Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 143086 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rendy Anwar
"Latar belakang: Proses pembedahan seperti kraniotomi mengakibatkan inflamasi, dimulai sejak awal insisi dan berdampak pada kejadian nyeri pascabedah yang memengaruhi lama rawat pasien. Lidokain intravena intraoperatif memiliki efek analgesik dan antiinflamasi yang terbukti efektif sebagai terapi ajuvan dalam manajemen nyeri pasca pembedahan abdominal. Penelitian ini bertujuan untuk mengevaluasi efek pemberian lidokain intravena kontinyu intraoperatif pada kraniotomi, terhadap nyeri pascabedah, kadar TNF-alfa, dan lama rawat.
Metode: Randomized controlled trial ini menggunakan pengambilan sampel secara consecutive sampling. Sebanyak 50 subjek penelitian dengan tumor otak yang menjalani kraniotomi. Kelompok intervensi diberikan bolus intravena lidokain 2% dosis 1,5 mg/kgBB saat induksi, dilanjutkan rumatan 2 mg/kgBB/jam. Kelompok kontrol dengan pemberian NaCl 0,9% dengan volume sama. Luaran penelitian adalah skala nyeri pascabedah berdasarkan nilai NPS, kadar TNF-alfa dan lama rawat.
Hasil: Skor nyeri sesuai nilai NPS pada 1 jam pascabedah, 6 jam pascabedah, dan 24 jam pascabedah antara kelompok intervensi dengan kontrol (p < 0,001). Terdapat perbedaan bermakna antar dua kelompok mengenai selisih kadar TNF-alfa prainduksi dengan 1 jam pascabedah (p = 0,001). Sedangkan selisih kadar TNF-alfa prainduksi dengan 24 jam antar dua kelompok tidak menunjukkan perbedaan signifikan (p = 0,334). Luaran lama rawat tidak berbeda bermakna.
Simpulan: Pemberian lidokain intravena kontinyu intraoperatif dibandingkan plasebo pada kraniotomi berpengaruh terhadap nyeri pascabedah dan kadar TNF-alfa, namun tidak berpengaruh pada lama rawat.

Background: Surgery such as craniotomy causes inflammation which affects the incidence of postoperative pain and then affect hospitalization duration. Lidocaine has analgesic and anti-inflammatory effects which effective as an adjuvant in the management of postoperative pain in abdominal surgery. This study aims are to investigate the effects of the intraoperative continuous intravenous lidocaine during craniotomy on postoperative pain, TNF-α levels, and hospitalization duration.
Methods: This randomized controlled trial uses consecutive sampling method. A total of 50 subjects with brain tumors underwent craniotomy. The therapy group was given lidocaine 2% intravenous bolus 1.5 mg/kg at induction followed by maintenance at 2 mg/kg/hour, the control group was given NaCl 0.9% with the same volume. The outcomes assessed were postoperative pain, TNF-α levels, and hospitalization duration.
Results: There was a significant difference in NPS 1-hour postoperative, 6-hour postoperative NPS, and 24-hour postoperative NPS scores between the treatment group and the control group (p < 0.001). There was a significant difference between pre-induction TNF-α levels and 1 hour postoperatively (p = 0.001) however pre-induction TNF-α levels with 24 hours was not significantly different (p = 0.334). There was no significant difference in hospitalization duration between those groups.
Conclusions: Intraoperative continuous intravenous lidocaine administration compared to placebo at craniotomy had an effect on postoperative pain and TNF-α levels but had no effect on hospitalization duration.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Simatupang, Lasmida Ruth A.
"Latar Belakang: Refleks okulokardiak dengan manifestasi bradikardia, aritmia hingga
asistol masih sangat potensial terjadi pada operasi strabismus. Operasi dalam anestesi
umum saja belum dapat mencegah kejadian tersebut. Tujuan: Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui apakah injeksi ropivakain 0,75% subtenon dengan kombinasi anestesi
umum menunjukkan hasil yang lebih baik dalam menurunkan angka kejadian refleks
okulokardiak dan nyeri pasca operasi. Metode: Uji klinis acak terkontrol tersamar ganda
dilakukan pada 15 subjek usia 7-60 tahun yang menjalani reseksi rektus medial/lateral
dan status fisik sesuai American Society of Anesthesiologists adalah ASA I-II.
