Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 106098 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Aisha Safa Putri Calista
"Latar Belakang: Intermittent fasting (IF) dan prolonged fasting (PF) merupakan bagian dari puasa yang meliputi pola makan waktu puasa dan waktu tidak puasa dalam sehari. Ada banyak manfaat terkait puasa dan salah satunya adalah IF dapat mengurangi stres oksidatif yang bermanfaat bagi otak. Karbonil, biomarker stres oksidatif yang irreversible dan universal telah dikaitkan dengan penuaan sel, jaringan, organ, dan penyakit terkait usia. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk melihat apakah ada pengaruh puasa terhadap kadar protein karbonil di otak. Metode: Penelitian ini menggunakan sampel jaringan otak yang diperoleh dari 15 ekor kelinci white New Zealand yang dikelompokkan ke dalam tiga perlakuan pemberian pakan yang berbeda yaitu 5 kelompok kontrol, 5 kelompok IF (dipuasakan 16 jam), dan 5 kelompok PF (dipuasakan 40 jam). Sampel diperlakukan sesuai perlakuan masing- masing selama tujuh hari berturut-turut. Kadar karbonil kemudian diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 390 nm. Data dianalisis menggunakan IBM SPSS. Hasil Penelitian: Semua sampel terdistribusi normal (p>0,05), namun pengaruh puasa intermiten (IF) dan puasa berkepanjangan (PF) terhadap kadar karbonil otak pada kelinci White New Zealand tidak signifikan. Kadar karbonil sampel IF lebih rendah daripada PF dengan rata-rata dan standar kesalahan masing-masing 365,4 ± 24,2 dan 409,1 ± 44,7 nMol/mg protein. Kesimpulan: Meskipun tidak signifikan, perlakuan IF dan PF satu minggu yang dilakukan pada kelinci White New Zealand mampu menurunkan kadar karbonil pada otak. IF mampu menurunkan lebih banyak protein karbonil dibandingkan PF.

Introduction: Intermittent fasting (IF) and prolonged fasting (PF) is a part of fasting that includes eating pattern of fasting-time and non-fasting time in a day. There are many benefits related to fasting and one of them is that IF can reduce oxidative stress that benefits the brain. Carbonyl, an irreversible and universal marker of oxidative stress has been linked to cell, tissue, organ aging and age-related diseases hence this research is conducted to see whether there are any effects of fasting towards protein carbonyl level in the brain. Methods: This research uses brain tissue sample obtained from 15 white New Zealand rabbit that are grouped into three different feeding treatments: 5 control groups, 5 IF (16 h fasting time) groups, and 5 PF (40 h fasting time). They are treated accordingly for seven days straight. Level of carbonyl then is measured by spectrophotometer at 390 nm wavelength. The data was analyzed using IBM SPSS. Result: All samples are normally distributed (p>0.05), however the effect of IF and PF towards brain carbonyl level in white New Zealand rabbit are not significant. The carbonyl level of IF group samples are reduced more than PF group with mean and standard of error of 365.4 ± 24.2 and 409.1 ± 44.7 nMol/mg protein respectively. Conclusion: Although insignificant, one-week treatment of IF and PF done on White New Zealand rabbit are able to decrease carbonyl level in their brain, with IF being able to reduce more protein carbonyl than PF."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Zaki Bariz Amaanullah
"Latar Belakang: Stres oksidatif adalah keadaan ketidakseimbangan radikal bebas di dalam tubuh dan merupakan penyebab dari berbagai penyakit pada manusia. Salah satu metode yang diduga dapat menurunkan stres oksidatif adalah restriksi kalori atau puasa. Banyak penelitian telah dilakukan mengenai efek puasa terhadap stres oksidatif namun masih terdapat kontroversi mengenai efek puasa terutama puasa berselang dan puasa berkepanjangan terhadap kadar stres oksidatif.
Tujuan: Mengetahui efek dari puasa berselang dan puasa berkepanjangan terhadap kadar malondialdehid (MDA) pada hati dan plasma kelinci New Zealand White.
Metode: Penelitian ini menggunakan 16 ekor kelinci New Zealand White yang dibagi ke dalam tiga kelompok perlakuan yaitu puasa berselang (Intermittent Fasting / IF), puasa berkepanjangan (Prolonged Fasting / PF), dan kelompok kontrol, kemudian diambil sampel plasma dan hatinya. Hati dibuat homogenat. Sampel plasma dan homogenat hati diukur kadar MDA menggunakan spektrofotometri. Hasil pengukuran dianalisis menggunakan uji one-way ANOVA.
