Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 24566 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Jihan Al Litani
"Pembatalan perkawinan sebagai suatu tindakan yang dilakukan untuk memperoleh putusan pengadilan yang menyatakan bahwa perkawinan yang dilaksanakan batal. Penyebab pembatalan perkawinan adalah perkawinan yang tidak memenuhi rukun dan syarat atau terdapat adanya halangan perkawinan dan kedua disebabkan terjadinya sesuatu dalam kehidupan rumah tangga yang tidak memungkinkan rumah tangga dilanjutkan. Permasalahan dalam penelitian ini adalah mengenai pertimbangan hakim Pengadilan Agama yang mengabulkan gugatan pembatalan perkawinan dan perspektif tujuan hukum Islam dalam putusan hakim Pengadilan Agama yang mengabulkan gugatan pembatalan perkawinan dalam Putusan Pengadilan Agama Tanjung Karang Nomor: 0174/Pdt.G/2020/PA.Tnk. Metode yang digunakan untuk menjawab permasalahan tersebut adalah penelitian yuridis normatif, dengan menggunakan data sekunder yang diperoleh melalui studi kepustakaan. Hasil analisis menunjukkan bahwa pertimbangan hakim Pengadilan Agama yang mengabulkan gugatan pembatalan perkawinan semata-mata didasarkan pada bukti, saksi dan fakta persidangan yang terungkap dari pihak penggugat, karena pihak tergugat tidak pernah hadir dalam persidangan. Majelis Hakim menemukan fakta-fakta bahwa pernikahan antara penggugat dan tergugat terjadi karena adanya paksaan dan ancaman dari orang tua Penggugat yang menjodohkan Penggugat dengan Tergugat, sehingga tidak ada dasar cinta dalam perkawinan tersebut. Majelis Hakim menimbang bahwa dalam perkara ini alasan diajukannya permohonan pembatalan perkawinan terpenuhi sebagaimana diatur dalam Pasal 72 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam, bahwa perkawinan yang terjadi antara Penggugat dengan Tergugat dilangsungkan di bawah ancaman dan hal itu melanggar hukum oleh karenanya gugatan Penggugat dapat dikabulkan dengan menetapkan membatalkan Perkawinan Penggugat dengan Tergugat. Putusan hakim Pengadilan Agama yang mengabulkan gugatan pembatalan perkawinan dalam Putusan Pengadilan Agama Tanjung Karang Nomor: 0174/Pdt.G/2020/PA.Tnk sesuai dengan perspektif tujuan hukum Islam (maqashid al-syari’ah) dan sudah tepat atau sesuai karena memberikan maslahat yaitu terlepasnya Penggugat dari penderitaan batin yang dialaminya karena perkawinan di bawah paksaan

Marriage annulment is an action taken to obtain a court decision which states that the marriage is null and void. The cause of the annulment of marriage is a marriage that does not meet the pillars and conditions or there are marital obstacles and the second is due to something happening in domestic life that does not allow the household to continue. The problem in this study is regarding the consideration of the Religious Court judges who granted the marriage annulment suit and the perspective of the objectives of Islamic law in the decision of the Religious Court judges who granted the marriage annulment suit in the Tanjung Karang Religious Court Decision Number: 0174/Pdt.G/2020/PA.Tnk. The method used to answer these problems is normative juridical research, using secondary data obtained through library research. The results of the analysis show that the considerations suit was based solely on evidence, witnesses and trial facts revealed by the plaintiff, because the defendant was never present at the trial. The Panel of Judges found facts that the marriage between the plaintiff and the defendant occurred because of coercion and threats from the Plaintiff's parents who matched the Plaintiff with the Defendant, so that there was no basis of love in the marriage. The Panel of Judges considered that in this case the reasons for submitting the application for annulment of marriage were fulfilled as stipulated in Article 72 paragraph (1) of the Compilation