ibu rumah tangga yang sebelum pandemi secara individu seorang ibu rumah tangga mengalami stress yang tergolong berat. Kejadian epidemi ini bukan hanya beresiko kepada tekanan psikologis, tetapi juga dapat berdampak dengan kesehatan fisiologis, termasuk kesehatan pencernaan . Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode kuantitatif dengan pendekatan cross-sectional untuk membuktikan adanya hubungan masalah psikososial dengan pola eliminasi fekal pada ibu rumah tangga selama masa pandemic Covid-19. Hasil yang diperoleh, terdapat hubungan masalah psikososial dengan frekuensi buang air besar (p = 0,019, α = 0,05), karakteristik feses (p = 0,029, α = 0,05), dan penggunaan obat laksatif (p = 0,006, α = 0,05). Namun, tidak menunjukan hubungan masalah psikososial dengan urgensi eliminasi fekal (0,464, α = 0,05). Oleh karena itu, perlu ada upaya pencegahan bertujuan untuk mengurangi dampak psikologis dan fisiologi dari masalah psikososial yang timbul akibat pandemi COVID-19 sejak dini agar tidak mengalami masalah patologis kejiawaan.

Coronavirus Disease 2019 is a new public health crisis that threatens humans. Everyone is increasingly susceptible to psychosocial disorders. Research conducted by Czeisler et. al (2020), the prevalence of adult women experiencing anxiety disorders or depression is higher than men, which is 31.5%. Including housewives who before the pandemic individually a housewife experienced severe stress. The occurrence of this epidemic is not only a risk of psychological distress, but can also have an impact on physiological health, including digestive health. This study is a quantitative method with a cross-sectional approach to prove the relationship between psychosocial problems and faecal elimination patterns in housewives during the Covid-19 pandemic. The results obtained, there is a the relationship between psychosocial problems with defecation frequency (p = 0.019, = 0.05), stool characteristics (p = 0.029, = 0.05), and use of laxative drugs (p = 0.006, = 0.05). However, it does not show the relationship between psychosocial problems and the urgency of faecal elimination (0.464, = 0.05). Therefore, the nneds of prevention aimed at reducing the psychological and physiological impacts of psychosocial problems arising from the COVID-19 pandemic from an early age so as not to experience mental pathological problems."
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ilham Akbar
" ABSTRAK
Latar Belakang: Thalassemia merupakan hemoglobinopati herediter yang menyebabkan anemia kronis, sehingga pasien membutuhkan transfusi darah secara rutin yang dapat menyebabkan kelebihan besi. Kelebihan besi dapat memicu beberapa komplikasi, salah satunya adalah gangguan pertumbuhan. Tujuan: Mengetahui hubungan antara kadar hemoglobin dan profil besi dengan gangguan pertumbuhan pada pasien thalassemia. Metode: Studi cross-sectional pada 102 pasien thalassemia di Pusat Thalassemia RSCM Jakarta. Hasil: Empat puluh lima 44,1 subjek adalah perempuan dan 57 55,9 subjek adalah lelaki dengan rentang usia 9-14 tahun. Tiga puluh sembilan 38,2 subjek memiliki perawakan pendek dan 63 61,8 subjek memiliki perawakan normal. Nilai median kadar feritin serum pada pasien perawakan pendek adalah 2062 318-8963 ng/mL dan pada pasien perawakan normal adalah 3315 422,9-12269 ng/mL p.

