Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 63669 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Dian Araminta Ramadhania
"Pasien kanker kepala-leher berisiko tinggi mengalami malnutrisi disebabkan oleh perubahan metabolisme, lokasi tumor, serta gejala toksisitas akut akibat kemoradiasi. Terapi medik gizi secara dini sejak pasien terdiagnosis kanker untuk mencapai asupan energi dan protein yang adekuat, didukung asupan branched-chain amino acid (BCAA) dan eicosapentaenoic acid (EPA) sesuai target, serta aktivitas fisik dapat menjaga massa otot dan status gizi pasien. Acute kidney injury (AKI) merupakan efek toksisitas obat kemoterapi berbasis platinum yang sering dialami pasien. Kondisi tersebut dapat menghambat optimalisasi pemberian nutrisi khususnya protein pada pasien kanker. Tiga dari empat pasien serial kasus sudah mengalami penurunan berat badan drastis, juga pre-kaheksia atau kaheksia sebelum mendapat terapi medik gizi. Selama menjalani kemoradiasi, asupan keempat pasien mengalami penurunan akibat gejala toksisitas akut yang semakin memberat mulai minggu ke-2 radiasi, sehingga tiga dari empat pasien tidak dapat mencapai target asupan energi dan protein pada sebagian besar pemantauan, dengan kisaran antara 6–41 kkal/kgBB/hari dan 0,3–1,6 g/kgBB/hari. Pemberian oral nutrition supplements (ONS) dan nutrisi enteral melalui nasogastric tube (NGT) membantu pemenuhan makronutrien, mikronutrien, serta nutrien spesifik. Berbagai studi menyatakan bahwa pasien yang mendapat terapi medik gizi disertai konseling nutrisi rutin mengalami penurunan berat badan lebih sedikit selama menjalani kemoradiasi. Keempat pasien serial kasus ini mengalami penurunan berat badan >10% selama menjalani kemoradiasi, terutama dari penurunan massa otot. Pasien juga mengalami penurunan kapasitas fungsional dan kualitas hidup. Dua orang pasien yang mendapat terapi medik gizi sejak sebelum kemoradiasi disertai asupan nutrien spesifik sesuai target, dengan rentang asupan BCAA 3,5–16,2 g/hari dan EPA 1–1,38 g/hari, mengalami penurunan berat badan dan kualitas hidup relatif lebih sedikit dibanding dua pasien lainnya. Dibutuhkan asupan energi ≥30 kkal/hari dan asupan protein ≥1,2 g/hari disertai peningkatan aktivitas fisik untuk mempertahankan atau meningkatkan massa otot. Penurunan asupan masih dapat terjadi hingga beberapa minggu pascakemoradiasi, sehingga pemberian terapi medik gizi juga harus dilanjutkan setelah terapi kanker selesai.

Patients with head and neck cancer are at risk of malnutrition as a result of the metabolic alteration, site of their cancer, also acute toxicity following chemoradiation therapy. Early nutrition intervention consisted of adequate energy, protein, BCAA, and EPA intake, including physical activity initiated immediately after diagnosis was made, may maintain skeletal muscle mass and nutritional status. Platinum-based chemotherapy drug-induced nephrotoxicity can hinder the optimization of protein intake in cancer patients. Three out of four patients in this case series had experienced severe weight loss, also pre-cachexia and cachexia before initiation of nutrition intervention. Energy and protein intake of three patients remained insufficient until the end of chemoradiation therapy, ranged from 6–41 kcal/kg/day and 0,3–1,6 g/kg/day. These inadequacies were mainly caused by acute radiation toxicities that worsen as radiation went on. Oral nutrition supplements and enteral tube feeding may help to achieve adequate macronutrient, micronutrient, and specific nutrient intake. A number of studies demonstrated that regular dietary counseling during chemoradiation was associated with less weight loss. All patients in this case series suffered from weight loss >10%, mainly from skeletal muscle loss. Functional status and quality of life during chemoradiation therapy were also reduced. Better quality of life and less weight loss were seen in two patients who received early nutrition intervention and reached the daily intake target of specific nutrient, ranged from 3,5–16,2 g/day for BCAA and 1–1,38 g/day for EPA. Energy intake ≥30 kcal/day and protein intake ≥1,2 g/day combined with increased physical activity are needed to maintain or increase muscle mass. Side effects of radiation can last for months after treatment; therefore, nutrition intervention should be continued to maintain good nutrition after radiation therapy."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ruth Vonky Rebecca