Randomisasi membagi subjek menjadi dua kelompok yaitu ropivakain dan plasebo.
Perubahan laju nadi dan kejadian refleks okulokardiak diukur saat insisi konjungtiva,
traksi dan reseksi otot. Nyeri pasca operasi dinilai pada jam ke-1,2,4 dan 6 dengan Visual
Analog Score (VAS). Hasil: Penelitian ini menunjukkan rerata laju nadi pada kelompok
intervensi pasca induksi, insisi konjungtiva, traksi dan reseksi otot adalah 70.4, 66.8, 65.4,
dan 65.4 secara berurutan, sedangkan plasebo 78, 74.5, 68.8, dan 74.8 kali per menit.
Insidens kejadian refleks okulokardiak pada kelompok intervensi adalah 28.5%
sedangkan plasebo 50% (p>0.05). Median skor nyeri kelompok intervensi lebih rendah
pada jam pertama pasca operasi. Kesimpulan: Walaupun tidak bermakna secara statistik,
namun secara klinis, dengan power penelitian 75%, kombinasi anestesi umum dan injeksi
subtenon memberi hasil yang lebih baik.

Background: Squint surgery is associated with oculocardiac reflex with bradycardia,
arrhythmia and even asystole case. Surgery in general anesthesia alone could not prevent
this reflex. Objective: The aim of this study was to investigate the effects of a sub-
Tenon’s block combined with general anesthesia on oculocardiac reflex and
postoperative pain. Method: This double blind randomized controlled trial included 15
patients aged 7-60 years scheduled for medial/lateral rectus resection and American
Society of Anesthesiologists status were ASA I-II. Patients were randomly allocated to
receive either sub-Tenon ropivacaine 0,75% or placebo prior to surgery. Changes in heart
rate and incidence of oculocardiac reflex were measured during several stages. Result:
The mean heart rate measured at post induction, conjunctival incision, muscle traction
and resection in ropivacaine group were 70.4, 66.8, 65.4, and 65.4 bpm, respectively and
in placebo group were 78, 74.5, 68.8, and 74.8 bpm. Incidence of oculocardiac reflex in
ropivacaine and placebo group were 28,5% and 50% respectively (p>0.05). Median pain
scores were lower in ropivacaine group at the first hour postoperative. Conclusion: We
conclude that eventhough statistically there was no difference between two groups (power
75%), clinically, combination of ropivacaine 0,75% sub-Tenon block with general
anesthesia showed lower incidence of oculocardiac reflex and lower pain score at the first
hour after surgery.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Immaculata Astrid Budiman
"ABSTRAK
Latar Belakang: Nyeri pascaoperasi evakuasi minyak silikon intravitreal masih menjadi hal yang mengganggu bagi sebagian besar pasien. Nyeri pascaoperasi ini dapat diatasi dengan berbagai cara, salah satunya dengan penggunaan anestetik lokal. Obat anestetik lokal yang sering digunakan sebagai analgesia pascaoperasi mata adalah bupivakain 0,5 . Teknik penggunaan anestetik lokal sebagai analgesia pascaoperasi mata pun beragam, salah satunya adalah subkonjungtiva. Minimnya resiko dan komplikasi teknik ini bisa menjadi pilihan yang baik dibandingkan teknik lainnya. Penelitian ini secara umum ingin mengetahui efektivitas bupivakain 0,5 subkonjungtiva sebagai analgesia pascaoperasi minyak silikon intravitreal.Metode: Penelitian ini merupakan uji klinis pada pasien yang akan menjalani operasi evakuasi minyak silikon intravitreal terencana di RSUPN Cipto Mangunkusumo Jakarta. Setelah mendapatkan izin komite etik dan informed consent sebanyak 30 subjek didapatkan dengan consecutive sampling pada bulan Oktober 2016 ndash; Februari 2017. Pasien langsung dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu kelompok bupivakain B dan kelompok NaCl 0,9 NS , sesuai hasil randomisasi. Kelompok B akan diberikan bupivakain 0,5 subkonjungtiva pada akhir operasi, sedangkan kelompok NS mendapatkan NaCl 0,9 subkonjungtiva pada akhir operasi. Kedua kelompok juga mendapatkan parasetamol 20 mg/kgBB intravena pada akhir operasi. Data yang diperoleh adalah nilai Visual Analgoue Scale VAS , saat pertama kebutuhan analgesia dan angka kejadian mual-muntah selama 24 jam pertama pascaoperasi. Dengan menggunakan SPSS 21 dilakukan uji Anova for repeated measure untuk membandingkan rerata derajat nyeri 24 