Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 166371 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Irma Lusiana Tantri
"Erector spinae plane (ESP) block merupakan metode anestesi regional baru dengan tingkat keamanan tinggi dan tingkat ambulasi yang baik, namun memiliki studi yang terbatas mengenai efektivitasnya. Hingga saat ini, bukti efektivitas teknik tersebut pada pasien pembedahan percutaneous nephrolitotomy (PCNL) masih terbatas. Teknik spinal adalah teknik anestesi regional yang paling banyak digunakan pada PCNL dan belum ada penelitian yang membandingkan efektivitas kedua teknik tersebut. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas blok ESP dibandingkan spinal sebagai teknik anestesi dan analgesia pada PCNL. Penelitian uji klinis tersamar tunggal dilakukan pada subjek yang menjalani PCNL. Pasien berusia 18 tahun dengan ASA 1-3 dan pertama kali menjalani PCNL diikutsertakan dalam penelitian. Pasien dengan single functional kidney, memiliki kontraindikasi pemberian obat anestesi lokal, gangguan kardiovaskular berat, hambatan komunikasi, nyeri kronis, atau hamil dieksklusi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan rancangan uji klinis terkontrol acak tersamar tunggal. Pasien dirandomisasi dengan cara random sampling menggunakan teknik randomisasi blok menjadi kelompok ESP dan spinal. Sebanyak 30 subjek (15 ESP dan 15 spinal) diikutsertakan dalam penelitian. Tidak ada perbedaan insiden konversi ke anestesi umum antar kelompok (20%% ESP vs. 0% spinal, p > 0,05). Tidak ada perbedaan kadar IL-6 plasma antar kelompok (p > 0,05). Didapatkan skala nyeri yang lebih tinggi saat bergerak saat pengukuran di ruang PACU, 6 jam, dan 24 jam pascabeda pada kelompok ESP (p < 0,05). Tidak ada perbedaan konsumsi opioid 24 jam pascabedah antar kelompok (median 60 mg ESP vs. 52,5 mg spinal, p > 0,05). Maka dari itu, blok erector spinae plane tidak lebih baik dibandingkan teknik spinal sebagai anestesi tunggal dan analgesia pascabedah pada PCNL.

Introduction: The erector spinae plane (ESP) block is a novel regional anesthetic method with high safety and good ambulation rate but has limited studies on its effectiveness. To date, evidence of the effectiveness of these techniques in surgical patients such as percutaneous nephrolitotomy (PCNL) is limited. Until now, spinal technique is still the most widely used regional anesthetic technique in PCNL. However, there are no studies comparing the effectiveness of the two techniques.
Aim: To compare the effectiveness of ESP block versus spinal as an anesthetic and analgesia technique in PCNL.
Methods: A single-blinded clinical trial study was conducted on subjects undergoing PCNL. Patients aged 18 years with ASA 1-3 and first undergoing PCNL were included in the study. Patients with a single functional kidney, contraindications to local anesthetics, severe cardiovascular disorders, communication barriers, chronic pain, or pregnancy were excluded. Patients were randomized using random allocation sampling into the ESP and spinal groups.
Results: A total of 30 subjects (15 ESP and 15 spinal) were included in the study. There was no difference in the incidence of conversion to general anesthesia between groups (20%% ESP vs. 0% spinal, p > 0.05). There was no difference in plasma IL-6 levels between groups (p > 0.05). There was a higher pain scale when moving when measured in the PACU, 6 hours, and 24 hours after the difference in the ESP group (p < 0.05). There were no differences in both groups regarding 24-hour postoperative opioid consumption (median 60 mg ESP vs. 52.5 mg spinal, p > 0.05).
Conclusion: The erector spinae plane block is not better than spinal block as a sole anesthesia and postoperative analgesia technique in PCNL.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Rahmi
"Latar Belakang: Prosedur dekompresi dan stabilisasi posterior lumbal berhubungan dengan nyeri hebat pascabedah dan menghasilkan respon stress pembedahan. Blok ESP dan blok TLIP efektif sebagai analgesia perioperatif pada prosedur pembedahan tulang belakang. Penatalaksanaan nyeri pascabedah yang adekuat dapat mengurangi respon stres yang timbul akibat pembedahan.
