Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 164847 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Seshariani Rahma Melati
"Penyakit asma adalah penyakit inflamasi (peradangan) kronik saluran pernapasan yang ditandai adanya mengi, batuk, dan rasa sesak di dada yang berulang dan timbul terutama pada malam atau menjelang pagi akibat penyumbatan saluran pernapasan. Pengobatan saat ini dinilai belum efektif dan memiliki efek samping berkepanjangan. Oleh karena itu, dikembangkan sistem penghantaran obat secara inhalasi sehingga obat dapat mencapai target ke paru-paru dan meminimalkan efek samping serta meningkatkan efikasinya. Sebagai salah satu obat herbal, ekstrak akar galangal terbukti mengandung senyawa bioaktif galangin dengan sifat antioksidan, antiinflamasi, dan antimikroba. Salah satu teknik yang banyak digunakan untuk menghantarkan obat adalah mikroenkapsulasi dengan menggunakan polimer kitosan. Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan formulasi optimum, profil rilis, sifat mukoadhesivitas dan karakteristik dari mikropartikel kitosan-alginat hirup bermuatan ekstrak akar galangal dengan metode ionotropik gelasi dan pengeringan beku. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui sifat anti-inflamasi, kandungan senyawa fenolik dan flavonoid, serta aktivitas antioksidan dari ekstrak akar galangal. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak akar galanagl dengan kemurnian 87,78% memiliki kandungan total fenolik mencapai 27,09 ± 3,59 mg GAE/g ekstrak, kadungan total flavonoid mencapai 38,0 mg QE/g ekstrak, sifat antioksidan ekuivalen sebesar 314.13 ± 25,71 µmol Fe (II)/g sampel ekstrak, dan IC50 DPPH sebesar 825 ppm, dan sifat antiinflamasi yang baik dengan nilai inhibisi denaturasi protein pada matriks kitosan-galangin 87,03%. Yield hasil pengeringan beku mikropartikel berada pada nilai ≥33% dengan pemuatan galangin rata-rata 29,97%. Formula dari mikropartikel kitosan bermuatan galangin dengan metode pengeringan beku mampu mencapai 24,77% selama 24 jam dalam media rilis PBS. Ukuran partikel hasil analisis SEM pada matrik kitosan-galangin adalah 204,93 nm. Sifat mukoadhesivitas dinyatakan dalam kemampuan adsorpsi musin mikropartikel yang berada pada rentang 23,29% - 79,86%

Asthma is a chronic inflammatory disease of the respiratory tract characterized by recurrent wheezing, coughing, and chest tightness that occurs mainly at night or in the early morning due to blockage of the respiratory tract. Current treatment is considered ineffective and has prolonged side effects. Therefore, a drug delivery system was developed by inhalation so that the drug can reach the target to the lungs and minimize side effects and increase its efficacy. As one of the herbal medicines, galangal root extract is proven to contain galangal bioactive compounds with antioxidant, anti-inflammatory, and antimicrobial properties. One technique that is widely used to deliver drugs is microencapsulation using chitosan polymer. This study aims to obtain the optimum formulation, release profile, mucoadhesive properties and characteristics of inhaled chitosan-alginate microparticles loaded with galangal root extract using ionotropic gelation and freeze-drying methods. In addition, this study also aims to determine the anti-inflammatory properties, the content of phenolic and flavonoid compounds, as well as the antioxidant activity of galangal root extract. The results showed that the galanagl root extract with a purity of 87.78% had a total phenolic content of 27.09 ± 3.59 mg GAE/g extract, a total flavonoid content of 38.0 mg QE/g extract, antioxidant properties equivalent to 314.13 ± 25.71 mol Fe (II)/g extract sample, and IC50 DPPH of 825 ppm, and good anti-inflammatory properties with the value of inhibition of protein denaturation in the chitosan-galangin matrix 87.03%. The yield of freeze-drying microparticles was at a value of 33% with an average galangin loading of 29.97%. The formula of galangin-loaded chitosan microparticles using the freeze-drying method was able to reach 24.77% for 24 hours in PBS release media. The particle size of the SEM analysis on the chitosan-galangin matrix was 204.93 nm. The mucoadhesive properties were expressed in the adsorption ability of mucin microparticles in the range of 23.29% - 79.86%."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Aflaha Ashari
"Prevalensi penyakit asma yang tinggi di Indonesia menyebabkan banyaknya penggunaan obat asma di fasilitas kesehatan. Penggunaan obat di fasilitas kesehatan harus mengikuti acuan yang berlaku secara nasional, yaitu Formularium Nasional. Oleh karena itu, perlu diadakan penelitian untuk mengevaluasi pola penggunaan obat asma pada pasien asma di Puskesmas Kecamatan Sukmajaya pada tahun 2015. Desain penelitian ini adalah deskriptif analitik dengan menggunakan metode ATC/DDD dan pengambilan data secara retrospektif dari resep pasien dan buku registrasi. Sampel adalah pasien asma yang diresepkan obat asma periode Januari hingga Desember 2015. Analisis dilakukan pada 338 data pasien asma yang memenuhi kriteria inklusi.