"Latar Belakang : Kejadian AKI di unit perawatan intensif berhubungan dengan peningkatan mortalitas, morbiditas pasca AKI dan biaya perawatan tinggi. Penelitian mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan mortalitas pasien AKI di unit perawatan intensif di Indonesia khususnya RSUPN dr. Cipto Mangungkusumo belum pernah dilakukan.Tujuan: Mengetahui prevalensi AKI, angka mortalitas pasien AKI, dan faktor- faktor yang berhubungan dengan peningkatan mortalitas pasien AKI di unit perawatan intensif di ICU RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo.Metode : Penelitian kohort retrospektif terhadap seluruh AKI di unit perawatan intensif di RSUPN Cipto Mangunkusumo periode Januari 2015 ndash; Desember 2016. Dilakukan analisis hubungan bivariat saampai dengan multvariat dengan STATA Statistics 15.0 antara faktor usia >60 tahun, sepsis, ventilator, durasi ventilator, dialisis, oligoanuria, dan skor APACHE II saat admisi dengan mortalitas. Hasil : Prevalensi pasien AKI di unit perawatan intensif didapatkan 12,25 675 dari 5511 subjek dan sebanyak 220 subjek 32,59 dari 675 subjek yang dianalisis meninggal di unit perawatan intensif. Faktor-faktor yang berhubungan dengan peningkatan mortalitas pada analisis multivariat adalah sepsis OR 6,174; IK95 3,116-12,233 , oligoanuria OR 4,173; IK95 2,104-8,274 , ventilator OR 3,085; IK95 1,348-7,057 , skor APACHE II saat admisi 1/2 [OR 1,597; IK95 1,154-2,209], dan durasi ventilator OR 1,062; IK95 1,012-1,114 . Simpulan : Prevalensi pasien AKI dan angka mortalitasnya di unit perawatan intensif RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo didapatkan sebesar 12,25 dan 32,59 . Sepsis, oligoanuria, ventilator, skor APACHE II saat admisi 1/2, dan durasi ventilator merupakan faktor-faktor yang berhubungan bermakna dengan peningkatan mortalitas pasien AKI di unit perawatan intensif. Kata Kunci : Acute Kidney Injury, Faktor Risiko, Mortalitas, Unit Perawatan Intensif

Background Acute kidney Injury AKI in ICU associated with increased mortality rate, morbidity post AKI, and high health care cost. There is no previous study about factors associated with mortality of AKI patients in ICU in Indonesia, especially at dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital.Aim To identify prevalence, mortality rate, and factors associated with mortality of AKI patients in ICU.Method This is a retrospective cohort study. Data were obtained from all of medical records of AKI patients period January 2015 until December 2016 in ICU at Cipto Mangunkusumo hospital. Association of risk factors age 60 years old, sepsis, ventilator, duration of ventilator, oligoanuria, and APACHE II score at admission and mortality will be analyzed using STATA Statistics 15.0. Results AKI prevalence in ICU was 12,25 675 subjects from total 5511 subjects . A total of 220 subjects out of 675 subjects AKI died at ICU. Sepsis OR 6,174 95 CI 3,116 12,233 , oligoanuria OR 4,173 95 CI 2,104 8,274 , ventilator OR 3,085 95 CI 1,348 7,057 , APACHE II score at admission 1 2 OR 1,597 95 CI 1,154 2,209 , and duration of ventilator OR 1,062 95 CI 1,012 1,114 . were significant factors associated with mortality of AKI patients in ICU. Conclusion AKI prevalence and mortality rate in ICU at dr. Cipto Mangunkusumo National Central General Hospital were 12,25 and 32,59 . Sepsis, oligoanuria, ventilator, APACHE II score at admission 1 2, and duration of ventilator were significant factors associated with mortality of AKI patients in ICU. Keywords Acute Kidney Injury, Intensive Care Unit, Mortality, Risk Factor "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
T58890
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Elvia AS
"Latar Belakang : Insiden Acute Kidney Injury (AKI) pada pasien coronavirus disease 2019 (COVID-19) yang dirawat di Intensive Care Unit (ICU) yang dilaporkan dari berbagai penelitian adalah 23% sampai dengan 81% dengan mortalitas yang makin tinggi dengan semakin tingginya serum kreatinin. Terdapat perbedaan komorbiditas yang mendasari populasi yang diperiksa, serta variasi dalam praktik dan metode diagnosis dan pelaporan AKI. Evaluasi dini pemantauan fungsi hati, ginjal, serta parameter hematologi, sangat penting untuk memprediksi perkembangan COVID-19. Berdasarkan hal diatas perlu diketahui variabel apa yang dapat mempengaruhi terjadinya AKI.
Tujuan : Tujuan penelitian ini adalah menganalisis insiden AKI pada pasien COVID-19 yang dirawat di ICU RSCM dan menganalisis pengaruh umur, jenis kelamin, komorbid, kreatinin, ureum, trombosit, leukosit, nilai Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR), C- Reactive Protein (CRP), obat vasoaktif dan obat nefrotoksik terhadap angka kejadian AKI pada pasien COVID-19 yang dirawat di ICU RSCM.
