Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164150 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Muhammad Pravest Hamidi
"Reskinning gim merupakan fenomena yang sering terjadi saat ini. Penulis meneliti bagaimana doktrin dikotomi ide dan ekspresi diterapkan dalam kasus-kasus semacam ini. Berbeda dengan di Indonesia, doktrin dikotomi ide dan ekspresi telah berkembang pesat di Amerika Serikat. Penulis menggunakan metode penelitian hukum yuridis-normatif dengan tipologi penelitian hukum berupa penelitian eksplanatoris. Selain peraturan perundang-undangan dan putusan Indonesia, penulis mengolah data-data yang sebagian besar bersumber dari putusan-putusan Amerika Serikat serta pendapat para ahli hukum. Penulis menyimpulkan bahwa pada kasus reskinning gim, doktrin dikotomi ide dan ekspresi diterapkan dengan pertama-tama menetapkan “ide” gim Penggugat dengan metode abstraksi, kemudian mencari segala kemiripan yang ada melalui pembedahan analitis dan keterangan ahli, lalu menetapkan “ekspresi yang dilindungi” dan “ekspresi yang tidak dilindungi” berdasarkan doktrin-doktrin pembatas yakni doktrin scenes-a-faire dan merger, menetapkan standar yang layak (standar substantial similarity atau virtual identity) berdasarkan seberapa jauh suatu elemen dilindungi Hak Cipta berdasarkan seberapa orisinal karya tersebut, dan terakhir menerapkan standar yang layak tersebut pada karya Penggugat dan Tergugat. Penulis memberikan saran: 1. UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta sebaiknya ditambahkan ketentuan yang memungkinkan penerapan standar virtual identity dalam kasus-kasus pelanggaran HakCipta; dan 2.Hakim sebaiknya memperhatikan juga bentuk-bentuk ekspresi yang tidak dilindungi Hak Cipta berdasarkan prinsip scenes-a-faire dan merger dalam menerapkan doktrin dikotomi ide dan ekspresi dan prinsip “pengambilan yang substansial” yang termuat dalam Pasal 41 huruf b dan Pasal 44 ayat (1) UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Game reskinning is a phenomenon that often occurs nowadays. The author examines how the doctrine of the idea and expression dichotomy is applied in such cases. Unlike in Indonesia, the idea and expression dichotomy doctrine has developed rapidly in the United States. The author uses a juridical-normative legal research method with a typology of legal research in the form of explanatory research. In addition to the laws and regulations and court decisions in Indonesia, the author processes data which is mostly sourced from the court decisions in the United States and the opinions of legal experts. The author concludes that in game reskinning cases, the doctrine of idea and expression dichotomy is applied by firstly determining the Plaintiff’s game “idea” by the abstraction method, then looking for any similarities though analytical dissection and expert testimony, then identifying “protected expressions” and “unprotected expressions” based on limitting doctrines, then setting the appropriate standards (substantial similarity or virtual identity) based on how far an element is protected, and finally applying the appropriate standards on the work of the Plaintiff and Defendant. The author gives suggestions: 1. Law Number 28 of 2014 concerning Copyright should be added to provisions that allow the application of virtual identity standards in cases of copyright infringement; and 2. Judges should also pay attention to forms of expression that are not protected by copyright when applying the doctrine of idea and expression dichotomy and the principle of "substantial taking" as contained in Article 41b and Article 44(1)."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Armandha Andri Anwar