Hasil: Terdapat peningkatan signifikan kadar MDA di plasma pada kelompok IF dan PF. Untuk kadar MDA di hati terdapat penurunan pada kelompok IF dan peningkatan pada kelompok PF namun tidak signifikan.
Kesimpulan: Puasa berselang dapat menurunkan kadar MDA pada hati namun dapat meningkatkan kadar MDA pada plasma. Puasa berkepanjangan dapat meningkatkan kadar MDA pada hati dan plasma."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2019
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Puti Retasya Novira
"Pendahuluan: Stres oksidatif terjadi ketika kadar antioksidan dan pembentukan oksidan dalam tubuh tidak seimbang. Puasa telah terbukti meningkatkan ketahanan sel terhadap stres oksidatif dengan meningkatkan kadar antioksidan atau menurunkan produk akhir dari kerusakan oksidatif. Namun, dari penelitian yang sebelumnya dilakukan pada tikus, jenis puasa terbaik untuk meningkatkan kadar glutathione masih menjadi perdebatan. Selain itu, belum ada penelitian tentang pengaruh jenis puasa terhadap tingkat antioksidan pada jantung kelinci. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh puasa dan durasinya terhadap kadar glutathione (GSH) pada jantung kelinci New Zealand White Rabbit's
Metode: Subyek dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan, (1) kelompok kontrol yang mengonsumsi makanan secara normal, (2) kelompok puasa intermittent yang menjalani puasa selama 16 jam, dan (3) kelompok puasa berkepanjangan yang menjalani puasa selama 40 jam, selama 7 hari. Kemudian spektrofotometer digunakan untuk menghitung kadar glutathione. Uji Saphiro-Wilk kemudian uji Kruskal-Wallis sebagai uji lanjutan digunakan untuk menganalisis data.
Hasil: Median untuk kelompok kontrol, berkepanjangan dan intermittent adalah 0,004 ± 0,003 ‡g/mg, 0,004± 0,001 g/mg, dan 0,004± 0,002 g/mg. Uji Kruskal-Wallis menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan kadar GSH yang signifikan antara kelompok kontrol, puasa intermittent dan puasa berkepanjangan (P>0,05).
Kesimpulan: Puasa intermiten dan berkepanjangan tidak berpengaruh secara signifikan terhadap kadar glutathione pada jantung kelinci New Zealand putih dibandingkan dengan kontrol.

Introduction: Oxidative stress occurs when the balance between antioxidant and the generation of body's oxidant is unfavorable. Fasting has been showed to increase cell resistance toward oxidative stress by increasing the level of antioxidant or decreasing the end product of oxidative damage. However, from previous studies done on rats, the best fasting types to boost glutathione, one of the antioxidants, is still debatable.Moreover, there are no study about the effect of different types of fasting done on rabbit's antioxidant level. This research aims to the effect of fasting and its duration on glutathione (GSH) level in New Zealand White Rabbit's Heart.
Methods: The subjects were divided into 3 groups of treatment, (1) control group consumed food normally, (2) intermittent fasting group who underwent 16 hours fasting with 8 hours eating period, and (3) prolonged fasting group who underwent 40 hours fasting with 8 hours eating period, for 7 days. Then a spectrophotometer was used to calculate the glutathione level. Saphiro-Wilk test and then Kruskal-Wallis test as the followed-up test were used to analyzed the data.
Results: The median for the control, prolonged and intermittent groups were 0.004 ± 0,003 g/mg, 0.004± 0.001 g/mg, dan 0.004± 0.002 g/mg respectively. The Kruskal- Wallis test revealed that there was no significant difference in GSH levels among control, intermittent fasting and prolonged fasting group (P>0.05).
Conclusion: Intermittent and prolonged fasting is not significantly affecting glutathione level in New Zealand White Rabbit's Heart compared to control.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Damayanti Angelina
"Stres oksidatif merupakan kondisi ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan yang dapat memicu timbulnya berbagai penyakit. Peran puasa sebagai upaya pencegahan stres oksidatif telah terbukti, tetapi tidak dengan durasi yang optimal. Penelitian ini bertujuan untuk menemukan pengaruh puasa dan durasi puasa optimal dalam meningkatkan kadar glutation (GSH), antioksidan endogen nonprotein terbanyak tubuh. Penelitian dilakukan pada jaringan hati dan plasma kelinci new Zealand white. Subjek dibagi ke dalam tiga kelompok perlakuan, yakni (1) kelompok kontrol dengan asupan makanan normal, (2) kelompok puasa intermittent, yakni siklus puasa 16 jam dan makan delapan jam, serta (3) kelompok puasa berkepanjangan, yakni siklus puasa 40 jam dan makan delapan jam, selama satu minggu. Setelah itu, dilakukan pengukuran kadar GSH plasma serta jaringan hati dengan metode Ellman. Data kemudian dianalisis dengan uji Anova untuk jaringan hati serta uji Kruskal-Wallis untuk sampel plasma.