of Islamic Law, that the marriage that occurred between the Plaintiff and the Defendant was carried out under threat and it violated the law, therefore the Plaintiff's claim could be granted with decides to cancel the Plaintiff's Marriage with the Defendant. The decision of the Religious Court judge who granted the marriage annulment suit in the Tanjung Karang Religious Court Decision Number: 0174/Pdt.G/2020/PA.Tnk in accordance with the perspective of the objectives of Islamic law (maqashid al-syari'ah) and is appropriate or appropriate because it provides benefits namely the release of the Plaintiff from the mental suffering he experienced because of a forced marriage"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rena Restriana
"Dampak negatif dari arus globalisasi yang masuk ke dalam berbagai aspek kehidupan manusia, salah satunya adalah melonggarnya batasan moral yang menjadi pegangan masyarakat selama ini. Hal tersebut menyebabkan hubungan seksual sebelum melangsungkan perkawinan seringkali dianggap menjadi hal yang biasa. Skripsi ini mengangkat permasalahan mengenai pembatalan perkawinan karena adanya paksaan dan ancaman yang melanggar hukum, dimana paksaan dan ancaman tersebut dilakukan, dengan alasan agar pihak laki-laki mau bertanggung jawab menikahi perempuan yang telah dihamilinya. Pada skripsi ini, juga dibahas mengenai paksaan dan ancaman yang melanggar hukum di dalam Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam. Dengan digunakannya metode penelitian yuridis normatif, terhadap putusan Pengadilan Agama No. 468/Pdt.G/2014/PA.Trk, dapat disimpulkam bahwa pertimbangan hakim dalam putusan tersebut tidak sesuai dengan Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, karena jika merujuk pada Pasal 27 Undang-Undang No 1 Tahun 1974 serta Pasal 71 dan 72 Kompilasi Hukum Islam yang pada intinya menjelaskan jika terdapat suatu paksaan dan ancaman yang melanggar hukum maka terhadap perkawinan tersebut dapat dilakukan pembatalan. Namun keputusan hakim dalam putusan No. 468/Pdt.G/2014/PA.Trk tersebut, tidak mengabulkan permohonan pembatalan perkawinan.

One of negative impacts of globalization which has entered many aspects of human rsquo s life is morality as a community guidance that have been weakened. This makes the act of sex before marriage has been seen as a common thing. This thesis will tell a case of marriage annulment by reason of coercion and threat, which are done as a reason for a guy to be responsible to marry a girl whom he has impregnanted. In this thesis, the discussion envelopes coercion and threat in Law Number 1 Year 1974 and Compilation of Islamic Law. By using juridical normative research method in Religious Court rsquo s decision Number 468 Pdt.G 2014 PA.Trk, it can be concluded that judge rsquo s consideration on the decision is not suitable with The Law Number 1 Year 1974 nor Compilation of Islamic Law, because if referring to Article 27 of Law Number 1 Year 1974 along with Article 71 and 72 of Compilation of Islamic Law, explain if there rsquo s a threat or coercion, the marriage annulment is possible to be done. However, judge rsquo s rulling in the court decision Number 468 Pdt.G 2014 PA.Trk does not grant petition of marriage annulment."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S68150
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Glorius Anggundoro
