Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 174724 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Inda Annisa Fauzani
"Pengembangan suatu wilayah menjadi Kawasan Ekonomi Khusus berpotensi memberikan dampak bagi masyarakat yang ada di dalamnya. Dampak tersebut terjadi akibat adanya perubahan-perubahan dari adanya pengembangan kawasan. Akibatnya, masyarakat dapat merasakan ancaman dan gangguan. Masyarakat sebagai obyek pembangunan dituntut untuk mampu memiliki ketahanan agar tercapai sinergi pengembangan kawasan dengan pengembangan masyarakat. Kurangnya ketahanan pada masyarakat dapat menghilangkan kemampuan untuk dapat pulih dari gangguan dan beradaptasi dengan perubahan yang terjadi di daerahnya. Resiliensi sosial merupakan kemampuan masyarakat untuk dapat bertahan, beradaptasi, dan pulih dari gangguan dan perubahan yang terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisa faktor-faktor yang mempengaruhi pencapaian resiliensi sosial masyarakat pada pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus, mengetahui faktor prioritas, dan penerapan faktor prioritas dalam manajemen perubahan. Wawancara dan kuesioner digunakan sebagai instrumen dalam penelitian ini yang disebarkan kepada pakar dan responden yang telah ditentukan. Dari penelitian yang dilakukan, didapatkan 43 faktor yang memiliki pengaruh terhadap pencapaian resiliensi sosial masyarakat dan 3 faktor yang menjadi faktor prioritas. Faktor prioritas tersebut kemudian dipetakan dalam kurva manajemen perubahan sehingga dapat diketahui strategi high level untuk mencapai resiliensi sosial masyarakat.

Development of a SEZ has the potential to have an impact on the community in it. These impacts occur due to changes from the development of the area, in the form of changes in the main regional industries and changes in the main livelihoods of the community. As a result, people can feel threats and disturbances. The community as the object of development is required to be able to have resilience in order to achieve a synergy between regional development and community development. Lack of resilience in the community can eliminate the ability to recover from disturbances and difficulty to adapt to changes that occur in their area. Social resilience is the ability of the community to be able to recover from disturbances and changes that occur. This study aims to identify and analyze social factors that influence the achievement of social resilience in the community in Special Economic Zones, finding the priority factors, and implementing priority factors in change management. Interviews and questionnaires were used as instruments in this study which were distributed to predetermined experts and respondents. From the research conducted, there are 43 factors that have an influence on the achievement of social resilience and 3 factors that become priority factors. The priority factors are then mapped in the change management curve so that high-level strategies can be identified to achieve social resilience."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bagus Prayoga Prata
"Fenomena Pandemi COVID-19 yang terjadi seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), perubahan sistem pendidikan, dan kekhawatiran akan terinfeksi COVID-19 baik diri sendiri maupun keluarga sejatinya berdampak negatif terhadap stabiliitas keluarga. Berdasarkan hal tersebut tiap-tiap anggota keluarga harus berkontribusi dalam menekan atau mengedalikan stressor yang muncul untuk bersama-sama membangun ketahanan keluarga. Penelitian ini bertujuan untuk melihat peran regulasi emosi individu dalam memprediksi resiliensi keluarga pada situasi krisis Pandemi COVID-19 di DKI Jakarta. Resiliensi keluarga adalah kemampuan yang dimiliki keluarga untuk dapat beradaptasi dan bangkit dari situasi krisis. Sementara itu, individu yang dapat mengendalikan emosi pada situasi emosi negatif dianggap memiliki regulasi emosi yang baik. Teknik sampling yang digunakan adalah non-probability sampling, yaitu convenience sampling dengan mempertimbangkan rentang usia produktif (17-65). Partisipan itu jumlah 168 partisipan berdomisili DKI Jakarta (M= 23,92 dan SD = 7,95). Penelitian ini menggunakan alat ukur Difficulties in Emotion Regulation Scale (DERS) untuk variabel regulasi emosi dan alat ukur Walsh Family Resilience Questionnaire untuk variabel resiliensi keluarga. Hipotesis penelitian ini diuji menggunakan teknik analisis regresi sederhana. Penelitian ini menunjukkan bahwa regulasi emosi secara signifikan berperan sebagai prediktor resiliensi keluarga pada anggota keluarga dalam Situasi Pandemi COVID-19 di DKI Jakarta.

