Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 172738 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Namira Adjani Ramadina
"Undang-Undang No. 5 tahun 1999 tentang Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat merupakan sebuah produk reformasi yang secara efektif berlaku pada tanggal 5 Maret 2000. Dengan lahirnya undang-undang ini, dibentuklah sebuah lembaga independen yang ditugaskan untuk melakukan pengawasan dan penegakan terhadap hukum persaingan usaha. Jika terdapat pelaku usaha yang melanggar hukum persaingan usaha, maka KPPU akan melakukan penegakan melalui pelaksanaan hukum acara persaingan usaha. Kendati demikian, pelaksanaan hukum acara persaingan usaha tidak luput dari sejumlah kekurangan. Sebagai upaya untuk mengatasi masalah-masalah yang ada dan sekaligus menyesuaikan dengan kebutuhan zaman serta kemajuan ekonomi, pemerintah melakukan perubahan serta penambahan sejumlah pasal yang sebelumnya tertuang pada Undang-Undang No. 5 Tahun 1999 di dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Setelah 20 tahun sejak pengesahannya, UU No. 5 Tahun 1999 mengalami perubahan dengan diberlakukannya UUCK. Pengaturan ini dapat dibandingkan dengan regulasi di negara Amerika Serikat selaku negara common law yang telah memiliki hukum persaingan usaha sejak tahun 1890 dan memiliki dua lembaga penegak hukum persaingan, yaitu Federal Trade Commission sebagai lembaga independen dalam penegakan Antitrust Laws dan Antitrust Division of Department of Justice. Dalam penelitian ini, metode yang dipilih adalah yuridis-normatif dan setelah dilakukan analisis perbandingan dengan lembaga Federal Trade Commission di Amerika Serikat, maka dapat ditemukan persamaan maupun perbedaan dalam pelaksanaan hukum acara persaingan usaha dan ketentuan penjatuhan sanksi denda yang kemudian akan menghasilkan saran untuk kemajuan pelaksanaan hukum acara persaingan usaha Indonesia.

Indonesian Competition Law, namely Law No. 5 of 1999 concerning Monopolistic Practice and Unfair Competition is a product of reformation which was effective on March 5, 2000. With the enactment of this regulation, an independent agency tasked to supervise and enforce the Competition Law was formed. The commission is later referred to as Komisi Pengawas Persaingan Usaha or in short, KPPU. However, the implementation of the competition law still had some shortcomings. Thus, in order to overcome existing problems while at the same time adapt to the needs of times and economic progress, the government made changes and added a few articles that was previously contained in Law No. 5 of 1999, in Law No. 11 of 2020 concerning Job Creation. After 20 years since it’s ratification, Law no. 5 of 1999 finally underwent some changes with the enactment of Law No. 11 of 2020. This regulation can be compared with regulations in the United States as a common law country who has had competition law since 1890 and has two enforcement agencies, namely the Federal Trade Commission as an independent agency in the enforcement of Antitrust Laws and the Antitrust Division of Department of Justice.The method chosen is juridicial-normative and after a comparative analysis has been carried out with the Federal Trade Commission in United States, similarities and differences can be found in the implementation of the competition law and the provisions for imposing fines which will the produce suggestions for advancement of indonesian competition law procedures."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aldo Maulana Randa
"Hukum persaingan usaha adalah salah satu instrumen yang wajib ada di dunia global ini. Keberadaan hukum persaingan usaha mengharuskan adanya lembaga yang menjalankan fungsi penegakan hukum persaingan usaha tersebut. Kewenangan yang dimiliki oleh institusi penegak hukum persaingan usaha berdampak besar terhadap efektifitas penegakan hukum persaingan usaha. UU No. 5 Tahun 1999 mengamanatkan penegakan hukum persaingan usaha di Indonesia untuk dilaksanakan oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Amerika Serikat adalah Negara yang sudah sejak dulu menegakkan hukum persaingan usaha, Federal Trade Commission Act melahirkan Federal Trade Commission (FTC), yaitu institusi penegak hukum persaingan usaha di Amerika Serikat. Kewenangan yang dimiliki FTC sangat besar. Perbandingan kewenangan antara FTC dan KPPU akan melihat celah perbedaan antar kewenangan yang dimiliki masing-masing lembaga.