"Manusia diberikan karunia oleh Tuhan Yang Maha Esa untuk dapat melanjutkan keturunan yaitu melalui perkawinan. Perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri untuk dapat membentuk keluarga yang bahagia dan kekal. Untuk mencapai keluarga yang bahagia dan kekal pasangan suami isteri harus saling cinta mencintai, kasih mengasihi dan setia. Namun tidak semua perkawinan dapat berlangsung dengan bahagia dan kekal. Jika pasangan suami isteri dalam kehidupan perkawinannya sering terjadi pertengkaran dan tidak saling kasih mengasihi, maka pemutusan perkawinan dengan perceraian biasanya diambil sebagai jalan keluar untuk dapat mengakhiri perkawinan mereka. Perceraian diatur dalam KUH Perdata dan UU No. 1 tahun 1974. Tetapi bagaimana dengan pasangan suami isteri yang di larang untuk melakukan perceraian menurut hukum agamanya seperti contohnya dalam agama Katholik yang melarang perceraian secara mutlak dan dalam agama Kristen Protestan yang melarang perceraian kecuali berdasarkan alasan perzinahan, apakah ada alternatif lain untuk menggantikan perceraian tanpa harus melanggar hukum agamanya Metodelogi penelitian yang dipakai adalah metode studi dokumen dan wawancara. Alternatif itu ada, yaitu dengan lembaga perpisahan meja dan ranjang seperti yang diatur dalam KUH Perdata karena lembaga ini mempunyai akibat yang hampir sama dengan suatu perceraian, tetapi tanpa memutuskan hubungan pasangan suami isteri tersebut. Lembaga perpisahan meja dan ranjang yang tidak diatur lagi dalam UU No. 1 tahun 1974 apakah masih dapat digunakan oleh pasangan suami dilarang bercerai menurut hukum agamanya saat ini sehingga dapat mencegah/menunda terjadinya perceraian Jika masih apakah berpengaruh terhadap gugatan perceraian Jika tidak apakah ada kemungkinan diatur kembali dalam UU No. 1 tahun 1974 Lembaga perpisahan meja dan ranjang seperti dalam KUHPerdata tidak dapat dituntut lagi di pengadilan negeri karena tidak diatur dalam UU No. 1 tahun 1974, tetapi perpisahan meja dan ranjang di bawah tangan masih dapat dilakukan, dan bahkan perpisahan meja dan ranjang di bawah tangan dipergunakan oleh hakim dalam pertimbangannya untuk memperkuat gugatan perceraian (Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No. 315/Pdt.G/1999 tentang perceraian Raden Haryadi dengan Nyonya Endang Larasati), sehingga perlu diatur kembali dalam UU No. 1 tahun 1974."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002
S21058
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Chyka Yustika Anggraini
"Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (selanjutnya disebut UU Perkawinan) telah mengatur mengenai Pembatalan Perkawinan dalam ketentuan Pasal 22 sampai dengan Pasal 28. Hal-hal yang diatur mengenai Pembatalan Perkawinan di dalam UU Perkawinan sendiri adalah mengenai alasan-alasan apa saja yang dapat menjadi penyebab dibatalkannya suatu perkawinan. Bahwa secara keseluruhan dibatalkannya suatu perkawinan adalah karena tidak dipenuhinya syarat-syarat bagi suami dan/atau isteri untuk melangsungkan perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 27 ayat (2) disebutkan bahwa salah satu alasan suatu perkawinan dapat dimohonkan pembatalannya adalah karena terdapat salah sangka atas diri suami atau isteri. Ketentuan inilah yang menjadi dasar adanya permohonan perkawinan yang diajukan Pemohon dalam perkara Nomor 1360 K/Pdt/2012, dimana Pemohon yang berkedudukan sebagai Isteri mendalilkan telah adanya salah sangka terhadap keadaan orientasi seksual Termohon—suami yang dinikahinya. Hakim pada Pengadilan Negeri maupun sampai dengan Mahkamah Agung, menolak adanya permohonan ini dengan alasan bahwa keadaan salah sangka tidak mencakup keadaan orientasi seksual dan perkawinan yang terjadi tidak menyalahi ketentuan peraturan perundang-undangan. Namun, setelah dikaji lebih lanjut dapat dipahami bahwa perkawinan yang demikian sebenarnya telah bertentangan dengan ketentuan Pasal 1 UU Perkawinan yang mengamanatkan kehidupan perkawinan yang langgeng. Lebih lanjut, dikaitkan dengan kajian psikologis mengenai kelainan orientasi seksual, dapat dipahami bahwa orientasi seksual merupakan bagian dari identitas diri seorang individu, sehingga merupakan bagian dari diri seseorang sebagaimana rumusan dari Pasal 27 ayat 2 UU Perkawinan. Untuk itu perkawinan yang demikian sepatutnya dibatalkan.