"Film dokumenter merupakan jenis film yang berisi fakta untuk menceritakan peristiwa dan tokoh yang nyata untuk berbagai kepentingan, seperti pendidikan dan penelitian. Sebagai produk yang bersifat informatif dan kreatif, film dokumenter ini merupakan objek yang dilindungi oleh hukum hak cipta. Namun, film dokumenter juga dapat menimbulkan permasalahan yang berkaitan dengan pelanggaran hak cipta karena sering menggunakan cuplikan milik orang lain yang dilindungi oleh hak cipta, seperti video, potret, karya fotografi, dan objek lainnya. Penggunaan cuplikan tersebut berpotensi melanggar hak cipta milik orang lain apabila terdapat unsur komersialisasi dan merugikan kepentingan yang wajar dari pencipta. Meskipun demikian, terdapat doktrin pembatasan atau pengecualian yang dikenal dengan doktrin fair use dalam hukum hak cipta. Fair use merupakan doktrin yang membatasi pelindungan hak cipta sehingga seseorang dapat melaksanakan hak eksklusif pencipta atau pemegang hak cipta tanpa izin. Doktrin yang berasal dari Amerika Serikat ini berpotensi menjadi mekanisme pelindungan bagi pembuat film dokumenter karena memiliki pengaturan yang cukup memadai dan fleksibel. Fleksibilitas ini menjadi titik pembeda dalam pengaturan fair use pada hukum hak cipta di Amerika Serikat, jika dibandingan dengan hukum hak cipta di Indonesia. Maka dari itu, tulisan ini akan membahas mengenai pengaturan dan penerapan doktrin fair use di antara kedua negara tersebut. Permasalahan tersebut ditinjau dengan menggunakan metode yuridis normatif dengan melihat pengaturan dan doktrin-doktrin hukum yang berkaitan dengan topik tulisan ini. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengaturan fair use di Amerika Serikat cenderung menguntungkan film dokumenter karena menekankan pada unsur transformatif daripada unsur komersial yang mana hal ini terbalik dengan pengaturan mengenai pembatasan hak cipta di Indonesia.

A documentary film is a type of movie that contains facts to portray real events and characters for various purposes, such as education and research. As an informative and creative product, the documentary film is an object protected by copyright law. However, documentary films can also cause problems related to copyright infringement because they often use copyrighted footage, such as videos, portraits, photographic works, and other objects. The use of such footage could potentially infringe on the others’ copyrights if there is an element of commercialization and harm to the reasonable interests of the author. However, there is a doctrine of limitations or exceptions known as the doctrine of fair use in copyright law. Fair use is a doctrine that limits copyright protection so that a person can exercise the exclusive rights of the creator or copyright holder without permission. This doctrine originating from the United States has the potential to be a protection mechanism for documentary filmmakers for using copyrighted footage because it has adequate and flexible provisions. This flexibility is a point of difference in the regulation of fair use in US copyright law, if compared to Indonesian copyright law. Therefore, this paper will discuss the regulation and its implementation of the fair use doctrine between the two countries. The problem is reviewed using the normative juridical method by looking at laws, regulations, and doctrines related to the topic of this paper. The results of this study indicate that the regulation of fair use in the United States tends to favor documentary films because it emphasizes the transformative use element rather than the commercial element which is contrary to provisions on copyright limitations in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Fairuz Ikbar
"Penelitian ini berangkat dari adanya suatu fenomena kesamaan visual pada karya sinematografi berbentuk video klip yang diciptakan oleh Rima Yoon dan Dongju Jang pada video klip "Lay Zhang-Lit" dan oleh Raka Aditya pada video klip "Young Lex-Raja Terakhir". Berdasarkan fenomena tersebut, penulis melakukan penelitian terhadap suatu kesamaan visual dapat dianggap sebagai pelanggaran hak cipta atau tidak dengan berdasarkan doktrin dikotomi ide dan ekspresi. Pada penelitian ini akan menggunakan metode yuridis-normatif. Kemudian, setelah penelitian tersebut dilakukan, penulis menemukan bahwa pengaturan hak cipta karya sinematografi berbentuk video klip dapat merujuk pada Pasal 40 ayat (1) huruf m sebagai objek hak cipta yang dapat dilindungi. Lalu berdasarkan doktrin dikotomi ide dan ekspresi serta pembuktian yang dilakukan dengan menggunakan metode abstraction-filtration-comparison test. Maka, tidak ditemukan adanya pelanggaran karena kedua visual karya tersebut berbeda.Lalu dengan adanya suatu kesamaan pada kedua ide dari video klip tersebut tidak dapat dianggap sebagai suau pelanggaran karena berdasarkan doktrin dikotomi ide dan ekspresi serta peraturan yang ada dikatakan bahwa suatu ide tidak dapat dilindungi oleh hak cipta.