Berdasarkan hasil analisis, diperoleh prevalensi pasien asma terbanyak berjenis kelamin perempuan, kelompok usia di atas 45 sampai 65 tahun, dan pasien asma yang tidak mengikuti program BPJS. Obat asma yang digunakan adalah aminofilin, prednison, deksametason, dan salbutamol (5,03%). Penggunaan obat asma yang dinyatakan dalam DDD yaitu aminofilin (1562,33); prednison (809); deksametason (451,67); dan salbutamol (66,67). Nilai DDD/1000 pasien/hari yaitu aminofilin (12,37); prednison (6,56); deksametason (3,66); dan salbutamol (0,54). Obat asma yang menyusun segmen DU90% yaitu aminofilin (53,48%), prednison (28,35%), dan deksametason (15,83%). Penggunaan obat asma di Puskesmas Kecamatan Sukmajaya tahun 2015 sesuai dengan Formularium Nasional (70,97%).

The prevalence of asthma in Indonesia is high, followed by a lot of asthma drugs in healthcare facilities. The uses of drugs in health facilities must comply with applicable national reference that the national formulary. Therefore, there should be a study to evaluate usage patterns of asthma medication in asthma patients with ATC/DDD methode at Puskesmas Sukmajaya 2015. This is analytic descriptive study with ATC/DDD methode and data was collected retrospectively from patient prescriptions and registration books. Samples are asthma patients prescriptions that contain asthma drugs for period January to December 2015. 338 patients data those met the inclusion criteria were analized.
Based on the analysis, most prevalence of asthma in female, over 45 to 65 years group age, and payed without national healthy assurance system (BPJS). Asthma drugs that is used are aminophylline, prednisone, dexamethasone, and salbutamol. Quantity of drug utilization in DDD are aminophylline (1562,33); prednisone (809); dexamethasone (451,67); and salbutamol (66,67). The DDD/1000 patiens/day of asthma drugs are aminophylline (12,37); prednisone (6,56); dexamethasone (3,66); and salbutamol (0,54). Asthma drugs made up the DU90% were aminophylline (53,48%), prednisone (28,35%) and dexamethasone (15,83%). The uses of asthma drugs in Puskesmas Sukmajaya 2015 is compliance with national formulary (70,79%).;;
"
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2016
S65613
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Shellinna Kurniawati
"Asma merupakan salah satu masalah kesehatan yang ada pada masyarakat hampir di dunia. Menurut data yang didapatkan dari World Health Organization (WHO), pada tahun 2019 terdapat 262 juta pasien di seluruh dunia yang menderita asma, terutama di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Menurut perkiraan WHO, terdapat 455.500 orang meninggal akibat asma pada tahun 2019. Apotek merupakan salah satu sarana pelayanan kefarmasian dimana diselenggarakannya praktik kefarmasian oleh apoteker guna memberikan pelayanan kesehatan, termasuk penyediaan obat yang aman, bermutu, bermanfaat dan terjangkau. Apoteker harus dapat memahami dan menganalisa pengobatan yang diterima oleh pasien akan kemungkinan terjadinya kesalahan pengobatan, masalah terkait obat, masalah farmakoekonomi, dan memberikan edukasi kepada pasien mengenai tahapan terapi farmakologi dan non-farmakologi asma agar kualitas hidup dari pasien pengidap asma dapat meningkat dan menurunkan morbiditasnya. Metode pengkajian resep dilakukan dengan studi literatur dari ketentuan perundang- undangan dan monografi obat. Pengkajian resep dilakukan berdasarkan ketentuan perundang-undangan, meliputi telaah administrasi, kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis. Pencatatan informasi penting harus diberikan kepada pasien selama Pemberian Informasi Obat (PIO) atau konseling. Selama bulan Januari 2023, resep untuk indikasi penyakit asma masih belum memenuhi aspek pengkajian resep meliputi administrasi, kesesuaian farmasetik, dan pertimbangan klinis sesuai yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan terutama dalam aspek kesesuaian farmasetik dan pertimbangan klinis sehingga informasi dalam resep dinyatakan belum lengkap dan pengobatan yang diberikan belum terjamin keefektifan dan rasionalitasnya. Edukasi yang diberikan untuk pasien asma dapat diberikan berdasarkan terapi farmakologi dan terapi non-farmakologi. Selain itu, juga diperlukan kerjasama yang baik dengan pasien maupun keluarga agar pengobatan dapat tercapai dengan optimal.