Tujuan: Membandingkan efektifitas antara blok ESP dan Blok TLIP sebagai analgesia perioperatif pada prosedur dekompresi dan stabilisasi posterior lumbal terhadap skala nyeri, konsumsi total opioid, kestabilan kardiovaskular, kadar IL-6 dan IL-10 perioperatif.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, uji klinis acak tersamar ganda terhadap 40 subjek yang menjalani pembedahan dekompresi dan stabilisasi posterior lumbal di Instalasi Bedah Pusat RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta dan RSUD dr Zainoel Abidin Banda Aceh. Subjek dirandomisasi dalam dua kelompok: kelompok blok ESP (n=20) dan kelompok blok TLIP (n=20). Kedua kelompok mendapat bupivakain 0,25% total volume 20 cc setiap sisi. Data yang diolah berupa skala nyeri NRS (Numerical rating scale) pada 1, 6, 12, 24 jam pascabedah, konsumsi morfin dalam 24 jam, jumlah fentanyl intraoperatif, waktu pemberian morfin pertama pascabedah, konsentrasi IL-6 dan IL-10 perioperatif. Analisis data menggunakan Uji t berpasangan dan Mann-Whitney.
Hasil: NRS pada 1, 6, 12, 24 jam pascabedah, konsumsi morfin dalam 24 jam, jumlah fentanyl intraoperatif, konsentrasi IL-6 dan IL-10 perioperatif tidak berbeda bermakna antra blok TLIP dan blok ESP (p>0,05). Waktu pemberian morfin pertama blok TLIP lebih lama bermakna daripada blok ESP (p=0,002).
Simpulan: Keefektifan blok TLIP tidak berbeda dengan blok ESP sebagai analgesia perioperatif pada prosedur dekompresi dan stabilisasi posterior lumbal.

Background: Posterior lumbar decompression and stabilization procedures are related with severe postoperative pain and produce a surgical stress response. ESP block and TLIP block are as effective as perioperative analgesia in spinal surgery procedures. Adequate postoperative pain management can reduce stress response caused by surgery.
Objective: To compare the effectiveness of ESP block and TLIP block as perioperative analgesia in posterior lumbar decompression and stabilization procedures and associated pain scale, total opioid consumption, cardiovascular stability, perioperative IL-6 and IL-10 consentrations.
Methods: This study was an experimental, double-blind, randomized controlled trial of 40 subjects who underwent decompression surgery and posterior lumbar stabilization at the Central Surgical Unit of RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta and RSUD Dr Zainoel Abidin Banda Aceh. Subjects were randomized into two groups: the ESP block group (n=20) and the TLIP block group (n=20). Both groups received 0.25% bupivacaine with a total volume of 20 cc each side. The data were processed in the form of NRS pain scale (Numerical rating scale) at 1, 6, 12, 24 hours postoperatively, morphine consumption within 24 hours, amount of intraoperative fentanyl, time of first postoperative morphine administration, perioperative IL-6 and IL-10 concentrations. Data analysis used paired t test and Mann-Whitney.
Results: NRS at 1, 6, 12, 24 hours postoperatively, morphine consumption within 24 hours, amount of intraoperative fentanyl, perioperative IL-6 and IL-10 concentrations were not significantly different between TLIP block and ESP block (p>0.05). The time of administering the first morphine on TLIP block was significantly longer than ESP block (p=0.002).
Conclusion: The effectiveness of the TLIP block is no different from the ESP block as perioperative analgesia in decompression and posterior lumbar stabilization procedures.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Febrian Putra
"Pendahuluan: Nefrektomi donor hidup perlaparoskopi adalah pendekatan standar emas untuk bedah ginjal donor hidup dikaitkan dengan nyeri pascabedah yang lebih ringan. RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo merupakan pusat transplantasi ginjal terbesar di Indonesia. Saat ini pembedahan donor ginjal hidup dilakukan dengan menggunakan pendekatan transperitoneum menjadi retroperitoneum untuk mengurangi komplikasi berupa cidera organ viseral. Perubahan ini menyebabkan teknik blok tranverse abdominis plane (TAP) dan blok quadratus lumborum (QL) pendekatan anterior dianggap tidak memadai sebagai suplementasi analgesia intraoperatif, teknik anestesi regional yang dianggap tepat untuk pendekatan retroperitoneal adalah teknik blok erector spinae plane (ESP) dan blok QL pendekatan anterior subcostal yang terletak lebih posterior. Brief Pain Inventory (BPI) merupakan salah satu instrumen yang dapat menilai derajat nyeri dan gangguan nyeri kronik terhadap kegiatan sehari-hari yang digunakan dalam penelitian ini.
