Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 75847 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Andrea Paramesti Ardiningrum Anggoro
"Manusia menggunakan gaya bahasa untuk mendukung proses penyampaian informasi yang mereka coba lakukan. Pemilihan gaya bahasa dapat dipengaruhi oleh kondisi emosi yang sedang dirasakan oleh seseorang. Sebagai contoh, penggunaan disfemisme untuk mengekspresikan kejengkelan, ketidaksukaan, atau kemarahan seseorang. Hoe Duur Was De Suiker merupakan film Belanda yang memperlihatkan konflik antara kulit putih dan kulit hitam dan situasi perbudakan pada abad ke-18 yang terjadi pada sebuah perkebunan tebu di Suriname. Beberapa ujaran yang disampaikan oleh tokoh dalam film mengandung disfemisme. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui jenis dan fungsi disfemisme yang muncul dalam film Hoe Duur Was De Suiker dengan menggunakan teori Allan dan Burridge (1991 & 2006). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan analisis deskriptif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat enam jenis disfemisme dengan posisi tertinggi pada jenis hinaan dan terdapat sepuluh fungsi disfemisme.

Humans use language styles to support the process of conveying the information they are trying to deliver. The choice of language style can be influenced by the emotional state that is being felt by someone. For example, the use of dysphemism to express annoyance, dislike, or anger in someone. Hoe Duur Was De Suiker is a Dutch film that shows the conflict between whites and blacks and the situation of slavery in the 18th century on a sugarcane plantation in Suriname. Some of the utterances conveyed by the characters in the film contain dysphemism. This study is conducted to determine the types of dysphemism and its functions in the film Hoe Duur Was De Suiker by using Allan and Burridge’s theory (1991 & 2006). This study uses a qualitative method with a descriptive analysis approach. The results of this study indicate that there are six types of dysphemism with the highest position on the type of insult and there are ten functions of dysphemism."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Abdul Malik Aziz Wildan
"ABSTRAK
Hoe Duur Was De Suiker merupakan film Belanda yang memberikan ilustrasi dan visualisasi mengenai kehidupan di era perbudakan pada abad ke-18 di perkebunan tebu Berseba Suriname pada tahun 1747 di bawah kekuasaan Belanda. Gula pada masa itu menjadi komoditi yang sangat menguntungkan di pasar perdagangan Eropa namun menyebabkan penderitaan bagi kelompok tertentu. Jurnal ini akan membahas tentang kehidupan perbudakan di Berseba terkait dengan judul film. Dua pertanyaan yang mendukung pembahasan jurnal ini yaitu bagaimanakah makna duur diilustrasikan terkait dalam film tersebut dan bagaimanakah makna duur divisualisasikan lewat simbol-simbol di dalam film. Tujuan dari penelitian ini adalah memberikan paparan tentang kerasnya kehidupan pada masa perbudakan dan simbol-simbol kemewahan terkait dengan komoditi gula. Analisis dalam jurnal ini menggunakan metode deskriptif kualitatif yang mengurai makna sitasi duur mahal, dari perspektif semiotik pragmatis. Hasil dari penelitian ini menunjukan bahwa gula pada masa itu memiliki nilai yang sangat tinggi, bahkan melebihi nyawa manusia. Sepatu, nama, topi dan cinta dalam film Hoe Duur Was De Suiker adalah simbol-simbol kemewahan yang tidak didapatkan begitu saja oleh semua orang terutama budak.

