Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 130989 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Rika Santi Wardani
"Fenomena aborsi yang tidak aman dan kriminalisasi terhadap perempuan yang melakukannya bukanlah hal baru di Indonesia. Angka aborsi tidak aman merupakan akibat dari regulasi yang mengkriminalisasi perempuan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui proses pengambilan keputusan bagi perempuan untuk melakukan aborsi. Selain itu, penelitian ini juga memberikan penjelasan mengenai dampak aborsi terhadap perempuan. Metode penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan wawancara satu informan dan dua narasumber yang berhubungan dengan fenomena aborsi di Indonesia. Pengalaman dan informasi perempuan menjadi dasar analisis untuk memperoleh data yang komprehensif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa eksploitasi, manipulasi dan kekerasan seksual merupakan penyebab terjadinya kehamilan yang tidak diinginkan pada perempuan. Keputusan perempuan untuk melakukan aborsi juga ditemukan berkaitan dengan ketidaksetaraan gender antara laki-laki dan perempuan dan dinamika kekuasaan. Dengan demikian, perempuan dianggap sebagai pelaku, bukan korban penyalahgunaan kekuasaan oleh struktur sosial yang ada. Crime by omission yang dilakukan negara adalah bukti bahwa perempuan adalah korban struktural. Hasil data menunjukkan bahwa perempuan menghadapi viktimisasi ganda berdasarkan keterlibatan mereka dalam sistem peradilan pidana pasca-aborsi. Dalam kondisi sistem peradilan pidana yang standar laki-laki dan bias gender, perempuan mengalami diskriminasi, seksisme, penindasan dan menjadi tidak adil di depan hukum. Pada akhirnya, perempuan akan teralienasi melalui pola viktimisasi dan viktimisasi berganda.

In Indonesia, it is not uncommon for women to be prosecuted for having an unsafe abortion. Regulations that penalize women contribute to the high rate of unsafe abortions. The goal of this study was to look into how women make decisions regarding abortion. This research also includes a summary of the effects of abortion on women. The research technique employs a qualitative approach, with one informant and two resource persons interviewed about the abortion phenomenon in Indonesia. The analysis is based on the experiences and information of women in order to collect thorough data. The findings of this study show that exploitation, manipulation, and sexual violence are the leading causes of unintended pregnancies among women. Women's decisions to have abortions were also shown to be linked to gender inequality and power dynamics between men and women, with women being viewed as offenders rather than victims of power abuse by the current social framework. Women are structural victims, as evidenced by the state's crime by omission. Women are double victims, according to the data, because of their engagement in the post-abortion criminal court system. Women are ultimately alienated from the state as a result of a pattern of victimization and double victimization. "
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
"Aborsi merupakan salah satu pilihan sulit yang tersedia ketika seorang perempuan hamil di luar pernikahan. Hal ini terutama terjadi pada perempuan muda yang tidak siap hamil di luar pernikahan. Hal ini terjadi pada perempuan muda yang tidak siap menikah dan merawat anak yang dikandungnya karena berbagai kondisi seperti masih sekolah, pasangan belum bekerja, dan masih tergantung kepada orang tua. Dampak dari aborsi adalah perasaan kehilangan dan dukacita, namun seringkali para perempuan ini mengalami hambatan dalam mengekspresikan dukacita karena aborsi, serta kurang mendapat simpati dan dukungan orang-orang terdekat. Kondisi ini disebut disenfranchised grief.
Penelitian ini merupakan penelitian kualitiatif dengan pengambilan data menggunakan metode wawancara dengan pedoman umum. Hasil penelitian menunjukkan terjadinya disfranchised grief pada kedua responden penelitian dengan gejala perasaan malu dan tidak berharga , perasaan bersalah, marah, melakukan tindakan destruktif seperti mabuk-mabukan, aborsi berulang. Keluarga , pacar, teman dan karakteristik kepribadian menjadi faktor yang bisa meringankan maupun memperparah disfranchised grief. Tersedianya ritual agama dan masyarakat menjadi faktor yang meringankan."
