Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 220295 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Fenandri Fadillah Fedrizal
"Latar Belakang: Oklusi kronik total (OKT) adalah lesi koroner kronik yang memiliki morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Salah satu proses yang terjadi pada OKT adalah inflamasi, yang berperan penting dalam perkembangan aterosklerosis. Beberapa faktor risiko penyakit kardiovaskular diketahui meningkatkan proses inflamasi. Rasio neutrofil limfosit (RNL) baru-baru ini menunjukkan potensinya sebagai salah satu biomarker inflamasi yang memiliki berbagai fungsi, baik diagnosis maupun prognosis, pada pasien dengan PJK.
Tujuan: Mengetahui hubungan RNL, usia, jenis kelamin, diabetes melitus, hipertensi, hiperlipidemia, riwayat penggunaan antiplatelet maupun statin, riwayat keluarga dengan PJK dan merokok terhadap kejadian OKT.
Metode: Studi potong lintang yang dilakukan pada Oktober 2020 – April 2021 ini behasil mendapatkan 98 pasien IMA-EST yang menjalani prosedur angiografi di RSCM pada rentang 2015-2018 yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Karakteristik klinis dan hasil pemeriksaan laboratorium diekstrak dari data rekam medis. Data tersebut dianalisis secara bivariat dengan menggunakan uji Chi-square atau uji Fischer. Variabel dengan nilai p < 0,25 dilibatkan dalam analisis multivariat dengan menggunakan regresi logistik.
Hasil: Proporsi OKT pada pasien IMA-EST di RSCM pada periode 2015-2018 adalah 77,6%. Analisis bivariat mendapatkan bahwa jenis kelamin, riwayat merokok, dan RNL ≥ 6,42 adalah variabel yang signifikan dan analisis multivariat mendapatkan faktor prediktor independen terhadap kejadian OKT pada pasien IMA-EST. adalah merokok (p= 0,006, OR;IK95% 7,391;1,791-30,508) dan RNL ≥ 6,42 (p<0,001, OR; IK95% 11,157;3,250-38,303). Analisis ROC menunjukkan bahwa RNL ≥ 6,42 memiliki sensitivitas sebesar 73,7 dan spesifisitas sebesar 77,3 dengan AUC 0,888 untuk memprediksi kejadian OKT pada pasien IMA-EST.
Kesimpulan: Faktor-faktor yang memengaruhi kejadian OKT pada pasien IMA-EST secara signifikan adalah RNL ≥ 6,42 dan merokok.

Background: Chronic total occlusion (CTO) is a chronic lesion that has significant morbidity and mortality. Inflammation plays a key role in the development of atherosclerosis. Several risk factors for cardiovascular disease’s are known to increase inflammatory process. The neutrophil lymphocyte ratio (NLR) has recently shown its potential as a inflammation biomarker that has multiple functions, both diagnostic and prognostic, in patients with coronary heart disease.
Objective: To determine the relationship between NLR values, age, gender, diabetes mellitus, hypertension, hyperlipidemia, history of antiplatelet and statin use, family history of CHD and smoking on the incidence of total chronic occlusion.
Methods: A cross-sectional study was conducted in October 2020 – April 2021 that obtained 98 STEMI patients who underwent angiography procedures at the CMGH during 2015-2018 who met the inclusion and exclusion criteria. Clinical characteristics and laboratory results were extracted from medical record data. The data were analyzed bivariately using the Chi-square test or Fischer's test. Variables with p value < 0.25 were included in multivariate analysis using logistic regression
Results: The proportion of chronic total occlusion in STEMI patients at the RSCM in the 2015-2018 period was 77.6%. Bivariate analysis found that gender, smoking history, and RNL ≥ 6.42 were significant variables and multivariate analysis found independent predictors of CTO in STEMI patients. were smoking (p= 0.006, OR; CI95% 7.391; 1.791-30.508) and NLR 6.42 (p<0.001, OR; CI95% 11.157; 3.250-38.303). ROC analysis showed that NLR ≥ 6.42 had a sensitivity of 73.7 and specificity of 77.3 with an AUC of 0.888 for predicting the incidence of CTO in STEMI patients.
Conclusion: Factors that significantly influenced occurence of CTO in STEMI patients were NLR ≥ 6.42 and smoking.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ira Camelia Fitri
"Latar Belakang: Pasien penyakit ginjal kronis (PGK) memiliki risiko lebih tinggi untuk jatuh ke dalam frailty karena berbagai perubahan fisiologis terkait penyakit dan berisiko mengalami dampak kesehatan yang lebih buruk. Pemahaman mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian frailty pada pasien PGK yang menjalani hemodialisis  sangat di perlukan untuk menginformasikan pengetahuan dan mendapatkan solusi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui prevalensi frailty pada pasien hemodialisis dan faktor yang berhubungan dengan terjadinya frailty pada pasien hemodialisis.