Metode : Penelitian ini merupakan studi observasional retrospektif dengan desain case control study. Data yang digunakan adalah data sekunder dari rekam medis pasien COVID-19 yang dirawat di ICU RSCM. Kriteria penerimaan adalah pasien dengan usia
≥ 18 tahun dan terkonfirmasi COVID-19 dengan RT-PCR positif. Kriteria penolakan adalah pasien dengan riwayat transplantasi ginjal, dan pasien Chronic Kidney Disease (CKD) gagal ginjal yang menjalani dialisis. Kriteria pengeluaran adalah pasien dengan data rekam medis yang tidak lengkap.
Hasil : Dari 370 pasien yang terkonfirmasi COVID-19 yang dirawat di ICU RSCM, 152 pasien memenuhi kriteria inklusi dari 148 subjek yang direncanakan. Hasil analisis bivariat didapatkan usia, komorbid, ureum, kreatinin dan obat vasoaktif mempunyai perbedaan bermakna terhadap angka kejadian AKI. Setelah dilakukan analisis multivariat regresi logistik didapatkan komorbid (odd ratio 2,917; 95 % confidence interval, 1,377 – 6,179; p value 0,005) dan obat vasoaktif (odd ratio 2,635; 1,226 – 5,667, p value 0,013) merupakan faktor prediktor AKI pada pasien COVID-19 yang dirawat di ICU RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Kesimpulan : Insiden AKI pada pasien COVID-19 yang dirawat di ICU RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta adalah 30,9%. Komorbid dan obat vasoaktif merupakan faktor prediktor AKI pada pasien COVID-19 yang dirawat di ICU RSUPN dr Cipto Mangunkusumo Jakarta.

Background: The incidence of Acute Kidney Injury (AKI) in COVID-19 patients treated in the Intensive Care Unit (ICU) reported from various studies is 23% to 81%, with higher mortality with higher serum creatinine. There are differences in the underlying comorbidities of the populations examined, as well as variations in practice and methods of diagnosing and reporting AKI. Early evaluation and monitoring of liver and kidney function, as well as hematological parameters, is very important to predict the development of COVID-19. By examining the predictor factors for the incidence of AKI in COVID-19 patients treated in the RSCM ICU, were there any predictor factors that were different from previous studies.
Purpose: The aim of this study was to analyze the incidence of AKI in COVID-19 patients treated at the RSCM ICU and to analyze the effect of age, gender, comorbidities, creatinine, urea, platelets, leukocytes, Neutrophil Lymphocyte Ratio (NLR), CRP, vasoactive drugs, and nephrotoxic drugs on the incidence of AKI in COVID-19 patients treated in the RSCM ICU.
Methods: This research is a retrospective observational study with a case-control study design. The data to be used is secondary data from the medical records of COVID-19 patients treated in the RSCM ICU. The acceptance criteria are patients aged ≥ 18 years and confirmed COVID-19 by positive RT-PCR. The criteria for rejection were patients with a history of kidney transplantation, and CKD patients undergoing dialysis. The exclusion criteria were patients with incomplete medical record data.
Results: Of the 370 patients with confirmed COVID-19 who were treated at the RSCM ICU, 152 patients met the inclusion criteria of the 148 planned subjects. The results of bivariate analysis showed that age, comorbidities, urea, creatinine, and vasoactive drugs had significant differences in the incidence of AKI. After multivariate logistic regression analysis, we found comorbid (OR 2.917; 95% CI, 1.377 – 6.179; p value 0.005) and vasoactive drugs (OR 2.635; 1.226 – 5.667, p value 0.013) is a predictor factor for AKI in COVID-19 patients treated at the ICU RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
Conclusion: Incidence of AKI in COVID-19 patients treated at ICU RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta is 30.9%. Co-morbidities and vasoactive drugs are predictors of AKI in COVID-19 patients treated at the ICU RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sidabutar, Juniara Salomo
"Latar Belakang: Gangguan ginjal akut sering terjadi pada penderita sirosis hati dan berhubungan dengan meningkatnya mortalitas. Model prediksi terjadinya gangguan ginjal akut yang dapat dihitung saat masuk perawatan diharapkan dapat mnemukan pasien yang memiliki resiko dehingga dapat dilakukan upaya mencegah terjadinya gangguan ginjal akut.
Tujuan: Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui hubungan antara perdarahan saluran cerna, riwayat parasintesis besar, skor MELD, sepsis, peritonitis bakterial spontan, kadar albumin serum, kadar hemoglobin dan rasio netrofil terhadap limfosit dengan terjadinya gangguan ginjal akut pada pasien sirosis hati dan membuat suatu model prediksi terjadinya gangguan ginjal akut pada pasien sirosis hati.
Metode: : Analisis data dilakukan terhadap 209 pasien sirosis hari yang dirawat inap di RSUPN Cipto Mangunkusumo dari tanggal 1 January 2019 hingga 31 December 2019. Gangguan ginjal akut didefenisikan dengan terjadinya peningkatan kadar kreatinin serum ≥ 0.3 mg/dL dalam 48 perawatan.