This research is based on the phenomenon of visual similarity in cinematographic works in the form of music videos created by Rima Yoon and Dongju Jang in the music video "Lay Zhang-Lit" and by Raka Aditya in the music video "Young Lex-Raja Terakhir". Based on this phenomenon, the author conducts a research to determine whether visual similarity can be considered a copyright infringement or not based on the dichotomy of ideas and expression doctrine. This research will use a juridical-normative method. Then, after conducting the research, the author found that the copyright regulation for cinematographic works in the form of music videos can refer to Article 40 paragraph (1) letter m as an object of copyright that can be protected. Then based on the dichotomy of ideas and expression doctrine and the evidence obtained using the abstraction-filtration-comparison test method. Thus, no infringement was found because the visuals of the two works are different. Then the existence of a similarity in the two ideas of the music video cannot be considered an infringement because based on the dichotomy of ideas and expression doctrine and existing regulations, it is stated that an idea cannot be protected by copyright."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jasmine Assilmi Wirawan
"Tulisan ini menganalisis mengenai penerapan dari Doktrin Joint Authorship di Indonesia, khususnya terhadap permasalahan pada larangan untuk Pencipta lagu dalam mempertunjukan lagu ciptaan bersama. Joint Authorship merupakan suatu fenomena yang terjadi ketika terdapat dua atau lebih Pencipta yang berkontribusi untuk menghasilkan suatu karya cipta bersama. Doktrin Joint Authorship sendiri telah diterapkan di Indonesia, khususnya dalam proses penciptaan lagu. Akan tetapi, terdapat permasalahan terkait dengan Joint Authorship yang terjadi di Indonesia, yakni saat seorang Pencipta melarang Pencipta lainnya untuk mempertunjukan lagu ciptaan bersama. Tulisan ini disusun dengan metode penelitian doktrinal. Hasil penelitian dari tulisan ini menunjukan bahwa Joint Authorship telah diakui dalam perundang-undangan di Indonesia, yakni dalam definisi Pencipta dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UUHC). Akan tetapi, pengaturan lebih lanjut mengenai Joint Authorship ini belum diberlakukan di Indonesia. Doktrin Joint Authorship juga menggarisbawahi pentingnya komunikasi dan kesepakatan yang jelas saat proses penciptaan bersama yang dilakukan oleh beberapa pihak Pencipta. Selain itu, dengan adanya model Doktrin Joint Authorship, dapat diketahui bagaimana dampak terhadap kepemilikan atas lagu-lagu yang telah diciptakan bersama oleh para Pencipta. Dengan demikian, hasil dari penelitian ini merekomendasikan bahwa perlunya pengaturan lebih lanjut mengenai Joint Authorship dalam UUHC yang berlaku di Indonesia.

This paper analyzes the application of the Doctrine of Joint Authorship in Indonesia, especially on the issue of prohibition for the Creator in using the song of joint works. Joint Authorship is a phenomenon that occurs when there are two or more creators who contribute to produce a joint copyrighted work. The doctrine of Joint Authorship itself has been applied in Indonesia, especially in the process of song creation. However, there are problems related to Joint Authorship that occur in Indonesia, namely when a creator prohibits other creators from using songs of joint works. This paper is prepared using doctrinal research method. The research results of this paper show that Joint Authorship has been recognized in Indonesian legislation, which is under the definition of Creator in Copyright Law Number 28 of 2014 concerning Copyright (UUHC). However, further provisions regarding Joint Authorship have not been enacted in Indonesia. The Joint Authorship Doctrine also underlines the importance of clear communication and agreement during the co-creation process carried out by several Creators. In addition, with the existence of the Joint Authorship Doctrine model, it can be seen how the impact on the authorship of songs that have been co-created by the Creators. Thus, the results of this study recommend that there is a need for further regulation of Joint Authorship in the existing UUHC in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jasmine Assilmi Wirawan