Metode: Penelitian ini merupakan penelitian potong lintang dengan menggunakan data primer. Sembilan puluh satu pasien dari unit hemodialisis RSCM dari berbagai kelompok demografis disertakan dalam studi. Sampling menggunakan metode total sampling. Frailty dinilai dengan kuesioner Frailty Index 40 item. Riwayat medis diperoleh dari rekam medis RS dan dilakukan pemeriksaan laboratorium. Dilakukan uji bivariat menggunakan Chi-Square terhadap usia, jenis kelamin, lama dialisis, status gizi, adekuasi dialisis, hemoglobin, CRP, albumin, kalsium darah, fosfat darah, dan Charlson Comorbidity Index (CCI). Identifikasi faktor yang berhubungan dengan terjadinya frailty dilakukan dengan uji binary regression dengan metode backward stepwise regression.
Hasil: Dua puluh enam (28,6%) pasien mengalami frailty. Faktor yang berhubungan dengan kejadian terhadap frailty pada pasien hemodialisis yaitu jenis kelamin perempuan (PR 1,064; IK 95% 1,064-1,065), skor CCI (PR 27,168; IK 95% 3,838-192,306), lama (vintage) hemodialisis (PR 1,227; IK 95% 1,226-1,227), hemoglobin (PR 3,099; IK 95% 1,325-7,254), albumin (PR 1,387; IK 95% 1,386-1,388), CRP (PR 1,432; IK 95% 1,431-1,433), dan fosfat (PR 1,110; IK 95% 1,110-1,111).
Kesimpulan: Prevalensi frailty pada populasi studi ini yaitu 28,6%. Jenis kelamin perempuan, peningkatan skor CCI, lama (vintage) hemodialisis, anemia, hipoalbuminemia, dan fosfat yang rendah ditemukan sebagai faktor yang berhubungan secara signifikan  terhadap kejadian frailty pada pasien hemodialisis di RSCM.

Background: Patients with chronic kidney disease (CKD) have a higher risk of falling into frailty due to various physiological changes related to the disease and are at risk for worse health impacts. Understanding the factors that correlate with the incidence of frailty in CKD patients undergoing hemodialysis is needed to inform knowledge and obtain solutions. This study aims to determine the prevalence of frailty in hemodialysis patients and predictors of frailty in hemodialysis patients.
Methods: This study is a cross-sectional study using primary data. Ninety-one patients from the RSCM hemodialysis unit from various demographic groups were included in the study. Sampling using the total sampling method. Frailty is assessed with a 40-item Frailty Index questionnaire. Medical history was obtained from hospital medical records, and laboratory examinations were carried out. A bivariate test using Chi-Square was performed on age, sex, duration of dialysis, nutritional status, dialysis adequacy, hemoglobin, CRP, albumin, blood calcium, blood phosphate, and the Charlson Comorbidity Index (CCI). The binary regression test with the backward stepwise regression method identifies factors associated with frailty.
Results: Twenty-six (28.6%) patients experienced frailty. Factors related to the incidence of frailty in hemodialysis patients were female gender (PR 1.064; 95% CI 1.064-1.065), CCI score (PR 27.168; 95% CI 3.838-192.306), duration (vintage) of hemodialysis (PR 1.227; 95% CI 1.226-1.227), anemia (PR 3.099; 95% CI 1.325-7.254), albumin (PR 1.387; 95% CI 1.386-1.388), CRP (PR 1.432; 95% CI 1.431-1.433), and phosphate (PR 1.110; CI 95% 1.110-1.111).
Conclusion: The prevalence of frailty in this study population is 28.6%. Female gender increased CCI score, old (vintage) hemodialysis, anemia, hypoalbuminemia, and low phosphate were factors significantly related to the incidence of frailty in hemodialysis patients at RSCM.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Yusalena Sophia Indreswari
"ABSTRAK
Latar Belakang: Eksaserbasi pada PPOK mempunyai kontribusi yang besar terhadap derajat keparahan dan progresivitas PPOK. Identifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan eksaserbasi PPOK banyak diteliti di luar negeri. Dengan mempertimbangkan terdapatnya perbedaan karakteristik pasien di Indonesia, maka perlu dilakukan penelitian tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan eksaserbasi pada pasien PPOK di Indonesia.
Tujuan: Mengetahui prevalensi eksaserbasi pada pasien PPOK di RSCM selama kurun waktu 1 Januari 2010 sampai dengan 31 Desember 2012 serta untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berhubungan dengan eksaserbasi pasien-pasien PPOK yang berobat di RSCM baik rawat jalan maupun rawat inap.
Metode: Penelitian ini merupakan studi dengan desain potong lintang pada pasien PPOK yang berobat di RSCM selama tahun 2010–2012. Data klinis dan penunjang selama perawatan diperoleh dari rekam medis. Analisis bivariat dilakukan pada variabel kelompok usia, riwayat merokok, komorbiditas, derajat PPOK, riwayat pengobatan dengan kortikosteroid, dan frekuensi eksaserbasi dalam satu tahun sebelumnya.Variabel yang memenuhi syarat akan disertakan pada analisis multivariat dengan regresi logistik.