Asthma is one of the health problems that exist in the world. According to data obtained from the World Health Organization (WHO), in 2019 there were 262 million patients worldwide who suffer from asthma, especially in low- and middle-income countries. According to WHO, there are apporximately 455,500 people died from asthma in 2019. Pharmacy provides pharmaceutical service facility where pharmacists provide health services, including the provision of safe, quality, useful and affordable medicines. Pharmacists must be able to understand and analyze the treatment received by patients about the possibility of medication errors, drug-related problems, pharmacoeconomic problems, and provide education to patients regarding the stages of pharmacological and non- pharmacological therapy for asthma so that the quality of life can increase and reduce morbidity. The prescription review method is carried out by literature study of statutory provisions and drug monographs. Prescription review is carried out based on statutory provisions, including administrative review, pharmaceutical suitability, and clinical considerations. A record of important information should be provided to the patient during the Drug Information Administration or counselling. During January 2023, prescriptions for asthma did not meet the aspects of prescription review including administration, pharmaceutical suitability, and clinical considerations as stipulated in laws and regulations, especially in pharmaceutical suitability and clinical considerations because the prescription was declared incomplete and treatment effectiveness and rationality have not been guaranteed. Education for asthma patients can be given based on pharmacological therapy and non-pharmacological therapy. In addition, good cooperation with patients and families is needed for an optimized treatment."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
PR-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Nadina Sabila Amany
"ABSTRAK
Fortifikasi pangan dianggap merupakan upaya yang paling sesuai untuk mengurangi penderita anemia akibat kekurangan zat besi atau Anemia Defisiensi Besi ADB. Namun, fortifikasi besi secara langsung dapat menurunkan kualitas organoleptis dan memperpendek masa simpan karena besi mudah mengalami oksidasi pada kondisi pH tertentu. Metode mikroenkapsulasi dipandang sebagai metode yang tepat untuk melindungi besi pada kondisi fluida tubuh, seperti lambung dan usus halus. Untuk mendapatkan mikropartikel yang efektif dalam mengkapsulasi besi II, modifikasi pada jumlah polimer diperlukan. Metode enkapsulasi yang digunakan adalah gelasi ionik yaitu menyalut 0,1g besi fumarat dengan polimer kitosan-alginat yang divariasikan berdasarkan rasio kitosan:alginat 0,5:0,5; 0,75:0,5; 1:0,5; serta 1,25:0,5g. Hasil penelitian menunjukkan efisiensi enkapsulasi terbesar terdapat pada mikropartikel dengan kitosan 1,25g yaitu 62,66 dan loading capacity terbesar pada mikropartikel dengan kitosan 1g yaitu 1.92. Berdasarkan hasil uji karakteristik mikropartikel dengan analisis SEM dan FTIR, dapat diketahui bahwa besi fumarat berhasil terjerap dalam mikropartikel kitosan-alginat. Seluruh mikropartikel menghasilkan pola pelepasan cepat dengan pelepasan kumulatif terendah pada jumlah kitosan 0,5g yaitu 58 dan tertinggi pada kitosan 2,5g yaitu 94. Hasil uji pelepasan dari mikropartikel kitosan-besi fumarat tersalut alginat menunjukan potensi formulasi untuk digunakan dalam fortifikasi pangan yang memilki target pelepasan sistem pencernaan.