Hasil: Terdapat 45 pasien (21,5%) mengalami gangguan ginjal akut.. rasio netrofil terhadap limfosit (p<0.001), skor MELD (p<0.001) and kadar albumin serum (p<0.001) berhubungan dengan terjadinya gangguan ginjal akut. Rasio netrofil limfosi lebih dari 8 (nilai prediksi 2), kadar bilirubin total serum lebih dari 1,9 (nilai prediksi 2) dan kadar albumin serum kurang dari 3(nilai prediksi 1) merupakan nilai batas untuk prediksi. Skor prediksi ≥4 dapat menjadi prediktor terjadinya gangguan ginjal akut pada pasien sirosis hati dengan sensitifitas 97,3%.
Simpulan: Rasio netrofil terhadap limfosit, skor MELD, kadar albumin serum berhubungan dengan terjadinya gangguan ginjal akut pada penderita sirosis hati yang dirawat inap.Suatu sistem skor dengan menggunakan rasio netrofil terhadap limfosit, kadar bilirubin total serum dan kadar albumin serum merupakan prediktor yang dapat digunakan untuk prediksi terjadinya gangguan ginjal akut ini.

Background : Development of acute kidney injury (AKI) is common and is associated with poor outcomes. A risk prediction score combining values easily measured at admission could be valuable to stratify patients for prevention, monitoring and early intervention, ultimately improving patient care and outcomes.
Objective: This study aimed to determine association of gastrointestinal bleeding history, large paracentesis history, MELD score, sepsis, spontaneous bacterial peritonitis, serum albumin level, hemoglobin level and netrophyl lymphocyte ratio for development of acute kidney injury in cirrhosis patients and to know the prediction score for the development of AKI in hospitalized cirrhosis patients
Methods: A cross-examined the data from a retrospective analysis of 209 patients with cirrhosis admitted to the Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2019 to December 2019. AKI was defined as an increase in serum creatinine ≥0.3 mg/dL within 48 hours from baseline. A receiver operating characteristic (ROC) curve was produced to assess the discriminative ability of the variables. Cutoff values were defined as those with highest validity. The final AKI risk score model was assessed using the ROC curve.
Results: A total of 45 patients (21,5%) developed AKI. Higher NLR (p<0.001), Model of End-stage Liver Disease (MELD) (p<0.001) and lower serum albumin level (p<0.001) were independently associated with AKI. Finding the prediction score of acute kidney injury, cut off values with the highest validity for predicting AKI were determined and defined as 8 for the neutrophil lymphocyte ratio, 1,9 for total bilirubine serum and 3 for serum albumin level. The risk score was created allowing 2 points if the netrophyl lymphocyte ratio is higher than 8, 2 point if the serum total bilirubine is higher than 1,9 and 1 point if the serum albumin is lower than 3. The AUROC curve of the risk prediction score for AKI was 0.842. A risk score of ≥4 points predicts AKI in cirrhotic patients with a sensitivity of 97,3%.
Conclusions: The netrophyl lymphocyte ratio, MELD score and albumin level are associated with the development of AKI in hospitalized cirrhosis patients. A score combining netrophyl lymphocyte ratio, serum bilirubin and albumin level demonstrated a strong discriminative ability to predict AKI in hospitalized cirrhotic patients
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Gathmyr
"Latar Belakang: Acute Kidney Injury pada COVID-19 merupakan komplikasi penting dan dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian diduga diperantarai kondisi inflamasi dan disregulasi imun, baik di awal maupun selama perawatan. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara IL-6, IL-10, TNF-" dengan AKI dan memprediksi perburukan hematuria, dan kejadian AKI Metode: Studi potong lintang dan prospektif kohort melibatkan 43 pasien COVID-19 derajad sedang dan berat yang dirawat di Rumah Sakit Pertamina Pusat di Jakarta, Indonesia dari bulan November 2020 hingga Januari 2021. Selama observasi dilakukan pemeriksaan darah lengkap, serum kreatinin, urinalisis, kadar IL-6, IL-10, TNF-" pada hari pertama dan hari ketujuh pengobatan atau sebelum hari ketujuh jika pasien meninggal atau dipulangkan, dan perubahannya di analisis. Insiden AKI ditentukan ketika perubahan serum kreatinin dan urin output memenuhi kriteria pedoman Kidney Disease Improving Global Outcomes. Uji korelasi dilakukan terhadap peningkatan sitokin dengan perubahan hematuria dan kreatinin. Uji Wilcoxon dilakukan untuk mengetahui perbedaan kadar sitokin diantara status albuminuria. Selanjutnya dilakukan uji Receiver Operator Characteristic untuk melihat kemampuan prediksi IL-6, IL-10, TNF-" terhadap perburukan hematuria dan kejadian AKI, menggunakan AUC minimal 0,7 dengan batas bawah IK 95% lebih dari 0,5 dan nilai p <0,05 Hasil: Terdapat korelasi antara peningkatan kadar serum IL-10 dengan perubahan serum kreatinin (r= -0,343; p 0,024) tetapi tidak pada perubahan IL-6 dan TNF-a. Perubahan hematuria tidak berkorelasi dengan peningkatan ketiga kadar sitokin. Juga tidak ada perbedaan dalam kadar sitokin di antara kelompok albuminuria. Kadar serum TNF-" dihari pertama perawatan dapat memprediksi AKI pada hari ke tujuh, AUC 85%; p=0,045 (IK 0,737-0,963), tetapi tidak dapat memprediksi perburukan hematuria Kesimpulan: Terdapat korelasi antara peningkatan IL-10 dengan perubahan serum kreatinin. TNF-! pada hari pertama perawatan dapat memprediksi kejadian AKI di hari ketujuh perawatan pasien COVID-19 derajat sedang dan berat.