Hasil: Sebanyak 184 pasien diikutsertakan dalam penelitian ini. Didapatkan prevalensi eksaserbasi PPOK sebesar 70,7%. Derajat PPOK , riwayat perokok, frekuensi eksaserbasi satu tahun sebelumnya, pengobatan kortikosteroid sistemik, dan komorbid merupakan variabel yang berbeda bermakna pada analisis bivariat. Faktor risiko independen yang bermakna pada analisis multivariat adalah frekuensi eksaserbasi PPOK dalam satu tahun sebelumnya ≥ 2 kali (OR 27,39; IK 95% 3,30 sampai 227,29; p = 0,002), perokok aktif (OR 5,11; IK 95% 1,07 sampai 24,35; p = 0,041), PPOK derajat III dan IV (OR 4,71; IK 95% 1,59 sampai 13,97; p = 0,005), dan komorbid dengan nilai Charlson Comorbid Index lebih dari dua (OR 4,09; IK 95% 1,37 sampai 12,18; p = 0,011). Sedangkan pengobatan dengan kortikosteroid sistemik merupakan faktor proteksi terhadap eksaserbasi PPOK (OR 0,12; IK 95% 0,03 sampai 0,54; p = 0,006).
Simpulan: Prevalensi eksaserbasi pasien PPOK di RSCM pada tahun 2010 sampai dengan 2012 adalah 70,7%. Faktor risiko eksaserbasi PPOK adalah frekuensi eksaserbasi PPOK pada satu tahun sebelumnya lebih dari sama dengan dua kali, perokok aktif, PPOK derajat III dan IV serta komorbid dengan Charlson Comorbid Index . Sedangkan pengobatan dengan kortikosteroid sistemik merupakan faktor proteksi terhadap eksaserbasi PPOK.

ABSTRACT
Background. Exacerbation in chronic obstructive pulmonary disease (COPD) contributes greatly to the severity and progression of COPD. Identification of factors associated with exacerbation of COPD has widely studied abroad with varying results. Due to difference in patient characteristic, it is necessary to study on the factors associated with exacerbation of COPD in Indonesia.
Aim.To determine the prevalence of COPD exacerbations in RSCM during 2010 until 2012. And to identify factors associated with exacerbation of COPD patients who seek treatment at Cipto Mangunkusumo Hospital, both inpatient and outpatient.
Methods. This study was a cross sectional study design in COPD patients who seek treatment at CiptoMangunkusumo Hospital, both inpatient and outpatient, during 2010-2012. Clinical data, supportive data, and outcome (exacerbation or stable) data during treatment were obtained from medical records. Bivariate analyses were performed on age, history of smoking, comorbidity, severity of COPD, history corticosteroids treatment, and frequency of exacerbations in the previous year. Variables that were eligible would be included in the multivariate analysis in the form of logistic regression.
Results. A total of 184 patients enrolled in this study. Prevalence of COPD exacerbation was 70.7%. Severity of COPD, history of smoking, frequency of previous exacerbations, history of systemic corticosteroid treatment, and comorbidity were variables found to be significantly different in bivariate analysis. Independent risk factors that were found to be significant in multivariate analysis were ≥ 2 times of COPD exacerbation in the previous year (OR 27.39; 95% CI 3.30 to 227.29; p = 0.002), current smoker (OR 5.11; 95% CI 1.07 to 24.35; p = 0.041), grade III and IV of COPD (OR 4.71; 95% CI 1.59 to 13.97; p = 0.005), and comorbid with charlson comorbid index value more of two (OR 4.09; 95% CI 1.37 to 12.18; p = 0.011). While treatment with systemic corticosteroid is protective factor against COPD exacerbations (OR 0.12; 95% CI 0.03 to 0.54; p = 0.006).
Conclusion. The prevalence of COPD exacerbations in RSCM during 2010 to 2012 is 70.7%. Risk factors for COPD exacerbation are more than or equal to two times of COPD exacerbation in the previous year, current smokers, grade III and IV of COPD and comorbid with charlson comorbid index value more of two. While treatment with systemic corticosteroid is protective factor against COPD exacerbations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2014
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Tatu Meri Marwiyyatul Hasna
"ABSTRAK
Gangguan mineral tulang GMT merupakan salah satu komplikasi pada penyakitginjal kronik PGK . GMT-PGK menyebabkan gangguan sistemik padametabolisme mineral yang mengakibatkanabnormalitaskadar mineral, kelainanturn overtulang dan kalsifikasi pembuluh darah. Pada pasien PGK yang menjalanidialisis rutin GMT dapat meningkatkan angka mortalitas sebesar 20 . Penelitianini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor yang berhubungan dengan gangguanmineral tulang pada pasien yang menjalani hemodialisis rutin. Desain penelitian iniadalahcross sectional, menggunakan 72 responden pasien hemodialisis rutin diRSUPN. DR. Cipto Mangunkusumo Jakarta, dipilih dengan menggunakan TeknikConcecutive sampling. Data mengenai faktor-faktor yang berhubungan dengangangguan mineral tulang ini diperoleh melalui wawancara dan data rekam medikpasiendalam tiga bulan terakhir. Analisis yang digunakan adalahuji chi-square,hasil uji statistik menyatakan terdapat hubungan yang bermakna antara faktor usia,jenis kelamin, status nutrisi: obesitas, lama menjalani hemodialysis dan kepatuhanpenggunaan pengikat posfatdengan GMT p0,05 . Penelitian inimerekomendasikan kepada praktisi kesehatan untuk membuat suatu protokoluntukdeteksi dini terjadinya resiko GMTpada pasien PGKyang menjalani hemodialisisberdasarkan faktor-faktor tersebut.