ABSTRACT
Food fortification is considered to be the most suitable way to reduce iron deficiency anemia IDA. However, iron fortification can directly decrease organoleptic quality and shorten the shelf life because iron is susceptible to oxidation under certain pH conditions. The microencapsulation method is seen as an appropriate method for protecting iron in the fluid conditions in human body. To obtain microparticles that effective in encapsulating iron II, modification of polymer used is needed. Encapsulation was using 0.1 g of ferrous fumarate and coated with chitosan alginate polymer using ionic gelation method, which is varied on chitosan quantity in the microparticle as 0.5g, 0.75g, 1g, and 1.25g. Microencapsulation with 1.25 g of chitosan resulted the largest encapsulation efficiency as 62.66 and the largest loading capacity from microparticle with 1g chitosan that is 1.92. Based on the result of characteristic test with SEM and FTIR analysis, it can be seen that ferrous fumarate succeed to be encapsulated in chitosan alginate microparticles. Microparticle chitosan ferrous fumarate coated with alginate were found showing variated release profil in pH 7.4 58,8 94,8. Observations on in vitro release test of iron compounds indicate the potential of this formula used as food fortification that target is for digestive system."
2018
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dinda Restu Anggita
"Tuberkulosis merupakan salah satu penyakit yang menyerang saluran pernapasan dan salah satu obat yang digunakan adalah antibiotik rifampisin. Walaupun terapi oral rifampisin untuk pasien tuberkulosis sudah tersedia, terapi secara inhalasi yang menargetkan langsung ke paru dan alveolus diharapkan memberikan hasil yang lebih baik. Oleh karena itu diperlukan inovasi serbuk kering inhalasi yang dapat digunakan dalam regimen terapi tuberkulosis. Penelitian terhadap pengembangan obat TB dalam bentuk serbuk kering sudah ada, namun belum ada yang mengombinasikan kitosan dengan gelatin. Pada penelitian ini dilakukan formulasi, karakterisasi, dan evaluasi sitotoksisitas dari lima serbuk kering inhalasi rifampisin dengan pembawa kitosan-gelatin dengan variasi konsentrasi kitosan dan gelatin. Serbuk dibuat menggunakan metode semprot kering, kemudian dianalisis bentuk dan ukuran partikel geometris dan aerodinamisnya, lalu diuji pelepasannya dalam larutan dapar fosfat pH 7,4 dan SLS 0,05%, dan dalam larutan KHP pH 4,5. Formulasi dengan profil pelepasan yang paling baik diambil untuk diuji sitotoksisitasnya. Berdasarkan hasil penelitian dipilih F3 (Kit-Gel 2:1) sebagai formula terbaik dengan bentuk partikel sferis, rentang diameter partikel geometris 0,825-1,281 μm dan ukuran partikel aerodinamis 11,857 ± 1,259 μm, dengan persentase rifampisin kumulatif yang terdisolusi dalam dapar fosfat sebesar 45,894 ± 0,876% dan dalam larutan KHP sebesar 42,117 ± 0,912%. Uji sitotoksisitas dilakukan dengan metode MTT assay dan parameter viabilitas sel. Serbuk F3 lebih aman digunakan daripada rifampisin dalam konsentrasi 0,1 mg/mL dengan viabilitas sel sebesar 91,68%.