ABSTRACT
Hoe Duur Was De Suiker is a Dutch film that illustrates and visualizes the slavery in the 18th century sugarcane plantations in Berseba Suriname in 1747 under the Dutch colonization. Sugar at that time became a very profitable commodity in the European trade market but caused suffering to certain group of people. This journal will discuss the the slavery at Berseba, associated to the film s title. Two questions that support the discussion of this journal are how the meaning of duur is illustrated in the film and how the meaning of duur is visualized through the symbols of luxury. The purpose of this study is to reveal the hardship of life of the slave and symbols of luxury associated with the sugar commodities. This study uses a qualitative descriptive method that breaks down the meaning of duur, from the perspective of pragmatic semiotics. The results show that sugar at that time was an invalueable commodity, more than a value of a human being. Shoes, names, hats and love in the film Hoe Duur Was De Suiker are symbols of luxury wich are not for everyone, especially slaves."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-Pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Arkiana
"Tuturan atau ujaran yang berisikan kesantunan digunakan untuk menciptakan komunikasi yang baik dan harmonis. Dalam penelitian ini penulis membahas prinsip kesantunan yang ditulis oleh Geoffrey Leech. Menurut Leech prinsip kesantunan dibagi menjadi 6 jenis maksim yaitu; maksim kebijaksanaan, maksim kedermawanan, maksim pujian, maksim kerendahan hati, maksim kesepakatan dan maksim simpati. Metode penulisan yang digunakan pada penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif melalui pengumpulan data. Objek yang digunakan pada penelitian ini berupa film yang berjudul Hoe Duur Was De Suiker karya Jean Van De Velde. Di dalam film ini telah ditemukan Kesantunan maksim yang berjumlah total 74 tuturan yang terdiri dari 6 maksim yakni maksim kebijaksanaan terdapat 37 tuturan, maksim kedermawanan terdapat 5 tuturan, maksim pujian terdapat 11 tuturan, maksim kerendahan hati terdapat 2 tuturan, maksim kesepakatan terdapat 7 tuturan dan maksim simpati ada 12 tuturan.

Speech or utterances that contain politeness are used to create good and harmonious communication. According to Geoffrey Leech there is a principle of politeness which is divided into 6 maxims; the tact maxim, the generosity maxim, the approbation maxim, the modesty maxim, the agreement maxim and the sympathy maxim. The method used in this study is a descriptive qualitative method. The object used in this research is a film entitled Hoe Duur Was De Suiker by Jean Van De Velde. The politeness maxims that have been found in a total of 74 utterances have complied with 6 maxims. In the tact maxim there are 37 utterances, the generosity maxim there are 5 utterances, the approbation maxim there are 11 utterances, the modesty maxim there are 2 utterances, the maxim of agreement there are 7 utterances and the maxim of sympathy there are 12 utterances."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Siti Nur Mawaddah Amini
"ABSTRAK
Jurnal ini membahas mengenai aspek pragmatik yang terdapat dalam film Belanda Hoe Duur Was De Suiker 2013 . Aspek tersebut adalah tindak tutur dari kedua tokoh utama dalam film Hoe Duur Was De Suiker 2013 yang bernama Sarith dan Mini-Mini. Tindak tutur digunakan dalam suatu percakapan agar penutur dan mitra tuturnya dapat mencapai tujuan dari tindak tutur tersebut. Penulis menganalisis hal ini karena penulis ingin mengetahui apakah makna interaksi yang terjadi antara kedua tokoh dapat tersampaikan dengan baik berdasarkan tindak tuturnya atau tidak. Setelah diamati, di dalam film tersebut hanya terdapat 16 percakapan antara Sarith dan Mini-Mini. Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif dengan menggunakan teori tindak tutur oleh Austin Searle. Penulis hanya akan memasukkan percakapan yang memiliki unsur ilokusi direktif. Setelah dianalisis, dari 16 percakapan yang ada di dalam film tersebut, hanya 9 percakapan yang megandung unsur ilokusi direktif. Dari 9 percakapan tersebut, hanya terdapat satu percakapan yang tidak berhasil dilakukan oleh penutur, yaitu Sarith dan mitra tuturnya, yaitu Mini-Mini.