The phenomenon of the COVID-19 pandemic that occurs such as termination of employment (PHK), changes in the education system, and concerns about being infected with COVID-19 both for yourself and for your family have a negative impact on family stability. Based on this, each family member must contribute in suppressing or controlling stressors that arise to jointly build family resilience. This study aims to examine the role of individual emotion regulation in predicting family resilience in the COVID-19 pandemic crisis situation in DKI Jakarta. Family resilience is the ability of the family to be able to adapt and rise from crisis situations. Meanwhile, individuals who can control their emotions in negative emotional situations are considered to have good emotional regulation. The sampling technique used is non-probability sampling, namely convenience sampling by considering the productive age range (17-65). The participants were 168 participants domiciled in DKI Jakarta (M= 23,92 dan SD = 7,95). This study used the Difficulties in Emotion Regulation Scale (DERS) for emotion regulation variables and the Walsh Family Resilience Questionnaire for family resilience variables. The hypothesis of this study is tested by simple regression analysis technique. This study shows that emotion regulation plays a significant role as a predictor of family resilience in family members in the COVID-19 Pandemic Situation in DKI Jakarta."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Haris Indra Susilo
"Penelitian ini berfokus pada pemahaman mengenai resiliensi orangtua yang memiliki anak ADHD dan Autisme. Reivich & Satte (2002), resiliensi adalah sebagai kemampuan untuk tetap gigih dan menyesuaikan diri ketika keadaan tidak berjalan dengan baik. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat perbedaan antara orangtua dengan anak ADHD dengan orangtua dengan anak autis. Metode yang digunakan yaitu kuantatif deskriptif. Penelitian ini menggunakan alat ukur kuesioner resiliensi Reivich & Shatte (2002). Diperoleh hasil tidak ada perbedaan signifikan antara orang tua ADHD dan Autisme pada 60 partisipan.

This research focuses on understanding the resilience of parents of children with ADHD and Autism. Reivich & Shatte (2002), resilience is the ability to persevere and adapt when things are not going well. The purpose of this study was to determine whether there are differences between parents with ADHD children with a parent with an autistic child. The method used is quantitative descriptive. This study used a questionnaire measure of resilience Reivich & Shatte (2002). The results obtained indicate no significant differences between parents of ADHD and Autism at 60 participants."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S46983
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Qonita Zahrin Desinaz
"Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah self-compassion merupakan prediktor resiliensi pada penyintas erupsi Gunung Kelud. Penelitian sebelumnya telah menunjukkan adanya hubungan antara self-compassion dan resiliensi, namun belum ada studi yang meneliti mengenai self-compassion dan resiliensi pada konteks bencana. Self-compassion diukur dengan menggunakan Self Compassion Scale-Short Form SC-SF , sementara resiliensi diukur dengan Connor-Davidson Resilience Scale CD-RISC . Partisipan dalam penelitian ini adalah 115 warga Desa Puncu, Kec. Puncu, Kab. Kediri. Desa Puncu dipilih sebagai tempat pengambulan data karena merupakan salah satu desa yang terkena dampak terparah akibat erupsi Gunung Kelud 2014 lalu. Analisis regresi yang dilakukan menunjukkan bahwa self-compassion meningkatkan resiliensi pada penyintas erupsi Gunung Kelud.