Marriage Regulation Number 1 Year 1994 as amended with The First Amendment of Marriage Regulation Number 16 Year 2019 (later on mentioned as “UU Perkawinan”) has regulated the annulment of marriage in the provisions of Article 22 through Article 28. UU Perkawinan regulates regarding what are the reasons that can be the cause of marriage being annulled. In general, the annulment of marriage can happen because of the conditions that already been established in UU Perkawinan is not fulfilled by the husband and/or the wife. In the provision of Article 27 verse (2) mentioned that one of the reason why marriage can be annulled is because there has been such misinterpretation towards the husband and/or the wife. This provision later became the main reason of marriage annulment petition that requested by the applicant in the case number 1360 K/Pdt/2012 in which the applicant has a legal standing as the wife that postulates that there had been some sort of misinterpretation towards her husband’s sexual orientation. Judges in Pengadilan Negeri and Mahkamah Agung rejected this petition with consideration that misinterpretation as mentioned in the provision of Article 27 verse 2 can not be applied for sexual orientation and there was no one in that marriage violates marriage law, thus, the petition can not be granted. However, after further study it can be understood that this kind of marriage is not comply with the provision of Article 1 UU Perkawinan which mandates that any marriage should expected to be last for a lifetime. Furthermore, related with physicology perspective regarding sexual orientation, it can be understood that sexual orientation is a part of the identity of an individual, therefore it is part of oneself as is mentioned in the Article of 27 verse (2) UU Perkawinan. For this reason such marriages should be cancelled."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fairuuz Nauli
"Perkawinan adalah suatu ikatan antara laki-laki dan perempuan sebagai seorang suami dan seorang istri berdasarkan ketuhanan yang maha esa, untuk membuat suatu keluarga yang bahagia dan kekal. Perkawinan memiliki banyak akibat yang berhubungan langsung kepada kemaslahatan hidup manusia, contohnya status anak, yang kemudian akan menentukan apakah anak tersebut berhak atas pengurusan serta nafkah dari sang ayah, kemudian terhadap kejelasan status seorang istri, apakah merupakan seorang istri yang sah, yang tentunya akan mendapatkan hak tambahan, seperti nafkah dari seorang suami. Indonesia adalah Negara yang sangat luas dan beragam adat istiadatnya, karenanya proses pendataan peristiwa yang begitu penting tersebut sangatlah bermanfaat untuk melindungi pihak istri dan anak, sehingga kemudian Negara mewajibkan kepada para pasangan suami istri untuk mencatatkan perkawinannya kepada pegawai pencatat. Jangka waktu pencatatan tersebut adalah 60 enam puluh hari, namun karena beragam alasan, tidak semua perkawinan mengikuti ketentuan tersebut. Pengadilan Negeri kemudian dipiih sebagai jalan keluar bagi perkawinan yang lalai dicatatkan.

Marriage is a sacred bond between men and woman as a husband and wife that pledge their unification in the name of God which purpose is to build a happy and everlasting family. family. Marriage itself has its own consequences that has direct effect to the well being of a human being, e.g. the status of a child and a woman as lawfully wedded wife. Henceforth, Marriage registration become very substantial, as a means of protecting a child, the wife, and the marriage itself from the forthcoming legal activity in the course of human 39 s life. In Indonesia, the due date of marriage registration itself is 60 days. However due to various reasons, there are conditions that could cause a marriage to become unregistered in 60 days. Court Decree becomes the solution for the situation stated above.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cakra Andrey Putra
"Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan pembatalan perkawinan yang diatur dalam ketentuan hukum Islam, Kompilasi Hukum Islam (KHI) Undang-Undang Nomor 1 Tahuin 1974 Tentang Perkawinan, dan Peratutran Pelaksananya yaitu, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, terhadap perkawinan yang dimohonkan pembatalan di Pengadilan Agama Jakarta Pusat dengan Nomor. 317/Pdt.G/2010/PA.JP. serta mengetahui akibat hukum yang terjadi akibat pembatalan perkawinan tersebut. Permohonan pembatalan perkawinan dalam kasus diatas bermula dari diketahuinya status Tergugat yang ternyata ketika menikah dengan Penggugat menggunakan identitas diri yang tidak benar. Kenyataan tersebut merupakan bukti tidak terpenuhinya salah satu syarat perkawinan yang mengakibatkan perkawinan itu dapat dimohonkan pembatalan. Hal tersebutlah yang menjadi latar belakang penulisan Skripsi ini dengan metode pendekatan yuridis normatif, artinya mengacu kepada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan serta kebiasaan-kebiasaan yang berlaku di masyarakat Adanya pembatalan perkawinan tersebut memberikan akibat hukum bagi harta suami istri, Secara prinsip, harta bersama yang diperoleh selama perkawinan menjadi hak bersama, akibat putusan pembatalan perkawinan tidak boleh merugikan pihak yang beritikad baik yang dalam karya tulis ini adalah Penggugat, bahkan bagi pihak yang beritikad buruk harus menanggung segala kerugian. Sedangkan bagi Pihak Ketiga yang beritikad baik pembatalan perkawinan tidak mempunyai akibat hukum yang berlaku surut, jadi segala perbuatan perdata atau perikatan yang diperbuat suami istri sebelum pembatalan perkawinan tetap berlaku, dan ini harus dilaksanakan oleh suami istri tersebut.

This research was aimed to elaborate the regulations regarding marriage annulment in the Law number 1 year 1974, Islamic Law Compilation, and the implementing regulation, including Goverment Regulations No. 9 year 1975, and it’s implementation on request for marriage annulment before the Central Jakarta Religious Court, also the effect resulted from the judgment over the case. The request for annulment was submitted on the grounds of identity forgerys applied by the brides. Such forgery is not in accordance to requirements of marriage lagality, resulting such marriage coul be requested to be annuled. Thus, it is background for the reasearch, which acquired Juridical Normative method. The annulment of the marriage it self has deep impact to the marital property, and the annulment of that marriage shall not resulting the parties to suffer any loss, eith the good faith priciple. To any third party who also the good faith, no retroactive effects of those annulment could be applied. Thus, all of the civil acts or any civil relations personally have been done by the parties before the annulment are still being in force."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2014
S53484
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Raisa Fatnisary
"Penelitian ini membahas mengenai perjanjian kawin berdasarkan asas kebebasan berkontrak dengan pembanding negara Amerika Serikat. Pada dasarnya perjanjian perkawinan dapat merupakan sebuah solusi dari permasalahan yang mungkin dihadapi oleh suami atau isteri dalam menjalankan kehidupan perkawinan, terutama mengenai harta benda mereka. Kondisi masyarakat yang makin demokratis dan kritis membuat perjanjian kawin mengalami perkembangan. Isi yang diatur di dalam perjanjian kawin tidak hanya mengenai harta benda perkawinan, namun dapat juga seperti pembagian biaya keluarga, penyelesaian perselisihan dalam rumah tangga, kebiasaan mengoleksi barang langka yang tergolong mahal, hingga mengatur terhadap profesi masing-masing calon suami istri selama perkawinan berlangsung. Negara Amerika Serikat merupakan negara common law dengan yurisprudensi sebagai sumber hukumnya. Selain adanya ketentuan umum pemerintah federal, tiap-tiap negara bagian memiliki peraturan berbeda antar satu sama lain. Dalam kaitannya dengan perjanjian kawin, mayoritas negara bagian mengadopsi ketentuan Uniform Premarital Agreement Act (UPAA) sehingga peraturan tersebut berlaku sejalan dengan ketentuan masing-masing negara bagian.Perbedaan dari masing-masing negara bagian serta sistem yang tidak membedakan hukum keluarga dan hukum kontrak membuat negara Amerika Serikat menarik untuk dijadikan pembanding. Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah mengenai bagaimana pengaturan megenai perjanjian kawin di Negara Indonesia dan Amerika Serikat serta akibat hukum perjanjian kawin yang tidak hanya mengatur mengenai harta kekayaan namun berdasarkan asas kebebasan berkontrak baik di Indonesia maupun di Amerika Serikat. Untuk menjawab permasalahan tersebut digunakan metode penelitian hukum adalah yuridis-normatif, yang mengacu pada norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan serta norma-norma yang berlaku dan mengikat masyarakat. Hasil analisa adalah bahwa pembuatan perjanjian kawin yang tidak menyangkut mengenai harta benda suami atau istri pada umumnya dimungkinkan berdasarkan asas kebebasan berkontrak. Walaupun isi dari perjanjian dapat dibebaskan, perjanjian tetap harus mengikuti ketentuan undang-undang, agama, kepatutan, kesusilaan, dan ketertiban umum.

