Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 159209 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Alrido Ahmad Hidayatullah
"Penelitian ini membahas penerapan Force Majeure pada kondisi Pandemi COVID-19 berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XVIII/2020), sehingga diperlukan kajian terhadap masalah tersebut dengan isu hukum yang dibahas adalah penerapan atas Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XVIII/2020, dampak pandemi COVID-19 terhadap eksekusi Objek Hak Tanggungan, keabsahan dari eksekusi yang dilakukan oleh Bank dengan dasar Titel Eksekutorial pada kondisi Pandemi COVID-19. Metode yang digunakan adalah yuridis normatif, yaitu penelitian terhadap asas-asas hukum dengan menggunakan sumber hukum sekunder. Hasil dari penelitian ini adalah dengan adanya putusan tersebut menyebabkan keambiguan pada Pasal 14 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (1) UUHT dan tidak sesuai dengan prinsip dalam mempermudah semua kepentingan para pihak apabila terjadi wanprestasi ataupun sengketa atas objek dari Hak Tanggungan. Eksekusi atas Hak Tanggungan tidak bisa berjalan dengan seharusnya karena terdapat force majeure didalamnya. UUHT memberikan kekuatan pada kreditur dalam melakukan eksekusi tapi tidak bisa secara serta merta kreditur dapat melakukannya harus melalui beberapa prosedur yang sudah ditentukan oleh KUHPerdata dan juga HIR. Keabsahan dari Eksekusi Jaminan Hak Tanggungan yang menggunakan titel eksekutorial harus memiliki izin dari ketua pengadilan dimana objek hak tanggungan tersebut berada atau perlu fiat dari pengadilan, jika tidak ada maka tidak sah eksekusi yang dilakukan dan akan dianggap sebagai perbuatan melawan hukum. Oleh karena itu, diperlukan perubahan redaksi atas pasal 14 ayat (3) dan Pasal 20 ayat (1) yang menyebabkan Hak Tanggungan ambigu dalam penerapannya, Eksekusi atas Objek Hak Tanggungan bisa dihindari dengan mewajibkan para pihak memasukkan klausula Force Majeure pada perjanjian pokok, dan harus menyertakan fiat dari pengadilan.

This research discusses the application of Force Majeure in the COVID-19 pandemic condition based on the Constitutional Court Decision Number 21/PUU-XVIII/2020), it is necessary to study the issue with the legal issues being discussed, namely the application of the Constitutional Court Decision Number 21/PUU-XVIII/2020, the impact of the COVID-19 pandemic on the execution of the Object of the Mortgage, the validity of the executions carried out by the Bank on the basis of the Executive Titles in the conditions of the COVID-19 Pandemic. The method used is juridical normative, namely research on legal principles by using secondary sources of law. The result is the existence of this decision causes ambiguity in Article 14 paragraph (3) and Article 20 paragraph (1) UUHT. It doesn’t represent the principle of facilitating all the interests of the parties in the event of default or dispute over the object of the Mortgage. Execution of Mortgage Rights cannot run properly because there is force majeure in it. UUHT gives the creditor the power to carry out the execution but cannot immediately the creditor can do it, must go through several procedures that have been determined by the Criminal Code and also the HIR. The validity of the execution of the guarantee of mortgage that uses the title executorial must have the permission of the head of the court where the object of the mortgage is located or need fiat from the court, if there is no then the execution will not be valid and will be considered as an unlawful act. Therefore, there is a need for editorial changes to Article 14 paragraph (3) and Article 20 paragraph (1) which causes the Insurance Rights to be ambiguous in its application, Execution of the Object of the Insurance Rights can be avoided by requiring the parties to include a Force Majeure clause in the main agreement, and must include fiat from the court."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2021
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dita Okta Sesia
"Perkembangan dunia usaha mengakibatkan adanya perkembangan
pula dalam pembuatan perjanjian yang mengandung klausulaklausula