JIPM 1:1 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
"Background: Unwanted pregnancy is often related to the practice of abortion. The existing data are sporadic and illustrate the condition of the big city Kompas (16/2/2009) said that abortion cases are 2.5 million for a year. Another study estimates that about 2 million cases of abortion. By using the Riskesdas data, this study aimed to describe how the incidence of miscarriage, unwanted pregnancy, and abortion efforts in lndonesia. Methods: Units of analysis in this study is the sampIe of individuaIs Riskesdas 2010, ever married women, 10-59 years old, which is located in all provinces of lndonesia. The data used are the results of a questionnaire survey by using instruments RKD10.IND and RKD10RT. This data is correlated with demographic status and socio economic status. From the data processing, we know the motive of abortion. Findings: The incidence of miscarriage rate is 4% nationally Of all occurrences of miscarriages, there is 6.54% of them aborted. Abortion is mostly done by women aged over 35 year old, graduated from high school, not working and living in urban areas. Curettage is the dominantly way for abortion. Herbs, pills and injections are the alternative ways. Associated with the incidence of unplanned pregnancies, cases were found ranged between 1.6% and 5.8%. On all unplanned pregnancies cases, 6,71 % are aborted. The abortions are mostly done by wome aged over 35 years old with elementary school graduated, unemployed, lower economic status (2nd kuantil) and live in urban areas. Abortion techniques are herbs and pills."
BULHSR 15:2 (2012)
Artikel Jurnal  Universitas Indonesia Library
cover
Milla Herdayati
"Tidak semua kehamihn disambut kehadirannya atau diinginkan perempuan. Kehamilan tidak diinginkan (KTD) terjadi karena berbagai alasan, misalnya perempuan/pasangan tidak menggunakan kontrasepsi padahal tidak ingin memiliki anak lagi, memakai kontrasepsi tetapi kehamilan tetap terjadi (kegagalan kontrasepsi, alasan kesehatan ibu, janin cacat, usia terlalu muda, terlalu banyak, atau sebab lain seperti hasil perkosaan atau kendala ekonomi.
Perempuan dengan KTD seringkali berakhir dengan keputusan aborsi. Mengingat aborsi masih dianggap ilegal menurut hukum di Indonesia, menyebabkan perempuan melakukan secara sembunyi-sembunyi di tempat yang tidak aman karena dilakukan oleh tenaga yang tidak berkompeten di tempat-tempat yang tidak memenuhi persyaratan medis. Sehinga aborsi yang tak aman ini berisiko terjadinya kesakitan bahkan kematian pada perempuan. Aborsi disengaja diduga merupakan salah satu penyebab kematian ibu di Indonesia yang bersembunyi di balik angka komplikasi perdarahan dan infeksi. Resiko kesakitan dan kematian pada perempuan makin tinggi jika aborsi terhadap berkali-kali atau berulang.
Studi ini bertujuan mengetahui pengaruh penggunaaan kontrasepsi terhadap kejadian aborsi berulang menurut faktor usia, paritas, menikah dan pendidikan perempuan. Untuk itu digunakan data sekunder betbasis fasilitas di sembilan kota di Indonesia. Sampel pada studi adalah perempuan dengan keluhan KTD dan memutuskan aborsi karena alasan non medis. Analisis statistik yang digunakan adalah analisis deksriptif dan analisis inferensial, yaitu logistik non-hierarkhi dengan batas kemaknaan yang digunakan sebesar 5%.
Analisis deksriptif memberikan hasil bahwa di pelayanan kesehatan, aborsi berulang banyak dilakukan pada mereka yang berturut lebih dan 30 tahun dengan paritas 3 anak atau lebih. Status pernikahan sebagian besar berstatus pernah menikah (menikah dan cerai hidup/mati). Selain itu, kejadian aborsi berulang ternyata menurut tingkat pendidikan tidak memberikan pola yang jelas artinya antara perempuan yang pendidikan tinggi dan mereka yang berpendidikan rendah relatif tidak berbeda. Alasan perempuan melakukan aborsi antara lain: tidak menginginkan anak lagi, anak sebelumnya masih kecil, faktor usia yang terlalu tua sehingga resiko tinggi jika melahirkan, terikat perjanjian/kontrak kerja, masalah ekonomi, baru menikah belum siap memiliki anak dan terakhir alasan belum menikah/janda. Keputusan aborsi dihadapi perempuan ketika mereka mengalami KTD.