ABSTRACT
Background Thalassemia is a hereditary hemoglobinopathy which causes chronic anemia, thus the patients need regular blood transfusion which can cause iron overload. It leads to some complications, one of them is growth retardation. Aim To determine the association between hemoglobin level and iron profile with growth retardation on thalassemia patients. Methods cross sectional study on 102 patients in Thalassemia Center of RSCM Jakarta. Results Forty five 44.1 subjects are girls and 57 55.9 subjects are boys. Their age range was 9 14 years old. Thirty nine 38.2 subjects had short stature and 63 61.8 subjects had normal stature. Median of serum ferritin level in the short stature patients was 2062 318 8963 ng mL and normal stature was 3315 422.9 12269 ng mL p 0.001 . Median of transferrin saturation in the short stature patients was 88 19 100 and normal stature was 83 35 100 p 0.94 . Mean of pra transfusion hemoglobin level in the short stature patients was 8.14 SD 0.93 g dL and normal stature was 8.07 SD 0.86 g dL p 0.68 . Conclusion there is a significant association between serum ferritin level and growth retardation, but there is no significant association between transferrin saturation and pra transfusion hemoglobin level with growth retardation."
2016
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Patriotika Ismail
"Latar belakang: Sarkopenia menjadi masalah kesehatan yang penting dan banyak di jumpai di negara maju dan berkembang. Faktor risiko sarkopenia bersifat multifaktor. Data prevalensi dan faktor risiko sarkopenia di Indonesia masih terbatas, khususnya dimasa pandemi COVID-19 yang sudah dihadapi Indonesia selama dua tahun. 
Tujuan: Mengetahui proporsi dan faktor risiko sarkopenia pada populasi usia lanjut di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumopada masa pandemi COVID-19.
Metode: Penelitian ini menggunakan data primer dengan desain uji potong lintang di poliklinik geriatri dan penyakit dalam RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo mulai dari bulan November hingga Desember 2021. Subjek dengan kriteria usia >60 tahun, tidak terdapat gangguan penyakit akut saat pemeriksaan, serta tidak mengalami depresi atau gangguan kognitif berat yang tidak didampingi caregiver/keluarga diambil sebagai subjek penelitian. Pemeriksaan menggunakan kuesioner SARC-F, dan pasien dengan nilai 4 dianggap sarkopenia. Karakteristik pasien dengan sarkopenia dibandingkan untuk menilai faktor risiko sarkopenia. 
Hasil:  Terdapat 253 subjek penelitian dengan proporsi sarkopenia 41,5% (IK 95% 35,45-47,55%). Faktor risiko yang berhubungan dengan sarkopenia pada penelitian ini adalah jenis kelamin perempuan, aktivitas menurun (sedentary-aktifitas kurang), status fungsional ketergantungan, penyakit hipertensi, dan penyakit jantung (p < 0.05)
Kesimpulan: Proporsi sarkopenia pada penelitian adalah 41,5% dengan faktor risiko yang berhubungan adalah jenis kelamin, hipertensi, penyakit jantung, status fungsional ketergantungan dan aktivitas yang menurun (sedentary-aktifitas kurang). Oleh sebab itu perlu menjadi perhatian dan pencegahan pada subjek dengan karakteristik tersebut. 

Introduction: Sarcopenia is a prevalent and increasing problem in elderly worldwide. It is also related to various debilitating conditions and poor prognosis. Etiology of sarcopenia is multifactorial. However, the data in Indonesia is still limited. Moreover, not much has been discussed about the prevalence and risk factors for sarcopenia, especially during the COVID-19 pandemic.
Aim: To determine the prevalence and risk factors of sarcopenia in elderly patients in Indonesia during the COVID-19 pandemic.
Methods: An observational study with cross-sectional design was performed in Geriatric and internal medicine Clinic, Cipto Mangunkusumo Hospital, Jakarta, Indonesia, on November 2021 to December 2021. Patients 60 years old and suspected to have sarcopenia were included in the study, while patients with conditions making them unable to undergo examination or in acute conditions were excluded. Patients were defined as having sarcopenia if SARC-F showed a total value of 4. Clinical characteristics of patients were compared to predict sarcopenia.
Results: There were 253 subjects included in this study. A total of 105 (41.5%) subjects were diagnosed to suffer from sarcopenia. Predicting factors of sarcopenia in subjects were woman gender, sedentary physical activity, dependent on activities of daily living, hypertension, and heart disease (p < 0.05).
Conclusion: The prevalence of sarcopenia in elderly at Cipto Mangunkusumo was 41.5%. Indonesian elderly with female gender, sedentary-low physical activity, dependent on activities of daily living, hypertension, and heart disease are more prone to suffer from sarcopenia. Therefore, extra attention and prevention are needed for individuals with the characteristics.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>