yang dianggap memenuhi keinginan para pihak dalam
berkontrak. Di dalam perjanjian untuk mengantisipasi halhal
yang mungkin timbul di kemudian hari, maka para pihak
di dalam suatu perjanjian mencantumkan Klausula Keadaan
Darurat. Keadaan Darurat yang biasa dikenal dengan istilah
Force Majeure diartikan sebagai suatu kejadian yang terjadi
di luar kekuasaan para pihak, dimana pihak tersebut tidak
dapat menduga kejadian tersebut pada waktu perjanjian
dibuat atau tidak dapat menghindari atau mengatasi
akibatnya. Penulis menyoroti permasalahan mengenai
perumusan klausula Keadaan Darurat di dalam suatu
perjanjian serta risiko yang harus ditanggung oleh para
pihak dalam hal terjadi peristiwa Keadaan Darurat,
sedangkan metode penelitian yang digunakan dalam penulisan
skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif dan
metide penelitian deskriptif analisis. Dalam penelitian ini,
penulis akan memperbandingkan Klausula Keadaan Darurat
antara Perjanjian Graha Sucofindo dengan Perjanjian Direct
Contract. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan
dilatarbelakangi oleh Kedua perjanjian yang mencantumkan
Klausula Keadaan Darurat, maka Perjanjian Graha Sucofindo
dan Perjanjian Direct Contract memiliki perbedaan dan
persamaan dari segi definisi, teori, risiko, dan bentuk
Keadaan Darurat dalam hal pencantuman Klausula Keadaan
Darurat. Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, Force
Majeure diatur di dalam Pasal 1244 KUHPerdata dan 1245
KUHPerdata. Kedua pasal ini terdapat di dalam bagian yang
mengatur tentang ganti rugi. Pasal 1244 KUHPerdata dan
pasal 1245 KUHPerdata mengatur suatu hal yang sama, yaitu
dibebaskannya si debitur dari kewajiban mengganti kerugian,
karena suatu kejadian yang dinamakan Keadaan Darurat dalam
perjanjian. Klausula tentang overmacht atau force majeure
atau biasa disebut Keadaan Memaksa merupakan suatu klausula
yang penting. Oleh karena itu, sebaiknya klausula Keadaan
Darurat selalu dicantumkan dalam perjanjian untuk melakukan antisipasi yang mungkin timbul di kemudian hari dan berakibat langsung terhadap pelaksanaan perjanjian."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2008
S21380
UI - Skripsi Open  Universitas Indonesia Library
cover
Lennart Ezra
"Dalam hubungan kontraktual, suatu kewajiban yang telah disepakati para pihak dapat tidak terpenuhi oleh karena adanya supervening event yang tidak dapat diduga datangnya. Ketentuan UNIDROIT Principles of International Commercial Contract dapat mengakomodir kejadian atau peristiwa yang datangnya tidak dapat diduga itu, khususnya dalam situasi pandemi COVID-19 yang datangnya tidak dapat diduga. Menanggapi hal tersebut, UNIDROIT kemudian menerbitkan Note of the UNIDROIT Secretariat on the Principles of International Commercial Contract on the COVID-19 Health Crisis sebagai panduan dalam penggunaan UNIDROIT Principles of International Commercial Contract apabila terdapat permasalahan kontraktual yang melibatkan pihak dari negara yang berbeda-beda. Penelitian ini akan menyajikan penjelasan (i) bagaimana konsepsi supervening events dan doktrin yang menjadi dasar pemaaf atas tidak terlaksananya prestasi suatu kontrak dilihat dari perspektif hukum perdata Indonesia, Korea Selatan, dan Thailand; dan (ii) bagaimana kejadian pandemi seperti COVID-19 dapat diinterpretasikan sebagai force majeure dilihat dari klausula force majeure di dalam suatu perjanjian distributor yang melibatkan pihak asing dan berdasarkan ketentuan hukum di Indonesia dan UNIDROIT Principles of International Commercial Contract. Dengan metode penelitian yuridis normatif serta dengan pendekatan kualitatif, dapat diambil kesimpulan bahwa: Pertama, dari persamaan dan perbedaan ketentuan yang ada, telah terlihat adanya keberagaman pengaturan mengenai doktrin supervening events yang diakui di Indonesia, Korea Selatan, dan juga Thailand, yang dalam penelitian ini adalah force majeure. Kedua, pandemi COVID-19 dapat dianggap sebagai suatu keadaan force majeure sebagai alasan lepasnya pihak yang terdampak dari tanggung jawab atas kerugian yang ditimbulkan dari pandemi COVID-19 apabila mengacu pada UNIDROIT Principles of International Commercial Contract.