This research was conducted to determine self compassion as a predictor for resilience among Kelud eruption survivor. Previous research have shown a link between self compassion and resilience, but there is no study yet about self compassion and resilience in disaster context. Self compassion is measured by Self Compassion Scale Short Form SC SF , while resilience is measured by Connor Davidson Resilience Scale CD RISC . Participants in this research are 115 people lived in Desa Puncu, Kec. Puncu, Kab. Kediri. Desa Puncu is chosen for data retrieval because it was one of the area that has the most severe impact from Kelud eruption. Linear regression statistical techniques showed that self compassion contribute to increase resilience among Kelud eruption survivor."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
S66467
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Priska Novia Shabhati
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran hubungan antara resiliensi keluarga dan harapan pada mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin. Pengukuran resiliensi keluarga menggunakan alat ukur Walsh Family Resilience Questionnaire (WFRQ) yang disusun oleh Walsh (personal communication, 1 April, 2012) dan pengukuran harapan menggunakan alat ukur State Hope Scale (SHS) yang disusun oleh Snyder (1994). Partisipan dalam penelitian ini berjumlah 247 mahasiswa S1 Reguler yang berasal dari keluarga miskin.
Hasil penelitian menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara resiliensi keluarga dan harapan pada mahasiswa yang berasal dari keluarga miskin (r = 0.388; p = 0.000, signifikan pada L.o.S 0.01). Artinya, semakin tinggi resiliensi keluarga yang dimiliki suatu keluarga, semakin tinggi harapan yang dimiliki. Selain itu, hasil penelitian juga menunjukkan bahwa 15.1% skor resiliensi keluarga dapat dijelaskan oleh skor harapan. Berdasarkan hasil tersebut, penting dilakukan intervensi pengembangan harapan, sebagai faktor pendorong terbentuknya resiliensi keluarga.

This research was conducted to find the correlation between family resilience and hope among college students from poor families. Family resilience was measured using Walsh Family Resilience Questionnaire (WFRQ) that originally constructed by Walsh (personal communication, April 1, 2012) and hope was measured using the original version of State Hope Scale (SHS) by Snyder (1994). The participants of this research are 247 college students who come from poor families.
The main results of this research show that family resilience positive significantly correlated with hope (r = 0.388; p = 0.000, significant at L.o.S 0.01). That is, the higher family resilience, the higher showing hopes. In addition, the result shows that 15.1% of family resilience score can be explained by the score of hope. Based on these results, it is important to develop hope intervention, as one of protective factor of family resilience.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Florentynia Pradnya Paramita
"Penelitian ini dilakukan untuk melihat hubungan antara resiliensi dan coping pada remaja akhir yang memiliki orangtua penderita penyakit kronis. Responden penelitian ini sebanyak 42 orang remaja akhir berusia 18-22 tahun. Resiliensi responden diukur dengan alat ukur bernama Resilience Scale-14 yang disusun oleh Wagnild dan Young (1993) dan telah diadaptasi ke dalam konteks Indonesia. Coping diukur dengan alat ukur Brief COPE yang disusun oleh Carver (1997) dan telah diadaptasi ke dalam konteks Indonesia. Hasil penelitian menujukkan bahwa tidak terdapat hubungan yang signifikan antara resiliensi dan coping pada remaja yang memiliki orangtua penderita penyakit kronis.

This research was conducted to find the correlation between resilience and coping stress in late adolescence with parental chronic illness. The participants of this research were 42 late adolescence in age 18 to 22 years old. Resilience was measured by using Resilience Scale-14 which was constructed by Wagnild and Young (1993) and had been adapted to Indonesian context. Coping was measured by using Brief COPE which was constructed by Carver (1997) and had been adapted to Indonesian context. The results of this research show that there were not significant correlation between resilience and coping stress in adolescence with parental chronic illness."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Mochammad Ardhya Irawan
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran resiliensi pada remaja penyintas erupsi Gunung Merapi tahun 2010 serta untuk mengidentifikasi nilai-nilai budaya Jawa yang berhubungan dengan kemampuan resiliensi masyarakat suku Jawa yang tinggal di sekitar Gunung Merapi, khususnya di Desa Krinjing, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Gambaran resiliensi remaja di Desa Krinjing ini diperoleh dengan menggunakan alat ukur resiliensi Connor-Davidson Resilience Scale (CD-RISC) 10 (Connor & Davidson, 2003; Campbell-Sills & Stein, 2007) juga melalui wawancara mendalam yang merujuk kepada karak-teristik resiliensi yang dikemukakan oleh Wagnild (2010), yaitu meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, dan existential aloneness. Wawancara secara mendalam juga digunakan untuk menggali penghayatan nilai-nilai budaya Jawa dari partisipan. Partisipan penelitian terdiri dari 15 orang remaja berusia 15-20 tahun. Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja di Desa Krinjing telah menunjukkan resiliensi dalam tingkat yang sedang. Adapun budaya Jawa yang terkait dengan kemampuan resiliensi mereka adalah gotong royong, sopan santun, kebersamaan, dan berbakti pada orang tua. Sejumlah saran untuk menindaklanjuti penelitian ini, termasuk untuk mengatasi keterbatasan yang ditemui, disertakan.