Pada jaringan hati didapati rerata kadar GSH kelompok kontrol 0,73 ± 0,026 μmol/mg, kelompok puasa intermittent 1,03 ± 0,023 μmol/mg, dan kelompok puasa berkepanjangan 0,91 ± 0,059 μmol/mg yang memperlihatkan perbedaan signifikan (p<0,05). Sedangkan, pada plasma didapati median kadar GSH kelompok kontrol 2,08 ± 0,056 μmol/mL, kelompok puasa intermittent 2,35 ± 0,158 μmol/mL, dan kelompok puasa berkepanjangan 2,15 ± 0,060 μmol/mL yang memperlihatkan perbedaan tidak signifikan (p>0,05). Didapatkan hasil dan kesimpulan puasa intermittent dan berkepanjangan meningkatkan kadar GSH jaringan hati secara signifikan, tetapi tidak berpengaruh secara signifikan pada plasma kelinci new Zealand white.

Oxidative stress is a condition of imbalance between oxidants and antioxidants that may trigger various diseases. The role of fasting to prevent oxidative stress has been proven, but the optimal fasting duration remains unknown. This study aims to find the impact of fasting and optimal fasting duration in increasing glutathione (GSH) concentration, the body's most abundant non-protein endogen antioxidant. This study observed GSH concentration on liver tissue and plasma of New Zealand white rabbits. Subjects were divided into three treatment groups, a control group with usual food intake, an intermittent fasting group with 16-hour of fasting and eight hours of eating, and a prolonged fasting group with 40-hour of fasting and eight hours of eating, for one week. After that, GSH levels were measured in plasma and liver tissue using Ellman’s method.
In liver tissue, the mean GSH level in the control group is 0.73 ± 0.026 mol/mg, in the intermittent fasting group is 1.03 ± 0.023 mol/mg, and in the prolonged fasting group is 0.91 ± 0.059 mol/mg with significant differences (p<0, 05). Meanwhile, in plasma, the median GSH level in the control group is 2.08 ± 0.056 mol/mL, in the intermittent fasting group is 2.35 ± 0.158 mol/mL, and in the prolonged fasting group is 2.15 ± 0.060 mol/mL, which means the difference is not significant (p > 0.05). In conclusion, Intermittent and prolonged fasting significantly increase liver GSH concentration. However, fasting has an insignificant impact on the plasma of New Zealand white rabbits.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Adrian Prasetya Karman
"Pendahuluan: Stres oksidatif adalah kondisi yang terjadi saat ada gangguan keseimbangan antara sintesis dan detoksifikasi reactive oxygen species (ROS) di dalam sel dan jaringan tubuh. Kedua jenis ROS, yaitu eksogen dan endogen menyebabkan modifikasi oksidatif pada makromolekul seluler utama. Salah satu biomarker yang dapat digunakan adalah malondialdehid (MDA), hasil dari peroksidasi lipid. Puasa adalah salah satu bentuk restriksi kalori, dan hasil dari penelitian mengenai puasa menunjukkan dampak positif pada subjek penelitian. Namun, penelitian ini belum banyak dilakukan pada hewan dengan level yang lebih tinggi, seperti kelinci. Khususnya, ROS memiliki dampak negatif pada regulasi kalsium di jantung yang dapat menyebabkan aritmia dan cardiac remodeling. Penelitian ini akan menelusuri dampak dari puasa intermiten dan puasa berkepanjangan terhadap kadar MDA sebagai biomarker stres oksidatif pada jantung kelinci New Zealand white.
Metode: Sampel jantung kelinci New Zealand white dengan berat masing-masing 100 mg dihomogenisasi dengan 1 ml phosphate-buffered saline (PBS). Analisis MDA diukur dengan metode Will’s dengan menambahkan TBA 0.67% pada setiap sampel dan diinkubasi dalam water bath 100° C selama 10 menit. Reaksi antara MDA dan TBA menghasilkan warna merah muda. Absorbansi dibaca pada 530 nm dengan spektrofotometer yang mencerminkan konsentrasi MDA. Nilai konsentrasi MDA dapat ditetapkan dengan menggunakan kurva linear. Analisis data dilakukan dengan software IBM SPSS Statistics.