In a contractual relationship, the agreed performances may not be fulfilled due to an unexpected supervening event. However, the UNIDROIT Principles of International Commercial contract would accommodate such supervening events, particularly in a COVID-19 pandemic situation which appears to be unexpected. Given that, UNIDROIT then issued Note of the UNIDROIT Secretariat on the Principles of International Commercial Contract on the COVID-19 Health Crisis as a guidance in utilizing the UNIDROIT Principles of International Commercial Contract in event of any contractual disruption between the parties who are originated from different countries. This study will provide explanations regarding (i) how the concept of supervening events and the doctrine that forms the basis of excuse for non-performance of a contract perceived from the perspective of Indonesian, South Korean, and Thai civil law; and (ii) how the COVID-19 pandemic event can be interpreted as a force majeure perceived from a force majeure clause stipulated in a distributorship agreement which involves foreign parties and in accordance with Indonesian Bylaws and UNIDROIT Principles of International Commercial Contract. Through a research using normative juridical method and qualitative approach, it can be concluded that: First, on the basis of the provisions’ similarities and contrast distinction, the diversities of regulation can be seen in regards with the recognized supervening events doctrine in Indonesia, South Korea, and Thailand, that is force majeure. Second, COVID-19 pandemic can be constituted as a force majeure to excuse the affected party from responsibility towards the incurred loss under UNIDROIT Principles of International Commercial Contract."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2022
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ryan Kananggar
"Selain rumah tapak, apartemen atau rumah susun merupakan jenis hunian yang dibutuhkan oleh masyarakat. Di tengah kelangkaan perumahan dan keterbatasan lahan di kawasan strategis, pembangunan rumah susun semakin marak karena permintaan yang tinggi. Alhasil, rumah susun menjadi komoditas yang diminati para pelaku usaha. Di tengah berkembangnya bisnis properti, khususnya rumah susun atau apartemen, terjadi pandemi Covid-19 di tahun 2020. Pandemi tersebut menimbulkan malapetaka dan mengubah gaya hidup masyarakat, tidak terkecuali pembangunan gedung apartemen, dengan keterlambatan pembangunan akibat pembatasan yang menyebabkan pengembang terlambat menyerahkan kepada pembeli. Pemerintah mengeluarkan Perpres Nomor 11 Tahun 2020 di tengah pandemi dan menyatakan pandemi Covid sebagai bencana kesehatan dalam Perpres tersebut. Konsep bencana kesehatan mendorong pengembang untuk menyatakan pandemi sebagai overmacht atau keadaan kahar. Namun, transportasi dan konstruksi bukanlah sektor yang dibatasi, sesuai dengan peraturan PSBB yang dikeluarkan oleh pemerintah-pemerintah daerah. Fakta ini memberikan kesan kepada publik bahwa pandemi Covid bukanlah alasan untuk menyatakan keadaan kahar atau overmacht di industri konstruksi dan properti. Oleh karena itu, pada sektor properti, ketidaksepakatan dan penggunaan force majeure selama dan setelah pandemi menciptakan ketidakpastian bagi pembeli dan pengembang. Berawal dari permasalahan tersebut, skripsi ini berupaya menjawab ketidakpastian pembuktian overmacht atau keadaan kahar akibat dampak pandemi Covid-19 terhadap keterlambatan pemenuhan jual beli rumah susun atau apartemen.

Apart from landed houses, apartments or flats are a type of housing required by the community. In the midst of a housing shortage and limited land in strategic areas, the construction of flats is becoming more active due to high demand. As a result, flats are a desirable commodity for business actors. In the midst of the development of the property business, particularly flats or apartments, a covid pandemic occurred in 2020. The pandemic caused havoc and altered people's lifestyles. Apartment building construction is no exception, with delays causing developers to be late in handing over to buyers. The government issued Presidential Decree Number 11 of 2020 in the midst of a pandemic and declared the Covid Pandemic a health disaster in the Presidential Decree. The concept of a health disaster prompts developers to declare a pandemic a force majeure. However, transportation and construction are not restricted sectors, according to PSBB regulations issued by regional governments. This fact gives the public the impression that the Covid pandemic is not a reason to declare a situation a force majeure or overmacht in the construction and property industries. In the property sector, disagreements and the use of force majeure during and after a pandemic create uncertainty for both buyers and developers. Starting with this issue, this thesis seeks to address the uncertainty in proving force majeure as a result of the impact of the Covid-19 pandemic on delays in fulfilling sales and purchases of flats or apartments. "
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Sahetapy, Georgine Bianca Avella
"Suatu perjanjian melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang saling mengikat dirinya dalam perjanjian tersebut. Namun demikian, terdapat beberapa unsur yang dapat membebaskan para pihak (terutama debitur) dari kewajibannya, atau untuk memberikan ganti rugi. Unsur ini disebut juga dengan Keadaan Memaksa atau Force Majeure. Keadaan memaksa diatur dalam KUHPerdata Pasal 1244 dan Pasal 1245. Seiring dengan perkembangan zaman, sistem komputer telah menjadi salah satu hal yang esensial dalam berbagai bidang, terutama di bidang finansial. Oleh sebab itu, perlu dipikirkan bagaimana jika kerusakan komputer terjadi dan kemudian didalilkan sebagai keadaan memaksa. Yang harus ditekankan dalam kerusakan komputer sebagai keadaan memaksa ini adalah bagaimana usaha-usaha maksimal yang dilakukan untuk melakukan pencegahan terhadap kerusakan komputer ini.