Competition is a compulsory instrument of the global world. The existence of competition law requires an institution for the enforcement of the law. Authority of competition law enforcer has a big effect to the effectiveness of the enforcement of competition law. Law No. 5 Year 1999 mandated KPPU to enforce competition law in Indonesia. United States of America has been enforcing antitrust law from very long ago. Federal Trade Commission Act create a competition law enforcement agency named The Federal Trade Commission. Federal Trade Commission has a very broad scope of enforcement authority. By comparing KPPU's and FTC's law enforcement authority, the difference from each agency can be revealed. "
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2015
S60985
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yukiko Lyla Usman
"Pelaksanaan hukum persaingan usaha di Indonesia seperti menemukan nadinya pada saat lahirnya Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Persaingan Usaha Tidak Sehat dan Anti Monopoli. Undang-undang ini merupakan jawaban dari keinginan begitu banyak pihak agar diadakannya peraturan yang mengatur mengenai masalah persaingan usaha. Undangundang ini juga mengatur didirikannya sebuah badan yang bertugas mengawasi pelaksanaan persaingan usaha dan menegakkan hukum persaingan usaha di Indonesia. Badan ini disebut Komisi Pengawas Persaingan Usaha. Setelah 5 tahun keberadaan undang-undang ini, pelaksanaan hukum persaingan usaha di Indonesia dapat dikatakan terlaksana dengan cukup baik. Kinerja KPPU dirasakan juga sangat baik dengan jumlah kasus yang cukup banyak yang ditangani. Namun dalam pelaksanaannya masih ditemukan kendala-kendala, terutama dalam proses penanganan perkara persaingan usaha yang masuk ke KPPU. Hal ini dapat dibandingkan dengan pelaksanaan hukum persaingan usaha di Negara lain. Salah satu Negara yang sejak lama telah menegakkan hukum persaingan usaha adalah Amerika Serikat. Negara ini telah melindungi kegiatan usaha sejak tahun 1914 dengan adanya beberapa peraturan yang mengatur mengenai masalah persaingan usaha dan monopoli. Selain itu Amerika Serikat juga memiliki tiga badan yang fungsinya adalah untuk menegakkan hukum persaingan usaha. Ketiga badan tersebut adalah, Antitrust Division of Department of Justice, The Federal Trade Commission, dan The Attorney General For Each States. Dengan pengalamannya yang sudah lebih lama maka tentunya pelaksanaan hukum persaingan usaha di Amerika relatif lebih baik. Hal ini yang mendasari dilakukannya perbandingan antara proses penanganan perkara yang dilakukan oleh KPPU dengan proses yang dilakukan oleh FTC di Amerika Serikat."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004
S23758
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Akbar Syailendra Adi Buwono
"Putusan MK No. 85/PUU-XIV/2016 memperluas pengertian persekongkolan menjadi tidak hanya sebatas terhadap pelaku usaha lain saja, tetapi juga pihak yang berkaitan dengan pelaku usaha lain. Tak hanya itu, putusan tersebut juga membatasi kewenangan penyelidikan yang dimiliki KPPU menjadi hanya sebatas pengumpulan alat bukti sebagai bahan pemeriksaan. Jepang sebagai salah satu contoh negara yang telah memiliki hukum persaingan usaha sejak lama, telah memberikan definisi persekongkolan sebatas perilaku antarpelaku usaha. Disamping itu, hukum persaingan usaha di Jepang telah memberikan kewenangan yang cukup besar untuk melakukan penyelidikan kepada Japan Fair Trade Commission JFTC sebagaimana diatur dalam Act on Prohibition of Private Monopolization and Maintenance of Fair Trade Antimonopoly Act. Perbandingan kedua poin diatas akan memperlihatkan perbedaan-perbedaan yang terdapat diantara kedua negara. Penelitian ini dilakukan dengan metode yuridis normatif. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa penafsiran pihak lain yang juga mencakup pihak yang berkaitan dengan pelaku usaha lain merupakan suatu hal yang tidak tepat. Selain itu, KPPU juga masih belum diberikan dengan jelas tindakan apa saja yang dapat dilakukan dalam melakukan penyelidikan oleh UU No. 5 Tahun 1999. Oleh karena itu, diperlukan perbaikan dari UU No. 5 Tahun 1999 dalam rumusan pasal persekongkolan dan kewenangan yang dimiliki oleh KPPU secara tegas dan jelas untuk memberikan kepastian hukum bagi KPPU untuk menjalankan kewenangannya.