Hasil studi, sebagian besar penyebab mereka mengalami KTD adalah mereka menggunakan kontrasepsi tetapi mengalami kegagalan. Hal ini dikarenakan kontrasepsi yang dipilih merupakan adalah pil, suntik, kondom, dan coitus interruptus. Jenis-jenis kontrasepsi tersebut keefektifannya antara tergantung pada kedisplinan pemakai, seperti tidak lupa minum pil, tidak lupa suntik ulangan, dan Iain-lain. Sebab Iainya adalah kebutuhan mereka tidak terpenuhi (unmet need) padahal mereka tidak menginginkan anak lagi atau ingin menjarangkan kehamilan.
Analisis inferensial didapatkan hasil bahwa di fasilitas kesehatan, kejadian aborsi berulang antara perempuan yang pendidikan tinggi tidak berbeda dengan perempuan yang berpendidikan rendah. Faktor usia ternyata mempengaruhi kejadian aborsi berulang, dimana perempuan yang berusia 30+ tahun lebih berisiko mengalami aborsi berulang dibandingkan mereka yang berusia kurang dari 30 tahun. Begitu juga dengan paritas, dimana perempuan dengan paritas 3 orang anak atau lebih ternyata lebih berisiko mengalami aborsi berulang dibandingkan mereka dengan paritas kurang dari 3 anak.
Berdasarkan hasil studi tersebut ada beberapa rekomendasi yang dapat diberikan yaitu pertama, pemerintah sudah harus mengatur masalah pelayanan aborsi yang aman dalam bentuk undang-undang ataupun merevisi UU yang telah ada dengan melibatkan aspirasi masyarakat. UU ini harus mengatur dimana dan dalam kondisi spa aborsi dapat dilakukan, siapa yang dapat menyediakan pelayanan aborsi dan batas aman usia kehamilan yang diperbolehkan serta dengan dukungan konseling yang optimal.
Yang kedua, untuk mencegah aborsi terutama berulang maka di pelayanan kesehatan harus memasukan informasi sebagai salah Satu unsur pelayanan mereka dalam bentuk konseling sehingga kelompok unmet need dan kegagalan KB dapat dikurangi. Selain itu, yang ketiga masalah pengetahuan KB merupakan penyebab mendasar terjadinya aborsi berulang maka di tingkat masyarakat perlu digalakkan kembali promosi dan motivasi ber-KB terutama pada mereka dengan paritas 3 anak atau lebih, usia 30 tahun ke atas, dan untuk semua tingkat pendidikan baik perempuan berpendidikan tinggi maupun rendah. Bagi perempuan yang telah ber-KB sebaiknya diarahkan untuk memilih kontrasepsi yang efektif seperti IUD, implant dan steriliasi sehingga kemungkinan hamil karena gagal kontrasepsi bisa diperkecil."
Depok: Universitas Indonesia, 2006
T17568
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
McDonagh, Eileen L.
New York: Oxford University Press, 1996
363.46 McD b
Buku Teks  Universitas Indonesia Library
cover
Dizha Aziza Adiwibowoputri
"Pada masa pemerintahan Presiden Jokowi dan Wakil Presiden K.H Ma’ruf Amin, terdapat salah satu prioritas kerjanya tahun 2019-2024 mengenai penyederhanaan birokrasi. Momentum penyederhanaan birokrasi bersamaan dengan pembangunan SDM dan pemindahan ibu kota dalam menghadapi tantangan global yang ada saat ini. Tantangan tersebut dapat terlihat dengan adanya perubahan cara kerja secara drastis melalui transformasi digital yang menuntut SDM di pemerintahan/ASN untuk mempunyai keahlian dan kompetensi agar dapat bekerja dengan cepat, adaptif dan inovatif. Kementerian Kominfo mendukung pelaksanaan pengalihan jabatan ini, meskipun kebijakan pengalihan jabatan tersebut awalnya diragukan dapat terlaksana atau tidak oleh banyak pihak dan perlu adanya penyesuaian-penyesuaian di masa yang akan datang. Kementerian Kominfo sendiri termasuk dalam klasifikasi Kementerian kelompok 2 dengan susunan organisasi yang cukup kompleks. Adapun penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dan mengidentifikasi proses transformasi organisasi di Kementerian Kominfo melalui pelaksanaan pengalihan jabatan struktural ke jabatan fungsional. Pendekatan penelitian menggunakan post-positivist dengan teknik pengumpulan data kualitatif melalui wawancara mendalam pada berbagai pihak di Kementerian Kominfo dan studi pustaka. Hasil penelitian ini menunjukkan Kementerian Kominfo melakukan proses transformasi organisasi melalui pengalihan jabatan dengan empat dimensinya, yaitu reframing, restructuring, revitalization, dan renewal. Proses transformasi organisasi ini telah menghasilkan pengalihan jabatan struktural ke jabatan fungsional di Kementerian Kominfo sebanyak 611 pegawai. Pada proses transformasi organisasi ini Kementerian Kominfo telah berupaya untuk melaksanakan pengalihan jabatan sesuai instruksi Presiden dan kondisi dilingkungannya. Masalah dan tantangan yang dihadapi dalam proses transformasi melalui pengalihan jabatan di Kementerian Kominfo meliputi komunikasi pembentukan tim kerja khusus, kekosongan mengenai tambahan fungsi manajemen dan batasan yang jelas terkait dengan koordinator dan subkoordinatornya setelah pengalihan jabatan, penetapan SOTK yang harus segera dilakukan, dan keseimbangan antara ketersediaan dengan kebutuhan keterampilan yang ada setelah pengalihan jabatan

