Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 95835 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Mohamad Hanif Priyo Sambodo
"Rasisme merupakan sebuah bentuk penindasan di mana satu kelompok ras mendominasi yang lain. Di Indonesia rasisme bukanlah sebuah permasalahan baru. Rasisme sudah muncul semenjak kolonialisme Belanda di Indonesia. Hal ini dibuktikan dengan masih membekasnya peraturan-peraturan kewarganegaraan oleh pemerintah kolonialisme Belanda yang mengklasifikasi penduduk Hindia Belanda pada tahun 1854 berdasarkan ras. Rasisme ini terjadi dikarenakan Belanda menganggap ras kulit putih lebih tinggi dibandingkan ras pribumi. Berkaitan dengan isu rasisme yang sudah disebutkan di atas, pada tahun 2020 muncul film yang berjudul De Oost atau dalam rilis internasional berjudul The East yang ditulis dan disutradarai oleh Jim Taihuttu. Film ini termasuk sebuah film fiksi karena ceritanya tidak seperti yang terjadi sebenarnya. Namun ada beberapa kejadian dalam film De Oost yang terinspirasi dari kisah nyata. Perilisan De Oost menarik cukup banyak perhatian dan juga kecaman dari berbagai pihak salah satunya Organisasi Veteran Belanda yang menyatakan bahwa penggambaran prajurit Belanda yang buruk karena sering memberikan hinaan rasis. Akan tetapi hingga saat ini, belum ditemukan penelitian yang membahas mengenai rasisme dalam film De Oost (2020). Kata kunci: De Oost, representasi, film, rasisme, pribumi.

Racism is a form of oppression in which one racial group dominates another. In Indonesia, racism is not a new problem. Racism has emerged since Dutch colonialism in Indonesia. The evidenced by the imprint of citizenship regulations by the Dutch colonial government, which classified the population of the Dutch East Indies in 1854 based on race. This racism occurred because the Dutch considered the white race higher than the indigenous race. Concerning the racism mentioned above, in 2020, a film called De Oost or in an international release titled “The East,” was written and directed by Jim Taihuttu. This film is fictional because the story is not like what happened. However, several events in the film are inspired by the actual event. The release of De Oost attracted quite a lot of attention and criticism from various parties, one of which was the Dutch Veterans Organization which stated that the portrayal of Dutch soldiers was terrible because they often gave racist insults. However, until now, no research has been found that discusses racism in the film De Oost (2020)."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2021
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Annisaa Aprillia Setiawan
"Rasisme sudah menjadi permasalahan umum di masyarakat khususnya bagi kelompok kulit hitam hingga saat ini. Di Jerman sendiri ujaran rasisme sudah diutarakan oleh Hitler sejak tahun 1933 yang pada saat itu menganggap bangsa Arya di atas segalanya, sehingga bangsa Yahudi dinilai tidak pantas untuk berada di Jerman. Peristiwa tersebut masih berdampak hingga saat ini, yaitu terdapat ujaran dan tindakan rasisme terhadap kelompok minoritas. Film Berlin Alexanderplatz (2020) yang menjadi korpus data dalam penelitian ini menampilkan bagaimana kehidupan imigran kulit hitam bertahan hidup dan mencapai kehidupan yang layak, sehingga penelitian ini berfokus pada bagaimana rasisme ditampilkan dan kelompok minoritas direpresentasikan dalam film Berlin Alexanderplatz (2020). Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dan kajian pustaka serta teori sinematografi Joseph V. Mascelli dan teori representasi Stuart Hall untuk mencari makna dari percakapan dan adegan dalam film. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tindakan rasisme dan representasi kelompok minoritas ditampilkan melalui tiga tahapan kehidupan yang dialami oleh Franz, yaitu ketika dirinya belum memiliki apa- apa, ketika dirinya telah berhasil mencapai kehidupan yang layak, dan ketika dirinya kembali ke tahap kehidupan awal yang tidak memiliki apa-apa. Pemaparan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa kelompok minoritas masih diperlakukan secara semena-mena dan keberadaannya dianggap remeh.