jam pascaoperasi antara kedua kelompok. Uji Fischer digunakan untuk mengetahui perbandingan saat pertama kebutuhan analgesia tambahan antara kedua kelompok. Hasil: Terdapat perbedaan bermakna rerata derajat nyeri 24 jam pascaoperasi evakuasi minyak silikon intravitreal antara kelompok B dan kelompok NS dengan nilai p=0,001. Terdapat perbedaan bermakna antara saat pertama kebutuhan analgesia tambahan antara kedua kelompok dengan p=0,042. Insiden mual-muntah hanya terjadi pada kelompok NS dengan proporsi mual 6 dan proporsi muntah 3 .Simpulan: Bupivakain 0,5 subkonjungtiva efektif sebagai analgesia pascaoperasi evakuasi minyak silikon intravitreal. Kata Kunci: analgesia pascaoperasi evakuasi minyak silikon intravitreal, bupivakain 0,5 subkonjungtiva

ABSTRACT
Background Intravitreal silicon oil removal surgery can cause mild moderate postoperative pain and discomfort in most patients. Postoperative pain can be managed by using many methods, including local anesthetic drug. One of the common local anesthetic drugs is bupivacaine 0,5 . The application techniques also vary, such as subconjungtival application.It was a good alternative for postoperative analgesia in the ophtalmic surgery because its minimal risks and complications. The purpose of this research was to measure the effectiveness of subconjunctival bupivacaine 0,5 as postoperative analgesia in silicon oil removal surgery.Method This was a double blind randomized clinical study in patients undergoing elective intravitreal silicon oil removal surgery at Cipto Mangunkusumo Hospital. Thirty consecutive patients, enrolled from October 2016 ndash February 2017, were randomized to receive subconjunctival bupivacaine 0,5 or subconjunctival placebo NaCl 0,9 at the end of the surgery. The primary outcome was the pain score 24 hours after surgery, using a 100 mm Visual Analogue Scale VAS . Intraveous injection of tramadol 50 mg were given if the VAS 4. Secondary outcomes were the time to first analgesic requirement and the incidence of nausea vomiting. Statistical analysis was conducted to measure the difference between 24h pain score in the bupivacaine group compare to placebo group group NS .Result The overall 24 hours postoperative pain score was significantly different between the bupivacaine group compare to placebo group, p 0,001. In 24 hours postoperative there were only five samples need additional analgesia in the placebo group. The time to first analgesic requirement was significantly different between the two group, p 0,042. Nausea ndash vomiting only happened in the placebo group with proportion 6 and 3 respectively.Conclusion Subconjunctival bupivacaine 0,5 was effective as postoperative analgesia in intravitreal silicon oil removal surgery. Keywords postoperative analgesia, intravitreal silicon oil removal surgey, subconjunctival bupivacaine"
2017
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sidik Awaludin
"ABSTRAK
Nyeri pascabedah jantung menjadi masalah bagi pasien, sehingga perlu intervensi dengan terapi farmakologi dan non farmakologi seperti terapi komplementer keperawatan. Terapi komplementer dari beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan perawat merupakan terapi tunggal dan kombinasi dua terapi. Bentuk kombinasi tiga terapi seperti pijat, hipnosis, dan musik (Formula PHISIK) bekerja saling menguatkan dalam menurunkan nyeri. Tujuan penelitian ini mengidentifikasi pengaruh pemberian formula PHISIK terhadap intensitas nyeri pascabedah jantung di RS PJNHK Jakarta. Desain penelitian ini yaitu quasi eksperiment design dengan non equivalent control group design. Sampel dalam penelitian ini adalah 36 pasien pascabedah jantung. Pemberian formula PHISIK menurunkan intensitas nyeri secara signifikan melalui selisih skala nyeri, denyut jantung, frekuensi pernafasan, dan tekanan darah pra dengan pascaperlakuan (p value < 0,05). Formula PHISIK berpengaruh secara signifikan dalam menurunkan skala nyeri, denyut jantung, frekuensi pernafasan, dan tekanan darah pada pasien pascabedah jantung. Formula PHISIK dapat digunakan sebagai bagian dari intervensi keperawatan dalam upaya menurunkan nyeri pascabedah jantung.