During the administration of President Jokowi and Vice President K.H Ma'ruf Amin, there was one of the work priorities for 2019-2024 regarding the simplification of the bureaucracy. The momentum of simplifying the bureaucracy coincides with the development of human resources and the relocation of the capital city in facing the global challenges that exist today. This challenge can be seen in the drastic change in how things work through digital transformation which requires human resources in the government / ASN to have the skills and competencies to work quickly, adaptively and innovatively. The Ministry of Communication and Informatics supports the implementation of this transfer of positions, although the policy of transferring positions was initially doubted whether or not it could be implemented by many parties and there needs to be adjustments in the future. The Ministry of Communication and Informatics itself is included in the classification of the Ministry of Group 2 with a fairly complex organizational structure. This research aims to analyze and identify the organizational transformation process in the Ministry of Communication and Informatics through the implementation of the transfer of structural positions to functional positions. The research approach used post-positivist with qualitative data collection techniques through in-depth interviews with various parties in the Ministry of Communication and Informatics and literature study. The results of this study indicate that the Ministry of Communications and Informatics carried out an organizational transformation process through the transfer of positions with four dimensions, namely reframing, restructuring, revitalization, and renewal. This organizational transformation process has resulted in the transfer of structural positions to functional positions in the Ministry of Communication and Informatics as many as 611 employees. In the process of organizational transformation, the Ministry of Communications and Informatics has attempted to carry out the transfer of positions according to the President's instructions and conditions in their environment. The problems and challenges faced in the transformation process through the transfer of positions at the Ministry of Communication and Informatics include communication of the formation of a special work team, vacancies regarding additional management functions and clear boundaries related to the coordinator and sub-coordinator after transferring positions, the determination of SOTK that must be carried out immediately, and the balance between availability with the existing skills needs after the transfer"
Depok: Fakultas Ilmu Administrasi Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Cindy Kusumawardhani
"

Skripsi ini membahas mengenai aspek intimasi yang terjalin di dalam proses perawatan penyandang disabilitas ganda oleh pengasuh.  Profesi pengasuh disabilitas ganda dilihat sebagai profesi yang beresiko serta memiliki beban fisik dan mental. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, yaitu melalui observasi dan wawancara mendalam oleh empat orang pengasuh. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, profesi pengasuh disabilitas bukan hanya dilihat sebagai pekerjaan yang memiliki resiko, beban fisik, dan mental saja, upah minim juga harus mereka terima dalam menekuni pekerjaan mereka. Kondisi tersebut juga berdampak pada kehidupan pribadi pengasuh di luar pekerjaan mereka. Namun, meski pengasuh dihadapkan dengan berbagai macam kondisi sulit, tidak membuat mereka meninggalkan pekerjaan mereka. Para pengasuh justru melakukan berbagai macam strategi koping sebagai upaya untuk tetap bertahan menajalani profesi pengasuh bagi penyandang disabilitas ganda. Alasan pengasuh untuk bertahan dari profesi mereka dilatar belakangi oleh keinginan pribadi para pengasuh, yaitu berupa rasa nyaman dan aman ketika berada di lingkungan wisma, menjadikan wisma sebagai tempat belajar dan memperbaiki kualitas hidup, serta tempat untuk beribadah dan mengumpulkan pahala. Selain itu, pada prosesnya, profesi ini juga melibatkan aspek intimasi yang terjalin antara pengasuh dengan penyandang disabilitas ganda. Aspek intimasi tersebut diantaranya, sentuhan atau kontak fisik, kedekatan atau keakraban, afeksi, serta pengetahuan yang bersifat pribadi. Sehingga profesi pengasuh disabilitas ganda dapat dikategorikan sebagai intimate labor.