Hasil: Rata-rata konsentrasi MDA pada grup kontrol (JK), puasa intermiten (JIF), dan puasa berkepanjangan (JPF) berturut-turut adalah 0.215 nmol/ml, 0.094 nmol/ml, dan 0.090 nmol/ml. Terdapat perbedaan yang signifikan antara JK dengan JIF dan JK dengan JPF (p = 0.006 dan p = 0.005). Namun, tidak terdapat perbedaan signifikan antara JIF dengan JPF (p = 0.936).
Kesimpulan: Penelitian ini menemukan bahwa kadar MDA pada grup puasa intermiten dan berkepanjangan lebih rendah bermakna daripada grup kontrol. Sebagai bentuk restriksi kalori, bisa disimpulkan bahwa puasa memiliki efek dalam menurunkan level stres oksidatif dengan menggunakan MDA sebagai biomarker. Tidak ada perbedaan yang signifikan antara puasa intermiten dan puasa berkepanjangan. Ini bisa menandakan bahwa hasil yang serupa dapat didapat dengan periode puasa yang lebih singkat.

Introduction: Oxidative stress is defined as the condition in which there is disrupted balance between the synthesis and detoxification of reactive oxygen species (ROS) in bodily cells and tissues. Both exogenous and endogenous ROS are responsible for oxidative modification of the major cellular macromolecules. One of the biomarkers that can be used is malondialdehyde (MDA), which is a result of lipid peroxidation. Fasting is a form of calorie restriction, with results showing many of the subjects benefitting from said fasting. However, the studies have not been conducted on higher-level animals (i.e. rabbits). In particular, ROS have negative effect on calcium regulation in the heart which can lead to arrhythmia and cardiac remodeling. This research will therefore explore the impact of intermittent and prolonged fasting towards MDA as the biomarker for oxidative stress in the heart of New Zealand White rabbit.
Methods: Samples of New Zealand white rabbit heart tissues weighing 100 mg each were homogenized in 1 ml of phosphate-buffered saline (PBS). MDA analysis was performed using Will’s method by adding TBA 0.67% into each sample and incubating in 100° C water bath for 10 minutes. The reaction between the MDA and TBA produced the color pink. The absorbance was read at 530 nm using spectrophotometer, which reflects the concentration of the MDA by plotting the absorbance into a linear curve. Finally, data analysis was performed using IBM SPSS Statistics software.
Results: The averages for the MDA concentration in control (JK), intermittent fasting (JIF), and prolonged fasting (JPF) groups respectively were 0.215 nmol/ml, 0.094 nmol/ml, and 0.090 nmol/ml. There were significant differences between JK with JIF as well as JK with JPF (p = 0.006 and p = 0.005, respectively). However, there was not a significant difference between JIF and JPF (p = 0.936).
Conclusion: Our study found that there were significantly lower levels of MDA in intermittent fasting and prolonged fasting groups compared to the control group. As a form of calorie restriction, it can be concluded that fasting has an effect in reducing oxidative stress, on the basis of using MDA as its biomarker. There was no significant difference between the intermittent fasting and prolonged fasting groups, which implies that similar results can be achieved with shorter fasting periods.
"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
S-Pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Budi Gittanaya Anindyanari
"Latar belakang: Ketidak seimbangan dalam kadar antioksidan dan level radikal bebas dapat menyebabkan terjadinya stres oksidatif. Puasa sudah terbukti dapat meningkatkan kadar antioksidan dan menurunkan produksi radikal bebas, yang akan menghasilkan penurunan stres oksidatif. Selain itu, durasi waktu puasa juga mempengaruhi dampak puasa dalam menurunkan stres oksidatif. Banyak penelitian yang sudah membahas efek puasa tersebut, namun, belum diteliti pada jaringan jantung. Oleh sebab itu, penelitian ini ditujukan untuk meneliti perbedaan efek durasi puasa terhadap kadar katalase pada jaringan jantung kelinci New Zealand White. Metode: Sampel dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan perlakuan yang dilakukan selama satu minggu. Kelompok pertama, kelompok kelinci dengan pemberian pakan yang normal. Kelompok kedua, kelompok puasa intermiten dengan 16 jam periode puasa dan 8 jam periode makan. Kelompok terakhir, kelompok puasa berkepanjangan dengan 40 jam periode puasa dan 8 jam periode makan. Selanjutnya, absorbansi aktivitas katalase dan kadar protein diukur dengan spectrofotometer. Pembagian aktivitas katalase dengan kadar protein dilakukan untuk mendapatkan aktivitas spesifik katalase. Hasil: Rata-rata dari aktivitas spesifik katalase pada kelompok kontrol adalah 1,104 ± 0,244 UI/mg protein, rata-rata pada kelompok puasa intermiten adalah 0,892 ± 0,093 UI/mg protein, dan rata-rata pada kelompok puasa berkepanjangan adalah 1,126 ± 0,098 UI/mg protein dengan perbedaan yang tidak signifikan (p > 0,05). Kesimpulan: Perlakuan puasa intermiten dan puasa berkepanjangan selama satu minggu tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas spesifik enzim katalase pada jantung kelinci New Zealand White.