ABSTRACT
The focus of this study is pragmatic aspects which appears in a Dutch Movie Hoe Duur Was de Suiker 2013 . The Speech Act which is used by the two main characters in the movie named Sarith and Mini Mini, will be analyzed through this study. In a conversation, Speech Act is used so that speakers and partners can achieve the purpose of the Speech Act. The purpose of this study is to know the meaning of the interactions that occur between the two main characters are conveyed properly or not. The method of this study is descriptive qualitative using The Speech Act Theory by Austin Searle. Once observed, the two main characters contains only 16 conversation in the movie. From 16 conversations, only 9 of them has elements of directive illocutionary. The result shows that from 9 conversations, there is only one conversation that is not successfully carried out by the speakers Sarith and partners Mini Mini ."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2015
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Nusantara Yusuf Nurdin
"Penelitian ini mengkaji ekspresi gaya bahasa disfemisme terhadap Calon Presiden Prabowo Subianto pada pilpres 2024 di media sosial X. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan tipe dan makna ekspresi disfemisme yang digunakan terhadap Prabowo Subianto di media sosial X, serta untuk menjelaskan konteks dan tujuan yang memicu penggunaan disfemisme tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode deskriptif analitis. Data yang digunakan dalam penelitian ini berasal dari tulisan elektronik dalam media sosial X yang mengandung disfemisme tergadap Calon Presiden Prabowo Subianto. Data yang digunakan juga merupakan data yang diunggah pada saat masa Prabowo menjadi capres, yaitu Oktober 2023 hingga Februari 2024. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik simak bebas libat cakap, yang menempatkan peneliti sebagai pengamat terhadap ujaran atau tulisan tertulis. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori gaya bahasa disfemisme. Hasil dari penelitian ini adalah penggunaan disfemisme terhadap Prabowo Subianto dalam Pilpres 2024 berupa beberapa tipe disfemisme, seperti istilah ejekan, tabu, makian dan serapah, perbandingan dengan hewan negatif, dan abnormalitas mental. Fungsi disfemisme yang ditemukan dalam penelitian digunakan untuk merendahkan, menghina, menunjukkan ketidaksepakatan, dan membicarakan tentang lawan. Disfemisme dalam data berperan sebagai alat retorika dalam politik, untuk menyerang dan mempengaruhi persepsi publik.
This study examines the use of dysphemistic language expressions towards Presidential Candidate Prabowo Subianto during the 2024 presidential election on the social media platform X. The research aims to describe the types and meanings of dysphemistic expressions frequently used to vilify Prabowo Subianto on social media X, as well as to explain the context and purpose that trigger the use of such dysphemisms. This study employs a qualitative approach with a descriptive-analytical method. The data used in this research comes from electronic writings on social media X that contain dysphemisms against Presidential Candidate Prabowo Subianto. The data also includes posts made during Prabowo's candidacy period, from October 2023 to February 2024. The data collection technique used is the non-participatory observation technique, which positions the researcher as an observer of spoken or written utterances. The theory used in this research is the theory of dysphemistic language. The findings of this study reveal the use of dysphemisms against Prabowo Subianto in the 2024 Presidential Election, including several types of dysphemisms such as derogatory terms, taboos, insults and curses, comparisons with negative animals, and mental abnormality references. The functions of dysphemisms found in the research are used to demean, insult, show disagreement, and talk about opponents. Dysphemisms in the data serve as rhetorical tools in politics, aimed at attacking and influencing public perception."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Syihaabul Hudaa
"Penelitian ini bertujuan untuk menemukan jenis, fungsi, dan makna gaya bahasa apa saja yang terdapat didalam lirik lagu Iwan Fals album 50:50 2007. Penelitian ini mengkaji setiap lirik lagu yang terdapat didalamnya, serta mengelompokan sesuai dengan jenis gaya bahasa, serta mengkaji fungsinya, lalu mengetahui makna yang ingin disampaikan melalui lirik lagu tersebut. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan menggunakan metode analisis isi. Peneliti pertama-tama mengumpulkan data berupa lirik lagu, kemudian melakukan analisis terhadap gaya bahasa pada lirik-lirik lagu karya Iwan Fals dalam album 50:50 2007 untuk menemukan fungsi dari jenis gaya bahasa yang ditemukan, serta makna apa yang terdapat didalamnya. Hasil penelitian yang ditemukan oleh peneliti yaitu dalam album 50:50 2007 ini ditemukan 3 jenis kelompok gaya bahasa yaitu: (1) gaya bahasa perbandingan, (2) gaya bahasa pertentangan, (3) gaya bahsa penegasan. Dari keseluruhan gaya bahasa yang ada, pengarang lebih dominan menggunakan gaya bahsa metafora dalam menyampaikan pesan yang ingin disampaikan melalui lirik lagu tersebut. Dengan menemukan gaya bahasa dalam lirik lagu tersebut, pembaca dapat memahamio pesan yang disampaikan. Hasil yang ditemukan oleh peneliti, album 50:50 Karya Iwan Fals lebih dominan menggunakan gaya bahasa metafora. Penggunaan gaya bahasa metafora dianggap dapat mewakili perasaan penulis untuk disampaikan kepada pendengar atau pembacanya."