This research was carried out to get an idea of resilience in young survivors of the eruption of Mount Merapi in 2010 and to identify the Javanese cultural values that related to the resilience ability of the Javanese community who live around Mount Merapi, particularly in Krinjing, Magelang regency, Central Java. The idea of resilience in young survivors in Krinjing is achieved by using a measuring instrument Connor Davidson Resilience Scale (CD-RISC) 10 (Connor & Davidson, 2003; Campbell-Sills & Stein, 2007) and by in-depth interviews refers to the characteristics proposed by Wagnild (2010): meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, and existential aloneness.. Interviews were also used to explore the appreciation of Javanese cultural values of the participants. The participants consisted of 15 adolescents aged 15-20 years. The results showed that young survivors in Krinjing have shown resilience in the medium level. The Javanese culture associated with the resilience ability of survivors of the eruption of Mount Merapi are mutual cooperation, courtesy, togetherness, and dutiful to parents. A number of suggestions to follow-up this research, and to overcome the limitations that were encountered, are included"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2013
S45461
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Fitri Awaliyah Mardiani
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai hubungan antara keberfungsian keluarga dan resiliensi pada ibu yang memiliki anak Autistic Spectrum Disorder. Pengukuran keberfungsian keluarga menggunakan alat ukur family assessment device (Epstein, Bishop, & Levin, 1978) dan pengukuran resiliensi menggunakan alat ukur resiliet quotient (Reivich & Shatte, 2002). Partisipan berjumlah 40 ibu yang memiliki karakteristik sebagai ibu yang memiliki anak ASD.
Hasil penelitian ini menunjukkan terdapat hubungan positif yang signifikan antara keberfungsian keluarga dan resiliensi pada ibu yang memiliki anak ASD (r = 0.507; p = 0.000, signifikan pada L.o.S 0.01). Artinya, semakin tinggi keberfungsian keluarga, maka semakin tinggi resiliensi pada ibu yang memiliki anak ASD. Berdasarkan hasil tersebut, maka dukungan dari keluarga untuk ibu yang memiliki anak ASD sangat penting agar dapat meningkatkan kapasitas resiliensinya sehingga mampu bangkit dari trauma yang dialaminya dan mampu menghadapi kesulitan dalam kehidupan sehari-hari.

This research was conducted to find the correlation between family functioning and reseiliece on mother who have children with Autistic Spectrum Disorder (ASD). Family functioning was measured using a modification instrument named family assessment device (Epstein, Bishop, & Levin, 1978) and resilience was measured using a modification instrument named reseilient quotient (Reivich & Shatte, 2002). The participants of this research are 40 mother who have children with ASD.
The main results of this research show that family functioning positively correlated significantly with resilience (r = 0.507; p = 0.000, significant at L.o.S 0.01). That is, the higher family functioning, the higher showing resilience. Based on these results, the support of the family for mothers of children with autistic spectrum disorder is important in order to increase her resiliece capacity so as able to rise from the trauma and able to face difficulties in everyday life.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Oktaviani
"Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran resiliensi pada remaja penyintas gempa bumi dan tsunami. Pengertian resiliensi yang dipakai merujuk pada lima karakteristik resiliensi dari Wagnild (2010), yaitu meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, dan existential aloneness. Gambaran resiliensi diperoleh dengan menggunakan alat ukur CD-RISC 10 (Connor & Davidson, 2003) serta wawancara mendalam. Penelitian ini dilakukan di Banda Aceh yang merupakan kota yang mengalami kerusakan paling parah akibat tsunami 2004. Partisipan penelitian terdiri dari 25 orang yang berusia 21-24 tahun dan yang diwawancara mendalam adalah 3 orang yang berasal dari kelompok usia yang sama.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar partisipan berusia 21-45 tahun sebagian besar memiliki skor resiliensi sedang, bahkan ada yang memiliki skor tinggi. Adapun budaya Aceh yang terkait dengan kemampuan resiliensi penyintas tsunami adalah iman, akhlaq, sikap berjuang dan pantang menyerah meski keadaan sulit, ibadah, dukungan komunitas masyarakat dan komunitas keagamaan, serta lunturnya nilai-nilai tradisional Aceh. Sejumlah saran untuk menindaklanjuti penelitian ini, termasuk mengatasi keterbatasannya, disertakan.