ABSTRACT
Post-cardiac surgery pain has become a problem for patients. Therefore, it needs intervention either use pharmacological or non-pharmacological therapies. Complementary therapies from several previous studies by nurses are focused on a single or two combined therapy. No study found to combine more than two. A combination of three therapies such as massage, hypnosis, and music (PHISIK formula) each other may reduce pain.The objective to identify the effect of PHISIK formula to pain intensity of patient with post-cardiac surgery pain at national cardiac center hospital Harapan Kita Jakarta. This study used a quasi-experimental design with non-equivalent control group design. The sample in this study were 36 post-cardiac surgery patients. PHISIK formula significantly reduce pain intensity as showed in the difference of pre post-treatment on pain scale, heart rate, respiratory rate, and blood pressure (p value < 0,05). PHISIK formula is found significant reduce pain scale, heart rate, respiratory rate, and blood pressure on post-cardiac surgery. PHISIK formula can be used as part of a nursing intervention in reducing post-cardiac surgery pain."
2013
T35842
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Martyarini Budi S
"Perawatan luka dianggap sebagai prosedur yang menyakitkan dan menyebabkan kecemasan bagi pasien. Agen analgesia yang diberikan terkadang tidak dapat mengatasi nyeri proseduraldan memberikan efek samping yang merugikan. Intervensi dengan permainan elektronik berdasarkan pada distraksi yang digunkan untuk menghambat rangsang nyeri mengarah ke otak. Penelitian ini betujuan ingin mengetahui efek dari permainan elektronik terhadap nyeri pada pasien post ORIF. Metode penelitian menggunakan quasi-experimental with a post-test only with control group, dengan 12 sampel dalam tiap kelompok ( Kelompok kontrol dan Kelompok Intervensi). Penelitian ini mengunakan uji t independent sebagai uji statistik. Hasilnya, rata-rata skala nyeri pada pasien kelompok kontrol adalah 65.5 (SD.10.75) dan kelompok intervensi adalah 47.75 (SD 15.1). Penelitian ini mebuktikan bahwa permainan elektronik mempunyai ekef distraksi pada nyeri prosedur dan dapat digunakan sebagai pilihan untuk terapi komplementer pada nyeri akut.

The management of wound dressing is reported as painful, distressing and a cause of anxiety for the patient. The traditional method of pharmacologic analgesia is often insufficient to cover procedural pain, and it can have deleterious side effects. Intervention with electronic games is based on distraction or interruption in the way current thoughts, including pain, are processed by the brain.This study investigates whether playing a electronical game, decreases procedural pain in patient with post ORIF. The paper reports on the findings of aquasi-experimental with a post-test only with control group, in which 12 patient in each group (Control Group & Intervention Group).This study used t - independet test for the statistical test.The result showed average pain scores for control group was, 65.5 mm (SD 10.75), while the intervention group who having electronical games, the average pain score was 47.75 mm(SD 15.1). The study provides strong evidence supporting electronical games in providing distraction effect on the procedural pain, suggesting another option in complementary theraphy of patient acute pain."