ABSTRACT
Mineral and bone disorder MBD is complications which may occur in chronickidney disease CKD . CKD MBD is characterized by systemic disorder of mineralmetabolism which leads to abnormality of blood mineral level, alterationof boneturnover, and calcification blood vessels that may result in an increased morbidityand mortality. MBD may increase mortality rate of CKD patients undergoingregular hemodialysis up to 20 . This study aimed to identify factors affectingmineral andbone disorder among patients undergoing regular hemodialysis. Thestudy design wascross sectionalwith total sample of 72 patients undergoingregular hemodialysis in RSUPN. DR. Cipto Mangunkusumo selected by consecutivesampling. Data regarding factors affecting mineral and bone disorder wereobtained through interview and medical record of the past three months. The datawere analyzed by chi square test. The result suggested that there was a significantcorrelation between age, sex, nutritional status obesity, time since firsthemodialysis and adherence to phosphate binder regimen and MBD p0.05 . Developing a protocol for early detection of complications dueto bone and mineral disorder is recommended for patient with CKD undergoingregular Hemodialysis."
2017
S67990
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Vriona Ade Maenkar
"Penyakit Coronavirus 2019 (COVID-19), yang disebabkan oleh sindrom pernafasan akut parah coronavirus 2 (SARS-CoV-2), telah mengakibatkan pandemik global. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan faktor risiko Kejadian Ikutan Paska Imunisasi (KIPI) dan efektivitas vaksinasi SARS-CoV-2. Studi observasional ini, menggunakan desain studi cross-sectional dengan total sampel penelitian 261 orang dan pengumpulan data dilakukan menggunakan Google Form. Hasil dari penelitian ini menunjukkan gejala KIPI paling banyak ditemukan pada onset <24 jam. Gejala umum yang ditemukan adalah sakit di tempat suntikan, fatigue, nyeri otot dan nyeri sendi. Sebagian besar keparahan KIPI adalah tingkat mild dan hanya beberapa peserta yang mengkonsumsi pengobatan. Hasil dari penelitian ini menyatakan bahwa peserta dengan jenis kelamin perempuan, peserta dengan penyakit penyerta, usia remaja – dewasa, jenis vaksin mRNA (BNT162b2) memiliki risiko KIPI yang lebih tinggi dan berpengaruh secara signifikan secara statistik (p<0.005). Efektivitas vaksin COVID-19 dalam mencegah infeksi cukup tinggi dengan persentase ≥79% pada setiap jenis dan dosis vaksin. Kesimpulan penelitian ini menunjukkan bahwa vaksin COVID-19 aman untuk diberikan karena KIPI sebagian besar ringan dan otomatis hilang dan menurun setelah 1 hingga 3 hari dan persentase efektivitas vaksin dalam mencegah infeksi COVID-19 cukup baik.

The coronavirus that causes severe acute respiratory syndrome (COVID-19) is coronavirus 2 (SARS-CoV- 2). This virus has caused a global pandemic. This study aims to analyze relationship between risk factors for Adverse Events Following Immunization (AEFI) and the effectiveness of the SARS-CoV-2 vaccination. This observational study used a cross-sectional study design with a total sample of 261 people, data were collected using Google Forms. Results of this study showed the most AEFI symptoms are found at the onset of <24 hours. Common symptoms found are pain at injection site, fatigue, muscle aches and joint pain. Most of the AEFI severity was mild and only a few participants took medication. Results of this study stated that participants with female gender, comorbidities, adolescents - adults, type of mRNA (BNT162b2) vaccine had a higher risk of AEFI and statistically significant (p<0.005). Effectiveness of the COVID-19 vaccine is quite high with a percentage of ≥79% for each type and dose of vaccine. Conclusion of this study shows that the COVID-19 vaccines are safe to give because most of AEFIs are mild and automatically disappear and decrease after 1 to 3 days and percentage of effectiveness of the vaccine in preventing COVID-19 infection is good."