Tuberculosis is a respiratory tract disease in which one of the first-line agents used is rifampicin. Oral rifampicin for TB patients is widely available, but inhalation therapy that targets the lungs and alveolus directly could give a better outcome. This drives the need for developing a dry inhalation powder that could be incorporated into the therapeutic regimen of TB. Previous studies on the development of TB medication have been performed, but the application of combination of excipients of chitosan and gelatin as carrier has not been studied. In this study, formulation, characterization, and cytotoxicity evaluation of five rifampicin dry inhalation powders with various concentration of its chitosan-gelatin carrier were studied. The powder was produced with dry-spraying method. Its shape, aerodynamic and geometric particle size were then analyzed. Its releasing profile in phosphate buffer (pH 7.4 and SLS 0.5%) and potassium hydrogen phthalate (pH 4.5) was also tested. Formulation with the best releasing profile was used for cytotoxicity test. F3 (Chit-Gel 2:1) showed the best profile with spherical particle shape and geometric and aerodynamic particle size 0.825-1.281 μm and 11.857 ± 1.259 μm respectively, the cumulative rifampicin percentage dissolved in phosphate buffer and potassium hydrogen phthalate (KHP) were 45.894 ± 0.876% and 42.117 ± 0.912%, respectively. Cytotoxicity evaluation was conducted using MTT assay method with cell viability as the parameter. F3 is less cytotoxic than rifampicin in 0.1 mg/mL with cell viability 91.68%."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Bahagia Wiba Cyntia
"ABSTRAK
Untuk memformulasikan serbuk inhalasi tertarget makrofag dibutuhkan eksipien dengan karakteristik yang sesuai untuk dapat membawa obat sampai makrofag. Penelitian sebelumnya membuktikan bahwa kombinasi kitosan dan gum xanthan memiliki indeks mengembang yang baik pada pH makrofag sehingga dapat dijadikan sebagai eksipien tertarget makrofag. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat serbuk inhalasi menggunakan kitosan-xanthan KX sebagai pembawa yang dapat menahan pelepasan obat pada cairan paru pH 7,4 dan memfasilitasi pelepasan obat pada cairan makrofag paru pH 4,5 . KX dibuat dengan mencampurkan kitosan dan gum xanthan perbandingan 1:1, 1:2, dan 2:1. KX kemudian dikarakterisasi meliputi penampilan, bentuk morfologi, uji termal, spektrum inframerah, derajat keasaman, dan viskositas. Serbuk kering inhalasi dibuat dengan menggunakan rifampisin sebagai model obat dan lima eksipien berbeda yaitu kitosan, gum xanthan, KX l:1, 1:2, 2:1. Serbuk inhalasi dikarakterisasi penampilan, morfologi, kadar air, distribusi ukuran partikel, kadar zat aktif, efisiensi penjerapan, dan pelepasan obatnya. Serbuk inhlasi dengan karakteristik terbaik yaitu formula 3 dengan eksipien KX 1:1 yang menghasilkan rendemen 22,48 , rentang ukuran 1,106 ndash; 3,580 m, efisiensi penjerapan sebanyak 120,162 , dan dapat melepas obat sebanyak 3,145 dalam medium pH 7,4 dan sebanyak 23,774 dalam medium pH 4,5. Berdasarkan penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa eksipien KX 1:1 dapat digunakan sebagai pembawa dalam formulasi serbuk inhalasi rifampisin.