Depok: Universitas Indonesia, 2012
T30744
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Aqila Naridipta Anindyahapsari
"Latar Belakang. Nyeri pascabedah adalah masalah utama pascalaparotimi yang dapat meningkatkan mortalitas dan morbiditas pascabedah. Derajat nyeri pascalaparotomi dipengaruhi berbagai faktor, salah satunya jenis pendekatan laparotomi. Penelitian ini memiliki tujuan untuk menilai perbandingan derajat nyeri pascalaparotomi digestif di atas umbilikus dan ginekologi yang mendapat analgesia kombinasi intravena dan epidural. Metode penelitian. Penelitian ini dilakukan dengan metode kohort retrospektif terhadap 34 pasien wanita yang menjalani laparotomi digestif atas dan 34 pasien laparotomi ginekologi yang berusia 18 hingga 65 tahun dengan klasifikasi ASA I hingga III di Rumah Sakit Umum Pusat Nasional Dr. Cipto Mangunkusumo dari Januari 2022 hingga Juli 2023. Data pasien dipilih secara konsekutif dari rekam medik rumah sakit. Pasien dengan data yang tidak lengkap dan komplikasi pascabedah yang serius dikecualikan dari penelitian. Data kemudian diolah menggunakan SPSS dan dianalisis dengan uji Mann- Whitney. Hasil. Rata-rata derajat nyeri pasca bedah sewaktu beristirahat pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus yaitu sebesar 2.09 ± 0.9 dan 2.53 ± 1.187 pada laparotomi ginekologi. Sedangkan derajat nyeri sewaktu bergerak pada pasien yang menjalani laparatomi digestif di atas umbilikus sebesar 3.82 ± 1.242 dan 3.12 ± 0.046 pada pasien yang menjalani laparatomi ginekologi. Terdapat perbedaan yang bermakna secara statistik pada perbandingan derajat nyeri pascabedah laparatomi sewaktu bergerak ( p =0.016). Derajat nyeri sewaktu istirahat laparatomi digestif di atas umbilikus dengan pasien laparatomi ginekologi tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna. (p 0.098). Kesimpulan. Dengan pemberian kombinasi analgesia epidural dengan analgetik intravena, derajat nyeri pascabedah sewaktu bergerak pada laparotomi digestif di atas umbilikus lebih tinggi signifikan dibandingkan laparatomi ginekologi meskipun secara klinis tidak bermakna. Tidak terdapat perbedaan signifikan derajat nyeri pada waktu istirahat pada kedua jenis pembedahan.

Introduction. Postoperative pain can lead to serious complications. The intensity of postoperative pain is influenced by numerous factors, such as type of laparatomy. Multimodal analgesia is recommended to manage postlaparatomy pain. This study aims to compare the intensity of post digestive and gynecology laparatomy pain in patients with intravenous and epidural analgesia. Method. This study is conducted using retrospective cohort method approach on 34 female patients underwent upper digestive laparatomy and 34 female patients underwent gynecology laparatomy, aged 18 to 65, classified as ASA I -- III in Dr. Cipto Mangunkusumo Hospital from January 2022 to July 2023. Patient data was consecutively selected from hospital’s medical records. Patient with incomplete data and severe postoperative complications were excluded from the study. The data was then analyzed using SPSS and the analysis were tested using the Mann-Whitney. Results. The mean of postoperative pain at rest in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 2.09 ± 0.9 , and 2.53 ± 1.187 in gynecologic laparotomy. Meanwhile, the mean of postoperative pain during movement in patients undergoing upper umbilical digestive laparatomy is 3.82 ± 1.242 and 3.12 ± 0.946 for gynecologic laparatomy. There is statistically significant difference in the comparison of postoperative pain levels during movement with a p value of 0.016. There is no significant difference in postoperative pain levels at rest between patients undergoing digestive laparotomy upper umbilicus and gynecologic laparotomy patients with p value of 0.098. Conclusion. The degree of postoperative pain during movement is statisically significant but not clinically important in digestive laparatomy upper umbilicus compared to gynecologic laparotomy when given the combination of intravenous and epidural analgetics."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Trowce Lista Nalle
"ABSTRAK