Depok: Fakultas Farmasi Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Rizka Zainudin
"Latar belakang: Infeksi SARS-CoV-2 menyebabkan disregulasi sistem imun sehingga memperberat klinis pasien. Penilaian CT dan parameter inflamasi pejamu (neutrofil, limfosit, CRP dan feritin) saat admisi diharapkan membantu klinisi memberi tatalaksana efektif bagi pasien berisiko perburukan.
Tujuan: Mengetahui pengaruh nilai CT dan parameter inflamasi pejamu saat admisi terhadap derajat penyakit COVID-19 dalam 14 hari sejak onset gejala.
Metode: Studi kohort retrospektif dengan menelusuri rekam medis pasien COVID-19 berusia >18 tahun yang dirawat di RSCM dan RS Medistra pada Juni 2020-Februari 2021. Dilakukan analisis bivariat antara nilai CT, neutrofil, limfosit, CRP, feritin saat admisi dengan keparahan COVID-19, dilanjutkan analisis ROC untuk mendapatkan titik potong optimal. Setelahnya, dilakukan analisis multivariat dan membuat model klinis terbaik menilai kemungkinan keparahan COVID-19.
Hasil: Dari 336 subjek didapatkan COVID-19 berat-kritis sejumlah 75,3%. Tidak terdapat hubungan antara nilai CT rendah-sedang dan CT rendah-tinggi terhadap keparahan COVID-19 dengan nilai p masing-masing 0129 dan 0,913, sementara itu terdapat hubungan signifikan antara neutrofil, limfosit, CRP dan feritin terhadap keparahan COVID-19 dengan masing-masing nilai p<0,001. Dari analisis ROC, didapat titik potong optimal neutrofil (>71,5%), limfosit (<18,5%), CRP (>17,2 mg/dL), feritin (270 ng/mL) terhadap terjadinya COVID-19 berat-kritis dalam 14 hari sejak onset gejala. Hasil analisis multivariat menujukkan faktor yang mempengaruhi COVID-19 berat-kritis antara lain neutrofil (aRR 1,850 [IK 95% 1,482-2,311]), limfosit (aRR 1,877 [IK 95% 1,501 – 2,348]), CRP (aRR 2,068 [IK 95% 1,593 – 2,685]), dan feritin (aRR 1,841 [IK 95% 1,438 – 2,357]). Model klinis kombinasi neutrofil, limfosit, CPR dan feritin terhadap COVID-19 berat-kritis memiliki nilai AUC 0,933 (IK 95% 0,902 – 0,963).
Kesimpulan: nilai CT tidak mempengaruhi COVID-19 tidak berat dan berat-kritis. Neutrofil, limfosit, CRP, dan feritin saat admisi mempengaruhi terjadinya COVID-19 tidak berat dan berat-kritis Kombinasi neutrofil, limfosit, CRP dan feritin merupakan model klinis terbaik menilai kemungkinan keparahan COVID-19 dalam 14 hari sejak onset gejala.

Background: SARS-CoV-2 infection leads to immune dysregulation and hyperinflammation, thus potentially exacerbating clinical outcomes. Assessing CT value and host inflammatory parameters such as neutrophils, lymphocytes, CRP, and feritin upon admission may assist clinicians in providing effective management, especially for patient at risk of severe-critical condition.
Objective: To analyze the effect of CT values and host inflammatory parameters upon admission on the severity of COVID-19 within 14 days of symptom onset.
Methods: A retrospective cohort study tracing COVID-19 patient’s medical records aged >18 years admitted to RSUPN Ciptomangunkusumo and RS Medistra from June 2020 to February 2021. Bivariate analysis was conducted between CT values, neutrophils, lymphocytes, CRP, feritin on admission with COVID-19 severity, then ROC analysis to determine the optimal cut off points. Multivariate analysis was performed to control confounding factors. The best clinical model was analyzed for severe-critical outcome within 14 days of symptom onset.
Results: Out of 336 subjects, 75,3% had severe-critical COVID-19. There was no association between low-moderate CT value and low-high CT value with COVID-19 severity, with p value 0,129 and 0,913 respectively. However, there was significant association between neutrophils, lymphocytes, CRP, and feritins with COVID-19 severity, each with p<0.001. ROC analysis determined optimal cut off for neutrophils (>71.5%), lymphocytes (<18.5%), CRP (>17.2 mg/dL), and feritin (270 ng/mL) for the occurrence of severe-critical COVDI-19 within 14 days symptom onset. Multivariate analysis revealed factors influencing severe-critical COVID-19 including neutrophils (aRR 1.850 [95% CI 1.482-2.311]), lymphocytes (aRR 1.877 [95% CI 1.501 – 2.348]), CRP (aRR 2.068 [95% CI 1.593 – 2.685]), and feritin (aRR 1.841 [95% CI 1.438 – 2.357]). Combination of neutrophil, lymphocytes, CRP, and feritin was the best clinical model for severe-critical COVID-19 with AUC value 0.933 (95% CI 0.902 – 0.963).