 


This thesis discusses the aspects of intimacy that are interwine in the process of caring for people with multiple disabilities by caregivers. The caregiver profession is seen as a risky profession and has a physical and mental burden. This study uses qualitative methods, namely through observation and in-depth interviews with four caregivers. The results showed that, the profession of disability caregivers was not only seen as occupations that had risks, physical and mental burdens, they also had to receive a minimum wage in pursuing their work. This condition also affects the caregivers personal life outside their work. However, even though caregivers are faced with a variety of difficult conditions, it does not make them leave their jobs. The caregivers do a variety of coping strategies in order to endure the caregiver profession for people with multiple disabilities. The caregivers reason for surviving their profession is motivated by the personal desires of the caregivers, namely in the form of a sense of comfort and safety when in the guesthouse environment, making the guesthouse as a place to learn and improve quality of life, as well as a place to worship and gain merit. In addition, during the process, this profession also involves aspects of intimacy that exist between caregivers and people with multiple disabilities. These aspects of intimacy include physical touch or contact, closeness or intimacy, affection, and personal knowledge. So that the profession of multiple disability caregivers can be categorized as an intimate labor.

Keywords: Aspects of intimacy, caregivers of multiple disabilities, coping strategies.

"
Depok: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maria Syelvrida Tumina
"Sifon adalah tradisi sunat pria yang berasal dari suku Atoin Meto yang dapat menjadi sumber penularan HIV/AIDS bagi perempuan Sifon. adanya ritual perempuan Sifon yang melayani hubungan seksual pada pria yang telah menjalani sunat Sifon tanpa pengaman/kondom, dapat menjadi sumber penularan penyakit menular seksual dan HIV/AIDS. Tujuan penelitian ini adalah mengeksplorasi pengalaman perempuan Sifon menjalani tradisi ritual Sifon dalam konteks penularan HIV/AIDS. Metode yang digunakan pendekatan fenomenologi, dengan menggunakan teknik purposive sampling. Kriteria inklusi: perempuan suku Atoin Meto usia > 18 tahun, telah menjadi perempuan Sifon minimla 6 bulan. Partisipan direkrut melalui dukun di desa Nekbaun kabuoaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Analisis data menggunakan metode Collaizi. Hasil: sebanyak 13 perempuan Sifon yang diwawancarai pada penelitian terdapat 4 tema: 1)Perempuan Sifon mempunyai pengetahuan yang rendah tentang penularan HIV/AIDS melalui Sifon, 2)menjadi perempuan Sifon karena korban penipuan pria Sifon, 3) perempuan Sifon mengalami gejala Penyakit Menular Seksual setelah Melayani Sifon, 4) adanya keyakinan bahwa Obat Kampung (Obat Timor) dapat  mengatasi sakit yang diderita setelah melayani Sifon. Interpretasi terhadap pengalaman perempuan Sifon menjalani ritual Sifon mengindikasikan bahwa Sifon merupakan faktor risiko penularan HIV/AIDS pada perempuan. Program edukasi yang bersifat preventif dan promotif yang peka budaya diperlukan dalam upaya mengurangi risiko penularan HIV/AIDS.

