Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 55817 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Syifa Dinnah Putri Prabowo
"Persaingan curang merupakan fenomena yang kerap ditemui dalam dunia perdagangan. Konvensi Paris mengatur mengenai persaingan curang dan mewajibkan negara peserta untuk memberikan perlindungan yang efektif terhadap tindakan persaingan curang. Indonesia sebagai negara peserta dari Konvensi Paris belum mengatur persaingan curang secara khusus dan komprehensif dalam undang-undang. Berbeda halnya dengan Korea Selatan yang juga merupakan negara peserta Konvensi Paris mengatur persaingan curang dalam undang-undang yang dinamakan Unfair Competition Prevention Act (“UCPA”). Pengaturan persaingan curang sangat diperlukan untuk memberikan perlindungan kepada pemilik merek terhadap tindakan persaingan curang dalam bidang merek. Melalui penelitian yuridis-normatif, peneliti menganalisis hubungan antara persaingan curang dengan merek, khususnya unsur persaingan curang pada pelanggaran merek. Hasil penelitian menyarankan bahwa perlu dibentuk Undang-Undang Persaingan Curang di Indonesia untuk dapat memberikan perlindungan yang lebih efektif kepada pelaku usaha sebagaimana diamanatkan oleh Konvensi Paris.

Unfair competition is a phenomenon that is often encountered in the world of trade. Paris Convention regulates unfair competition and requires participating countries to provide effective protection against unfair competition. Indonesia as a participating country of the Paris Convention has not specifically and comprehensively regulated unfair competition in its national law. In contrast, South Korea, which is also a participating country of the Paris Convention, regulates unfair competition in an act called the Unfair Competition Prevention Act (“UCPA”). The regulation of unfair competition is very necessary to provide protection to trademark owners against acts of unfair competition in the field of trademarks. Through juridical-normative research, the researcher analyzes the relationship between unfair competition and trademarks, especially the element of unfair competition in trademark infringement. The results suggest that it is necessary to establish an Unfair Competition Act in Indonesia in order to provide more effective protection to business owners as mandated by the Paris Convention."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hersinta Setiarini
"ABSTRAK
Tidak adanya pengaturan mengenai tindakan-tindakan apa saja yang
disebut sebagai tindakan persaingan curang yang terdapat dalam penjelasan
pasal 4 dan masih belum memadainya kriteria merek terkenal dalam pasal 6
Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek mengakibatkan
munculnya masalah peniruan merek asing terkenal yang menyebabkan
kerugian pada pemilik merek asing terkenal tersebut. Bangsa Indonesia
tunduk kepada instrumen internasional seperti (The Paris Convention for
the Protection of Industrial Property/Konvensi Paris) dan (Agreement on
Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade in
Counterfeit Good/TRIPs). Akan tetapi ketentuan ini memberikan
kebebasan kepada setiap negara anggota untuk menetapkan dan mengatur
keterkenalan suatu merek di negaranya masing-masing. Oleh sebab itu,
penentuan keterkenalan suatu merek pada akhirnya tetap diserahkan kepada
majelis hakim. Pada dasarnya perlindungan terhadap merek terkenal bisa
menerapkan asas itikad tidak baik kepada pemohon yang mendaftarkan
mereknya secara tidak jujur karena membonceng, meniru, atau menjiplak
ketenaran suatu merek sehingga merugikan pihak lain atau menimbulkan
kondisi persaingan curang, mengecoh, atau menyesatkan konsumen.
Namun, pembuktian adanya itikad tidak baik juga merupakan pekerjaan
yang sangat sulit karena harus dikaitkan dengan pembuktian adanya
persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya yang dalam undangundang
merek juga belum diatur secara lengkap dan jelas. Selanjutnya
pembuktian adanya asas itikad tidak baik juga harus didahului dengan
pembuktian keterkenalan merek tersebut. Oleh karena itu, harus ada
peraturan yang mengatur secara jelas mengenai keterkenalan suatu merek
dan mengenai peniruan merek yang mengakibatkan persaingan curang.