Conclusion: Neutrophils, lymphocytes, CRP, and feritin value upon admission effect COVID-19 severity within 14 days of symptom onset
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
A. Fatima Azzahra
"Latar belakang: Kondisi penyakit periodontal dapat diidentifikasi dengan pemeriksaan klinis dan radiografi.Pada teknik radiografi digitaldapat dilakukan image enhancement untuk memperbaiki kualitas gambar dengan mengoptimalkan brightness dan contrast. Tujuan :Mengetahui batasan valueyang dapat ditoleransi pada pengaturan brightnessdan contrast pada kasus periodontitis mild - moderate.Metode :Dilakukan image enhancementdengan mengubah brightnessdan contrastpada 100 radiograf dengan kasus periodontitis mild-moderatedengan interval poin -20,-10, +10 dan +20 pada setiap sampel pada masing-masing kelompok menggunakan program software Digora for Windows. Hasil :Valueyang dapat ditoleransi pada pengaturan brightness pada kasus periodontitis mild-moderateberkisarpada valuedibawah +10 dan yang dapat ditoleransi dalam pengaturan contrastberkisardari valuediatas -20.Kesimpulan :Pengaturan brightnessdan contrastdilakukan pada valuetersebut tidak akan mempengaruhi ataupun mengubah interpretasi radiografik periodontitis mild - moderatejika dilakukan pada value toleransinya.

Background :Periodontal disease condition can be checked by clinical and radiograph examination. In digital radiography techniques, image enhancement can be done to improve image quality by optimizing brightness and contrast. Objective :To determine the limit of values that can be tolerated in brightness and contrast setting in mild-moderate periodontitis cases. Methods :Adjust the image enhancement setting by changing the brightness and contrast of 100 radiographs with mild-moderate periodontitis with points intervals of -20, -10, +10 and +20 each sample in each group using the Digora for Windows. Result :Values that can be tolerated in brightness setting in interpretation of mild-moderate periodontitis rangeat values below +10 and values that can be tolerated in contrast setting rangefrom values above -20. Conclusion :Brightness and contrast adjustment made at these values will not affect the radiographic interpretation of mild-moderate periodontitis if carried out at their tolerance values."
Depok: Fakultas Kedokteran Gigi Univeritas Indonesia, 2019
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sofia Alissandra Sitchon Winarno
"Penyakit periodontal merupakan salah satu penyakit yang sering terjadi dan menimbulkan masalah kesehatan gigi dan mulut. Penyakit periodontal menduduki peringkat kedua di Indonesia. Penyakit periodontal terdiri atas 2 jenis yaitu gingivitis dan periodontitis. P. gingivalis dan S. sanguinis merupakan bakteri yang sering dikaitkan dengan kerusakan pada jaringan peridontal terutama gingivitis dan periodontitis, dan memiliki sifat resisten terhadap antibiotik. Nisin termasuk dalam bakteriosin kelas I lantibiotik dan merupkan peptida antimikroba yang diproduksi oleh bakteri Gram-positif tertentu yang mencakup spesies Lactococcus dan Streptococcus. Nisin A dan nisin Z merupakan varian nisin alami yang diproduksi oleh L. lactis dimana keduanya memiliki aktivitas bakterisidal. Bakteriosin merupakan solusi potensial untuk masalah ini karena aktivitas spektrumnya yang luas terhadap bakteri resisten terhadap antibiotik. Untuk melihat efektivitas bakteriosin nisin Z dan nisin A terhadap bakteri patogen P. gingivalis dan S. sanguinis dilakukan studi in-silicodengan menggunakan metode molecular docking dengan menggunakan software PatchDock dan FireDock. Visualisasi dilakukan menggunakan PyMol untuk melihat situs interaksi antara ligan dan reseptor. Protein target yang digunakan dari bakteri P. gingivalis dan S. sanguinis adalah LPS dan bakteriosin nisin A serta nisin Z dipilih sebagai ligan uji. Hasil metode molecular docking dan visualisasi menunjukan bahwa nilai global energy terbaik dari docking bakteriosin nisin Z dan protein LPS bakteri P. gingivalis adalah -45.40 kcal/mol dan antara bakteriosin nisin A dan protein LPS bakteri S. sanguinis adalah -42.59 kcal/mol. Selain itu, terdapat interaksi antara asam amino ASP-74, ASP-76, dan ARG-66 pada bakteriosin nisin A dengan reseptor LPS pada bakteri S. sanguinis dan interaksi antara asam amino Lys-1C pada bakteriosin nisin Z dengan reseptor LPS pada bakteri P. gingivalis. Dapat disimpulkan bahwa bakteriosin nisin A dapat menghambat aksi bakteri S. sanguinis dan bakteriosin nisin Z dapat menghambat aksi bakteri P. gingivalis sebagai bakteri patogen di mulut.