Constitutional courts verdict No. 85 PUU XIV 2016 extends the definition of bid rigging is not only limited to other business actors, but also parties related to other business actors. Furthermore, the decision also restraints KPPUs investigation authority as long as collecting evidence for examination. Japan, as one example of a country that has had long standing business competition law, has given the definition of bid rigging only to the behavior among business actors. In addition, Japan rsquo s law of business competition also gives a lot investigation authority to Japan Fair Trade Commission JFTC as provided in Act on Prohibition of Private Monopolization and Maintenance of Fair Trade Antimonopoly Act. The comparison of these two points will show the differences between both countries. This research was conducted by normative juridical method. The results of the study show that the interpretation of other parties that also includes parties related to other business actors is an imprecise thing. In addition, KPPU also still has not given clear what action can be done in conducting investigation by Law no. 5 of 1999. Therefore, the refinement of Law No. 5 Year of 1999 is required, regarding on formulation of bid rigging and KPPUs authority should be clear to give legal certainty for KPPU to exercise its authority."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kinasih Gadisa Nandipinta
"Tulisan ini menganalisis bagaimana kewenenangan lembaga pengawas persaingan usaha di Uni Eropa meninjau dugaan penyalagunaan posisi dominan oleh pelaku usaha yang melaksanakan non reportable transactions berdasarkan hukum persaingan usaha di Uni Eropa dan perbandingannya dengan hukum persaingan usaha Indonesia. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penulisan yuridis normatif. Transaksi merger antara badan usaha yang memenuhi threshold harus dinotifikasikan kepada lembaga pengawas persaingan usaha. Sementara itu, transaksi yang tidak memenuhi threshold (non-reportable transactions) bebas dari kewajiban notifikasi. Terdapat 2 (dua) jenis sistem notifikasi, yaitu ex-ante dimana notifikasi dilaksanakan sebelum transaksi berlaku efektif, dan ex-post dimana notifikasi dilaksanakan setelah transaksi berlaku efektif secara yuridis. Pada 2023, European Union Court of Justice (ECJ) mengeluarkan preliminary ruling dalam Putusan ECJ Case C-449/21. Pada putusan tersebut terdapat indikasi penyalahgunaan posisi dominan di pasar penyiaran televisi Prancis ketika suatu badan usaha bernama TDF melakukan non-reportable transaction berupa merger dengan kompetitornya yaitu Itas. Kompetitor TDF, yaitu Towercast, mengajukan gugatan menyatakan transaksi tersebut adalah penyalahgunaan posisi dominan dan seharusnya ditinjau kembali. Putusan ECJ menyatakan bahwa non-reportable transactions dapat ditinjau kembali oleh lembaga pengawas persaingan usaha secara ex-post. Putusan tersebut memberi kesadaran bahwa ada kekosongan hukum di hukum persaingan usaha mengenai potensi penyalahgunaan posisi dominan pada non-reportable transactions.