Introduction: An imbalance in the antioxidant and free radical levels will develop oxidative stress. Fasting has increased antioxidant levels and decreased free radical production, ultimately reducing oxidative stress. Furthermore, the duration of fasting is also known to have a role in decreasing oxidative stress. Previous studies have been done on the effect of fasting on oxidative stress, however, none has been done on the heart. Hence, this study is aimed to discover the difference of fasting duration on its effect towards catalase level in New Zealand White rabbits. Method: Samples are divided into three groups based on their treatment for a week. First, the control group with a regular feeding schedule. Second, intermittent fasting group with 16 hours of the fasting period and 8 hours of the feeding period. Lastly, prolonged fasting with 40 hours of fasting and 8 hours of feeding periods. Then, a spectrophotometer is used to calculate the catalase activity and protein level. A division of catalase activity by protein level is done to obtain specific catalase enzyme activity. Result: The mean of specific catalase activity in the heart of the control group sample are 1.104 ± 0.244 UI/mg protein, the mean in the intermittent fasting group are 0.892 ± 0.093 UI/mg protein, and the mean in the prolonged fasting group is 1.126 ± 0.098 UI/mg protein with an insignificant difference (p > 0.05). Conclusion: Neither intermittent nor prolonged fasting conducted in a period of one week will have significant effect on the specific catalase activity level in the heart of New Zealand White rabbit."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ali Abdullah
"Isolasi sel punca mesenkimal (SPM) dari darah perifer (DP) menutupi kekurangan yang ditemukan pada isolasi dari sumsum tulang (ST). Jumlah darah yang banyak dapat diperoleh dari sirkulasi perifer dan teknik pengambilannya lebih tidak traumatik dibandingkan pengambilan dari sumsum tulang. Namun, jumlahnya sedikit di dalam darah. Diperlukan suatu kondisi untuk meningkatkan hasil isolasi dari darah perifer. Restriksi kalori meningkatkan kemampuan self-renewal dari sel punca intestinal, sel punca otot dan regenerasi saraf, menjaga kemampuan regenerasi jangka panjang pada sel punca hematopoetik. Belum terdapat penelitian yang mempelajari efek intermittent atau prolonged fasting pada SPM darah perifer dan sumsum tulang, maka diperlukan penelitian untuk mempelajari efek fasting terhadap kemampuan proliferasi dan diferensiasi SPM. Penelitian ini menggunakan kelinci (n=27) yang dibagi menjadi tiga kelompok; setiap kelompok terdiri dari 9 kelinci. Kelompok pertama sebagai kontrol diberikan makan dan minum ad lib. Kelompok kedua mendapat perlakuan intermittent fasting (7 siklus), dan kelompok ketiga mendapat perlakuan prolonged fasting (4 siklus). Sampel diambil dari darah perifer dan sumsum tulang femur. Dilakukan isolasi kultur untuk menilai kemampuan proliferasi (waktu konfluensi dan jumlah sel) dan diferensiasi (kualitatif dan kuantifikasi) dari masing-masing kelompok sampel. Sel punca mesenkimal pada ketiga kelompok penelitian mampu diisolasi, berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi osteoblas. Persentasi keberhasilan kultur primer dari kelompok kontrol: DP 14.28%, dan ST 28.57%; kelompok IF: DP 44.44% dan ST 33.33%; dan kelompok PF: DP 55.55%, dan ST 44.44%. Rerata waktu konfluensi kelompok kontrol: DP 17 hari dan ST 31 hari; kelompok IF: DP 15 hari dan ST 26 hari; dan kelompok PF: DP 15.6 hari dan ST 20 hari (DP p=0.592, dan ST p=0.408). Rerata jumlah sel konfluensi kelompok kontrol: DP 108 x103/mL dan ST 274 x103/mL; kelompok IF: DP 182 x103/mL dan ST 115.3 x103/mL ; dan kelompok PF: DP 65.6 x103/mL dan 139 x103/mL ST (DP p=0.282 dan ST p=0.502). Rerata kuantifikasi optik densitometri pada diferensiasi osteoblas kelompok kontrol: DP 0.154 OD dan ST 0.169 OD; kelompok IF: DP 0.240 OD dan ST 0.207 OD; dan, kelompok PF: DP 0.157 OD dan ST 0.167 OD (DP p=0.044 dan ST p=0.074). Uji posthoc kuantifikasi optik densitometri diferensiasi osteoblas didapatkan perbedaan bermakna pada kelompok IF DP (p=0.046). Perlakuan intermittent dan prolonged fasting memiliki efek dalam meningkatkan ekspansi SPM ke darah perifer. Kuantifikasi diferensiasi osteoblas SPM-DP perlakuan IF lebih tinggi dibandingkan kontrol. Diharapkan ada penelitian lanjutan yang mengevaluasi efek intermittent fasting pada sampel darah perifer manusia terhadap kemampuan SPM dalam hal ekspansi, proliferasi dan diferensiasi menjadi osteoblas.