Background: Acute Kidney Injury is an important complication and is associated with increased risk of death in COVID-19 due to inflammatory conditions and immune dysregulation, both at the beginning and during treatment. Aim: To determine the relationship between IL-6, IL-10, TNF-α with AKI and their ability to predict the worsening of hematuria, and the incidence of AKI. Methods: 43 moderate and severe COVID-19 patients treated from November 2020 to January 2021 at Pertamina Central Hospital in Jakarta, Indonesia were included in this cross-sectional and prospective cohort study. During observation, tests including complete blood count, serum creatinine, urinalysis, levels of IL-6, IL-10 and TNF-α were performed on the first and seventh day of treatment, or before day 7 if the patient died or was discharged, and the changes were analyzed. The incidence of AKI is determined when changes in serum creatinine and urine output meet the criteria in the Kidney Disease Improving Global Outcomes guidelines. Correlation test was performed on increased cytokines with changes in hematuria and creatinine. Wilcoxon test was performed to obtain differences in cytokine levels among albuminuria status. Receiver Operator Characteristic test was then carried out to see the predictive ability of IL-6, IL-10, TNF- α on the worsening of hematuria and the incidence of AKI. Results: There was a correlation between increased serum IL-10 levels with changes in serum creatinine (r= -0.343; p 0.024), but not in IL-6 and TNF-a levels. On the other hand, changes in hematuria did not correlate with an increase in the levels of the three cytokines. There was also no significant difference in the levels of cytokines among albuminuria groups. Serum TNF-! levels on the first day of treatment were able to predict AKI on the seventh day (AUC 85%; p=0.045; 95%CI 0.737-0.963), but did not predict the worsening of hematuria. Conclusion: There was a correlation between increased serum IL-10 with changes in serum creatinine. TNF-! on the first day of treatment can predict the incidence of AKI on the seventh day of treatment for moderate and severe COVID-19 patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Anasthasia Devina Sutedja
"Acute Kidney Injury (AKI) pada anak dengan penyakit jantung bawaan mencakup 5-33% dari seluruh pasien anak yang melalui bedah jantung terbuka, dengan dampak yang signifikan terhadap kualitas hidup dan luaran pasien. Salah satu faktor yang mempengaruhi kejadian AKI adalah durasi penggunaan mesin pintas jantung paru. Penelitian metode kohort retrospektif dilakukan terhadap 122 pasien dengan durasi panjang dan 73 pasien dengan durasi pendek pasca bedah jantung terbuka di PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo. Data rekam medis yang dianalisis menunjukkan bahwa terdapat kemaknaan (p<0,05) hubungan antara durasi CPB dengan AKI dengan OR 2,95. Kesimpulan penelitian adalah durasi CPB >60 menit merupakan faktor risiko terjadinya AKI pasca bedah jantung terbuka.

Acute kidney injury (AKI) in children with congenital heart disease consists of 5-33% pediatric patients who went through open heart injury, with significant impact on the quality of life and outcome of the patient. One of the factors affecting the incidence of AKI is the duration of cardiopulmonary bypass machine. Retrospective cohort study was done on 122 patients with bypass duration >60 minute and 73 patients with bypass duration <60 minute after open heart surgery in PJT RSUPN Cipto Mangunkusumo. Analysis of medical records shown that there was a significant difference (p<0,05) between the duration of cardiopulmonary bypass with the incidence of AKI with OR of 2,95. It was concluded that duration of bypass >60 minutes was a risk factor of post open heart surgery AKI."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2015
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nungki Ratna Martina
"Latar Belakang : Acute kidney injury (AKI) adalah komplikasi tersering pada pasien luka bakar. Disfungsi renal akut adalah komplikasi mayor yang disebabkan oleh trauma panas akibat luka bakar dan dikaitkan dengan tingginya angka mortalitas terutama pada pasien anak. Patofisiologi dari AKI pada luka bakar masih sedikit dibahas dalam studi. Faktor yang mempengaruhi terjadinya AKI adalah berkurangnya perfusi ginjal dan inflamasi. Managemen awal pada luka bakar merupakan hal yang penting dan kritis. Penggantian cairan pada pasien luka bakar memiliki efek protektif melawan gagal ginjal. Pada studi ini, kami mencoba mengevaluasi angka kejadian AKI dihubungkan dengan resusitasi cairan 24 jam pertama pada pasien luka bakar anak.