Sifon is a ritual tradition after male circumcision from the Ation Meto tribe that can be a factor related to HIV/AIDS transmission for Sifon women. Sifon women who serving sexual intercourse to men after circumcision without safety or without condoms, become a source of transmisson of sexually transmitted diseases and HIV/AIDS. The purpose of this paper is to explore the experience of sifon women undergoing sifon rituals traditions in the context of HIV/AIDS transmission. The method used in this study with a phenomenological approach using a purposive sampling technique. Inclusion criteria: Atoin Meto thnix women aged > 18 years, have been a Sifon women for at least 6 months. Participants were recruited through traditional helaers in Nekbaun village of Kupang district and Siuth Central Timor district. Data analysis used the Colaaizi method. Results: as many as 13 women were interviewed for the study, there were 4 themes: 1)Sifon women had lower knowledge of HIV/AIDS transmission through sifon, 2)became sifon women because of a victim of a male sifon fraud, 3)sifon women were exposed to sexually transmitted infections after serving sifon, 4)the belief that traditional medicine (Timor medicine) can overcome the pain suffered after sifon. Interpretation of the experience of sifon women undergoing sifon rituals indicated that sifon is a risk factor for transmitting HIV/AIDS to women. Preventive and promotive educational programs with cultural approach are needed in effort to reduce the risk of HIV/AIDS transmission. "
Depok: Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia, 2020
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ayudina Larasanti
"Salah satu penyebab belum optimalnya pencapaian angka penggunaan kontrasepsi di Indonesia adalah kejadian unmet need Keluarga Berencana (KB) yang belum sepenuhnya dapat diatasi. Penanganan unmet need KB tidak hanya memerlukan pengukuran besaran angkanya, tetapi juga pemahaman mengenai faktor-faktor penyebabnya. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh determinan pemanfaatan pelayanan keluarga berencana terhadap kejadian unmet need di Indonesia sebagai landasan rekomendasi program yang efektif. Penelitian ini menggunakan data sekunder SDKI 2017 dengan desain cross sectional dengan responden sebanyak 33.635 yang merupakan wanita kawin usia 14-59 tahun. Hasil penelitian terkait distribusi responden menunjukkan bahwa paling banyak responden mendapat kualitas pelayanan KB rendah, termasuk dalam kategori umur tua, pendidikan rendah, indeks kekayaan tinggi, jumlah anak masih hidup 0-2 anak, bekerja, pendidikan suami rendah, tempat tinggal perkotaan, memiliki otonomi rendah, memiliki permasalahan akses terhadap pelayanan kesehatan rendah, dan memiliki jumlah anak ideal ≥ 3 anak. Kejadian unmet need di Indonesia sebesar 11,68%, terdiri dari unmet need spacing (4,86%) dan unmet need limiting (6,82%). Hasil analisis GSEM menunjukkan bahwa variabel kualitas pelayanan KB, status sosio ekonomi demografi, dan jumlah anak ideal berpengaruh signifikan terhadap kejadian unmet need pada analisis Indonesia, daerah unmet need tinggi, maupun daerah unmet need rendah. Variabel otonomi wanita berpengaruh signifikan terhadap kejadian unmet need pada analisis Indonesia dan daerah unmet need rendah, dan permasalahan akses berpengaruh signifikan terhadap kejadian unmet need pada daerah unmet need rendah. Dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh signifikan determinan pemanfaatan pelayanan keluarga berencana terhadap kejadian unmet need di Indonesia. Diperlukan peningkatan terhadap kualitas pelayanan KB, memberikan perhatian lebih terhadap wanita status sosio ekonomi rendah, otonomi wanita rendah, permasalahan akses tinggi, dan wanita dengan jumlah anak ideal ≥ 3 anak. KB Pasca-Persalinan merupakan cara paling efektif dalam menurunkan kejadian unmet need KB. Pemanfaatan media massa dalam pemberian informasi KB khususnya terkait efek samping metode dapat ditingkatkan serta dapat disesuaikan dengan kecenderungan tayangan yang saat ini digemari oleh masyarakat Indonesia. Diperlukan pula peningkatan peran aktif petugas kesehatan dalam memberikan konseling KB yang terintegrasi dalam pelayanan kesehatan Ibu dan Anak.