Periodontal is a disease that often occurs and causes dental and oral health problems. Periodontal disease is ranked second in Indonesia. There are two types of periodontal disease: gingivitis and periodontitis. P. gingivalis and S. sanguinis are bacteria that are often affected by periodontal tissue damage, especially gingivitis and periodontitis, and are resistant to antibiotics. Nisin belongs to the class I lantibiotic bacteriocins and is an antimicrobial peptide produced by certain Gram-positive bacteria including Lactococcus and Streptococcusspecies. Nisin A and nisin Z are natural variants of nisin produced by L. lactis which both have bactericidal activity. Bacteriocins are a potential solution to this problem because of their broad-spectrum activity against bacterial resistance to antibiotics. To see the effectiveness of bacteriocin nisin Z and nisin A against pathogenic bacteria P. gingivalis and S. sanguinis, an in-silico study was conducted using the molecular docking method using PatchDock and FireDock softwares. Visualization was carried out using PyMol to see the interaction site between the ligand and the receptor. The target protein used from bacteria P. gingivalis and S. sanguinis was LPS and bacteriocin nisin A and nisin Z were selected as test ligands. The results of the molecular docking method and visualization showed that the best global energy value of docking between bacteriocin nisin Z and bacterial LPS protein P. gingivalis was -45.40 kcal/mol and between bacteriocin nisin A and bacterial LPS protein S. sanguinis was -42.59 kcal/mol. In addition, there is an interaction between the amino acids ASP-74, ASP-76, ASP-78 and ARG-66 on the bacteriocin nisin A with the LPS receptor on S. sanguinis and the interaction between the amino acids Lys-1C on the bacteriocin nisin Z with the LPS receptor. on P. gingivalis bacteria. It can be concluded that bacteriocin nisin A can inhibit the action of bacteria S. sanguinis and bacteriocin nisin Z can inhibit the action of bacteria P. gingivalis as pathogenic bacteria present in the mouth."
Depok: Fakultas Teknik Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Melody Febriana Andardewi
"Latar Belakang: Pruritus menjadi salah satu gejala yang dialami oleh pasien dengan penyakit ginjal kronik (PGK). Pruritus yang berasosiasi dengan PGK mayoritas terjadi pada pasien yang menjalani hemodialisis (HD) dan dapat terjadi pada resipien transplantasi ginjal (RTG). Gejala pruritus yang tidak ditangani dengan baik dapat memberikan dampak terhadap kualitas hidup. Belum terdapat penelitian yang membandingkan proporsi derajat keparahan pruritus, kualitas hidup, dan korelasi berbagai faktor biokimia antara pasien HD dengan RTG di Indonesia. Tujuan: Membandingkan derajat keparahan pruritus, kualitas hidup, serta korelasi kadar hs-CRP, kalsium, fosfat, dan e-GFR antara pasien PGK yang menjalani HD dengan RTG. Metode: Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain potong lintang. Setiap SP dilakukan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium. Skala gatal 5 dimensi (5-D) digunakan untuk evaluasi derajat keparahan pruritus dan Indeks Kualitas Hidup Dermatologi (IKHD) digunakan dalam menilai kualitas hidup. Analisis statistik yang sesuai dilakukan untuk membuktikan hipotesis penelitian dengan nilai kemaknaan yang digunakan adalah p <0,05. Hasil: Dari 30 SP di masing-masing kelompok, proporsi pruritus derajat sedang-berat sebesar 76,7% pada kelompok HD sedangkan pada kelompok RTG sebanyak 83,3% mengalami pruritus derajat ringan (RR = 4,6; IK 95% = 2,02–10,5; p <0,001). Median skor IKHD pada kelompok HD adalah sebesar 5 (3–6) sedangkan pada kelompok RTG sebesar 3 (2–4) (p <0,001). Terdapat korelasi positif yang bermakna antara hs-CRP dengan skor skala gatal 5-D pada kelompok HD (r = 0,443; p <0,05). Terdapat korelasi negatif yang bermakna antara e-GFR dengan skor skala gatal 5-D pada RTG (r = -0,424; p <0,05). Tidak terdapat korelasi yang bermakna secara statistik antara kadar kalsium dan fosfat dengan skor skala gatal 5-D pada kedua kelompok. Kesimpulan: Pasien HD lebih banyak mengalami pruritus derajat sedang-berat dibandingkan pada RTG. Pruritus pada kelompok HD berdampak ringan hingga sedang terhadap kualitas hidup sedangkan pada kelompok RTG pruritus berpengaruh ringan terhadap kualitas hidup. Pada pasien HD, semakin tinggi kadar hs-CRP maka semakin meningkat skor skala gatal 5-D. Pada pasien RTG, semakin menurun nilai e-GFR maka semakin meningkat skor skala gatal 5-D.