Sehingga sengketa yang berkaitan dengan peniruan merek terkenal dapat
diselesaikan atau sedapat mungkin dihindari.

ABSTRACT
The absence of regulation stipulating what actions constituting
unfair competition contained in the explanation of article 4 and the
inadequate criteria of well- known mark which is stipulated in article 6 of
Law Number 15 of 2011 concerning Trademark conduce to arousing a
problem of imitation of foreign well- known mark that causes
disadvantage to the owner of foreign well- known mark. Indonesia is
subject to several international instruments such as (The Paris Convention
for the Protection of Industrial Property/Konvensi Paris) dan (Agreement
on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights, Including Trade
in Counterfeit Good/TRIPs). However, this provision gives freedom to
each member state to stipulate and regulate fame of a trademark in their
respective country. Therefore, determining the fame of a trademark
eventually is left to panel of judges. Basically the protection of well-known
mark can apply the principles of bad faith to an applicant who registers
his/her brands dihonestly because of membonceng, imitating, or tracing the
fame of the trademark that cause disadvantage to another party or arousing
condition of unfair competition, deceiving or misleading the consumers.
However proving the existence of bad faith is also a very hard job because
it must be associated with proving the existence of the equation
substantially or wholly which Law on Trademark has not clearly and
completely regulated. Furthermore, proving the bad faith principles must be
preceded by proving the fame of the trademark. Therefore, there must be
clear rules governing the fame of a trademark and the imitation trademark
resulting in unfair competition. So that disputes relating to pemboncengan
well-known marks can be solved or avoided wherever possible.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2012
S42352
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Atika Mega Chairina
"Tesis ini membahas mengenai perlindungan hukum merek terkenal atas tindakan dilusi merek terhadap persaingan curang di Indonesia. Penulis mengajukan dua pokok permasalahan: Pertama, mengenai perlindungan merek terkenal atas tindakan dilusi merek terhadap persaingan curang berdasarkan perjanjian internasional dan hukum merek di Amerika Serikat, Uni Eropa, Singapura, dan Indonesia. Sedangkan kedua, mengenai penerapan teori dilusi oleh Hakim dalam pertimbangannya dalam memutus sengketa merek terkenal. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normative dengan pendekatan perundang-undangan dan metode perbandingan hukum. Perlindungan yang diberikan dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis dan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia No. 12 Tahun 2021 tentang Pendaftaran Merek belum secara eksplisit mengatur dan memberikan perlindungan merek terkenal atas suatu tindakan dilusi merek terhadap persaingan curang di Indonesia. Disisi lain, Singapore Trademark Act 1998 Chapter 332 as revised 2005 yang telah memberikan perlindungan hukum pada merek terkenal atas tindakan dilusi merek terhadap persaingan curang di Singapura. Namun, jika merujuk dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat secara tidak langsung telah menerapkan dan memberikan perlindungan hukum merek terkenal atas tindakan dilusi merek terhadap persaingan curang secara benar. Penulis menyarankan agar perlindungan merek terkenal terhadap dilusi merek dapat dijadikan sebuah ketentuan hukum baru demi memberikan kepastian hukum bagi pemilik merek terkenal.