Nyeri merupakan keluhan utama penderita kanker yang dapat mempengaruhi kualitas hidupnya. Langkah awal untuk menanggulangi nyeri akibat kanker adalah penilaian nyeri. Penatalaksanaan nyeri yang adekuat akan tercapai bila nyeri dijadikan tujuan utama dalam pengobatan kanker, hal ini dapat terpenuhi bila ada kesesuaian antara derajat nyeri yang dilaporkan pasien dengan analgesik yang diresepkan. Tujuan penelitian yaitu menilai ketepatan pemilihan analgesik dan keadekuatan terapi analgesik pada pasien nyeri kanker. Metode penelitian ini merupakan penelitian observasional prospektif dengan cara melakukan kajian penggunaan analgesik pada pasien dewasa dengan nyeri kanker yang menjalani rawat inap di RSCM periode Maret-Mei 2016, pengambilan sampel dilakukan secara consecutive sampling yaitu semua pasien baru dengan nyeri kanker dan sesuai kriteria inklusi dimasukkan dalam penelitian ini sampai jumlah sampel yang diinginkan terpenuhi. Keadekuatan terapi dinilai dengan Pain Management Index PMI . Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif. Hasil yang didapat dari 96 pasien yang dirawat, pada awal masuk didapatkan nyeri ringan pada pada 55 pasien 57,29 , setelah 24 jam rawat pada 60 pasien 62,5 dan setelah 48 jam rawat; nyeri ringan didapatkan pada 80 83,33 pasien. Nyeri sedang di awal masuk 41 42,7 pasien, setelah 24 jam 36 37,5 pasien dan 48 jam sebanyak 16 16,66 pasien. Dari 96 pasien yang dirawat terdapat 672 penggunaan analgesik. Jenis analgesik yang paling banyak digunakan adalah Parasetamol tablet 51,63 . Persentase cara pemberian analgesik secara oral 77,23 dan intravena 21,87 . Ketepatan penggunaan analgesik berdasarkan derajat nyeri adalah 290 43,1 penggunaan dari 672 penggunaan. Skor PMI nol dan positif didapatkan 95 98,9 pasien dan skor negatif 1 0,01 pasien. Overtreatment didapatkan pada 79 82,2 pasien. Tingkat kepuasan pasien dengan skor kepuasan > 5 pasien yang merasa puas adalah 77,08 . Kesimpulan dalam penelitian ini didapatkan ketepatan pemilihan jenis analgesik masih relatif rendah, meskipun tingkat kepuasan tinggi 77,08 Kata kunci :Analgesik, nyeri kanker, derajat nyeri

ABSTRACT
Abstract Pain is an important problem for cancer patients that can affect their quality of life. The first step to manage cancer pain is assessing the pain. Adequate pain management will be achieved if pain control is the main goal in cancer treatment. This will be fulfilled if there is compatibility between pain level reported by the patient and prescribed analgesic.To evaluate the accuracy of analgesic selection and the adequacy of analgesic therapy in cancer pain patients.This research is a prospective observational study, by reviewing analgesic administration in adult patients with cancer pain that were hospitalized in Cipto Mangunkusumo Hospital in March to May 2016. Subjects were selected by consecutive sampling admissions, i.e. all new admitted patients with cancer pain that meet inclusion criteria were included in the study until required sample was fulfilled. The adequacy of therapy was measured with Pain Management Index PMI . Collected data was analyzed descriptively. Results from 96 selected subjects, mild pain was found in 55 patients 57,29 at the time of admission, 60 patients 62,5 at 24 hours of hospitalization, and 80 patients 83,33 at 48 hours of hospitalization. Moderate pain was found in 41 patients 42,7 at the time of admission, 36 patients 37,5 at 24 hours of hospitalization, and 16 patients 16.67 at 48 hours of hospitalization. From 96 patients, there were 672 analgesic usage. The most frequently used analgesic is paracetamol tablet 51,63 . Percentage of oral route administration is 77,23 , while intravenous is 21,87 . The accuracy of analgesic usage based on pain level is 290 43,1 out of 672 usage. PMI score of positive and zero was found in 98,9 subjects, while negative was found in 0,01 patients. Overtreatment was found in 79 patients 82,2 . Level of patient rsquo s satisfaction for satisfaction score 5 patient is satisfied is 77,08 .Conclusion from this research we found that the accuracy of analgesic selection for cancer pain is relatively low, but level of satisfaction is high 77,08 .Keywords analgesic, cancer pain, pain level"
2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lathifah Hanum
"Latar belakang: Nyeri kronis dapat mempengaruhi berbagai aspek di dalam kehidupan penderitanya. Tingginya penerimaan terhadap nyeri kronis dapat membantu penderita untuk menghadapi nyeri kronisnya dengan baik.