Banten: Kantor Bahasa Provinsi Banten, 2019
400 BEBASAN 6:2 (2019)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Laily Hikmah
"Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan makna kontekstual ungkapan bahasa Jawa dalam novel Ontran-ontran Sarinem karya Tulus Setiyadi. Ungkapan bahasa yang dimaksud dalam penelitian ini adalah gaya bercerita atau teknik bercerita yang menggunakan ungkapan-ungkapan bahasa dengan tujuan untuk menghidupkan situasi kontekstual yang berkaitan dengan suasana, imajinasi, dan realitas cerita sehingga pembaca merasakan kenyamanan dan kelancaran dalam memahami ceritanya. Ungkapan-ungkapan bahasa dengan sendirinya mengandung konteks ; tujuan atau setting apa yang diinginkan oleh ungkapan-ungkapan bahasa tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa makna kontekstual sangat penting dalam menyampaikan cerita dalam novel, makna kontekstual dapat sangat penting untuk menguatkan tujuan penulis novel, karena novel dapat dikatan bagus dan sempurna adalah dari tersampainya pesan-pesan yang bertujuan baik untuk para pembaca. Namun untuk memahami makna kontekstualnya harus dilakukan anilisis. Hasil dari penelitian yang bersumber dari novel Ontran-ontran Sarinem karya Tulus Setiyadi menyatakan bahwa makna kontekstual ungkapan dalam novel bertujuan untuk membuat cerita novel menjadi lebih hidup. Makna kontekstual dapat diketahui berdasarkan kata/kalimat penanda, peneliti memakai teori makna kontekstual Pateda yang berisi makna konteks orangan, situasi, tujuan, konteks formal/tidak formalnya pembicara, konteks suasana hati, konteks waktu, konteks tempat, konteks objek, konteks kelengkapan alat bicara/dengar pada pembicara/pendengar, konteks kebahasaan, dan konteks bahasa.

The purpose of this study is to describe the contextual meaning of Javanese language expressions in novel Ontran-ontran Sarinem by Tulus Setiyadi. The language expressions referred to in this study are storytelling or storytelling techniques that use language expressions with the aim of reviving contextual situations related to the atmosphere, imagination and reality of the story so that the reader feels comfort and fluency in understanding the story. Language expressions by themselves contain context; the purpose or setting what is desired by the expressions of the language. This shows that contextual meaning is very important in conveying stories in novels, contextual meanings can be very important to reinforce the purpose of the novelist, because the novel can be said to be good and perfect is the delivery of messages that aim well for the readers. But to understand the contextual meaning anilysis must be done. The results from the research of novel Ontran-ontran Sarinem by Tulus Setiyadi state that the contextual meaning of expressions in novels aims to make the novel's story more alive. Contextual meaning can be known based on the word / sentence sentence, the researcher uses the theory of contextual meaning Pateda which contains the meaning of the context of the person, situation, objective, formal / non-formal context of the speaker, mood context, time context, place context, object context, context of the tool / listen to the speaker / listener, language context, and language context."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2019
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Rika Tin Hafazoh
"ABSTRAK
Lagu merupakan karya seni yang mengekspresikan sebuah perasaan melalui kata-kata. Penulis lagu menggunakan gaya bahasa untuk membuat lagu menjadi puitis. Makalah ini memaparkan penggunaan gaya bahasa yang terdapat dalam dua lagu bahasa Belanda yang berjudul ldquo;Als je gaat rdquo; dan ldquo;Je bent de liefde rdquo; 2015 yang dinyanyikan oleh Kenny-B. Dengan menggunakan metode kualitatif, makalah ini juga menentukan penggunaan gaya bahasa yang dominan dan mengungkapkan perbedaan makna serta fungsi gaya bahasa di kedua lagu tersebut. Gaya bahasa yang dipakai secara dominan di kedua lagu adalah hiperbola, dengan fungsi dan makna yang berbeda. Hiperbola di lagu ldquo;Als je gaat rdquo; menekankan ketakutan aku lirik jika kehilangan kekasihnya. Sedangkan hiperbola di lagu ldquo;Je bent de liefde rdquo; menekankan besarnya rasa cinta seseorang terhadap kekasihnya.