Metode : Penelitian ini merupakan studi retrospektif pada pasien luka bakar anak yang dirawat di Unit Luka Bakar RSCM Jakarta dari Januari 2012 hingga Desember 2013. Kami bagi menjadi dua kelompok, kelompok AKI dan non-AKI dengan menggunakan kriteria pRIFLE. Dilakukan penghitungan Parkland Score pada masing-masing kelompok dan dibandingkan menggunakan analisa t-test.
Hasil : Terdapat 43 pasien luka bakar anak yang memenuhi kriteria dan pencatatan rekam medis yang lengkap. Angka kejadian AKI adalah 18.6% (8 pasien), sedangkan non-AKI 81.4% (35 pasien). Median dari usia pasien adalah 36 bulan (min-maks 6-192 bulan), berat badan pasien 14 kg (7-60 kg), total area luka bakar (%TBSA) adalah 18% (10-60%), waktu masuk ke RS pasca-trauma adalah 5 jam (1-20 jam), dan lama waktu rawat 11 hari (3-47 hari). Rerata Parkland Score dari kelompok AKI adalah 0.79, sedangkan kelompok non-AKI adalah 0.94. Dengan analisa t-test didapatkan hasil tidak terdapat perbedaan bermakna diantara kedua kelompok (p=0.33). Kemudian dilakukan analisa karakteristik pasien antar kelompok, tidak terdapat perbedaan nilai yang bermakna pada karakteristik pasien antar kelompok (p value > 0.05).
Simpulan : Tidak terdapat perbedaan bermakna antara angka kejadian AKI dengan resusitasi cairan pada 24 jam pertama. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena terdapat faktor lain yang mempengaruhi terjadinya AKI pada luka bakar anak. Iskemia ginjal yang dapat menyebabkan terjadinya AKI kemungkinan hal yang kurang bermakna pada fase akut seperti yang diduga sebelumnya, melainkan inflamasi dan apoptosis sel ginjal yang memegang peranan penting terjadinya AKI.

Background : Acute kidney injury (AKI) is a frequent complication in patients with severe burn injury. Acute renal dysfunction is a major complication affecting the thermally injured individual and is commonly associated with a high mortality rate especially among children patients. The pathophysiology of AKI in burn injury is less well studied. Contributing factors for the development of AKI are decreased renal perfusion and inflammation. Initial management of the burn individual to be critically important to overall survival. Fluid replacement therapy was demonstrated to have a protective affect against acute renal failure. In this study, we try to evaluate volume of fluid resuscitation in first 24 hours with acute kidney injury following pediatric major burn injury.
Method : This research is retrospective study evaluating the relationship between fluid resuscitation in first 24 hours and acute kidney injury (AKI) in pediatric major burn injury patients admitted to Burn Unit Cipto Mangunkusumo Hospital Jakarta from January 2012 untill December 2013. We divided into two groups, AKI group and non-AKI group using pRIFLE criteria, then we compared actual volume resuscitation with volume resuscitation in Parkland formula (Parkland score) between groups.
Results : There was 43 pediatric major burn patients with complete fluid and laboratory result data. The incidence of Acute Kidney Injury (AKI) among all patients was 18.6% (8 patients), while non-AKI was 81.4% (35 patients). The median of patient age was 36 months (min-max 6-192 months), patient weight was 14 kgs (7-60 kgs), total body surface area burned (%TBSA) was 18% (10-60%), time to hospital admission was 5 hours after injury (1-20 hours), and length of stay was 11 days (3-47 days). The mean Parkland Score from AKI group was 0.79, while in non-AKI group was 0.94. With independent t-test analysis, there was no significant difference between groups (p=0.33). Then we analyzed patients characteristics between group. We found there was no significant value between patients characteristics in both groups (p value > 0.05).
Conclusions : Parkland Score that we used to estimate total fluid resuscitation in first 24 hours did not shown significant difference between groups. This could be indicated that fluid resuscitation in our burn unit is sufficient for resuscitation or there was other factor influence the incidence of AKI. Renal ischemia that can lead to acute kidney injury is probably less important in the acute phase of burn injury than originally presumed. Instead, inflammation and apoptosis are probably playing an important role.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Berri Primayana
"Latar Belakang : Kejadian AKI Acute Kidney Injury pascabedah akan meningkatkan morbiditas, mortalitas dan lama perawatan di rumah sakit. Diagnosis AKI ditegakkan berdasarkan kriteria AKIN. Kondisi dan manajemen perioperatif sangat mempengaruhi kekerapan AKI pascabedah.
Tujuan : Mengetahui hubungan faktor komorbiditas prabedah dan jenis operasi sebagai prediktor AKI pascabedah elektif yang dirawat di ICU RSCM.