ABSTRACT
Suitable excipient with certain characteristics is required in formulating inhalation powder to deliver drug into macrophage. Previous study had shown that the combination of chitosan and gum xanthan had remarkable swelling properties at macrophage condition pH 4.5 , thus it is suitable to be used as a macrophage targeted excipient. This study aimed to produce dry powder inhalation of rifampicin using chitosan xanthan CX as a carrier that can sustain drug release in lung fluid pH 7.4 and facilitate drug release in pulmonary macrophage fluid pH 4,5 . CX was prepared by mixing the chitosan and xanthan gum with the ratio 1 1, 1 2, and 2 1. Physical appearance, morphology, thermal properties, functional group, acidity, and viscosity of CX were then characterized. The inhalation powder were formulated by using rifampicin as a drug model and five different excipients which were chitosan, gum xanthan, and CX 1 1, 1 2, 2 1. Physical appearance, morphology, moisture content, and drug release of each formula of inhalation powder was evaluated. This study showed that rifampicin CX 1 1 was the best formula with yield of 22.48 , partical size range of 1.106 ndash 3.580 m, entrapment efficiency of 120.162 , and release 3,145 of rifampicin at pH 7.4 and 23.774 of rifampicin at pH 4.5. Based on these results, it can be concluded that CX 1 1 is a suitable excipient to formulate dry powder inhalation of rifampicin. "
2017
S69422
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dennis Chan
"Daun Kejibeling merupakan tanaman herbal yang kaya akan kandungan polifenol yang bermanfaat bagi kesehatan manusia. Salah satu metode yang efektif untuk mengekstrak kandungan polifenol adalah UA-ATPE (Ultrasound Assisted – Aqueous Two-Phase Extraction) yang dilakukan secara simultan, dimana kondisi operasi yang optimum harus disesuaikan dengan karakteristik dari Daun Kejibeling sendiri. Pada penelitian ini, dilakukan optimasi tiga parameter ekstraksi untuk memperoleh kandungan TPC (Total Phenolic Content) dan TFC (Total Flavonoid Content) tertinggi ekstrak yaitu waktu ekstraksi dengan variasi 20, 30, 45, 60 dan 75 menit; rasio bahan dengan pelarut dengan variasi 1:15 w/v, 1:20 w/v, 1:25 w/v, 1:30 w/v dan 1:35 w/v; dan suhu ekstraksi dengan variasi 30, 40, 50 dan 60°C. Ekstrak diuji kandungan TPC dengan larutan standar asam galat, dan kandungan TFC dengan larutan standar kuersetin pada alat spektrofotometri UV-Vis secara triplo. Hasil optimasi membuktikan bahwa kondisi optimum diperoleh pada waktu ekstraksi 60 menit dan rasio bahan dengan pelarut 1:20 w/v dengan TPC dan TFC fasa atas sebesar 3,819 mg GAE (Gallic Acid Equivalent)/g sampel dan 2,735 mg QE (Quercetin Equivalent)/g sampel, serta pada suhu ekstraksi 50°C dengan TPC dan TFC fasa atas sebesar 4,346 mg GAE/g sampel dan 3,093 mg QE/g sampel.

Kejibeling leaves are herbal plants rich in polyphenol content which are beneficial for human health. One of the effective methods for extracting polyphenol content is with Ultrasound Assisted – Aqueous Two-Phase Extraction carried out simultaneously, where the optimum extraction condition must be adjusted to the characteristics of the Kejibeling leaf itself. Three extraction parameters were optimized to obtain the highest TPC (Total Phenolic Content) and TFC (Total Flavonoid Content) from extracts, including extraction time with variations of 20, 30, 45, 60 and 75 minutes; material-to-solvent ratio with variations of 1:15 w/v, 1:20 w/v, 1:25 w/v, 1:30 w/v and 1:35 w/v; and extraction temperature with variations of 30, 40, 50 and 60 Celsius. The extracts will be tested for TPC values ​​with Gallic Acid standard solution, and TFC values ​​with Quercetin standard solutions on UV-Vis spectrophotometry in triples. The optimization results prove that optimal conditions are obtained at extraction time of 60 minutes and the material-to-solvent ratio of 1:20 w/v with TPC and TFC of upper phase are 3.819 mg GAE (Gallic Acid Equivalent)/g sample and 2.735 mg QE (Quercetin Equivalent)/g sample, and at extraction temperature of 50 Celsius with TPC and TFC of upper phase are 4,346 mg GAE/g sample and 3,093 mg QE/g sample."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lumban Gaol, Hasiana
"Latar Belakang: Penggunaan jangka panjang steroid sebagai kontrol inflamasi pada uveitis non-infeksi dan idiopatik dapat menyebabkan efek samping, dan hal tersebut memicu kebutuhan untuk agen imunomodulator lainnya. Penggunaan herbal dan obat tradisional saat ini sedang meningkat. Beberapa herbal memiliki efek imunomodulator dan diduga memiliki peran dalam uveitis. Akan tetapi, bukti penggunaan herbal pada uveitis belum diketahui secara pasti.