This research discusses the marriage agreement based on the principle of freedom of contract with the comparator of the United States. Basically, a marriage agreement can be a solution to the problems that a husband or wife may face in carrying out their married life, especially regarding their property. The more democratic and critical conditions of society make the marriage agreement develop. The contents stipulated in the marriage agreement are not only regarding marital property, but can also include the sharing of family expenses, settlement of disputes in the household, the habit of collecting expensive rare items, to regulating the profession of each prospective husband and wife during the marriage. The United States of America is a common law country with jurisprudence as its source of law. In addition to the general provisions of the federal government, different states have different regulations from one another. In relation to marriage agreements, the majority of states adopt the provisions of the Uniform Premarital Agreement Act (UPAA) so that these regulations apply in line with the provisions of each state. The United States is interesting for comparison. The problems raised in this study are about how to regulate marriage agreements in Indonesia and the United States and the consequences of marriage agreement law which not only regulates assets but is based on the principle of freedom of contract both in Indonesia and in the United States. To answer this problem, a legal research method is used that is juridical-normative, which refers to the legal norms contained in the laws and regulations as well as norms that apply and bind the community. The result of the analysis is that the making of a marriage agreement that does not involve the husband or wife's property is generally possible based on the principle of freedom of contract. However, even though the contents of the agreement can be exempted, the agreement must still comply with the provisions of law, religion, propriety, morals and public order."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
T. Rizal Paripurnawan
Universitas Indonesia, 1986
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Heni Verawati
"Suatu perkawinan sah apabila memenuhi syarat-syarat perkawinaan baik syarat materiil maupun formil, namun ternyata ada suatu perkawinan yang dilangsungkan tidak memenuhi syarat syarat yang diwajibkan oleh undang-undang. Pembahasan dalam penelitian ini mencakup dua masalah penting, yaitu: (1) bagaimana status perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perkawinan, (2) bagaimana akibat hukum yang timbul dari perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat sahnya perkawinan terhadap harta bersana yang diperoleh selama perkawinan dan anak yang dilahirkan; Penelitian ini menggunakan metode kepustakaan (yuridis normatif), dan pengolahan datanya menggunakan metode kualitatif. Perkawinan yang tidak memenuhi syarat-syarat sahnya perkawinan adalah perkawinan yang tidak sah. Namun perkawinan tersebut harus di anggap perkawinan yang sah sepanjang belum dibuktikan sebaliknya, yaitu sampai adanya pembatalan oleh pengadilan. Baik perkawinan yang dianggap sah sepanjang belum dibuktikan sebaliknya (belum ada pembatalan oleh pengadilan) maupun perkawinan yang telah dinyatakan tidak sah oleh pengadilan (telah dibatalkan oleh pengadilan) membawa akibat hukum bahwa harta bersama adalah harta perkawinan yang pelaksanaan pemecahan pembagiannya dipedomani oleh ketentuan pasal 7 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan anak yang dilahirkan dalam perkawinan tersebut adalah anak yang sah yang penguasaan dan pemeliharaannya harus dilakukan oleh kedua orang tua dan apabila ada perselisihan mengenai penguasaan anak maka harus diputuskan oleh pengadilan. Karena suatu perkawinan tidak hanya mengikat pribadi orang-orang yang terikat dalam perkawinan tersebut, melainkan juga mengikat kepentingan umum maka bagi petugas pencatat perkawinan sebaiknya memeriksa dengan teliti syarat-syarat perkawinan baik syarat formil maupun syarat materiil perkawinan."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2006