Metode : Penelitian kohort retrospektif menggunakan data dari rekam medis pasien yang dirawat di ICU pascabedah elektif antara Januari 2014 hingga Desember 2015. Seratus satu pasien diikutkan dalam penelitian dari total 1739 data pasien yang didapatkan. Diagnosis AKI ditegakkan dengan keriteria AKIN. Data diolah menggunakan perangkat lunak SPSS dengan uji Chi Square dan Independent T test.
Hasil : Analisis dilakukan pada 101 pasien dari 1739 populasi terjangkau. Insiden AKI didapatkan sebesar 44,6 . Diagnosis AKI ditegakkan dengan penurunan jumlah urin sesuai dengan Stage 1 AKI berdasarkan AKIN. Rata-rata usia AKI didapatkan sebesar 50,44 13,7 tahun p=0,304 . Analisis berdasarkan masing-masing variabel didapatkan kekerapan AKI pada diabetes melitus sebesar 50 p=0,633 , penyakit jantung sebesar 40,7 p=0,641 , hipertensi sebesar 46,9 p=0,749 , dan operasi intraabdomen sebesar 61,9 p=0,072 .
Kesimpulan : Dari variabel yang diteliti tidak ada hubungan faktor komorbiditas prabedah dan jenis operasi sebagai prediktor AKI pascabedah elektif yang dirawat di ICU RSCM."
Depok: Universitas Indonesia, 2016
SP-Pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Arif Adimulya Tasela
"Latar belakang: Gagal ginjal akut (GGA) menjadi salah satu komplikasi serius yang dapat terjadi setelah prosedur bedah pintas arteri koroner (BPAK). GGA paska
operasi jantung secara independen berhubungan dengan peningkatan 3-8 kali lipat angka morbiditas dan mortalitas serta memperpanjang durasi perawatan (hospitalisasi) sehingga dapat meningkatkan biaya kesehatan. Untuk menurunkan insidensi GGA ini, dibutuhkan modalitas pemeriksaan sebelum operasi yang berhubungan dengan kejadian GGA paska BPAK sehingga dapat digunakan sebagai prediktor nantinya untuk tindakan pencegahan. Indeks resistif renal (IRR) diketahui dapat menggambarkan kondisi resistensi dan komplians pembuluh darah yang berhubungan dengan patofisiologi GGA paska BPAK. Namun hingga saat ini belum ada penelitian yang menilai hubungan langsung antara nilai IRR dan kejadian GGA paska BPAK. Tujuan: Mengetahui hubungan nilai IRR terhadap kejadian GGA paska BPAK Metode: Pasien yang akan dilakukan prosedur BPAK akan menjalani pemeriksaan dupleks renalis untuk mendapatkan nilai IRR. Luaran gagal ginjal akut dinilai dengan pemeriksaan kadar kreatinin darah selama 48 jam paska BPAK Hasil: Terdapat 96 pasien yang menjadi subjek penelitian. Median nilai IRR pada subjek penelitian ini ialah 0.71 (0.57-0.87). Terdapat perbedaan median nilai IRR antara kelompok GGA dan non GGA (0.73, rentang 0.57-0.87 dan 0.65, rentang 0.58-0.72). Nilai IRR memiliki korelasi yang cukup baik terhadap kejadian GGA paska BPAK (nilai koefisien korelasi r = 0.66, p < 0,001) dengan titik potong pada
nilai IRR 0.685 (sensitivitas 82.40%, spesifisitas 73.30%). Faktor-faktor lain seperti usia, diabetes melitus, hipertensi, nilai kreatinin serum pre operatif, klirens kreatinin pre operatif, fraksi ejeksi, durasi mesin pintas kardiopulmonal dan durasi klem silang aorta secara statistika berbeda bermakna berhubungan terhadap kejadian GGA paska BPAK. Namun dari analisis multivariat, hanya faktor fraksi ejeksi, durasi mesin pintas kardiopulmonal, nilai IRR, dan diabetes mellitus terbukti bermakna Kesimpulan: Terdapat hubungan antara IRR dengan kejadian gagal ginjal akut paska BPAK. Nilai IRR 0.685 merupakan titik potong optimal (sensitivitas 82,40% dan spesifisitas 73.30%)

Background: Acute kidney injury (AKI) still become one of the serious complications that can occur after a coronary artery bypass graft (CABG) procedure. Post-operative AKI is independently associated with a 3-8 fold increase in morbidity and mortality and extending the duration of treatment (hospitalization) thereby increasing health costs. To reduce the incidence of AKI, a modality of examination prior surgery which is related to the incidence of post-operative AKI is needed so that it can be used as a predictor later for preventive action. The renal resistive index (RRI) is known to be able to describe the condition of resistance and vascular compliance which are related to the pathophysiology of post-operative AKI. However, there has been no research that assesses the direct relationship between RRI values and the incidence of post-operative AKI Objectives: To investigate the relationship between RRI value and incidence of post-operative AKI in patients underwent CABG procedure. Methods: CABG candidates patients will undergo duplex renalis examination to obtain an RRI score. Outcome of renal impairment was assessed by blood creatinine examination within 48 hours after CABG procedure. Results: There were 96 patients who became the subject of the study. The median of RRI value in this study subjects was 0.71 (0.57-0.87). There were differences in median of RRI values between groups with post-operative AKI and those not (0.73, range 0.57-0.87 dan 0.65, range 0.58-0.72). There was quite good correlation between RRI and post-operative AKI (p < 0.001 with correlation coefficient r = 0.66) with cut off point of IRR value was 0.685 (sensitivity 82.40%, specificity 73.30%). Other factors such as age, diabetes mellitus, hypertension, ejection fraction, CPB duration, and aortic cross clamp duration are associated with incidence of post-operative AKI. However, multivariat analysis showed only ejection fraction, cardiopulmonary bypass duration, RRI, and diabetes mellitus significantly related to post-operative AKI Conclusion: RRI values has relationship with post-operative AKI. The optimal cut off value of RRI retrieved by this study is 0.685 (sensitivity 82.40%, specificity 73.30%)"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shifa Syahidatul Wafa
"Latar Belakang: Strategi yang sering digunakan untuk mengurangi kejadian acute kidney injury pasca kemoterapi cisplatin adalah kombinasi hidrasi dan mannitol. Walaupun sebagian studi menyatakan bahwa mannitol menurunkan kejadian acute kidney injury pasca kemoterapi cisplatin, studi lainnya menunjukkan hal sebaliknya.