This paper analyzes the authority of business competition authorities in the European Union (EU) reviews allegations of abuse of dominant position by business actors through non-reportable transactions and its comparison with competition law in Indonesia. This paper was written using the normative juridical method. Mergers that meet thresholds must be notified to the business competition authorities. Transactions that do not meet the thresholds and are thus free from notification obligations are referred to as non-reportable transactions. There are two types of notification systems, namely ex-ante, where notification is carried out prior to a transaction becoming legally effective, and ex-post where the notification is carried out after the transaction becomes effective. In 2023, the EU Court of Justice (ECJ) issued a preliminary ruling in the decision of ECJ Case C-449/21. A company named TDF conducted a non-reportable transaction as it merged with its competitor in the television broadcasting market, named Itas. Its other competitor, Towercast, reported the transaction as an abuse of dominant position and therefore must be re-assessed. The results of the preliminary ruling states that non-reportable transactions can be reviewed ex-post by business competition authorities. The ruling raises awareness that an abuse of a dominant position can potentially be conducted through non-reportable transactions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kinasih Gadisa Nandipinta
"Tulisan ini menganalisis bagaimana kewenenangan lembaga pengawas persaingan usaha di Uni Eropa meninjau dugaan penyalagunaan posisi dominan oleh pelaku usaha yang melaksanakan non reportable transactions berdasarkan hukum persaingan usaha di Uni Eropa dan perbandingannya dengan hukum persaingan usaha Indonesia. Tulisan ini disusun dengan menggunakan metode penulisan yuridis normatif. Transaksi merger antara badan usaha yang memenuhi threshold harus dinotifikasikan kepada lembaga pengawas persaingan usaha. Sementara itu, transaksi yang tidak memenuhi threshold (non-reportable transactions) bebas dari kewajiban notifikasi. Terdapat 2 (dua) jenis sistem notifikasi, yaitu ex-ante dimana notifikasi dilaksanakan sebelum transaksi berlaku efektif, dan ex-post dimana notifikasi dilaksanakan setelah transaksi berlaku efektif secara yuridis. Pada 2023, European Union Court of Justice (ECJ) mengeluarkan preliminary ruling dalam Putusan ECJ Case C-449/21. Pada putusan tersebut terdapat indikasi penyalahgunaan posisi dominan di pasar penyiaran televisi Prancis ketika suatu badan usaha bernama TDF melakukan non-reportable transaction berupa merger dengan kompetitornya yaitu Itas. Kompetitor TDF, yaitu Towercast, mengajukan gugatan menyatakan transaksi tersebut adalah penyalahgunaan posisi dominan dan seharusnya ditinjau kembali. Putusan ECJ menyatakan bahwa non-reportable transactions dapat ditinjau kembali oleh lembaga pengawas persaingan usaha secara ex-post. Putusan tersebut memberi kesadaran bahwa ada kekosongan hukum di hukum persaingan usaha mengenai potensi penyalahgunaan posisi dominan pada non-reportable transactions.