Isolation of mesenchymal stem cells (MSC) from peripheral blood (PB) was considered giving more advantages compared to isolation from bone marrow (BM). Large amounts of blood can be taken from peripheral circulation by less invasive extraction technique than BM. However, MSC isolated from PB can only be achieved in a small amount. Some conditioning of the subjects are needed in order to improve the isolation products from PB. Calorie restriction increases the self-renewal ability of intestinal stem cells, muscle stem cells and nerve regeneration, and maintain the long-term regeneration ability of hematopoietic stem cells. There has not been any studies that explore the effects of intermittent or prolonged fasting on MSC of PB and BM. The aim of this study is investigating the effect of fasting on the ability of MSC proliferation and differentiation. This study used rabbits (n = 27) which were divided into three groups; each group consists of 9 rabbits. The first group as a control was given food and drink ad lib. The second group received intermittent fasting (7 cycles), and the third group received prolonged fasting (4 cycles). Samples were taken from the peripheral blood and femoral bone marrow. Culture isolation was performed to assess the proliferation (confluency time and cells number) and differentiation (qualitative and quantitative) abilities of each sample group. Mesenchymal stem cells in all groups were able to be isolated, proliferate and differentiate to osteoblast. The successful rate of primary culture from control group: PB 14.28% and BM 28.57%; IF group: PB 44.44% and BM 33.33%; and PF group: PB 55.55% and BM 44.44%. The mean of confluence time from control group: PB 17 days and BM 31 days; IF group: PB 15 days and BM 26 days; and PF group: DP 15.6 days and ST 20 days (PB p=0.592, and BM p=0.408). The mean of confluence cells number: PB 108 x103/mL and BM 274 x103/mL; IF group: PB 182 x103/mL and BM 115.3 x103/mL ; and PF group: PB 65.6 x103/mL and 139 x103/mL ST (PB p=0.282 and BM p=0.502). The mean of optical densitometry quantification from osteoblast differentiation in control group: : PB 0.154 OD and BM 0.169 OD; IF group: PB 0.240 OD and BM 0.207 OD; and, PF group: PB 0.157 OD and BM 0.167 OD (PB p=0.044 dan BM p=0.074). Posthoc analyis from optical densitometry quantification of osteoblast differentiation showed significant difference on IF PB group (p=0.046). Intermittent and prolonged fasting treatment gave increasing effect of MSC expansion into peripheral blood. MSC-PB osteoblast differentiation quantification was higher in IF treatment compared to control. It is hoped that further studies will evaluate the effect of intermittent fasting on human peripheral blood samples in the ability of SPM in terms of expansion, proliferation and differentiation into osteoblasts. We suggest that there will be further studies conducted to evaluate the effect of intermittent fasting on the ability of MSC's expansion, proliferation, and differentiation into osteoblasts from human peripheral blood samples."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Engelbert Julyan Gravianto
"Latar belakang: Puasa sudah terbukti meningkatkan aktivtias enzim katalase pada berbagai jaringan tikus. Namun, belum diketahui jenis puasa yang paling berpengaruh terhadap aktivitas enzim katalase. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh puasa dan jenis puasa yang paling berpengaruh terhadap aktivitas enzim katalase pada plasma dan jaringan hati kelinci new zealand white yang merupakan hewan berderajat lebih tinggi daripada tikus.