Tujuan: Mengetahui pengaruh penambahan mannitol pada hidrasi terhadap kejadian acute kidney injury pada pasien kanker yang mendapatkan cisplatin dosis tinggi.
Metode: Studi dengan desain kohort ambispektif terhadap pasien kanker organ padat yang mendapat kemoterapi cisplatin dosis tinggi di RSCM dan MRCCC Siloam Hospitals. Penelitian dilakukan pada September 2017-Februari 2018. Luaran yang dinilai adalah peningkatan kreatinin serum ge; 0,3 mg/dl atau 1,5 kali kadar pra kemoterapi. Analisis bivariat dan multivariat dengan logistik regresi dilakukan untuk menghitung crude risk ratio RR dan adjusted RR kejadian acute kidney injury pasca kemoterapi cisplatin dosis tinggi antara kelompok dengan penambahan mannitol terhadap kelompok tanpa penambahan mannitol pada hidrasi.
Hasil: Data didapat dari 110 pasien (57,3% laki-laki) dengan median usia 44,5 tahun (kisaran 19 - 60 tahun); 63 mendapat penambahan mannitol dan 47 hanya hidrasi. Proporsi kejadian AKI lebih tinggi pada kelompok yang mendapatkan penambahan mannitol vs kelompok tanpa penambahan mannitol (22,6% vs 10,4%). Pada analisis bivariat didapatkan penambahan mannitol pada hidrasi meningkatkan probabilitas terjadinya AKI pasca kemoterapi cisplatin dosis tinggi, dengan risiko relatif (RR) sebesar 2,168 (IK 95% 0,839-5,6). Pada analisis multivariat dengan mengontrol usia, adjusted RR adalah 3,52 (IK 95% 1,11-11,162; p value = 0,033).
Simpulan : Penambahan mannitol pada hidrasi memiliki risiko lebih besar terhadap kejadian AKI pasca kemoterapi Cisplatin dosis tinggi.

Background: The addition of mannitol to saline hydration has been used frequently for preventing cisplatin induced acute kidney injury (AKI). Meanwhile, the initial studies demonstrated that mannitol diuresis decreased cisplatin induced renal injury and others have shown renal injury to be worst.
Objective: To compare the risk of acute kidney injury in cancer patients receiving high dose cisplatin with and without addition of mannitol.
Method: This was an ambispective cohort study based on consecutive sampling at Cipto Mangunkusumo General Hospital and Mochtar Riady Comprehensive Cancer Centre (MRCCC) Siloam Hospitals. The data was obtained from September 2017 to February 2018. The choice of mannitol administration based on responsible physician clinical judgment. The outcome was any increment more than 0,3 mg/dl or 1,5 times from baseline of serum creatinine. Analysis was done by using SPSS statistic which consist of; univariate, bivariate and multivariate logistic regression to obtain crude risk ratio and adjusted risk ratio of cisplatin induced acute kidney injury probability of mannitol addition on hydration.
Result: Data from 110 patients (57,3%) male with a median age of 44,5 years old (range 19 to 60 years old) were collected; 47 received saline alone and 63 received saline with mannitol addition. Acute kidney injury were higher with mannitol than without mannitol addition (22,6% vs 10,4%). Bivariate analysis showed higher probability of post chemotherapy AKI in mannitol group (RR 2,168; 95% CI 0,839-5,6). On multivariate analysis the adjusted RR was 3,52 (95% CI 1,11-11,162; p value = 0,033) by controlling age.
Conclusion: The addition of mannitol on hydration had higher risk of AKI after high dose cisplatin chemotherapy. "
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2018
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>