This thesis discusses the legal protection of well-known trademarks for trademark dilution against unfair competition in Indonesia. The author proposes two main issues: First, regarding the protection of well-known trademarks for trademark dilution against unfair competition based on International Treaties and Trademark Law in the United States, European Union, Singapore, and Indonesia. While the second is regarding the implementation of dilution theory by the Judge in his consideration in deciding the well-known trademark dispute. By using a normative juridical research method with a statutory approach and a comparative law method. The protection provided in Law No. 20 of 2016 regarding Trademarks and Geographical Indications and The Regulation of Minister of Law and Human Rights No. 12 of 2021 regarding Trademark Registration has not explicitly regulated and provided protection for well-known trademarks for an act of trademark dilution against unfair competition in Indonesia. On the other hand, the Singapore Trademark Act 1998 Chapter 332 as revised in 2005 has provided legal protection for well-known trademarks for trademark dilution against unfair competition in Singapore. However, if referring to the consideration of the Panel of Judges of the Commercial Court at the Central Jakarta District Court, it has indirectly implemented and provided legal protection of well-known trademarks for trademarks dilution against unfair competition correctly. The authors suggest that the protection of well-known trademarks for trademark dilution can be used as a new legal provision to provide legal certainty for the owner of a well-known trademark."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hasibuan, H.D. Effendy
"Merek atau merek dagang (trademark) sebagai hak milik intelektual mempunyai nilai tinggi bagi pemiliknya disamping nilai ekonomi tinggi yang terkandung dalam merek itu sendiri, setelah merek itu terkenal. Menurut teori hukum alam, pencipta memiliki hak moral untuk menikmati hasil ciptaannya, termasuk di dalamnya keuntungan yang dihasilkan oleh keintelektualannya
adapun tujuan dari penelitian ini adalah: Pertama, ingin membuktikan ada perbedaan latar belakang lahirnya UU. Merek di Indonesia dan di Amerika Serikat. Kedua, mencoba membuktikan bahwa substansi UU. Merek Amerika Serikat masih lebih bervariasi dibandingkan dengan UU Merek Indonesia, walaupun UU Merek Indonesia yang telah beberapa kali diperbarui itu telah mengikuti sebagian besar ketentuan-ketentuan merek internasional. Selanjutnya, menooba membuktikan adanya perbedaan dan persamaan pcrtimbangan-pertimbangan pengadilan dalam memutus sengketa-sengketa merek di Indonesia dan di Amerika Serikat. Akhirnya, penelitian ini ingin membuktikan bahwa UU Merek 2001 dalam pengaturan kepastian hukumnya lebih baik dari UUU Merek 1961, baik yang berkenaan dengan perlindungan merek maupun dalam penanganan permasalahan merek atau persaingan curang melalui peniruan merek.
"
Depok: Universitas Indonesia, 2003
D1058
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aditya Dharmadi
"Untuk memajukan industri yang mampu bersaing serta memberikan perlindungan hukum bagi para pendesain diberlakukanlah Undang-Undang Desain Industri Nomor 31 Tahun 2000 Tentang Desain Industri. Akan tetapi aturan hukum di bidang desain industri belum sepenuhnya mendukung perkembangan desain industri di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari maraknya kasus pembatalan desain industri yang terjadi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa faktor utama yang menyebabkan terjadinya pembatalan desain industri, yaitu tidak adanya kepastian mengenai kebaruan (novelty). Novelty merupakan persyaratan utama dalam paten dan desain. Suatu desain dianggap baru apabila ada perbedaan yang menyolok dengan desain yang sudah ada sebelumnya. Namun apabila perbedaan tersebut hanya terletak pada perbedaan yang minim, terkait beberapa unsur saja, baik itu warna maupun lekuk penampang luar, maka tidak akan bisa dianggap baru. Belum ada Pasal dalam Undang- Undang Desain Industri yang mengatur mengenai persamaan pada pokoknya yang dapat menentukan nilai kemiripan suatu desain industri yang dapat dijadikan acuan untuk menolak atau mengabulkan suatu permohonan desain industri. Dalam Pasal 2 ayat (2) menggunakan kata ?tidak sama? akan tetapi di dalam penjelasannya tidak dijelaskan lebih lanjut mengenai pengertian maupun batasan kata "tidak sama" ataupun kemiripan antara desain yang satu dengan yang lain yang dapat dikatakan mempunyai unsur persamaan pada pokoknya atau berbeda. Undang-undang desain industri di Indonesia menganut stelsel pendaftaran/pendaftar pertama atau "first to file" dalam hal klaim atas hak desain industri yang baru. Lebih jauh dijelaskan dalam Pasal 26 ayat (5) menyatakan bahwa pemeriksaan substantif tidak akan dilakukan apabila tidak adanya keberatan dari pihak lain. Dengan tidak adanya pemeriksaan substantif mengakibatkan setiap permohonan desain industri harus dikabulkan dan langsung diberikan sertifikat desain industri. Apabila pemeriksaan substantif tidak dilakukan maka apabila terdapat 2 (dua) desain industri yang memiliki kemiripan ataupun sama, dan 2 (dua) desain industri tersebut tidak diajukan keberatan, maka kedua desain industri tersebut berhak mendapatkan sertifikat desain industri. Hal tersebutlah yang menyebabkan terjadinya sengketa desain industri dan maka dari itu harus diajukan pembatalan desain industri. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan cara meneliti bahan kepustakaan atau bahan data sekunder. Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis dan analisis data yang dilakukan secara kualitatif.