"Tulisan ini menganalisis mengenai penerapan dari Doktrin Joint Authorship di Indonesia, khususnya terhadap permasalahan pada larangan untuk Pencipta lagu dalam mempertunjukan lagu ciptaan bersama. Joint Authorship merupakan suatu fenomena yang terjadi ketika terdapat dua atau lebih Pencipta yang berkontribusi untuk menghasilkan suatu karya cipta bersama. Doktrin Joint Authorship sendiri telah diterapkan di Indonesia, khususnya dalam proses penciptaan lagu. Akan tetapi, terdapat permasalahan terkait dengan Joint Authorship yang terjadi di Indonesia, yakni saat seorang Pencipta melarang Pencipta lainnya untuk mempertunjukan lagu ciptaan bersama. Tulisan ini disusun dengan metode penelitian doktrinal. Hasil penelitian dari tulisan ini menunjukan bahwa Joint Authorship telah diakui dalam perundang-undangan di Indonesia, yakni dalam definisi Pencipta dalam Undang-Undang Hak Cipta Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta (UUHC). Akan tetapi, pengaturan lebih lanjut mengenai Joint Authorship ini belum diberlakukan di Indonesia. Doktrin Joint Authorship juga menggarisbawahi pentingnya komunikasi dan kesepakatan yang jelas saat proses penciptaan bersama yang dilakukan oleh beberapa pihak Pencipta. Selain itu, dengan adanya model Doktrin Joint Authorship, dapat diketahui bagaimana dampak terhadap kepemilikan atas lagu-lagu yang telah diciptakan bersama oleh para Pencipta. Dengan demikian, hasil dari penelitian ini merekomendasikan bahwa perlunya pengaturan lebih lanjut mengenai Joint Authorship dalam UUHC yang berlaku di Indonesia.

This paper analyzes the application of the Doctrine of Joint Authorship in Indonesia, especially on the issue of prohibition for the Creator in using the song of joint works. Joint Authorship is a phenomenon that occurs when there are two or more creators who contribute to produce a joint copyrighted work. The doctrine of Joint Authorship itself has been applied in Indonesia, especially in the process of song creation. However, there are problems related to Joint Authorship that occur in Indonesia, namely when a creator prohibits other creators from using songs of joint works. This paper is prepared using doctrinal research method. The research results of this paper show that Joint Authorship has been recognized in Indonesian legislation, which is under the definition of Creator in Copyright Law Number 28 of 2014 concerning Copyright (UUHC). However, further provisions regarding Joint Authorship have not been enacted in Indonesia. The Joint Authorship Doctrine also underlines the importance of clear communication and agreement during the co-creation process carried out by several Creators. In addition, with the existence of the Joint Authorship Doctrine model, it can be seen how the impact on the authorship of songs that have been co-created by the Creators. Thus, the results of this study recommend that there is a need for further regulation of Joint Authorship in the existing UUHC in Indonesia."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2025
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Komang Setiabudi
"Film merupakan media multi dimensional, dan menyangkut aneka hak cipta. Banyak ciptaan-ciptaan yang ada hak ciptanya dimanfaatkan. Ciptaan-ciptaan itu diantaranya adalah cerita, lagu (musik), dan mungkin suatu tarian. Produser film tidak boleh menggunakan suatu hak cipta tanpa ijin tertulis pemegang hak cipta itu. Bahwa era film bisu dan hitam putih telah lama berlalu. Film berwarna dengan efek suara dan tehnologi yang menunjangnya semakin membuat semaraknya hiburan bagi masyarakat. Kemajuan tehhologi ternyata menimbulkan masalah hak cipta yang sangat kompleks sedangkan Undang-undang Hak Cipta 1912 (Auteurswet 1912) yang dibuat di masa pemerintahan Hindia Belanda tidak memadai 1agi. Padahal eksistensi undang-undang tersebut ' adalah melindungi pencipta beserta ciptaannja, maka digantinya Auteurswet 1912 dengan Undang-undang No. 6 tahun 1 982, yang kemudian disempurnakan dengan Undang-undang No. 7 tahun 1987, merupakan langkah maju untuk menjawab tantangan tehnologi, termasuk film. Undang-undang yang baru itu diharapkan dapat memecahkan masalah hak cipta dalam film, baik terhadap pembajakan film dengan sarana video, maupun berbagi pelanggaran lainnya. Hal ini demi memajukan