Racism has been a common society issue, especially for black people. In Germany racism had been uttered by Hitler since 1933, which the Aryans were on the top amongst the other. Therefore, the Jewish were not considered fit to live in Germany. The event still has an impact until now, namely there are racism actions and speech against the minorities. The film Berlin Alexanderplatz (2020) which is the corpus of this research shows how the lives of black immigrants survive and achieve a decent life, so this research focuses on how racism is showed and minority groups are represented in the film Berlin Alexanderplatz (2020). Theory of cinematography by Joseph V. Mascelli, theory of representation by Stuart Hall, qualitative methods and literature review are used to find the meaning of conversation and scenes in the film. The results show that act of racism and the representation of minorities showed through three Franz’s life stages, namely when he has nothing, when he has succeeded in achieving a decent life, and when he returns to his empty life. This research also shows that the minorities are still treated arbitrarily and their existence is underestimated. "
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Tazkia Maula Azzari
"Prancis memiliki angka populasi imigran yang besar di antara negara-negara Eropa dan banyaknya imigran di Prancis berpotensi menimbulkan konflik yang berkaitan dengan masalah integrasi. Dalam menghindari munculnya konflik ini, Prancis menuntut para imigrannya untuk berintegrasi sebagai masyarakat Prancis semaksimal mungkin. Akan tetapi, tuntutan ini seakan-akan membatasi para imigran dalam mengekspresikan identitas budaya negara asal mereka. Benturan budaya juga sering menjadi sebab permasalahan integrasi di Prancis. Tidak jarang mereka berperilaku seperti stereotip kelompok mereka yang sering dikaitkan dengan kriminalitas. Sebagai respon, sebagian masyarakat lain memperlakukan mereka dengan rasis. Ironisnya, mereka dianggap sebagai sebuah ancaman bagi ketertiban lingkungan, tetapi rasisme sendiri pun merupakan sebuah ancaman bagi eksistensi mereka. Ancaman dari tindakan yang sudah menjadi sebuah habitus ini dapat dilihat dalam film Les Misérables. Ditemukan bahwa salah satu tokoh polisi hitam, Gwada, menghadapi rasisme yang terinternalisasi sebagai bentuk habitus yang ada di departement Seine-Saint-Denis. Metode yang digunakan untuk menganalisis masalah ini adalah dengan menggunakan kajian film Boggs dan Petrie (2008), teori mengenai habitus milik Bourdieu (1994) yang digunakan untuk menganalisis bagaimana rasisme dapat terinternalisasi dalam diri tokoh, dan konsep rasisme terinternalisasi milik Pyke (2010). Hasil analisis menemukan bahwa institusi kepolisian memiliki peran besar dalam membentuk dan mempertahankan habitus yang sudah ada di lingkungan masyarakat. Ditemukan juga bagaimana institusi tersebut mempengaruhi tokoh lain untuk memiliki rasisme yang terinternalisasi dalam dirinya.

France has the biggest population of immigrants among European countries and the bigger the numbers, the bigger the chances of creating integration issues. As an effort to avoid conflicts, France demands their immigrants to fully integrate as French citizens as much as they possibly can. However, this demand limits immigrants in expressing the cultures that come from their homeland. Cultures clashing often becomes the reason that they’re having problems integrating. It is also not rare to find them behaving like their group’s stereotypes that are often associated with criminality. As a response, immigrants would be treated in a racist way by some people. Ironically, they would also be treated as a threat to society, but racism itself is a threat to their existence. The threat of this action that has become a habitus can be seen in the film Les Misérables (2019). It is found that one of the policemen, Gwada who is a black man, is facing internalized racism as a form of habitus that can be found in Seine-Saint-Denis. In this article, Boggs and Petrie’s (2008) film theory, Bourdieu’s (1994) habitus theory, and the Pyke’s (2010) concept of internalized racism were used to help with analyzing how racism can be internalized in one of the characters. As a result of the analysis, it is found that the police institution has a big role in creating and maintaining a habitus in society. It is also found how that institution can influence other characters into having internalized racism in himself."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Fajar Illahi Ramadhan
"Max Havelaar: of de koffieveilingen der Nederlandsche handelsmaatschappij (1976) merupakan film hasil karya sutradara asal Belanda, Fons Rademakers, sekaligus film hasil adaptasi novel karya Multatuli dengan judul serupa yang terbit pada tahun 1860. Pada awalnya peluncuran film ini sempat menimbulkan kontroversi dari kalangan masyarakat Indonesia karena kesan yang muncul saat menonton bukanlah seperti menonton film anti-kolonialisme, melainkan sekadar kisah tentang seorang pejabat pemerintah Belanda yang baik dan konfliknya dengan Belanda. Seakan-akan hanya memperlihatkan orang Belanda yang digambarkan sebagai orang baik dan orang Indonesia sebagai penjahat. Kontroversi ini menimbulkan permasalahan bagaimana sebenarnya kolonialisme serta rasisme direpresentasikan pada film Max Havelaar. Penelitian ini ditujukan agar dapat mengetahui adanya nilai-nilai rasisme dalam film Max Havelaar yang merepresentasikan budaya kolonialisme pada masa Hindia Belanda. Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan teknik dokumentasi-observasi, dengan teori semiotika oleh Roland Barthes untuk menganalisis pemaknaan tanda rasisme melalui sistem pemaknaan denotatif (denotation), konotatif (connotation) dan meta-bahasa (metalanguage) atau mitos. Hasil dari penelitian ini berupa tiga fakta rasisme dalam film Max Havelaar yaitu; (1) perbudakan serta eksploitasi terhadap bangsa pribumi, (2) prasangka buruk antar bangsa Belanda dan pribumi, dan (3) diskriminasi terhadap bangsa pribumi.