Metode: Penelitian dilakukan dengan desain kohort retrospektif untuk analisis insiden dan derajat nyeri kronik terhadap teknik blok ESP dan blok QL pada pasien laparoskopik donor ginjal hidup dengan teknik retroperitoneum di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Sampel yang akan diambil di penelitian ini adalah semua pasien laparaskopi donor ginjal hidup teknik retroperitoneal minimal tiga bulan pascabedah sampai bulan Oktober 2022 dengan jumlah sampel 138 orang. Dilakukan juga analisa hubungan antara teknik blok dengan derajat akut, hubungan derajat nyeri akut, konsumsi opioid intraoperatif dan jenis analgesia pascabedah terhadap nyeri kronik dan hubungan karakteristik pasien terhadap nyeri kronik.
Hasil: Teknik blok ESP dan blok QL tidak berbeda bermakna terhadap insiden (p=0,317) dan derajat nyeri kronik (p=1,000) pascabedah. Insiden nyeri kronik pascabedah laparaskopi donor hidup teknik retroperitoneal adalah 41 orang (27,7%) dengan karakteristik nyeri kronik derajat ringan 39 orang (95,2%). Teknik blok ESP dan blok QL berbeda bermakna terhadap derajat nyeri akut H-0 (p=0,045) dan derajat nyeri akut pascabedah bermakna terhadap insiden nyeri kronik pascabedah (p=0,04). Terdapat hubungan bermakna antara karakteristik pasien pada status pekerjaan (p=0,032) dan jangka waktu pascabedah (p=0,05) terhadap insiden nyeri kronik pada pasien laparoskopik donor ginjal hidup teknik retroperitoneum.
Kesimpulan: Teknik blok ESP dan blok QL tidak berbeda bermakna terhadap insiden dan derajat nyeri kronik pascabedah.

Introduction: Laparoscopic living donor nephrectomy is the gold standard approach for living donor kidney surgery associated with less postoperative pain. RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo is the largest kidney transplant center in Indonesia. Currently living kidney donor surgery is performed using a transperitoneal approach to retroperitoneum in order to reduce complications of visceral organ injury. This change causes the transverse abdominis plane (TAP) block technique and the anterior approach of quadratus lumborum (QL) block technique to be considered inadequate as a supplement for intraoperative analgesia, regional anesthetic techniques that are considered appropriate for the retroperitoneal approach are the erector spinae plane (ESP) block technique and the QL block approach more posteriorly. The Brief Pain Inventory (BPI) is an instrument that can assess the pain severity and pain interferences in daily activities used in this study.
Methods: This study was conducted with a retrospective cohort design to analyze the incidence and severity of chronic pain using the ESP block and QL block in living kidney donor laparoscopic patients using retroperitoneum technique at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo. Samples taken in this study were all living kidney donor laparoscopic patients with retroperitoneal technique for at least three months postoperatively until October 2022 with a total sample of 138 people. Assessment of the correlation between block technique and acute pain severity was also carried out, the correlation between acute pain severity, intraoperative opioid consumption and types of postoperative analgesia to chronic pain and the correlation between patient characteristics and chronic pain.
Results: ESP block technique and QL block technique were not significantly different on the incidence (p=0,317) and the severity of chronic pain after surgery (p=1,000). The incidence of chronic pain after laparoscopic living donor retroperitoneal surgery was 41 people (27,7%) with mild chronic pain of 39 people (95,2%). The ESP block technique and QL block technique differed significantly on the degree of acute pain H-0 (p=0,045). The degree of acute postoperative pain was significant to the incidence of postoperative chronic pain (p=0,04) and there was a significant correlation between patient characteristics in occupational status (p=0,032) and the postoperative period to chronic pain (p=0,05).
Conclusion: The technique of ESP block and QL block did not differ significantly on the incidence and severity of postoperative chronic pain.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Hadi Prakoso Wreksoatmodjo
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 1989
T58506
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jefferson
"Latar Belakang: Hipotensi dengan, segala efek buruknya adalah komplikasi yang paling sering ditemukan pada tindakan anestesia spinal sebagai teknik yang paling popular pada anestesia bedah sesar. Pemberian ringer laktat adalah salah satu usaha pencegahan dengan waktu pemberian sebagai salah satu faktor yang dapat mempengaruhi manlaat.
Tujuan: Mengetahui efek hipotensi dan efek samping hipotensi akibat anestesia spinal setelah pemberian ringer iaktat saat dilakukan anestesia spinal dan 20 menit sebelum dilakukan anestesia spinal
Metode: Penelitian ini dilakukan dengan desain eksperimental acak tersamar tunggal mengikutsertakan 155 subjek yang menjalani bedah sesar. 5 subjek dikeluarkan dari penelitian, dan subjek dibagi dalam dua kelompok yang sama besar (75 orang) secara acak sederhana. Kelompok perlakuan mendapat ringer laktat saat dilakukan anestesia spinal dan kelompok kontrol mendapat ringer laktat 20 menit sebelum dilakukan anestesia spinal sebanyak 20 inl/KgBB maksimal 1000 ml.
Hasil: Terdapat perbedaan yang bermakna antara angka kejadian hipotensi pada kedua kelompok dengan perbedaan sebesar 17% (interval kepercayaan 95% 1,4;32,6, dengan risk ratio 0,67 dan Number Needed to Treat (NNT) 6 orang. Terdapat perbedaan yang bermakna antara angka kejadian efek samping hipotensi pada kedua kelompok. Didapatkan penurunan angka kejadian efek samping hipotensi sebesar 24% (interval kepercayaan 95% 11,2;36,8), dengan risk ratio 0,31, dan NNT 4 orang. Terdapat hubungan yang bermakna antara hipotensi dan efek samping hipotensi. Didapatkan perbedaan angka kejadian efek samping hipotensi yang timbul sebesar 52,3 % (interval kepercayaan 95% 40,15;64,45) pada pasien yang mengalami hipotensi. Tidak terdapat hubungan yang bermakna antara jumlah pernakaian efedrin dengan efek samping hipotensi, dengan korelasi yang sangat lemah.
Kesimpulan: Pemberian ringer laktat saat dilakukannya anestesia spinal lebih baik dalani menurunkan angka kejadian hipotensi dan angka kejadian efek samping hipotensi akibat anestesia spinal dibandingkan dengan pemberian ringer laktat 20 menit sebelum anestesia spinal."
Depok: Universitas Indonesia, 2005
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Laras Lembahmanah
"Latar Belakang: Penyuntikan obat anestesia spinal dosis tunggal diketahui menyebabkan hipotensi yang lebih besar dibandingkan dosis terbagi pada pasien obstetrik sehat, namun belum ada penelitian yang dilakukan pada pasien obsterik dengan penyulit hipertensi, khususnya di Indonesia. Hipotensi akibat anestesia spinal, khususnya pada pasien obstetrik dengan penyulit hipertensi, akan mengganggu kesejahteraan ibu dan janin.
Tujuan: Membandingkan penurunan MAP dan kebutuhan efedrin, serta mengetahui level ketinggian blok antara teknik anestesia spinal dosis terbagi dengan dosis tunggal untuk bedah Sesar dengan penyulit hipertensi.
Metode. Uji klinis acak tersamar tunggal terhadap 42 pasien di RSU Kabupaten Tangerang yang memenuhi kriteria dibagi menjadi dua kelompok. Kelompok dosis terbagi (TB) dilakukan dengan menyuntikkan 2/3 dosis (1,5 ml), dilanjutkan 1/3 dosis sisanya (1 ml) setelah jeda 90 detik. Kelompok dosis tunggal (TU) dilakukan dengan menyuntikkan seluruh dosis dalam sekali bolus. Keduanya dilakukan dalam posisi duduk, menggunakan kombinasi obat anestesia spinal bupivakain 0,5% hiperbarik 10 mg dan fentanil 25 mcg (volume total 2,5 ml), kecepatan 0,2 ml/detik, barbotase £0,1 ml sebelum penyuntikan, serta pemberian coloading cairan kristaloid 5-10 ml/KgBB. MAP diukur sebanyak 7 kali, dan kebutuhan efedrin serta ketinggian blok dicatat. Analisis hasil menggunakan uji General Linear Model (GLM) untuk pengukuran berulang, uji Fisher dan Mann-Whitney U.
Hasil: Uji GLM menunjukkan tidak ada perbedaan bermakna antar waktu pengukuran antar kelompok (P >0,05), namun grafik garis menunjukkan trend MAP kelompok TB lebih tinggi pada 3 menit pertama dibandingkan kelompok TU. Penurunan MAP >20% terjadi lebih cepat pada kelompok TU (menit ke-3). Ketinggian blok sensorik keduanya terbanyak pada level T4 sebesar 11 subjek (52,4%) pada kelompok TB dan 9 subjek (42,9%) pada kelompok TU (P=0,59). Perbandingan dosis total pemakaian efedrin mendapat nilai median (range) kelompok TB sebesar 10 (0-25) mg dan kelompok TU sebesar 15 (0-30) mg (P=0,30).
Simpulan: Penurunan MAP dan kebutuhan efedrin pada dosis terbagi tidak lebih kecil secara signifikan dibanding dosis tunggal, namun trend penurunan MAP >20% terjadi lebih lambat dan pemakaian efedrin lebih sedikit pada 3 menit pertama, dengan level ketinggian blok keduanya serupa.

Background: Injection of a single bolus of local anesthetics in spinal anesthesia is known to cause greater hypotension than a fractionated dose in healthy obstetric patients, but no studies have been performed on obstetric patients with hypertensive complications, especially in Indonesia. Spinal hypotension will interfere to maternal and fetal well-being, particularly to mother with pregnancyinduced hypertension.
Objective: Compare the decrease in mean arterial pressure (MAP) and ephedrin requirements, as well as to determine the level of sensory blockade between fractionated dose and single dose technique in spinal anesthesia for Cesarean section in pregnancy-induced hypertension.
Methods: Single blinded randomized clinical trials of 42 patients at Tangerang District General Hospital who met the criteria were divided into two groups. The fractionated dose group (TB) was administered by injecting 2/3 of the total doses (1,5 ml) initially, followed by 1/3 of the remaining dose (1 ml) after 90 s. A Single dose group (TU) was performed by injecting all doses in one bolus. Both were performed in a sitting position, using a combination of 0,5% hyperbaric bupivacaine 10 mg and fentanyl 25 mcg (total volume of 2,5 ml), with velocities 0,2 ml/sec, £0,1 ml barbotage before injection, and administration of 5-10 ml/KgBW crystalloids for co-loading. MAP was measured 7 times, as well as ephedrine requirement and level of sensory blockade were recorded. Analysis was performed using a General Linear Model (GLM) test for repeated measurements, Fisher exact and Mann-Whitney U test.
Results: The GLM test showed no significant differences between the time measurements between groups (P>0,05), but the line chart showed the TB group's trend of MAP was higher in the first 3 minutes than TU group. MAP decline >20% occured faster in TU group (minute-3). The level of sensory block was mostly at the T4 level of 11 subjects (52,4%) in TB group and 9 subjects (42,9%) in TU group (P = 0,59). The total dose of ephedrine requirement was in median (range) value of 10 (0-25) mg in TB group and 15 (0-30) mg in TU group (P = 0,30).
Conclusion: MAP decline and ephedrine requirement in fractionated dose were not significantly smaller than single dose, but >20% decrease in MAP's trend occured more slowly and ephedrine requirement was less in the first 3 minutes, with similar level of sensory block in both groups."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Subuh Widhyono
"

Tatalaksana dengan tindakan operasi pada fraktur suprakondiler atau interkondiler distal femur ( AO/ OTA type 33 ), masih memberikan tantangan dengan tingkat komplikasi yang signifikan. Komplikasi yang masih string terjadi berupa gagalnya fiksasi dari distal fragmen fraktur, terutama pada tulang yang osteoporotik . Implan yang sering dipakai pada kasus ini adalah 95 derajat "angle blade plate "(ABP ) dan "retrograde femoral nail". Prosedur sekunder berupa tandur tulang mengikuti tindakan pemasangan ABP antara 0 - 17 % dan 0 - 20 % setelah pemasangan "retrograde intramedular nail". Secara klinis basil pemasangan 1M nail dilaporkan memberikan basil yang baik, tetapi pemakaiannya sulit pada fraktur artikular yang kominutif dan pemasangan screw interlocking pada distal osteoporotik femur merupakan masalah tersendiri. Sanders dkk mengajukan pemasangan pelat pada sisi medial setelah pemasangan pelat 'condyler buttress' "Less invasive stabilization system" ( LISS ; Synthes, Paoli, PA) merupakan 'locked plate' sistim fiksasi interna yang dikembangkan untuk melakukan fiksasi pada fraktur suprakondiler atau interkondiler distal femur. Karakteristik berupa 'multiple fixed-angle screw' fiksasi distal dan proksimal dengan 'unicortical screws'.

Di FKUIIRSUPNCM dikembangkan clover plate dan cloverplate dengan sistim locking untuk daerah periartikuler yang merupakan alternatif implan yang lebih terjangkau untuk mcmenuhi kebutuhan pasien yang tidak mampu. Sehingga pasien tak mampu dapat ditolong terutama dengan mengurangi jumlah biaya untuk membeli implan yang hampir tidak terjangkau oleh mayoritas pasien di RSUPNCM.

"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2004
T58442
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
A.A. Gde Putra Semara Jaya
"Latar Belakang. Bedah jantung terbuka mengakibatkan nyeri dan respons stres pascabedah yang dapat memberikan dampak buruk bagi pasien. Blok transversus thoracis plane merupakan blok interfascial dalam di area parasternal untuk mengatasi nyeri sternotomi. Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas penambahan blok transversus thoracis muscle plane bilateral dalam mengurangi nyeri dan respons stres pascabedah jantung terbuka terhadap kontrol. Metode. Penelitian ini adalah uji klinis terkontrol acak tersamar ganda. Tiga puluh empat subjek yang memenuhi syarat yang menjalani operasi jantung elektif antara September 2020 dan Agustus 2001 secara acak dimasukkan ke kelompok blok TTP atau kontrol. Penelitian membandingkan beda rerata konsumsi morfin 24 jam pascabedah, waktu pertama dosis morfin pascabedah, waktu ekstubasi, konsentrasi plasma IL-6 dan kortisol pada 24 jam dan 48 jam pascabedah. Penelitian juga ingin mengetahui konsumsi fentanil intraoperatif, waktu pertama opioid rescue intraoperatif, komplikasi, efek samping opioid, dan lama rawat inap. Hasil. Konsumsi morfin 24 jam pertama pascabedah lebih tinggi secara bermakna (p<0,001) pada kelompok kontrol dibandingkan kelompok blok TTP. Waktu pertama pemberian morfin pascabedah lebih lama secara bermakna (p<0,001) pada kelompok blok TTP dibandingkan kelompok kontrol. Waktu ekstubasi tidak berbeda bermakna antara kelompok blok TTP dan kelompok kontrol. Konsentrasi plasma IL-6 dan kortisol tidak berbeda bermakna antara kelompok blok TTP dan kelompok kontrol pada 24 jam dan 48 jam pascabedah. Kesimpulan. Penambahan blok transversus thoracis muscle plane bilateral tidak terbukti lebih efektif dalam mengurangi nyeri dan respons stres pascabedah jantung terbuka dibandingkan dengan kontrol.

Background. Open-heart surgery is a major surgery that causes postoperative pain and surgical stress response, contributing further to postoperative complications and morbidity. Transversus thoracis muscle plane block is a deep interfascial block in the parasternal area to treat sternotomy pain. This study aimed to compare the effectiveness of bilateral transversus thoracis muscle plane blocks in reducing pain and stress response after open-heart surgery versus control. Methods. This is a prospective, double-blind, randomized control trial. Thirty-four eligible subjects who underwent elective cardiac surgery between September 2020 and August 2001 were randomly assigned to the TTPB or control group. The primary outcomes were the different means of 24-hour postoperative morphine consumption, time of first postoperative morphine dose, extubation, postoperative plasma levels of IL-6 and cortisol at 24 hours and 48 hours after surgery. The secondary outcomes were intraoperative fentanil consumption, time of first intraoperative opioid rescue, complication, opioid side effects, and length of stay. Results. The 24-hour postoperative morphine consumption was significantly higher (p<0.001) in the control group than in the TTPB group. The time of first postoperative morphine dose was significantly longer (p<0.001) in the TTPB group than in the control group. Extubation time was not statistically different between the TTP block group and the control group. Plasma levels of IL-6 and cortisol were not statistically different between the TTP block group and the control group at 24 hours and 48 hours after surgery. Conclusion. The bilateral transversus thoracis muscle plane blocks were not shown to be more effective in reducing pain and stress response after open-heart surgery compared to controls."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Christella Natalia P
"Latar Belakang: Prosedur pembedahan dekompresi dan stabilisasi posterior menimbulkan nyeri pascabedah yang mengganggu proses penyembuhan dan mobilisasi dini pasien. Blok TLIP klasik dan modifikasi efektif mengurangi nyeri perioperatif pembedahan tulang belakang. Penanganan nyeri yang baik akan mempercepat proses penyembuhan dan mobilisasi pascabedah.
Tujuan: Membandingkan efektivitas antara blok TLIP klasik dan modifikasi sebagai analgesia perioperatif pada prosedur dekompresi dan stabilisasi posterior thoracolumbar terhadap kebutuhan fentanyl intraoperasi, stabilitas hemodinamik intraoperasi, rerata qNox intraoperasi, total kebutuhan morfin pascabedah, rerata NRS pada 6 dan 12 jam pascabedah dan konsentrasi Intraleukin 6 pada 6 dan 12 jam pascabedah.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental, uji klinis acak tersamar tunggal dengan 24 subjek pembedahan dekompresi dan stabilisasi posterior lumbal di Instalasi Bedah Pusat RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta. Subjek dirandomisasi dalam dua kelompok: kelompok blok TLIP klasik (n-12) dan modifikasi (n=12). Kedua kelompok mendapat bupivakain 0,25% total volume 20 cc stiap sisi. Data yang diolah berupa rerata qNox, fentanyl intraoperatif, total morfin 24 jam pascabedah, rerata NRS pada 6 dan 12 jam pascabedah dan konsentrasi IL-6 pada 6 dan 12 jam pascabedah.
Hasil: Rerata qNox, total morfin 24 jam pascabedah, rerata NRS dan IL-6 pada 6 dan 12 jam pascabedah tidak berbeda bermakna pada grup TLIP klasik dan modifikasi. Total konsumsi fentanyl intraoperatif pada grup TLIP modifikasi berbeda bermakna dibandingkan TLIP klasik (p<0,05).
Simpulan: Blok TLIP modifikasi lebih efektif mengurangi kebutuhan opioid intraoperatif dibandingkan blok TLIP klasik pada prosedur dekompresi dan stabilisasi posterior thoracolumbar.

Background: Posterior Stabilization and Decompression procedures are related with severe postoperative pain and stres response. Both modified and classic Thoracolumbar Interfascial Plane Block proven reduced pain perioperatively. Adequate analgesia perioperatively fasten recovery and mobilization postoperatively.
Objective: Compare effectiveness of modified and classic TLIP block as perioperative analgesia in thoracolumbar decompression and posterior stabilization procedures in hemodynamic stability intraoperatively, total fentanyl consuption intraoperatively, mean qNox intraoperatively, total morphine consumpetion postoperatively, mean NRS and Interleukin 6 at 6 and 12 hours postoperatively.
Methods: this study was an experimental, single-blind, randomized controlled trial of 24 subjects who underwent thoracolumbar decompression and posterior stabilization at Central Surgical Unit at RSUPN dr. Cipto Mangunkusuo Jakarta. Subjects were randomized into two groups: Modified TLIP group (n=12) and Classic TLIP group (n=12). Both were received marcain 0,25% 20 ml each side. Data intraoperative taken were intraoperative fentanyl, hemodinamic stability and mean qNox. Data postoperative taken were total morphine 24 hours, IL-6 6 and 12 hours and mean NRS. Data analysis taken with Mann-Whitney and unpaired t test.
Results: Hemodinamic stability, mean qNox, total morphine 24 hours, mean NRS, IL-6 postoperatively were not significantly different (p>0,05). Only total intraoperative fentanyl were significantly lower in modified TLIP group compared classic TLIP group.
Conclusion: Modified TLIP group was more effective to decrease intraoperative opioid compare to classic TLIP group. Modified TLIP group were not significantly reduce opioid consumption, IL-6, mean NRS postoperatively.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>