S21267
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Hamdi Haykal Miswar
"Pada tanggal 27 Oktober 2016, MK RI telah mengeluarkan putusan nomor 69/PUU-XIII/2015 yang merubah bunyi Pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) UU Perkawinan. Namun, sampai saat ini belum ada ketentuan yang mengatur tentang pelaksanaan perjanjian perkawinan pasca Putusan MK tersebut sehingga menimbulkan permasalahan. Salah satu permasalahan yang muncul ke permukaan adalah tentang penerapan asas publisitas terhadap perubahan perjanjian perkawinan pasca Putusan MK. Penelitian skripsi ini mengungkap tentang bagaimana pengaturan perubahan perjanjian perkawinan dan bagaimana penerapan asas publisitas terhadap perubahan perjanjian perkawinan pasca putusan MK tersebut. Untuk itu, digunakan metode penelitian hukum yuridis normatif dengan fokus kajian pada bahan hukum primer, sekunder, dan tersier. Untuk memperkuat bahan hukum tersebut dilakukan wawancara dengan beberapa narasumber terkait. Berdasarkan hasil kajian yang dilakukan, perubahan pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan pasca Putusan MK ini membawa pengaruh kepada pengaturan perubahan perjanjian perkawinan, sedangkan prosedur dan tata cara pelaksanaannya belum diatur sehingga dapat menimbulkan kerugian terhadap pihak ketiga. Selain itu, mengenai penerapan asas publisitas terhadap perubahan perjanjian perkawinan di dalam pasal 29 ayat (1) pasca Putusan MK hanya ditentukan untuk disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris sebelum berlaku kepada pihak ketiga sehingga asas publisitasnya belum terpenuhi karena dengan pengesahan tidak berarti telah diumumkan, sehingga pihak ketiga dapat dirugikan. Atas dasar itu, penulis merekomendasikan agar segera dilakukan revisi khususnya pasal 29 ayat (1), (3), dan (4) UU Perkawinan diikuti dengan penambahan penjelasan dalam PP terkait prosedur dan tata cara perubahan perjanjian perkawinan supaya memberikan dasar hukum yang kuat bagi notaris dalam melaksanakan Putusan MK tersebut.

On October 27, 2016, the Constitutional Court of the Republic of Indonesia issued a decision number 69 / PUU-XIII / 2015 which changed the sound of article 29 paragraph (1), (3), and (4) of Marriage Law. However, until now there is no provision that regulates the implementation of marriage after the Constitutional Court's decision so that cause problems. One of the problems that arise is about the application of the principle of publicity to the change of marriage agreement after the Constitutional Court Decision. This thesis research reveals how the arrangement of change of marriage agreement and how the application of publicity principle to change of marriage agreement after the Constitutional Court decision. For that, the researcher use the juridical normative methods focusing the analysis on the the primary, secondary, and tertiary legal materials. To strengthen the legal material is done with several relevant sources. Based on the results of the review, the amendment of Article 29 paragraph (1) of the Marriage Law after the Constitutional Court's Decision has had an effect on the arrangement of amendments to the marriage agreement, while the procedures and procedures for implementation are not yet reliable for third parties. In addition, concerning the application of the principle of publicity to the amendment of the marriage agreement in article 29 paragraph (1) after the Constitutional Court Decision is only determined to be approved by the marriage or notary before applying to a third party so that the publicity principle has not been fulfilled because with no validation has been announced, third parties can be harmed. On that basis, the author suggest to promptly revise in particular Article 29 paragraphs (1), (3), and (4) of the Marriage Law with additional explanation in the Implementing regulation relating to the procedures and procedures for amending the marriage agreement which provide a firm legal basis for the notary in carry out the Constitutional Court Decision."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>