"Max Havelaar: of de koffieveilingen der Nederlandsche handelsmaatschappij" (1976) is a film by Dutch director, Fons Rademakers, as well as a film adaptation of Multatuli's novel with the same title which was published in 1860. At first the release of this film caused controversy among Indonesian people because the impression that emerged when watching it was not like watching an anti-colonialism film, but simply a story about a good Dutch government official and his conflict with the Dutch. It's as if it only shows Dutch people as good people and Indonesians as criminals. This controversy raises the problem of how colonialism and racism are actually represented in Max Havelaar film. This research is aimed at finding out the existence of racist values in the Max Havelaar film which represents the culture of colonialism during the Dutch East Indies. The research method used is qualitative with documentation-observation techniques, with semiotic theory by Roland Barthes to analyze the meaning of signs of racism through denotative, connotative and metalanguage or myth systems. The results of this research are three facts about racism in the Max Havelaar film, namely; (1) slavery and exploitation of native peoples, (2) prejudice between Dutch and native peoples, and (3) discrimination against native peoples."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2024
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Doel, Wim van den
Amsterdam: Bert Bakker, 2011
BLD 949.205 DOE z
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Muhamad Dwiki Armani
"Film dengan genre animasi memiliki daya tarik tersendiri. Film animasi dapat merepresentasikan unsur kebudayaan suatu bangsa dengan grafis yang beragam dan menarik. Salah satu film yang merepresentasikan budaya Cina antara lain adalah Film Turning Red '青春变形记' (Qīngchūn biànxíng jì) (2020). Representasi budaya Cina dalam film Turning Red menampilkan unsur-unsur ajaran Konfusianisme dalam hubungan keluarga. Konfusianisme merupakan salah satu unsur kebudayaan Cina yang berisi falsafah hidup bagi etnis Cina baik yang tinggal di daratan Cina, maupun di luar daratan Cina. Dalam Konfusianisme terdapat konsep harmonisasi sebagai unsur bijak manusia antara lain Ren 仁 (kemanusiaan), Yi 義 (kebajikan/keadilan), Li 礼 (etika), Zhi 知 (pengetahuan), Xin 信 (integritas), Zhong 忠 (kesetiaan), 孝 (Xiào) (bakti kepada orang tua). Penelitian ini bermaksud untuk mengetahui bagaimana representasi Xiao pada film animasi berjudul Turning Red melalui penokohan Meilin Lee, Ming Lee, dan Wu. Melalui metode kualitatif, penelitian ini akan mengungkapkan bagaimana bentuk representasi konsep Xiao yang ditunjukan pada film Turning Red melalui adegan tokoh-tokoh pada film. Melalui pendekatan deskriptif, penelitian ini menemukan bahwa konsep Xiao merupakan faktor penting dalam membangun alur dan penokohan dalam film ini.