Metode: Kelinci new zealand white dibagi menjadi 3 kelompok perlakuan berbeda, yaitu (1) mendapat asupan makan dan minum (kelompok kontrol), (2) intermittent fasting, yaitu fase puasa selama 16 jam lalu diselingi fase tidak puasa selama 8 jam, selama 7 hari, (3) prolonged fasting, yaitu fase puasa selama 40 jam lalu diselingi fase tidak puasa selama 8 jam, selama 7 hari. Kemudian dilakukan pengukuran aktivitas enzim katalase pada plasma dan jaringan hati, yaitu hasil bagi kadar enzim katalase dengan protein.
Hasil: Pada jaringan hati, rerata aktivitas enzim katalase kelompok kontrol sebesar 156,23 ± 10,59 U/mg, kelompok intermittent fasting 181,42 ± 7,48 U/mg, kelompok prolonged fasting 159,38 ± 11,40 U/mg yang menunjukan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05). Pada plasma, rerata aktivitas enzim katalase kelompok kontrol sebesar 9,73 ± 4,19 U/mg, kelompok intermittent fasting 7,47 ± 4,22 U/mg, kelompok prolonged fasting 7,15 ± 2,69 U/mg yang menunjukan perbedaan yang tidak bermakna (p>0,05)
Kesimpulan: Intermittent fasting dan prolonged fasting selama 7 hari tidak mempengaruhi aktivitas enzim katalase pada plasma dan jaringan hati kelinci new zraland white.

Introduction: Fasting has been known to increase catalase activity in various mouse’s tissues. However, the types of fasting which mostly affect catalase activity remains unknown. This study showed the impact of various types of fasting toward catalase activity in the plasma and liver of new zealand white rabbit which level is higher than mouse.
Method: The new zealand white rabbits are divided to 3 different treatment group, (1) received food and drinks (control group), (2) intermittent fasting, 16 hours fasting phase then interluded with 8 hours not fasting phase, for 7 days, (3) prolonged fasting, 40 hours fasting phase then interluded with 8 hours not fasting phase, for 7 days. Specific catalase activity in the liver and plasma were obtained by dividing catalase level with protein level.
Result: In liver, the means of specific catalase activity in control group is 156,23 ± 10,59 U/mg, intermittent fasting group is 181,42 ± 7,48 U/mg, prolonged fasting group is 159,38 ± 11,40 U/mg which show unsignificant difference (p>0,05). In plasma, the means of specific catalase activity in control group is 9,73 ± 4,19 U/mg, intermittent fasting group is 7,47 ± 4,22 U/mg, prolonged fasting group is 7,15 ± 2,69 U/mg which show unsignificant difference (p>0,05).
Conclusion: Intermittent fasting and prolonged fasting for 7 days doesn’t affect specific catalase activity in plasma and liver new zealand white rabbit.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Alifian Remifta Putra
"Pendahuluan: Fork-head transcription factor of the O class 3 (FOXO3) merupakan gen yang berfungsi dalam berbagai proses metabolisme dan menjaga keseimbangan regulasi energi. FOXO3 memiliki peran penting dalam mekanisme respon terhadap berbagai stressor yang bersifat sitoprotektif, sehingga mampu mempengaruhi jangka hidup organisme dan bersifat anti-aging. Studi ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh puasa berjangka (16 jam) dan puasa panjang (40 jam) dengan pengaruhnya terhadap ekspresi gen FOXO3 sebagai biomarka anti-aging menggunakan Kelinci New Zealand White sebagai model. Metode: Sampel liver Kelinci New Zealand White diekstrak dari masing-masing tiga kelompok kelinci yaitu kelompok kontrol, puasa berjangka, dan puasa panjang. Selanjutnya, dilakukan isolasi RNA liver menggunakan RNA Isolation Kit. Quantitative real time polymerase chain reaction (qRT-PCR) digunakan untuk mengukur tingkat ekspresi mRNA FOXO3. ANOVA dengan aplikasi IBM SPSS digunakan untuk perhitungan statistik. Hasil: Ekspresi mRNA FOXO3 ditemukan meningkat secara signifikan (p<0.05) pada kelompok puasa berjangka dibandingkan kontrol (2.17-kali), sedangkan kelompok puasa panjang dibandingkan kontrol tidak bermakna signifikan. Ekspresi mRNA FOXO3 pada kelompok puasa berjangka ditemukan juga lebih tinggi secara signifikan (p<0.05)  dibandingkan kelompok puasa panjang (2.5-kali). Kesimpulan: Ekspresi FOXO3 ditemukan meningkat pada kelompok puasa berjangka. Hal ini menunjukkan bahwa puasa berjangka dapat meningkatkan ekspresi biomarker anti-aging yaitu gen FOXO3.