Tujuan: Untuk melihat efektivitas pemberian manajemen nyeri dengan intervensi multi-komponen kelompok cognitive behavioral therapy (CBT) dalam meningkatkan penerimaan lansia Depok terhadap nyeri kronis yang dideritanya.
Metode: Enam orang lansia yang menderita nyeri kronis diberikan intervensi multi-komponen kelompok cognitive behavioral therapy (CBT) sebanyak delapan kali pertemuan. Intervensi ini terdiri dari sharing, latihan relaksasi, psikoedukasi, self-monitoring, activity scheduling, restrukturisasi pikiran negatif, dan teknik pemecahan masalah. Pengukuran efektivitas dilakukan dengan metode pretest-posttest menggunakan Chronic Pain Acceptance Questionnaire (CPAQ).
Hasil: Seluruh partisipan mengalami peningkatan penerimaan nyeri kronis setelah mengikuti manajemen nyeri dengan intervensi multi-komponen kelompok cognitive behavioral therapy (CBT) ini. Meskipun demikian, tidak seluruh partisipan mengalami peningkatan dalam masing-masing komponen penerimaan nyeri kronis, yaitu pain willingness dan activity engagement. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa para partispan dapat beradaptasi dengan nyeri kronis yang dideritanya dengan cara yang lebih baik. Di samping itu, latihan relaksasi nampak bermanfaat untuk menurunkan intensitas nyeri yang dirasakan partisipan.
Kesimpulan: Intervensi multi-komponen kelompok cognitive behavioral therapy (CBT) efektif dalam meningkatkan penerimaan lansia Depok terhadap nyeri kronis yang diderita.

Background: Chronic pain can affect many aspects of sufferers?s life. High level of acceptance towards chronic pain can helps sufferers to cope well with chronic pain.
Purpose: To see the effectiveness of the provision of pain management with multi-component group cognitive behavioral therapy (CBT) intervention in improving acceptance of chronic pain of elderly in Depok.
Methods: Six elderly people who have chronic pain are given multi-component group cognitive behavioral therapy (CBT) intervention as much as eight times. This intervention consist of sharing, relaxation training, psychoeducation, self-monitoring, activity scheduling, negative thought restructuring, and problem solving techniques. Measurement of effectiveness was assessed with pretest-posttest method using the Chronic Pain Acceptance Questionnaire (CPAQ).
Results: All participants have improvement in acceptance of chronic pain after participating in this pain management. However, not all participants experienced improvement in component of acceptance toward chronic pain, the pain willingness and activity engagement. The result also indicate that the participant can adapt to chronic pain in a better way. In addition, relaxation training seems beneficial to reduce the intensity of pain felt by the participants.
Conclusion: The multi-component group cognitive-behavioral therapy (CBT) intervention is effective to improve acceptance of chronic pain of elderly in Depok.
"
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2012
T30330
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Jakarta: Sagung Seto, 2019
616.047 2 DAS
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
New York: Lange Medical Books/McGraw-Hill, 2006
616.047 2 CUR
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>