One of the causes of the non-optimal achievement of contraceptive use rates in Indonesia is the incidence of unmet need for family planning (FP) which has not been fully resolved. Handling the unmet need for family planning requires not only measuring the magnitude of the number, but also an understanding of the factors causing it. This study aims to determine the effect of the determinants of family planning services utilization on the incidence of unmet need in Indonesia as the basis for effective program recommendations. This study uses secondary data from the 2017 IDHS using a cross sectional design with 33,635 respondents who are married women aged 14-59 years. The results of the study related to the distribution of respondents showed that most of the respondents received low-quality family planning services, including in the category of advanced age, low education, high wealth index, number of children still living 0-2 children, working, low husband's education, urban residence, low autonomy, low access to health services, and the ideal number of children is 3 children. The incidence of unmet need in Indonesia is 11.68%, consisting of unmet need spacing (4.86%) and unmet need limiting (6.82%). The results of the GSEM analysis show that the variables of quality of family planning services, socioeconomic status, demographics, and the number of ideal children affect the incidence of unmet need in Indonesia, also in areas of high unmet need and low unmet need. The variable of women's autonomy has a significant effect on the incidence of unmet need in Indonesia and regions with low unmet need, and access problems has a significant effect on the incidence of unmet need in regions with low unmet need. It can be concluded that there is a significant effect on the determinants of family planning services utilization on the incidence of unmet need in Indonesia. It is necessary to improve the quality of family planning services, pay more attention to women with low socio-economic status, low women's autonomy, high access problems, and women with the ideal number of children 3 children. Post-partum family planning is the most effective way to reduce the incidence of unmet need for family planning. The use of mass media in providing family planning information, especially regarding the side effects of the method, can be increased and adapted to the current trend of broadcasts favored by the people of Indonesia. It is also necessary to increase the active role of health workers in providing integrated family planning counseling in maternal and child health services."
Depok: Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Eikla Luwlu Yasmina
"Akuntabilitas dapat memengaruhi bagaimana karyawan mengerjakan apa yang menjadi kewajibannya, dan pemimpin merupakan salah satu faktor penting yang dapat memotivasi karyawan berperilaku akuntabel. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi proses timbulnya perilaku akuntabilitas karyawan melalui peran pemimpin dan peran individu yang dijelaskan berdasarkan asumsi pentingnya high-quality relationship. Studi kuantitatif dengan desain non-eksperimental ini melibatkan 279 karyawan dari sebuah Perusahaan Umum Daerah (PERUMDA) yang bergerak di bidang air minum. Reliabilitas masing-masing alat ukur yang digunakan berkisar antara 0,70-0,91. Hasil analisis menunjukkan bahwa: (1) psychological safety memediasi hubungan positif antara leader humility dengan employee accountability (ß = 0,04, bootstrapping 95% CI = [0,02, 0,08]) ; (2) formalisasi berdampak positif dalam hubungan antara psychological safety dengan employee accountability (ß = 0,19, p < 0,01) ; (3) efek tidak langsung dari leader humility terhadap employee accountability melalui psychological safety menjadi lebih kuat ketika tingkat formalisasi meningkat. Model penelitian ini mampu memprediksi sebesar 38% varians dari akuntabilitas karyawan. Hasil penelitian ini dapat memberikan kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan mengenai akuntabilitas dan model kepemimpinan bahwa peran pemimpin yang mendukung dan peran individu dapat memicu timbulnya akuntabilitas karyawan.

Accountability can affect how employees do their responsibilities, and the leader is one of the important factors that can motivate employees to behave accountably. This study aims to identify the process of employee accountability behavior that arising through the leader's role and the individual's role that is explained based on the assumption of the importance of high-quality relationships. This quantitative study with a non-experimental design involved 279 employees of a regional public company in drinking water sector. The reliability of each measuring instruments used are between 0.70-0.91. The analysis showed that: (1) psychological safety mediates the positive relationship between leader humility and employee accountability (ß = 0.04, bootstrapping 95% CI = [0.02, 0.08]) ; (2) formalization has a positive impact on the relationship between psychological safety and employee accountability (ß = 0.19, p < 0.01) ; (3) the indirect effect of leader humility on employee accountability through psychological safety becomes stronger when the level of formalization increases. This research model predicts 38% of employee accountability’s variance, and is able to provide contribution to the development of employee accountability and leadership models studies that supportive role of the leaders and the role of individuals are essentials in affecting employee accountability."
Depok: Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, 2022
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>