Background: Pruritus is one of the symptoms experienced by patients with chronic kidney disease (CKD). Most patients with chronic kidney disease-associated pruritus (CKD-aP) occur in dialysis patients and could also happen in kidney transplant (KT) recipients. Inappropriate management of pruritus could impact the quality of life (QoL). No studies have compared the severity of pruritus, QoL, and the correlation of various biochemical factors between hemodialysis (HD) and KT recipients in Indonesia. Objective: To compare the severity of pruritus, QoL, and the correlation of hs-CRP, calcium, phosphate, and e-GFR levels between HD and KT recipients. Methods: This is a cross-sectional analytic observational study. Medical history, physical examination, and laboratory examination were conducted on each subject. The 5-dimensional (5-D) itch scale was used to evaluate the severity of pruritus. Dermatology Life Quality Index (DLQI) was used to assess the QoL. Appropriate statistical analysis was conducted to prove the research hypothesis with a significance value of p <0.05. Results: Out of 30 subjects in each group, the proportion of moderate to severe pruritus was 76.7% in the HD group. In the KT group, 83.3% experienced mild pruritus (RR = 4.6; CI 95% = 2.02– 10.5; p <0.001). The median DLQI score in the HD group was 5 (3–6), while in the KT group was 3 (2–4) (p <0.001). There was a significant positive correlation between hs-CRP and the 5-D itch scale in the HD group (r = 0.443; p <0.05). The KT group had a significant negative correlation between e-GFR and the 5-D itch scale (r = -0.424; p <0.05). Both groups had no statistically significant correlation between calcium and phosphate levels and the 5-D itch scale. Conclusion: Moderate-to-severe pruritus was more common in HD patients than in KT recipients. Pruritus in HD patients had a mild to moderate effect on QoL, whereas pruritus in KT recipients had a mild impact on QoL. A higher level of hs-CRP in HD patients results in a higher 5-D itch scale. In KT recipients, the lower the e-GFR value, the higher the 5-D itch scale."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Anditta Zahrani Ali
"ABSTRAK
Pendahuluan: Prevalensi pasien dengan penyakit gagal ginjal yang menjalani hemodialisis (HD) pada usia kerja cukup tinggi. Berdasarkan data Indonesian Renal Registry 2017 terdapat 85,73% pasien dengan HD kronik berada pada usia produktif. Dengan menjalani HD, diharapkan sebagian besar pekerja masih dapat bekerja secara produktif. Di Indonesia belum terdapat studi mengenai status kerja pada pekerja dengan HD kronik. Penelitian ini bertujuan untuk untuk mengetahui proporsi status kerja, pekerja yang menjalani HD, faktor-faktor yang berhubungan dan status kelaikan kerjanya
Metode: Penelitian ini menggunakan desain studi potong lintang. Sebanyak 79 pekerja yang telah menjalani HD minimal tiga bulan diikutsertakan dalam penelitian. Data didapat dari wawancara umum, kuisioner Skala Kepuasan Kerja, rekam medis dan penilaian kelaikan kerja oleh dokter spesialis kedokteran okupasi.
Hasil: Proporsi pekerja dengan hemodialisis kronik yang tidak aktif bekerja lagi adalah 38%. Hanya 3,8% membuat keputusan untuk berhenti atau lanjut bekerja berdasarkan nasihat dokter. Status kepegawaian dan sektor usaha tempat kerja dan sektor usaha tempat kerja merupakan faktor determinan status kerja pada pekerja yang menjalani HD, dengan nilai p keduanya < 0,01. Proporsi pekerja yang tidak kerja namun laik kerja dengan catatan setelah dilakukan penilaian kelaikan kerja oleh dokter spesialis kedokteran okupasi adalah sebanyak 76,7%.
Kesimpulan: Sebanyak 38% pekerja yang menjalani HD kronik sudah tidak kerja. Faktor pekerjaan seperti status kepegawaian dan sektor usaha memengaruhi status kerja pekerja yang menjalani HD.

ABSTRACT
Introduction: The prevalence of End-Stage Renal Disease patients who need hemodialysis (HD) at productive age is quite high. Based on 2017 Indonesian Renal Registry data, 85.73% of of patients with chronic HD, are at productive age. With HD it is expected that most of the patients can still be actively engaged in their daily life, including work. In Indonesia no study exists on the work status of workers with chronic HD. This study aims to identify the proportion of work status, in workers receiving chronic hemodialysis treatment, its associated factors and their fit to work status.
Method: This study used a cross sectional study design. Seventy nine workers who are receiving HD treatment for at least three months were involved in this study. Data was gathered from questionnaires, Job Satisfaction Survey, medical records and Fit to Work Assessment by occupational medicine specialists.
Result: The proportion of workers with chronic hemodialysis who have stopped working is 38%. Only 3.8% of the respondents, made the decision to stay or stop working based on advise by the doctor. Employee status and work sector are determinants of work status in workers with chronic HD, with both p values <0.01. Results of Fit to Work Assessment showed, that 76.7% of those workers, who have stopped working are actually still fit to work with note.
Conclusion: Thirty eight percent of workers with chronic HD stopped working. Employee status and work sector are associated with employment status of workers who with chronic HD.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
SP-PDF
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>