The imposition of Law No. 31/2000 on Industrial Design is aimed to develop industry which is able to compete and to give legal protection to designers. However, Legal provisions in industrial design do not support the industrial design in Indonesia. It can be seen from various kinds of cancellation in industrial design. The results of the research showed that main factors which caused the cancellation of the industrial design is the uncertainty regarding novelty. Novelty is a patentability requirement. A design could be considered new, if there is a significant distinctive with the prior design. However, if the difference that just lays in distinctive minim one, concerning severally elemental only, therefore it can't be looked on as a new one. There is no article in Law on Industrial Design No. 31/2000, which rules the resemblance of an industrial design which can be used as the reference for rejecting or accepting a application request for an industrial design. Based on Article 2 Paragraph (2) uses the phrase "not similar", but in its explanation it does not clarify the term "not similar" or not resemble between one design and the other. The industrial design law in Indonesia embraces the "first to file" system in order to claiming the rights of the newest Industrial Designs. According to Article 26, paragraph (5) which states that the substantive examination will not be carried out if there is no complaint from other parties. The absence of substantive examination will cause the certificate for industrial design to be given. Substantive examination will not be carried out if there are 2 (two) industrial designs which resemble to each other; if there is no complaint about them, they have the right to get industrial design certificate. This will cause industrial design dispute; the result is that it has to be cancelled. The research used judicial normative approach, using literature materials and secondary data. The nature of the research was descriptive analysis; the data were analyzed qualitatively.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
T41515
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ginsburg, Jane C.
Charlottesville: Michie, 1996
346.048 GIN t
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Warsifah
"Penggunaan merek bagi dunia usaha perdagangan mempunyai arti penting, yaitu untuk menjamin kualitas barang yang dikeluarkan oleh pabrik atau penjualnya, dan juga dipakai untuk membedakan barang yang satu dengan barang yang lain yang sejenis. oleh karena itu penggunaan merek, harus dilakukan oleh pihak yang menurut ketentuan Undang-undang berhak untuk memakai merek. Hak atas merek adanya, tergantung pada sistem yang dianut oleh UU dari suatu negara. Di Indonesia hak atas merek itu ada berdasarkan pendaftaran. Sistem ini dikenal dengan nama Sistem Konstitutif yang dianut oleh UU Merek Nomor 19 Tahun 1992. Sistem Konstitutif ini menggantikan Sistem Deklaratif yang berlaku pada era UU Merek lama. Adapun tujuan dari perubahan sistem yang dianut ini, dalam penjelasan UU Merek Nomor 19 Tahun 1992 dimaksudkan untuk lebih menjamin kepastian hukum bagi pemilik merek. Tetapi ada beberapa ketentuan dalam UU Merek yang tidak sejalan dengan kepastian hukum yang ingin dicapai tadi. Khususnya mengenai ketentuan pembatalan merek yang telah terdaftar yang diatur dalam Pasal 56, di mana dalam gugatan pembatalan itu dasarnya sama dengan dasar pemeriksaan substantif pemeriksaan merek yaitu alasan-alasan yang disebut dalam Pasal 5 dan Pasal 6. Keadaan ini tidak konsisten dengan ketentuan UU, bahwa hak atas merek tercipta dengan diterimanya pendaftaran, yang mana akibat hukum dari pendaftaran, melarang pihak lain, tanpa izin dari pemilik merek yang berhak, untuk menggunakan merek baik keseluruhan maupun pokoknya. Pelanggaran dari ketentuan ini digolongkan melakukan persaingan curang. Untuk perbuatan persaingan curang dapat dituntut berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersifat umum