An agreement creates liability and responsibility for those who bound themselves in the specific agreement. But there are some elements or situation that could freed the parties from the liability. This element also known as force majeure or unforseeable circumstances. In the Indonesian Civil Code, force majeure was stated in Article 1244 and Article 1245. As the modern world grows, every aspect in life has grown in need of computer system, not to mention a financial institute. Therefore, it should come into consideration when will computer breakdown could be specified as the cause of force majeure. The main focus on this subject is to review how an institute has done every precaution needed before they could claim the computer breakdown as a force majeure."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2013
S45489
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Maulidiah Maskat
"Tulisan ini menganalisis bagaimana terjadinya PHK dengan alasan Covid-19 sebagai force majeur, ketentuan penetapan Covid-19 dengan dalih force majeur sebagai faktor PHK dalam peraturan perundang-undangan dan perlindungan hukum terhadap hak pekerja yang mengalami PHK akibat pandemi covid-19 dengan alasan force majeur. Tulisan ini disusun menggunakan metode penelitian doktrinal dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual. Hasil dari penelitian ini disimpulkan bahwa terjadinya PHK dengan alasan Covid-19 sebagai force majeur dilakukan oleh Ramayana City Plaza terhadap 87 pekerjanya akibat pandemi virus corona. Ketentuan penetapan covid-19 dengan dalih force majeur sebagai faktor PHK dalam peraturan perundang-undangan tidak dijelaskan secara detail mengenai ketentuan maupun kategori suatu keadaan dikatakan sebagai force majeur, namun berdasarkan unsur dan karakteristik force majeur pandemi covid-19 merupakan suatu peristiwa yang dapat digolongkan dan termasuk dalam literasi force majeur yang bersifat temporer. Kondisi force majeur dapat menjadi pertimbangan dilakukannya PHK sebagaimana diatur dalam Pasal 154A ayat (1) huruf D UU No. 6 Tahun 2023. Perlindungan hukum terhadap hak pekerja yang mengalami PHK akibat pandemi covid-19 dengan alasan force majeur diatur dalam Pasal 156 Ayat (1) UU Ketenagakerjaan dan Pasal 45 ayat (1) PP 35 Tahun 2021 yang mewajibkan pengusaha untuk membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima pekerja. lebih lanjut perlindungan hukum terhadap pekerja kontrak diatur dalam Pasal 62 UU Ketenagakerjaan dan Pasal 17 PP 35 Tahun 2021 bahwa perusahaan wajib membayar ganti kerugian dan uang kompensasi kepada pekerja.

This paper analyzes how layoffs occur on the grounds of covid-19 as force majeur, provisions for determining covid-19 under the pretext of force majeur as a layoff factor in laws and regulations, and legal protection of the rights of workers who experience layoffs due to the covid-19 pandemic for reasons of force majeur. This paper is prepared using doctrinal research methods using a statutory approach and a conceptual approach. The results of this study concluded that the occurrence of layoffs due to Covid-19 as a force majeur was carried out by Ramayana City Plaza on 87 workers due to the coronavirus pandemic. The provisions for determining covid-19 under the pretext of force majeur as a layoff factor in laws and regulations are not explained in detail about the provisions or categories of a situation said to be force majeur, but based on the elements and characteristics of force majeur, the covid-19 pandemic is an event that can be classified and included in force majeur literacy which is temporary. Force Majeure conditions can be a consideration for layoffs as stipulated in Article 154A paragraph (1) letter D of Law No. 6 of 2023. Legal protection of the rights of workers who experience layoffs due to the covid-19 pandemic for reasons of force majeur is regulated in Article 156 paragraph (1) of the Manpower Law and Article 45 paragraph (1) of PP 35 of 2021 which requires employers to pay severance pay and/or service period appreciation money and compensation money that workers should receive. Furthermore, legal protection for contract workers is regulated in Article 62 of the Manpower Law and Article 17 PP 35 of 2021 that companies are obliged to pay compensation and compensation money to workers."
Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Ghali Amiyama
"ABSTRAK
Skripsi ini membahas mengenai konsep keadaan memaksa (force majeure) dalam Hukum Perjanjian dan bagaimana penerapan klausula force majeure oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia dalam putusan MARI No.587/PK/Pdt/2010. Penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian hukum dengan metode pendekatan yuridis normatif yang bersifat deskriptif dan prespektif analitis. Dalam penerapan batasan force majeure pada putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia nomor 587 Pk/Pdt/2010, ketika terjadi perbedaan persepsi mengenai banjir dalam perkara antara CV. Borco Utama melawan Transenergy Grinding, Inc. merupakan force majeure atau bukan, oleh Mahkamah Agung diputuskan banjir yang terdapat dalam klausula force majeure di perjanjian tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai force majeure. Hal ini ketika dianalisis, banjir dalam perkara antara CV. Borco Utama melawan Transenergy Grinding, Inc. ini memang tidak memenuhi unsur-unsur force majeure yaitu banjir tersebut dapat diprediksi/diduga akan terjadi.

ABSTRACT
This research discusses about the concept of force majeure in the Contract Law according to Indonesian Civil Code and how the Indonesian Supreme Court applied the clause of force majeure in its Decision No. 587/PK/Pdt/2010. The research conducted by legal research in a normative juridical approach methodology with descriptive and analytical perspective. The definition of force majeure applied in the Decision of Indonesian Supreme Court No.587/PK/Pdt/2010 was based on the different perception about "flood" (whether flood belongs to force majeure or not) in the case between CV. Borco Utama against Transenergy Grinding Inc. Then the Indonesian Supreme Court decided that "flood" stated in the clause on force majeure in the agreement cannot be categorized as force majeure. After being analyzed, it was found out that the "flood" in the case between CV. Borco Utama against Transenergy Grinding Inc. did not meet the elements of force majeure that the flood can be predicted/expected."
2014
S53570
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Isna Miriam
"Terjadi krisis ekonomi di Indonesia tahun 1997 yang kemudian menjadi krisis global pada saat itu dan banyak menyebabkan perjanjian batal karena menyulitkan untuk berprestasi karena keadaan tersebut. Banyak pihak menyebutkan bahwa hal tersebut adalah keadaan yang disebut force majeure. Penelitian ini membahas mengenai kasus antara PT. Pertamina dengan PT. Wahana Seno Utama, yang mana terjadi pembatalan perjanjian secara sepihak yang dilakukan oleh PT. Pertamina di saat renegosiasi perubahan pasal akibat terjadinya krisis ekonomi yang melanda Indonesia tahun 1997. Dalam kasus ini terlihat itikad baik yang tidak diperhatikan oleh PT. Pertamina yang membatalkan secara sepihak yang sebelumnya menyepakati untuk merubah pasal-pasal pada perjanjian tersebut. Dalam gugatan wanprestasi yang dilayangkan PT. Pertamina kepada PT. WSU kemudian PT. WSU menggugat balik dan menyangkal dengan "krisis ekonomi tersebut adalah force majeure". Tujuan hasil penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah krisis ekonomi merupakan force majeure dan pembatalan perjanjian secara sepihak yang dilakukan oleh PT. Pertamina yang melanggar asas itikad baik seperti yang di amanatkan pasa pasal 1338 KUHPerdata. Penelitian ini melihat dari pengaturan yang ada di Indonesia dengan yang ada di Hukum Perdata di Belanda mengenai Force Majeure.

Economic crisis in Indonesia in 1997 which later became a global crisis and likely to cause the agreement void because of the situation created a difficulty to achieve the agreement performance. Many have view this is a condition called force majeure. This study discusses the case of PT. Pertamina versus PT. Wahana Seno Utama, whichever occurs unilaterally cancellation agreements made by PT. Pertamina at the time. renegotiating amendment due to the economic crisis. In this particularly case good faith is not observed by PT. Pertamina in which has unilaterally cancelled a previous agreement to amend the provisions. Moreover, PT. Pertamina has filed a contract lawsuit in a breach of contract to PT. WSU. However, PT. WSU have filed a countersuit and denied accusation of "economic crisis is a force majeure". Purpose of this study is to determine whether the economic downturn is a force majeure and unilateral cancelation of the agreement by PT. Pertamina, which violates the principle of good faith as it is mandated Indonesian Civil Code article 1338. The research is descriptive and comparative studies of complying civil code in Indonesia with the Netherlands on Force Majeure subject."
Depok: Universitas Indonesia, 2013
S45694
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Kemas Abdul Karim
"ABSTRAK
Keadaan memaksa atau Force Majeure dapat mempengaruhi dari kelancaran suatu perjanjian sewa menyewa. Hal ini dapat menimbulkan masalah kepada para pihak, sehingga dalam tesis ini juga meninjau suatu putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia mengenai pembatalan sepihak setelah Force Majeure terjadi. