Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 133861 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Gladys Hanggorowati Sujatmiko
"Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai toksisitas dengan metode BSLT berdasarkan prinsip senyawa aktif dan sifat toksiknya yang dapat membunuh larva udang Artemia salina L. sebagai hewan uji. Sintesis senyawa turunan asam risinoleat teroksidasi dengan asam amino, yaitu glisin dan fenilalanin dimulai dengan oksidasi rangkap membentuk diol menggunakan KMnO4 encer dalam suasana basa, esterifikasi dengan dry methanol dengan katalis ZnCl2, dan reaksi amidasi membentuk amida dengan asam amino, glisin atau fenilalanin. Karakterisasi dilakukan menggunakan KLT dan FTIR. Hasil FTIR menunjukkan adanya pita serapan ulur N-H dan O-H yang tumpang tindih pada bilangan gelombang 3474.89 cm-1 pada risinoleat teroksidasi-glisin dan 3306.64 cm-1 pada risinoleat teroksidasi-fenilalanin. Selain itu, terdapat puncak serapan medium CN dan C=O amida sekunder pada masing-masing senyawa produk dengan bilangan gelombang 1276,17 cm-1 dan 1696,41 cm-1 untuk risinoleat teroksidasi-glisin serta 1262,47 cm-1 dan 1614,55 cm-1 pada risinoleat teroksidasi-fenilalanin. Uji Toksisitas BSLT terhadap Artemia Salina L. menghasilkan nilai LC50 dari produk lipoamida glisin dan lipoamida fenilalanin secara berurutan sebesar 117,48 dan 42,65 ppm. Hasil tersebut menunjukkan nilai LC50 < 1000, sehingga dapat dikatakan produk yang dihasilkan memiliki toksisitas tinggi. Uji aktivitas antimikroba dari produk kedua menghasilkan zona penghambatan terhadap pertumbuhan bakteri E. coli, tetapi tidak memberikan zona penghambatan terhadap bakteri S. aereus. Zona penghambatan terhadap bakteri E. coli yang dihasilkan yaitu 11,5 mm untuk risinoleat teroksidasi-glisin dan 6,5 mm untuk risinoleat teroksidasi-fenilalanin.

This study aims to determine the toxicity value of the BSLT method based on the principle of active compounds and their toxic properties that can kill Artemia salina L. shrimp larvae as test animals. The synthesis of oxidized ricinoleic acid derivatives with amino acids, namely glycine and phenylalanine, begins with double oxidation to form diols using dilute KMnO4 in an alkaline solution, esterification with dry methanol with ZnCl2 catalyst, and the amidation reaction to form amides with amino acids, glycine or phenylalanine. Characterization was carried out using TLC and FTIR. The FTIR results showed that there were overlapping N-H and O-H stretching absorption bands at wave numbers of 3474.89 cm-1 for glycine-oxidized ricinoleic and 3306.64 cm-1 for phenylalanine-oxidized ricinoleic. In addition, there are absorption peaks of CN and C=O secondary amide medium in each product compound with wave numbers 1276.17 cm-1 and 1696.41 cm-1 for glycine-oxidized ricinoleic and 1262.47 cm-1 and 1614.55 cm-1 in phenylalanine-oxidized ricinoleic. BSLT Toxicity Test against Artemia Salina L. produced LC50 values ​​of glycine lipoamide and phenylalanine lipoamide products, respectively, of 117.48 and 42.65 ppm. These results indicate the value of LC50 < 1000, so it can be said that the resulting product has high toxicity. The antimicrobial activity test of the second product resulted in an inhibition zone for the growth of E. coli bacteria, but did not provide an inhibition zone for S. aereus bacteria. The zone of inhibition against E. coli bacteria produced was 11.5 mm for glycine-oxidized ricinoleic and 6.5 mm for phenylalanine-oxidized ricinoleic."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Naufal Daffa Putra Niado
"Penelitian ini bertujuan untuk menguji toksisitas dan aktivitas antimikroba ada turunan senyawa asam laurat dengan asam amino glisina dan fenilalanina. Penelitian ini diawali dengan sintesis ester metil-laurat menggunakan metanol dengan bantuan katalis asam HCl pekat. Selanjutnya metil laurat diamidasi dengan asam amino glisina dan fenilalanina.Reaksi amidasi tersebut menghasilkan senyawa lipoamida glisina-laurat dan fenilalanina-laurat. Semua produk lipoamida dikarakterisasi menggunakan KLT dan FTIR. Hasil analisis KLT menunjukkan nilai Rf produk glisina-laurat dan fenilalanina-laurat dengan nilai Rf yang lebih rendah menandakan produk sudah terbentuk, hasil karakterisasi glisina-laurat dan fenilalanina-laurat dengan FTIR masing-masing produk lipoamida menunjukan pita serapan medium vibrasi C-N pada bilangan gelombang 1043 cm-1 Pada glisina-laurat dan 1044 cm-1 Pada fenilalanina-laurat. Dari hasil uji toksisitas dengan metode BSLT terhadap larva Artemia salina L. didapatkan nilai LC50 senyawa glisina-laurat sebesar 358,59 ppm dan fenilalanina-laurat sebesar 281,19 ppm sehingga produk lipoamida yang terbentuk memiliki toksisitas sedang. Uji aktivitas antimikroba terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli produk glisina-laurat menunjukkan adanya zona hambat sebesar 10 mm dan fenilalanina-laurat sebesar 10 mm. Hasil uji antimikroba terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus senyawa glisina-laurat dan fenilalanina-laurat menunjukkan zona hambat sebesar 9 mm dan 8 mm, menandakan produk lipoamida yang didapatkan memiliki aktivitas antimikroba lemah dan tidak efektif.

This study aims to examine the toxicity and antimicrobial activity of lauric acid derivatives with amino acids, namely glycine and phenylalanine. This research begings with the esterification of lauric acid using methanol with the help of concentrated HCl acid as a catalyst. Furthermore, the mixture was extracted with water to obtain the organic phase in the form of methyl laurate. Then, amidation of methyl laurate with amino acid, glycine and phenylalanine, respectively. The amidation reaction produces lipoamide compunds glycine-laurate and phenylalanine-laurate. The lipoamide products were characterized using TLC and FTIR. TLC analysis results show the Rf value of glisina-laurate and fenilalanina-laurate product are lower than methyl laurate that indicate that the product has been formed and each lipoamide product has an absorbtion band of C-N medium vibraton at a wave number of 1043 cm-1 for glycine-laurate and 1044 cm-1 for phenylalanine-laurate. The toxicity test result through BSLT metod on Artemia salina L. larvae obtained the Lc50 value on glycine-laurate 358,59 ppm and phenylalanine-laurate 281,19 ppm. In the antimicrobial activity test, glycine-laurate product had an inhibiton zone of 10mm and also phenylalanine-laurate had 10mm against the growth of Escherichia coli. Meanwhile, glycine-laurate and phenylalanine-laurate products have inhibition zones are 9mm and 8mm against the growth of Staphylococcus aureus that indicate lpoamide product is weak and ineffective antimicrobial activity."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dina Thahirah Widiansyah Putri
"Penelitian ini bertujuan untuk melakukan sintesis turunan asam amino dari asam laurat membentuk senyawa lipoamida. Penelitian ini diawali dengan esterifikasi asam laurat menggunakan dry metanol dan bantuan katalis asam HCl pekat. Selanjutnya, campuran tersebut diekstrasi dengan air untuk mendapatkan fasa organiknya berupa metil laurat dan dimurnikan menggunakan kromatografi kolom. Kemudian metil laurat diamidasi dengan asam amino glisin dan fenilalanin agar dihasilkan senyawa lipoamida glisin-laurat dan fenialanin-laurat. Produk yang terbentuk dikarakterisasi menggunakan FTIR. Hasilnya menunjukkan bahwa masing-masing produk ester memberikan pita serapan medium vibrasi C-N pada bilangan gelombang 1026,17 cm-1 pada glisin-laurat dan 1015,56 cm-1 pada fenilalanin-laurat. Hasil uji toksisitas melalui metode BSLT terhadap larva Artemia salina L. didapatkan nilai LC50 senyawa lipoamida glisin-laurat dan fenilalanin-laurat, masing-masing sebesar 175,724 ppm, dan 1494,729 ppm. Uji aktivitas antimikroba dari semua produk lipoamida menunjukkan adanya aktivitas antimikroba. Kedua senyawa lipoamida memiliki zona hambat yang sama terhadap pertumbuhan bakteri Escherichia coli, sebesar 10 mm, sedangkan senyawa glisin-laurat dan fenilalanin-laurat memiliki zona hambat terhadap pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, secara berurutan 7 mm dan 8 mm.

This study discusses about synthesis of amino acid with lauric acid to form lipoamida compound which has toxicity property. In this research, esterification of lauric acid with dry methanol using concentrated HCl as acid catalyst. Furthermore, the solution was extracted with water to obtain organic phase (methyl laurate) and purified by column chromatography. Then, amidation of methyl laurate with the amino acids, glycine and phenylalanine, respectively. Amidation reaction produces glycine-laurate and phenylalanine-laurate lipoamida compounds. All of ester products were identified using FTIR. The results showed that each lipoamida product gave absorption band C-N at the range of wave number 1026,17 cm-1 for glycine-laurate dan 1015,56 cm-1 for phenylalanine-laurate. The results of the toxicity test using the BSLT method on Artemia salina L. larvae obtained the LC50 values of glycine-laurate and phenylalanine-laurate lipoamida compounds, respectively 175,724 ppm and 1494,729 ppm. Antimicrobial activity test of all lipoamida products had antimicrobial activity. Both lipoamida compounds have the same zone of inhibition for the growth of Escherichia coli bacteria, which is 10 mm. Meanwhile, glycine-laurate and phenylalanine-laurate compounds had zone a inhibition against the growth of Staphylococcus aureus bacteria, respectively 7 mm and 8 mm."
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Andreas Rivaldo
"Pada penelitian ini dilakukan sintesis senyawa turunan asam risinoleat teroksidasi dengan asam amino glisin dan fenilalanin. Proses sintesis diawali dengan oksidasi ikatan rangkap membentuk diol menggunakan KMnO4 encer dalam suasana basa, esterifikasi dengan dry metanol dan katalis KOH, dan terakhir amidasi dengan asam amino glisin atau fenilalanin. Karakterisasi dilakukan menggunakan KLT dan FTIR. Hasil FTIR produk menunjukkan adanya pita serapan ulur N-H dan O-H yang overlapping pada bilangan gelombang 3459,23 cm-1 pada lipoamida glisin dan 3467,55 cm-1 pada lipoamida fenilalanin. Selain itu, terdapat puncak serapan medium C-N dan N-H bend masing-masing pada bilangan gelombang 1047,98 cm-1 dan 787,99 cm-1 pada lipoamida glisin serta 1188,02 cm-1 dan 792,84 cm-1 pada lipoamida fenilalanin. Uji Toksisitas BSLT terhadap Artemia Salina L. menghasilkan nilai LC50 dari produk lipoamida glisin dan lipoamida fenilalanin secara berurutan sebesar 1494,73 ppm dan 2193,32 ppm. Hasil tersebut menunjukkan nilai LC50 > 1000, sehingga dapat dikatakan produk yang dihasilkan memiliki toksisitas rendah. Uji aktivitas antimikroba dari kedua produk menghasilkan zona hambat terhadap pertumbuhan bakteri E. coli, tapi tidak memberikan zona hambat terhadap bakteri S. aereus. Zona hambat terhadap bakteri E. coli yang dihasilkan yaitu 15 mm untuk lipoamida glisin dan 14 mm untuk lipoamida fenilalanin.

In this research, the synthesis of oxidized ricinoleic acid derivative compounds with amino acids glycine and phenylalanine was carried out. The synthesis process began with the oxidation of the double bond to form a diol with dilute KMnO4 reagent in an alkaline condition, esterification with dry methanol and KOH catalyst, and finally amidation with the amino acid glycine or phenylalanine. Characterization was carried out using TLC and FTIR. The FTIR spectrum of the product showed that there were overlapping N-H and O-H stretching absorption bands at wave numbers 3459.23 cm-1 for glycine lipoamide and 3467.55 cm-1 for phenylalanine lipoamide. There were also absorption peaks of C-N and N-H bend medium at wave numbers 1047.98 cm-1 and 787.99 cm-1 for glycine lipoamides and 1188.02 cm-1 and 792.84 cm-1 for phenylalanine lipoamides respectively. BSLT Toxicity test against Artemia Salina L. resulted in the LC50 values of the lipoamide products glycine lipoamides and phenylalanine lipoamides 1494.73 ppm and 2193.32 ppm, respectively. These results showed that the value of LC50 > 1000 so it can be said that the resulting product has low toxicity. The antimicrobial activity assay showed that both products inhibited the growth of E. coli but did not inhibit the growth of S. aereus. The inhibition zone formed was 15 mm for glycine lipoamide and 14 mm for phenylalanine lipoamide"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Stefani
"Ikan lepu batu memiliki racun yang paling berbahaya dibandingkan jenis hewan laut beracun lainnya. Racunnya mengandung berbagai komponen bioaktif yang dapat dimanfaatkan, salah satunya yang sudah banyak diinvestigasi adalah stonustoxin (SNTX). Racun ikan lepu batu juga mengandung banyak protein dengan berat molekul sekitar 8-18 kDa yang jarang diteliti lebih lanjut aktivitasnya sehingga penelitian mengenai toksisitas kelompok protein tersebut sangat menarik untuk dilakukan. Salah satu pengujian toksisitas akut sederhana adalah Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Untuk mengetahui manfaat dari sifat toksik tersebut, salah satu caranya adalah dengan pengujian aktivitas antibakteri. Ikan lepu batu yang diperoleh dari Kepulauam Seribu, Indonesia diidentifikasi spesiesnya dan kemudian racunnya dipanen. Pemurnian fraksi 8-18 kDa dilakukan dengan FPLC menggunakan kolom HiTrap Q HP. Kemudian, dilakukan uji Lowry untuk menentukan konsentrasi protein, identifikasi SDS-PAGE, uji toksisitas BSLT, hingga pengujian aktivitas antibakteri. Pada penelitian ini, fraksi 8-18 kDa dengan kemurnian tertinggi diperoleh saat persen elusi garam 0%. Fraksi protein tersebut terbukti memiliki sifat toksik terhadap larva Artemia salina karena memiliki nilai LC50 sebesar 125,49 μg/mL. Hasil pengujian aktivitas antibakteri menunjukkan bahwa kelima varasi konsentrasi racun ikan lepu batu dan fraksi 8-18 kDa yang diberikan tidak dapat menginhibisi pertumbuhan bakteri Staphylococcus aureus, Escherichia coli, dan Salmonella typhii.

Stonefish has the most deadly venom compared to other venomous marine animals. Their venom contain various bioactive components that can be utilized, one of them is stonustoxin (SNTX) which is widely investigated. Stonefish venom has also smaller proteins around 8-18 kDa whose activities are rarely observed. Therefore, it is very interesting to determine those protein’s toxicity. One of simple accute toxicity assay is Brine Shrimp Lethality Test (BSLT). Antibacterial activity test was done to find out the benefit of the toxic nature. Stonefish obtained from Kepulauan Seribu, Indonesia was identified its speices and then harvested. The purification of 8-18 kDa fraction was done by FPLC using HiTrap Q HP column. Then, several tests were carried out, such as Lowry test to determine protein content, identification by SDS-PAGE, toxicity assay using BSLT, and antibacterial activity test. In this study, the fraction of 8-18 kDa with the highest purity was obtained 0% salt elution. The protein fraction is toxic against Artemia salina larvae because the LC50 value is 125,49 μg/mL. The results of antibacterial activity test showed that stonefish venom and the 8-18 kDa fraction could not inhibit the growth of Staphylococcus aureus, Escherichia coli, and Salmonella typhii."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia , 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Jane Sarah Giat
"Penelitian mengenai uji toksisitas dan distribusi kandungan fikotoksin pada kerang hijau (Perna viridis) telah dilakukan di kawasan budidaya kerang hijau, Kamal Muara pada bulan Mei 2012. Penelitian bertujuan untuk mendeteksi keberadaan fikotoksin penyebab Paralytic Shellfish Poisoning (PSP), serta mengetahui tingkat toksisitas dan distribusi fikotoksin pada bagian visceral, mantel, dan otot dari kerang hijau. Berdasarkan Jellet Rapid Test, hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat racun penyebab PSP dalam kerang hijau.
Berdasarkan BSLT, hasil menunjukkan bahwa terdapat senyawa aktif yang bersifat toksik pada seluruh bagian tubuh kerang yang diuji karena semua nilai LC50 yang didapatkan kurang dari 1.000 ppm. Nilai LC50 yang terendah pada bagian visceral (63,75 ppm, 105,5 ppm, dan 74,64 ppm) diikuti dengan jaringan mantel (211,8 ppm, 335,74 ppm, dan 306, 67 ppm) dan jaringan otot (459,95 ppm, 529,05 ppm, dan 492,06 ppm). Hasil tersebut mengindikasikan bahwa tidak terdapat racun penyebab PSP pada kerang hijau, namun terdapat fikotoksin lain pada sampel kerang hijau yang terdistribusi pada bagian tubuh yang berbeda dengan konsentrasi tertinggi pada bagian visceral.

The research on toxicity test and phycotoxin distribution in green mussel (Perna viridis) had been done on Kamal Muara aquaculture area in May 2012. The research aimed to detect the Paralytic Shellfish Poisoning (PSP) causing phycotoxin and to know the toxicity levels and distribution on green mussels viscera, mantle, and muscles. Based on Jellet Rapid Test, the result showed that there were no PSP toxins inside the mussels.
Based on Brine Shrimp Lethality Test (BSLT), there was other active compound with toxic properties for all the LC50 levels that were lower than 1.000 ppm. The LC50 levels were lowest on the viscera (63,75 ppm, 105,5 ppm, and 74,64 ppm), followed by the mantle (211,8 ppm, 335,74 ppm, and 306, 67 ppm) and muscles (459,95 ppm, 529,05 ppm, and 492,06 ppm). Those results indicated that there were no PSP toxins inside mussels, but there were other phycotoxins distributed in different body parts with highest concentration in viscera.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2013
S46636
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dwi Putranto Setiawan
"Trembesi merupakan tanaman kering yang hidup di daerah tropis yang berasal dari Amerika pusat yang menyebar luas hingga Venezuela dan Kolombia. Tanaman ini selain dimanfaatkan untuk mengurangi polusi udara dan menyerap air, biji dan daunnya dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai obat. Sampai saat ini belum ada bukti apakah biji trembesi aman atau tidak untuk dikonsumsi. Oleh karena itulah peneliti merasa perlu untuk mengetahui toksisitas tanaman ini.
Dalam penelitian ini, peneliti melakukan Uji toksisitas akut (LD50) untuk melihat efek toksisitas. Uji ini dilakukan dengan melihat kategori dosis manakah yang mampu membunuh 50% populasi sampel yang dicekoki trembesi. Setelah didapatkan, maka dapat ditentukan trembesi termasuk kategori dosis yang mana. Kategori dosis toksisitas yang dipakai pada penelitian ini adalah dosis moderately toxic. Pada penelitian ini organ yang diperiksa oleh peneliti adalah hati, karena hati merupakan organ yang berperan dalam menetralisasi zat-zat racun terutama yang masuk ketubuh melalui saluran pencernaan.
Setelah dilakukan pencengkokan dengan ketiga rkstrak tersebut, tidak ada hewan coba yang mati. Kemudian setelah diamati sejak pemberian trembesi hingga hari ke-14. Tidak didapatkan mencit yang mati. Setelah itu, organ hati dari masing-masing hewan coba diambil untuk dibuat sediaan mikroskopiknya. Dari pemeriksaan, tidak ditemukan kelainan mikroskopik pada hati. Dapat disimpulkan bahwa trembesi terbukti tidak memiliki efek toksik pada hati mencit. LD50 untuk ketiga ekstrak tersebut adalah practically non-toxic.

Trembesi is plants that live in the tropics. This plant comes from central America who spread to Venezuela and Colombia. This plant is used in addition to reducing air pollution and absorb water, seeds and leaves are used by the community as a drug. Until now there has been no evidence whether the trembesi seeds is safe or not for consumption. That is why researchers find it necessary to know the toxicity of this plant.
In this study, researchers will use acute toxicity test (LD50) to see the effects of toxicity. This test is done by looking at what dose category are able to kill 50% of the sample population is fed a trembesi. Once obtained, trembesi can be categorized into six doses: supertoxic, extremely toxic, highly toxic, moderately toxic, slightly toxic, or Practically non-toxic. In this study the organ being examined by investigators is the heart, because the liver is the organ that plays a role in neutralizing toxic substances that enter through the gastrointestinal tract.
After the experiment, all mice survived. During the observation until the 14th day. There were no mice died. After that, the liver of each animal was taken for microscopic preparations made. From the examination, there was no microscopic abnormalities in liver Now, we can concluded that the trembesi didn’t show any toxic effects on the liver of mice. LD50 for the three extracts are Practically non-toxic.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2011
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Putri Oktaviyanti
"Pencemaran logam berat menimbulkan dampak negatif bagi ekosistem perairan karena sifatnya yang persisten dan mudah terakumulasi dalam jaringan tubuh biota oleh sebab itu pada penelitian ini dilakukan uji toksisitas akut (EC50- 24h) dari logam berat Pb, Cd, Cr, Ni, dan As pada Daphnia magna yang mengacu pada OECD 202 Guidelines. Data immobilisasi yang diperoleh diolah menggunakan analisis probit (SPSS 15). Selain itu dilakukan pengujian toksisitas melalui simulasi fraksi sedimen dan analisis kadar logam berat dalam fraksi sedimen di Perairan Teluk Jakarta dengan ekstraksi menggunakan 3 variasi pH, yaitu pH 3, 5 dan 7. Pembuatan fraksi asam pH 3 dan 5 menggunakan prosedur TCLP (toxicity characteristic leaching prosedure). Sedimen yang telah dipreparasi di analisis dengan Atomic Absorbance Spectoscopy (AAS).
Dari hasil pengujian diperkirakan nilai EC50-24h Cd, As, Ni, Cr, Pb terhadap Daphnia magna adalah 1,663 μg/l; 2,369 mg/l; 2,471 mg/l; 12,225 mg/l, 23,136 mg/l. EC50-24h Pb jauh lebih besar dari literatur karena terjadi pengendapan yang diduga menurunkan bioavailabilitas logam terhadap Daphnia. Hasil dari analisa logam berat dalam sedimen diperoleh kadar logam berat dengan fraksi pH 3 umumnya lebih besar dari fraksi pH 5 dan 7. Hasil pengamatan toksisitas dari simulasi fraksi sedimen menunjukkan toksisitas pada keseluruhan hewan uji yang menandakan bahwa Perairan Teluk Jakarta berpotensi membahayakan bagi kehidupan biota. Pengujian toksisitas campuran logam Cd-Cr-Ni-As dengan konsentrasi yang mengacu pada nilai EC50-24h Cd memperlihatkan efek sinergis walaupun tidak signifikan.

Heavy metals pollution adverse impacts on aquatic ecosystems because of its persistent and easy to accumulate in biota tissue and therefore in this study tested the acute toxicity (EC50-24h) of the heavy metals Pb, Cd, Cr, Ni, and As in Daphnia magna which refers to the OECD Guidelines 202. The data obtained were statistically evaluated with probit analysis method (SPSS 15). In addition, it has also been conducted of toxicity test through simulation of sediment fraction and observation heavy metals content in the sediment fraction at Jakarta bay waters by extraction using 3 variations of pH such as pH 3, 5 and 7. Preparation pH 3 and 5 acid fraction using the TCLP procedure (toxicity characteristic leaching prosedure). Heavy metals content in sediment has analysed by Atomic Absorbance Spectroscopy (AAS).
The EC50-24h of Cd, As, Ni, Cr, Pb to Daphnia magna was estimated to be 1,663 μg/l; 2,369 mg/l; 2,471 mg/l; 12,225 mg/l, 23,136 mg/l, respectively. The EC50-24h of Pb has larger value than literature due to the precipitation reaction which reduce the bioavailability of this metal to Daphnia. The result of heavy metals content in sediment showed that the average concentration in pH 3 fraction was higher than pH 5 and pH 7 fraction. The toxicity result from sediment fraction simulation showed the overall toxicity in organism test which indicated Jakarta bay waters are potentially harmfull to aquatic ecosystem. Testing the toxicity of Cd-Cr-Ni-As mixture which refers to EC50-24h of Cd showed a synergistic effect, although not significantly.
"
Depok: Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Indonesia, 2012
S43422
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Sukiswo Setiadi
"ABSTRAK
Penentuan toksisitas Cadmium Chlorida terhadap ikan tombro (Cyorinus. carnio, L) dengan panjang tubuh 5 - 6 cm, berumur lebih kurang 2 bulan mendapatkan hasil sebagai berikut :
a. Perlakuan dengan aerasi, LC50 untuk 96 jam didapatkan hasil = 8,15 ppm.
b. Perlakuan tanpa aerasi, LC50 untuk 96 jam didapatkan hasil = 8,72 ppm.
Pengamatan kualitas air uji yang meliputi pH, temperatur, dissolved oxygen (DO) dan Carbon dioksida terlarut, menunjukkan bahwa bahan pencemar Cadmium Chlorida sangat kecil pengaruhnya terhadap perubahan kualitas perairan.
Hasil pengamatan mikroanatomi mengenai pengaruh pathologi terhadap organ-organ tubuh yang meliputi branchia dan ren menunjukkan terjadinya kerusakan seluler organ-organ tersebut di atas pada ikan-ikan yang masih hidup sesudah 96 jam.
Kerusakan seluler branchia ditunjukkan terjadinya Oedema pada lamella, yaitu masuknya air (cairan) ke dalam lamella mengakibatkan sel penyokong dengan sel pilaster terpisah dan hyperplasia pada pangkal basis proximal dari epithelium lamella secundaria.
Kerusakan ren (mesonephros) yang menonjol adalah nucleus membesar terjadi pycnosis dan kariolisis. Terjadi kerusakan endothelium kapiler dan erythrocyt bernucleus menyebabkan kerusakan struktur seluler kapiler darah yang akan berpengaruh terhadap fungsi ren."
Lembaga Penelitian Universitas Indonesia, 1994
LP-pdf
UI - Laporan Penelitian  Universitas Indonesia Library
cover
Prima Rizky Oktari
"Pendahuluan: Mg (magnesium) yang merupakan salah satu komponen alamiah tubuh mulai banyak diteliti sebagai bahan dasar implan biodegradabel orthopaedi. Salah satu kekurangan Mg adalah tingginya tingkat korosi jika bersentuhan dengan udara. Cara untuk mengurangi tingkat korosi Mg adalah dengan mencampurnya dengan material lain (alloy), melapisi dengan material lain, atau melakukan teknik severe plastic deformity (SPD). Carbonate apatite (CA) dipilih untuk menjadi campuran komposit Mg karena CA merupakan komponen non organik tulang, dan kemampuan osteokonduktivitas nya yang baik. Kendala dari komposit MgCA adalah komposit ini terdegradasi dengan sangat cepat. Penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Rahyussalim dkk terhadap komposit MgCA dengan teknik produksi kompaksi menunjukkan tingkat toksisitas yang tinggi pada sel punca tali pusat manusia. Salah satu penyebab tingginya toksisitas adalah proses korosi. Densifikasi (ekstrusi) merupakan salah satu cara untuk mengurangi proses korosi komposit MgCA. Pada penelitian ini kami membandingkan uji toksisitas pada kelompok komposit MgCA yang difabrikasi dengan menggunakan proses sintering dan ekstrusi.
Metode: Komposit MgCA dibuat melalui metode fabrikasi sintering dan ekstrusi (E2010 dan E1210) di Laboratorium Teknik Mesin Fakultas Teknik Universitas Indonesia. Komposisi komposit yang dihasilkan adalah Mg, Mg5CA, Mg10CA dan Mg15CA. Uji toksisitas dilakukan di Laboratorium Stem Cells and Tissue Engineering IMERI, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Uji toksisitas dilakukan dengan uji kontak langsung dan uji ekstrak dengan sel punca mesenkimal.
Hasil: Implan dengan proses ekstrusi (E2010) memiliki nilai densitas lebih dan kekerasan yang lebih tinggi, laju korosi lebih rendah jika dibandingkan dengan implan dengan proses sintering. Uji ekstrak (MTT) implan yang diproduksi dengan ekstrusi (E2010) menunjukkan hasil non toksik (viabilitas sel >75%), sedangkan implan dengan teknik produksi sintering dan kompaksi menunjukkan hasil toksik (viabilitas <75%). Mg15CA ekstrusi (E2010) menunjukkan viabilitas sel terbanyak. Uji kontak langsung menunjukkan toksisitas pada semua jenis implan (viabilitas sel <70% dibanding kontrol).
Kesimpulan: Implan ekstrusi (E2010) memiliki nilai viabilitas sel paling tinggi jika dibandingkan dengan sintering pada uji ekstrak. Semua implan tergolong toksik pada uji kontak langsung.

Introduction: Mg (magnesium), which is one of the body's natural components, has increasing interests as the basic material for orthopaedic biodegradable implants. One of the disadvantages of Mg is its high corrosion rate when in contact with air. The way to reduce the corrosion rate of Mg is to mix it with other materials (alloys), coat it with other materials, or undergo severe plastic deformity (SPD) technique. Carbonate Apatite (CA) was chosen to be a composite of Mg mixture because CA is an inorganic component of bone, and has good osteoconductivity. The problem with MgCA composite is that they degrade very quickly. Previous research conducted by Rahyussalim et al on MgCA composites with the production technique of compaction showed a high level of toxicity in human umbilical cord stem cells. One of the causes of high toxicity is the corrosion process. Densification (extrusion) is one way to reduce the corrosion process of MgCA composites. In this study, we compared the toxicity test on a group of MgCA composites fabricated using sintering and extrusion processes.
Method: The MgCA composites are made through conventional sintering (CS) and extrusion fabrication methods (E2010 and E1210) at the Mechanical Engineering Laboratory, Faculty of Engineering, University of Indonesia. The composition of resulting composite is pure Mg, Mg5CA, Mg10CA and Mg15CA. The toxicity test was carried out at the Stem Cells and Tissue Engineering (SCTE) Laboratory of IMERI, Faculty of Medicine, University of Indonesia. Toxicity test was done by direct contact test and extraction test to the mesenchymal stem cells (MSC).
Results: Implants with extrusion process (E2010) have more density and rigidity, lower corrosion rate when compared to other implants that underwent sintering process. Extract test (MTT) of implants produced by extrusion (E2010) showed non-toxic results (cell viability >75%), while implants with sintering and compaction production techniques showed toxic results (viability <75%). Mg15CA (E2010) extrusion showed the highest cell viability. Direct contact test showed toxicity to all types of implants (cell viability <70% compared to control).
Conclusion: The extrusion implant (E2010) had the highest cell viability value when compared to sintering in the extracted test. All implants were categorized as toxic in the direct contact test.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>