This study was conducted to gain picture of resilience among Aceh earthquake and tsunami survivors. The concept of resiliency refers to the five characeristic of resiliency from Wagnild (2010), which are meaningfulness, perseverance, equanimity, self-reliance, and existential aloneness. Picture of resilience was obtained using the CD-RISC 10 (Connor & Davidson, 2003) and through interviews. Data were collected at Banda Aceh, which suffered most damage from tsunami. Altogether 25 participants of 21-24 years old took the questionnaire and four people of the same age were interviewed.
The results indicate that most participants get middle score of resilience. The Acehnese cultural aspects associated with resiliency ability among eruption survivors are iman, akhlaq, to struggle and overcome difficulties, religious activity, community support, and fading of Aceh traditional values. Recommendations for further research are included.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
S-Pdf
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Yohanes Willbie Hendrason
"Periode dewasa muda identik dengan early adult transition, sehingga rentan menghadapi quarter life crisis. Dalam menghadapi dampak negatif dari krisis tersebut, individu seringkali menggunakan gim daring (video games) sebagai media untuk coping. Penelitian-penelitian terbaru mulai menemukan adanya potensi penggunaan gim daring dalam meningkatkan resiliensi. Namun, penelitian-penelitian masih terbatas pada penelitian gim daring secara umum. Oleh karena itu. penelitian ini bertujuan untuk melihat perbedaan tingkat resiliensi antara pemain dua genre yang sering ditemui, yaitu aksi dan role-play game (RPG). Perbedaan kedua genre tersebut didasarkan pada perbedaan aspek kompetitif dan kooperatif dalam hubungannya dengan resiliensi. Penelitian ini membandingkan tingkat resiliensi yang diukur menggunakan 10-item Connor Davidson Resilience Scale dan juga pertanyaan persepsi aspek kompetitif dan kooperatif yang dirasakan dalam gim daring. Gim daring genre aksi yang digunakan adalah “Playerunknown's Battleground (PUBG)” dan gim daring RPG yang digunakan adalah “Genshin Impact” Hasil analisis komparasi independent sample t-test mendapatkan perbedaan tingkat resiliensi antara pemain gim daring genre aksi dan genre RPG [t(104) = 12.467, p = 0.01], dengan skor resiliensi yang lebih tinggi pada pemain gim daring genre aksi. Hasil ini memperlihatkan tingkat resiliensi berbeda pada genre gim daring yang berbeda.

The young adulthood period is often vulnerable to experiencing quarter-life crisis. In facing this crisis, individuals often turn to online games as a means of coping. Recent studies have started to discover the potential use of online games in enhancing resilience. However, research in this area is still limited to general studies on online gaming. Therefore, this study aims to examine the differences in resilience levels between players of two commonly encountered genres, namely action and role-playing games (RPGs). The differences between these two genres are based on the distinct aspects of competitiveness and cooperativeness and their relation to resilience. This study compares resilience levels measured using the 10-item Connor Davidson Resilience Scale, as well as questions regarding the perceived competitive and cooperative aspects experienced in online gaming. The action genre game used is "Playerunknown's Battleground (PUBG)," while the RPG game used is "Genshin Impact". The results of the independent sample t-test comparison analysis indicate a difference in resilience levels between players of action and RPG online games [t(104) = 12.467, p = 0.01], with higher resilience scores observed among players of action genre games. These findings demonstrate varying levels of resilience across different genres of online games."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>