dan menggairahkan bangsa Indonesia untuk berfikir kreatif supaya lahir beraneka ciptaan yang baru. Tanpa perlindungan, maka banyak pencipta dan pegang hak cipta yang dirugikan. Demikian pula masyarakat kita, serta pemerintah yang sedang mengusahakan pembangunan di segala bidang. Hak cipta bukan sekadar kata yang bernilai hukum, hak cipta juga suatu peluang bisnis dan ekonomi yang sangat tinggi. Permasalahan yang menarik ini akan diungkap dan dibahas dalam skripsi ini. Agar memperoleh gambaran yang je1as ten tang hak cipta yang bersangkutan dehgan film, penulis akan membahas masalahmasalah tersebut sejak film dipersiapkan, diproduksi, dan sampai saat film itu diedarkan ke tengah masyarakat luas."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1989
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
Cindy Mayrianti
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 1987
S25808
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Silitonga, Berliana
"Manusia dalam perkembangannya menghasilkan berbagai karya, baik karya ilmiah, kesusatraan, kesenian, teknologi dan masih banyak lagi. Semua bentuk hasil karya yang sudah terwujud dan dapat dirasa oleh panca indra kita dilindungi oleh hak cipta. Hal ini karena kreativitas dan inisiatif manusia dihargai tinggi oleh manusia lain. Salah satu bentuk karya adalah musik. Musik sangat dibutuhkan manusia dan ternyata dapat mempunyai nilai ekonomi yang tinggi Tanpa musik hidup terasa hampa. Oleh karena itu orang rela membayar suatu harga untuk dapat menikmati keindahan musik. Dalam karya tulis hubungan hukum antara artis ini akan dibahas bagaimana dan produser dalam suatu perjanjian kerja rekaman. Perjanjian yang digunakan Penulis untuk ditinjau secara yuridis adalah pedoman perjanjian pembuatan karya rekaman yang dikeluarkan oleh ASIRI (Asosiasi Industri Rekaman Indonesia) dan dari itu dapat terlihat bahwa hak cipta milik artis dapat beralih kepada pihak produser perjanjian (penyanyi) Selain itu, Penulis juga akan mencoba mengupas sedikit tentang hak cipta yang dimiliki oleh artis dan produser untuk menambah pengetahuan kita bahwa artis dalam mempersembahkan karya musiknya mempunyai hak-hak yang bernilai tinggi dan produser dalam membuat hasil rekaman juga dilindungi hak cipta."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S21200
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Rafiqi Ramadhan
"ABSTRAK
Perkembangan ekonomi kreatif yang menjadi salah satu andalan Indonesia dan
berbagai negara dan berkembang pesatnya teknologi informasi dan komunikasi
mengharuskan adanya pembaruan Undang-Undang Hak Cipta, mengingat Hak
Cipta menjadi basis terpenting dari ekonomi kreatif nasional. Di dalam UU No. 28
Tahun 2014 sebagai pengganti UU No. 19 Tahun 2002 terdapat pengaturan baru
mengenai Lembaga Manajemen Kolektif (LMK). LMK merupakan badan hukum
nirlaba yang diberi kuasa oleh Pencipta untuk mengelola Hak Ekonomi dalam
bentuk menghimpun dan mendistribusikan royalti. Adapun di dalam tulisan ini
membahas mengenai bagaimana peran dari LMK dalam pengelolaan hak ekonomi
dari Pencipta di bidang Lagu/Musik juga terkait usaha Karaoke sebagai Pengguna
Lagu/Musik untuk tujuan komersial yang harus membayar royalti kepada Pencipta.
Penelitian menggunakan metode Yuridis-Normatif dengan studi kepustakaan yang
dilengkapi dengan wawancara.
ABSTRACT
The development of creative economy into one of Indonesia and various countries
and the rapid growth of information and communication technology requires an
updates for the Copyright Act, considering Copyright become the most important
base of national creative economy. In Law No. 28, 2014 as the revision of Law
No. 19 In 2002 there is a new arrangement of the Collective Management
Organization (CMO). CMO is a nonprofit legal entity authorized by the Author to
manage the economic right in the form of to collect and distribute royalties. As in
this paper describes how the role of CMO in the management of the economic
rights of the creator in the field of Songs/Music also related in Karaoke businesses
as the user of Songs/Music for commercial purposes that have to pay royalties to
the Author. This research using the method of juridical-normative literature study
in addition with interview."
2015
S58245
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>