ABSTRACT
Song is the art which express a feeling trough the words. The author uses language style to make a song becoming poetic. This study described two songs, ldquo Als je gaat rdquo and ldquo Je bent de liefde rdquo 2015 , which was sung by Kenny B, and used qualitative method. The aim of this paper was to see the dominant language style, different meanings and functions of language styles in both songs. The result revealed that the dominant language style was hyperbole with difference of functions and meanings. Hyperbole in the song ldquo Als je gaat rdquo emphasized ldquo I fear rdquo in the lyrics of the lost lover. While hyperbole in the song Je bent de liefde stressed the love of one 39 s lover."
Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2017
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Prabu Wiwaha Lambri
"Penelitian ini memaparkan analisis gaya bahasa pada slogan dalam iklan produk pasta gigi di Belanda. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan deskripsi apa dan bagaimana penggunaan gaya bahasa yang dominan pada slogan iklan lima merek pasta gigi yang dijual di Belanda menarik perhatian calon pembeli. Penelitian ini menggunakan lima produk pasta gigi sebagai sumber data, yaitu Prodent, Zendium, Aquafresh, Sensodyne, dan Parodontax. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif, yang berisikan analisis mendalam terhadap gaya bahasa yang digunakan dalam setiap slogan. Gaya bahasa yang dianalisis meliputi hiperbola, elipsis, paralelisme, repetisi, imaji visual, imaji pengecapan, imaji penciuman, erotesis, dan imaji gerak. Setiap jenis gaya bahasa digunakan untuk memperkuat pesan pemasaran dan menarik perhatian konsumen. Penelitian ini memberikan deskripsi tentang perbedaan penggunaan gaya bahasa pada iklan pasta gigi dengan berfokus pada elemen linguistik yang membangkitkan daya tarik dan menumbuhkan kepercayaan konsumen terhadap produk pasta gigi yang ditawarkan. Penelitian ini juga menemukan bahwa gaya bahasa elipsis, hiperbola, imaji visual (visual imagery), dan imaji pengecapan (gustatory imagery) merupakan gaya bahasa yang paling banyak dipakai dari sebelas iklan pasta gigi di Belanda.
This research presents a stylistic analysis of slogans in toothpaste product advertisements in the Netherlands. The purpose of this study is to obtain a description of what and how the use of dominant language styles in the advertising slogans of five toothpaste brands sold in the Netherlands attracts the attention of potential buyers. This study uses five toothpaste products as data sources, namely Prodent, Zendium, Aquafresh, Sensodyne, and Parodontax. The research method used is descriptive qualitative, which contains an in-depth analysis of the language styles used in each slogan. The language styles analyzed include hyperbole, ellipsis, parallelism, repetition, visual imagery, taste imagery, smell imagery, erotesis, and motion imagery. Each type of language style is used to strengthen marketing messages and attract consumer attention. This study provides a description of the different uses of language styles in toothpaste advertisements by focusing on linguistic elements that generate attractiveness and foster consumer confidence in the toothpaste products offered. This study also found that ellipsis, hyperbole, visual imagery, and gustatory imagery are the most widely used language styles in eleven toothpaste advertisements in the Netherlands."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Daum, P.A.
Groningen: Thomas and Eras, 1977
BLD 839.36 DAU u
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>