yaitu di bidang perdata dapat digugat Pasal 1365 KUH Perdata. Untuk bidang pidana dapat dituntut Pasal 382 bis dan Pasal 393 KUH Pidana. Dengan berlakunya UU Merek baru sanksi untuk persaingan curang ini terdapat dalam Pasal 81 sampai dengan Pasal 83. Dari hasil penelitian diketahui, bahwa merek-merek yang terdaftar tanpa hak umumnyg banyak terjadi pada era UU No. 21 Tahun 1961, sehingga banyak terjadi gugat-menggugat sesama pemilik merek terdaftar, sebagai akibat dari perubahan sistem yang dianut. Untuk merealisasikan kepastian hukum dalam sistem konstitutif, sehingga dapat mencegah terjadinya persaingan curang di bidang merek, sekaligus juga untuk memberikan perlindungan hukum kepada pemilik merek terdaftar, perlu pengaturan dan penjabaran lebih lanjut beberapa ketentuan dalam UU Merek No. 19 Tahun 1992."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1996
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Annisa Dinda Soraya
"ABSTRAK
Perkembangan perekonomian dan ilmu pengetahuan yang pesat telah menimbulkan perubahan cepat pada produk-produk kosmetik, obat asli Indonesia dan alat kesehatan. Dewasa ini pendirian dan perkembangan industri-industri kosmetik terlihat semakin terasa signifikan. Terdapat beberapa regulasi yang seringkali digunakan dalam pengakan hukum kasus pemalsuan kosmetik di Indonesia, yakni Undang-Undang Merek (UU Nomer 20 Tahun 2016), Undang-Undang Kesehatan (Undang-Undang Nomer 36 Tahun 2009) dan Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UU Nomer 8 Tahun 1999). Pemalsuan kosmetik melanggar merek kosmetik lainnya yang telah terdaftar, Dalam kasus pemalsuan kosmetik, Undang-Undang Merek merupakan regulasi utama yang seharusnya digunakan dikarenakan pemalsuan sendiri merupkan bentuk pelanggaran merek. Apalagi dengan adanya perubahan terhadap Undang-Undang Merek pada Pasal 100 Ayat (3) yang mengatur mengenai pemberatan sanksi pidana terhadap pelanggaran merek yang menyebabkan gangguan kesehatan dan/atau kematian. Skripsi ini menyimpulkan bahwa tidak semua kasus pemalsuan kosmetik dianggap sebagai bentuk Pelanggaran Merek karena mayoritas kasus yang dianilisis masih dianggap sebagai bentuk pelanggaran Undang-Undang Kesehatan. Permasalahan utama Undang-Undang Merek masih jarang digunakan adalah karena adanya ketentuan mengenai delik aduan pada Undang-Undang k. Untuk itu, seharusnya terdapat pengecualian terhadap Pasal 100 ayat (3) Undang-Undang Merek ini agar lebih dapat digunakan secara efektif.

ABSTRACT
Rapid economic and scientific developments have led to massive changes in cosmetic products, Indonesian traditional medicine and medical devices. Today, the establishment and development of the cosmetic industries seems increasingly significant. There are several regulations that are often used in law enforcement against cosmetic counterfeiting. These regulations come from different laws, such as the Mark Law (Law No. 20 of 2016), the Health Law (the Law No 36 of 2009) and the Consumer Protection Law (the Law No. 8 of 1999). As counterfeit cosmetics is infringing a registered trademark, Mark Law is one of the main regulation. Especially, the new Mark Law (No. 20 of 2016) imposes heavier penalties to trademark infringer that caused health problems and/or the death of human beings This research analyzes 50 court decisions on the case of illegal/counterfeit cosmetics from 2010-2018 in Indonesia. This article concludes that in Indonesia, not every problem of counterfeit cosmetics treated as Trademark Infringement because majority of the cases still treated as Health Law Infringement. The provision of Mark Law that require the trademark owner to initiate the legal process of the infringement of their trademark is the most used reason why counterfeiting cosmetics in Indonesia cannot easily be treated as trademark infringement This article recommends that the infringement of article 100 paragraph (3) on the Mark Law should be treaded as a regular offences not based on complaint."