Introduction: Fork-head transcription factor of the O class 3 (FOXO3), a gene that has various functions in energy metabolism and metabolic balance. FOXO3 plays an important role in initiating response toward various stressors by eliciting the cytoprotective effect that affects the lifespan of an organism. This research was conducted to study the impact of intermittent (16 hours) and prolonged fasting (40 hours) on the expression of FOXO3 gene expression in New Zealand White (NZW) Rabbits. Methods: Liver samples are taken from each group of NZW Rabbits (control, intermittent, and prolonged fasting). Further, the RNA sample is isolated from the liver by using the RNA Isolation Kit. qRT-PCR was used to measure the FOXO3 gene mRNA expression rate. ANOVA was performed with IBM SPSS application for statistical analysis. Results: mRNA expression of FOXO3 was found significantly higher (p<0.05) in the intermittent fasting group compared to control (2.17-fold), while prolonged fasting group compared to the control group not showing any statistically significant changes. mRNA FOXO3 expression in intermittent fasting was increased in a statistically significant (p<0.05) level compared to a prolonged group (2.5-fold). Conclusion: FOXO3 gene expression found to be higher in the intermittent fasting group. This result shows that intermittent fasting increases the expression of the FOXO3 gene."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2020
TA-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Shefilyn Widjaja
"Penuaan adalah salah satu faktor resiko signifikan untuk sejumlah penyakit tidak menular degeneratif dan sering bermanifestasi sebagai penyakit kardiovaskular, kognitif dan metabolik. Studi terbaru telah mengidentifikasi peroxisome proliferator-activated receptor γ co-activator α (PGC-1α) sebagai pengatur utama fungsi mitokondria, yang sering dihubungkan dengan teori penuaan. Karena keterlibatannya dalam metabolisme energy, kegagalan energy akibat puasa mungkin dapat merangsang ekspresi PGC-1α, khususnya pada organ yang aktif secara metabolic seperti hati dan jantung. Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki manfaat anti-penuaan dari puasa dengan cara menganalisis ekspresi PGC-1α dalam sel hati kelinci yang dipuasakan. Tiga kelompok kelinci yang telah (1) diberi makan secara ad libitum; (2) dipuasakan selama 16 jam (puasa intermiten); (3) dipuasakan selama 40 jam (puasa berkepanjangan). RNA diekstraksi dari jaringan hati kelinci dari masing-masing kelompok. qRT-PCR dilakukan untuk mencari ekspresi relative gen PGC-1α sebagai biomarker anti-penuaan. Terdapat peningkatan signifikan ekspresi relative PGC-1α pada hati kelinci yang dipuasakan dibanding kelinci yang diberi makan ad libitum. Penelitian lebih lanjut yang melibatkan pemantauan kelinci diperlukan untuk mengamati sifat anti-penuaan pada kelinci yang telah dipuasakan dibandingkan kontrol untuk menyimpulkan sebesar apa efek puasa terhadap penundaan penuaan.

Ageing is a significant risk factor for various of non-communicable diseases, often manifesting as cardiovascular, cognitive and metabolic degenerative diseases. Recent studies have identified peroxisome proliferator-activated receptor γ co-activator α (PGC-1α) as a major regulator of mitochondrial function, a common feature in the many theories of ageing. Due to its involvement in energy metabolism, it is theorised that energetic failures due to fasting may be able to stimulate the expression of PGC-1α. This research aims to investigate anti-ageing benefits of fasting by analysing the expression of PGC-1α in liver cells of fasted rabbits compared to rabbits fed ad libitum. Three groups of rabbits were (1) fed ad libitum; (2) subjected to intermittent (16-hour) fast; and (3) subjected to prolonged (40-hour) fast. RNA was extracted from the liver tissues of the rabbits. The relative expression of PGC-1α mRNA as a biomarker of anti-ageing was analysed by qRT-PCR. There was a significant increase in relative expression of PGC-1α in fasted rabbits than those fed ad libitum. Further research involving the monitoring of the rabbits is needed to observe for anti-ageing traits in fasted rabbits as opposed to the control to conclude the extent of the effect of fasting on delaying ageing."
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia , 2020
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>