This paper analyzes the authority of business competition authorities in the European Union (EU) reviews allegations of abuse of dominant position by business actors through non-reportable transactions and its comparison with competition law in Indonesia. This paper was written using the normative juridical method. Mergers that meet thresholds must be notified to the business competition authorities. Transactions that do not meet the thresholds and are thus free from notification obligations are referred to as non-reportable transactions. There are two types of notification systems, namely ex-ante, where notification is carried out prior to a transaction becoming legally effective, and ex-post where the notification is carried out after the transaction becomes effective. In 2023, the EU Court of Justice (ECJ) issued a preliminary ruling in the decision of ECJ Case C-449/21. A company named TDF conducted a non-reportable transaction as it merged with its competitor in the television broadcasting market, named Itas. Its other competitor, Towercast, reported the transaction as an abuse of dominant position and therefore must be re-assessed. The results of the preliminary ruling states that non-reportable transactions can be reviewed ex-post by business competition authorities. The ruling raises awareness that an abuse of a dominant position can potentially be conducted through non-reportable transactions."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
cover
cover
Chika Rananda Astari Putri
"Skripsi ini memberikan analisis terhadap putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha KPPU tentang dugaan pelanggaran Pasal 11 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 terkait pengaturan produksi bibit ayam pedaging broiler di Indonesia. Sejak tahun 2015, tengah ramai kasus mengenai kesepakatan yang dilakukan oleh 12 pelaku usaha pembibitan ayam untuk melakukan pengurangan produksi bibit ayam pedaging dengan cara melakukan afkir dini terhadap enam juta ekor Parent Stock, yang berdampak pada melambungnya harga ayam di pasaran. Dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif dalam skripsi ini, ditemukan bahwa dalam memutus perkara nomor 02/KPPU-I/2016 KPPU telah keliru dalam mempertimbangkan terpenuhinya unsur perjanjian dan unsur mengakibatkan praktik monopoli dan/ atau persaingan usaha tidak sehat yang terkandung dalam rumusan Pasal 11 UU No. 5 Tahun 1999.

This thesis provides an analysis of the decision of the Commission for the Supervision of Business Competition KPPU on the alleged violation of Article 11 of Law No. 5, 1999 related to limiting the production of Day Old broiler Chicken DOC in Indonesia. Since 2015, many discussed a case concerning an agreement made by 12 chicken breeding businesses to limit the production of Day Old Chicken by culling six million Parent Stocks, that leads to a soaring price of broiler chicken in the market. Through the method of normative legal research in this thesis, it was found that there was something amiss in considering the fulfillment of the elements of agreements and elements of resulting in monopolistic practices and or unfair business competition contained in the formulation of Article 11 of Law No. 5 Year 1999 by the Commission in deciding the case number 02 KPPU I 2016."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2017
S66712
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Helmi Nurjamil
"Thesis ini membahas konsep lembaga independen komisi pengawas persaingan usaaha (KPPU). Secara teori lembaga independen merupakan lembaga yang terlepas dari fungsi kekuasaan konvensional, yang umumnya memiliki fungsi kekuasaan campuran (mix function). Pembentukan lembaga independen merupakan suatu keniscayaan perkembangan kebutuhan negara-negara modern. Suatu lembaga dinyatakan sebagai lembaga independen seyogyanya tidak hanya berdasarkan yuridis-normatif saja namun juga perlu dikaji dengan indikator-indikator lembaga indendepnden. Dalam penelitian ini penulis memaparkan konsep lembaga independen KPPU, independen yang dinyatakan dalam UU No.5/99 tidak jelas dan multi tafsir.
Hasil penelitian ini melihat bahwa dalam implementasinya independen KPPU berada dalam runglingkup menjalankan tugas dan kewenangan, meskipun penegasan dalam UU No.5/99 independen KPPU berada dalam ruang lingkup lembaga. Perbandingan lembaga persaingan di beberapa negara juga turut andil dalam penelitian ini sebagai gambaran terhadap konsep lembaga persaingan. Hal tersebut diperlukan utamanya untuk melihat konsep lembaga serupa di negaranegara tersebut.

This thesis analyze the concept of an independent Commission for the Supervision Competition (KPPU). Theoretically independent institution is an institution apart from conventional power function, which generally have a mixture of power function. Establishment of an independent agency is a necessity developmental needs of modern states. An institution declared as an independent agency should not only based on the juridical-normative, but also need to be assessed by indicators indendepnden institutions. In this study the authors describe the concept of an independent of KPPU, an independent set forth in the Act No.5/99 unclear and multiple interpretations.
The results of this study that the KPPU is an independent implementation in duties and authority, although independent confirmation of the Law No.5/99 KPPU within the scope of the institution. Comparison of competition agencies in some countries also took part in this study as an illustration of the concept of competition agencies. This is necessary primarily to see the concept of similar bodies in these countries.
"
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
T35140
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>