Tujuan: Untuk meninjau bukti-bukti ilmiah mengenai efikasi, keamanan, dan mekanisme penggunaan herbal pada uveitis dan model uveitis.
Metode: Tinjauan sistematis berdasarkan panduan Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-analysis. Kata kunci uveitis dan herbal serta sinonim terkait digunakan pada database PubMed, CENTRAL, dan ScienceDirect. Penelitian herbal sebagai terapi ajuvan uveitis pada manusia dan penelitian herbal pada model uveitis dipilih. Penelitian kemudian ditelaah dan dinilai validitasnya.
Hasil: Dua uji klinis, satu laporan kasus, dan 32 penelitian hewan mengenai penggunaan herbal pada uveitis ditelaah secara kualitatif. Intervensi ekstrak Echinacea purpurae (pada uveitis anterior) dan kurkuma menghasilkan proporsi kasus inaktif yang tinggi: 85.70% dan 81.48%. Durasi bebas steroid pada kelompok ajuvan Echinacea lebih lama secara signifikan dibandingkan kelompok steroid saja (p<0.05). Intervensi herbal pada model uveitis mencakup 8 preparat herbal, 14 ekstrak herbal, dan 18 komponen herbal. Flare akuos dan skor klinis menurun secara signifikan. Penelitian yang didapat menunjukkan tak adanya efek samping atau kematian.
Kesimpulan: Echinacea dan kurkuma menunjukkan potensi yang baik, sementara Gardeniae fructus, Scutellariae radix, Berberis aristata, dan Yanyankang potensial untuk dilanjutkan menjadi penelitian klinis. Penelitian dengan level of evidence yang lebih tinggi dan risiko bias yang lebih rendah masih dibutuhkan. Data keamanan masih minimal. Mekanisme yang didapat dapat menjadi landasan untuk penelitian lanjutan.

Background: In non-infectious and idiopathic uveitis, long-term corticosteroid use can lead to undesirable side effects, and it warrants the need for other immunomodulatory agents. Use of herbal or traditional medicine is currently on rise. Some herbs displayed immunomodulatory features and are expected to have a role in managing uveitis. However, herbal roles in uveitis have not been established yet.
Objective: To review the human and animal evidence of herbal efficacy, safety, and mechanisms in uveitis.
Method: A systematic review was performed using standardised Preferred Reporting Items for Systematic Reviews and Meta-analysis guideline. Uveitis and herbal-related keywords were entered in PubMed, CENTRAL, and ScienceDirect databases to obtain evidences regarding herbal therapy in clinical (as adjuvant) and pre-clinical trials. The selected studies were reviewed, extracted, and assessed for their validities.
Result: Two clinical trials, one case report, and thirty-two animal studies were qualitatively reviewed. Echinacea purpurae extract (in anterior uveitis) and curcuma displayed high efficacy in inactive case proportion: 85.70% and 81.48%, respectively. Steroid-free duration in Echinacea adjuvant group was significantly longer than steroid group (p<0.05). Herbal intervention in experimental model consisted of eight herbal preparation, fourteen herbal extracts, and eighteen herbal components, with decreased aqueous flare measurement and clinical scoring, and no mortality. Review on animal models proposed an involvement of both innate and adaptive immunity in herbs mechanisms.
Conclusion: Echinacea and curcumin showed good potencies, while Gardeniae fructus, Scutellariae radix, Berberis aristata, and Yanyankang were potential to be continued as clinical trial. Studies with higher level of evidence and lower risk of bias are still needed. There were still lack of safety data. The proposed mechanisms were a good foundation to design further research.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2007
615.321 IND a III (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia, 2008
615.321 IND a IV (1)
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>