2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anindya Widyasari
"Perlindungan hukum bagi pemegang hak atas merek secara umum telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Namun dalam praktiknya perlindungan tersebut belum digunakan dengan maksimal apalagi saat ini marak penjualan barang bermerek palsu secara online di marketplace di Indonesia. Perlindungan bagi pemegang hak atas merek kini lebih rumit dikarenakan tanggung jawab marketplace terhadap penjualan barang bermerek palsu di platformnya menjadi permasalahan baru. Dalam skripsi ini Penulis akan meneliti mengenai tanggung jawab hukum marketplace sebagai penyedia layanan perdagangan melalui sistem elektronik terhadap penjualan barang bermerek palsu serta upaya hukum yang dapat dilakukan pemegang hak atas merek yaitu gugatan kepada marketplace dengan penurunan konten sebagai dasar gugatannya. Penulis akan mengaitkan permasalahan tersebut dengan melakukan penelitian di salah satu marketplace ternama di Indonesia yaitu Marketplace X untuk meneliti kebijakan platform tersebut dalam kasus penjualan barang bermerek palsu. Metode penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian normatif yaitu penelitian mengenai norma, konsep, prinsip, hak dan kewajiban, dan sistem hukum. Kesimpulan yang penulis dapatkan dalam penelitian ini adalah bahwa marketplace tidak bertanggung jawab terhadap penjualan barang bermerek palsu di platformnya yang merupakan kesalahan/kelalaian penjual. Penurunan konten yang dilakukan pihak marketplace dapat dijadikan dasar gugatan karena marketplace telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum dengan menjadikan bukti penurunan konten sebagai alat bukti elektronik

Legal protection for trademark holder has generally been regulated in Law Number 20 of 2016 concerning Trademarks and Geographical Indications. However, in practice, this protection has not been used to its full potential, especially now that there are rampant sales of counterfeit trademark goods in online marketplace in Indonesia. Protection for trademark holder is now more complicated, as the online marketplace’s responsibility for selling counterfeit trademark goods on its platform is a new problem. In this thesis, the author will examine the legal responsibilities of a marketplace as a provider of trading services through an electronic system against the sale of counterfeit trademark goods and legal remedies that can be taken by the trademark holder, namely a lawsuit to the marketplace with take-down content as the basis for the lawsuit. The author will relate these issues by conducting research in a famous marketplace in Indonesia, Marketplace X, to examine the platform’s policies against the sale of counterfeit trademark goods. The research method used is normative research which research on norms, concepts, principles, rights and obligations, and the legal system. The conclusion is that the marketplace is not responsible for counterfeit trademark goods trade on its platforms if it seller’s fault/negligence. The take-down content can be used as the basis for a lawsuit, as the marketplace has committed an unlawful act. The take-down content evidence can be used as electronic evidence."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Timbuleng, Nurhasanah
"Skripsi ini membahas mengenai implementasi ketentuan persaingan curang menurut Konvensi Paris dalam hukum Indonesia, yaitu Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek maupun dalam penerapan hukumnya. Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan data sekunder dan dilakukan melalui analisis kualitatif untuk menghasilkan data komparatif analisis. Hasil penelitian memberi sebuah pemahaman bahwa Indonesia dalam mengimplementasikan ketentuan persaingan curang menurut Konvensi Paris dalam hukum nasionalnya, yaitu Undang-Undang No. 15 Tahun 2001 Tentang Merek maupun dalam penerapan hukumnya ternyata masih banyak terdapat banyak kekurangan.

This focus of this study is about the implementation of unfair competition provision pursuant to Paris Convention into the Indonesian law, which is Law Number 15 Year 2001 About Mark and its application in practice. This study is using the secondary date and done by qualitative analysis that resulted comparative analysis date. The result of this study is giving an understanding that Indonesia is still lack in implementing unfair competition provision pursuant to Paris Convention into national law, which is Law Number 15 Year 2001 About Mark and its application in practice."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2009
S26222
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>