Films with the animation genre have their own charm. Animated films can represent elements of a nation's culture with diverse and attractive graphics. One of the films that represents Chinese culture is Turning Red '青春变形记' (Qīngchūn biànxíng jì) (2020).The representation of Chinese culture in the film Turning Red displays elements of Confucianism in family relationships. Confucianism is one of the elements of Chinese culture which contains a philosophy of life for ethnic Chinese both living in mainland China and outside mainland China. In Confucianism there is the concept of harmonization as a wise human element, including Ren 仁 (humanity), Yi 義 (virtue/justice), Li 礼 (ethics), Zhi 知 (knowledge), Xin 信 (integrity), Zhong 忠 (loyalty), 孝 (Xiào) (filial piety). This study intends to find out how Xiao is represented in the animated film Turning Red through the characterizations of Meilin Lee, Ming Lee, and Wu. Through qualitative methods, this study will reveal how the form of representation of Xiao's concept is shown in the film Turning Red through the scenes of the characters in the film. Through a descriptive approach, this research finds that Xiao's concept is an important factor in developing the plot and characterizations in this film."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia, 2023
MK-pdf
UI - Makalah dan Kertas Kerja  Universitas Indonesia Library
cover
Preger W.
Melbourne : F. W. Cheshire pty. ltd. , 1944
959.802 2 PRE d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Preger, W.
Melbourne: F.W Chesire, 1944
351.809 92 PRE d
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Rizki Nurmaya Oktarina
"ABSTRAK
Dongeng putri yang diproduksi oleh Disney telah menjadi salah satu jenis cerita yang membuat perusahaan Disney sangat terkenal. Stereotip putri-putri yang diproduksi oleh Disney pada awalnya berkulit putih. Seiringnya waktu, Disney mulai memfilmkan sebuah film animasi dengan putri yang lebih berwarna. Pada tahun 2009, Disney mengeluarkan putri ras Afrika-Amerika bernama Tiana melalui film The Princess and the Frog (2009). Namun ada ambiguitas yang tercermin dalam penggambaran karakter black dalam film ini. Untuk membantu menganalisis film ini, teori semiotikanya Barthes akan digunakan. Dengan teori tersebut penulis akan melihat bahwa di satu sisi Disney ingin menunjukan Amerika sudah “buta warna”. Film ini terlihat seperti sebuah cerminan yang dipercaya Disney benar dan ideal tentang masyarakat Amerika. Disisi lain, dalam cerminan masyarakat yang ideal ini, black masih tergambarkan dalam strata sosial bawah. Dari sini kita dapat melihat bahwa gagasan “semua manusia diciptakan sederajat” yang tertuliskan dalam deklarasi kemerdekaan Amerika, tidak sepenuhnya diterapkan dalam masyarakatnya.

ABSTRACT
Disney princess fairytales have been one of the genres that made the Disney company so famous. At first, Disney princesses were stereotyped as white skinned. As time goes by, Disney started filming animated movies with more colored princesses. In 2009, Disney released a movie based on an African-American princess named Tiana through the movie „The Princess and the Frog‟ (2009). Ambiguities that tends to be racist are still deplicted in the film. To help analyzing this movie, Barthes‟ semiotics theory will be used. By using that theory, the writer will see that in one hand Disney is trying to convey that America has become “color blind”. This movie tends to picturize a reflection what Disney believe is true and ideal about the American society. On the other hand, inside that ideal society, blacks are still pictured as lower class. Here we see that the notion “all men are created equal” which is written in the declaration of Independence, is not fully implemented in the American society."
Program Pascasarjana Universitas Indonesia, 2013
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Nanda Luthfiah Rahmawati
"Setelah Indonesia menyatakan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945, perjuangan bangsa Indonesia melawan Belanda dan sekutu tidak langsung usai. Belanda kemudian melancarkan Agresi Militer I dan mengerahkan pasukan khusus yang salah satunya dipimpin oleh Letnan Satu Raymond Paul Pierre Westerling untuk memberantas tokoh-tokoh yang masih memperjuangkan kemerdekaan. Peristiwa pemberantasan itu kemudian diadaptasi menjadi sebuah film yang dirilis pada tahun 2020 berjudul De Oost. Walaupun film ini berlatarkan Indonesia yang telah merdeka, kemunculan Orientalisme masih dapat dilihat. Dampak dari adanya Orientalisme mempengaruhi persepsi penonton mengenai keseluruhan jalan cerita film. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan wacana Orientalisme dalam film De Oost. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa di dalam film De Oost, Orientalisme dapat dilihat melalui latar tempat, perilaku dan tutur kata bangsa Eropa yang merendahkan pribumi, serta ujaran yang merendahkan Hindia-Belanda. Dari film ini juga diketahui bahwa wacana Orientalisme tidak hilang begitu saja walaupun Indonesia telah merdeka.

After Indonesia declared independence on August 17, 1945, the struggle of Indonesian peoples against the Netherlands and the Allies was not over yet. The Netherlands then launched Operation Product and mobilized a special force, one of which was led by First Lieutenant Raymond Pail Pierre Westerling to eradicate figures who were still fighting for Indonesia’s independence. That eradication was adapted as a film titled De Oost which was released in 2020. Even though this film was set after Indonesia’s independence, Orientalism can still be seen in it. The impact of Orientalism in the film affects the viewers’ perception about the whole film. This research aims to explain Orientalism in the film De Oost. The result of this research shows that Orientalism can be seen in how the places are shown, Europeans’ behaviors and speech that degrade the natives, as well as speech that degrades Dutch East Indies. From this film it is also known that Orientalism didn’t just disappear after Indonesia declared independence."
Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan dan Budaya Universitas Indonesia, 2022
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>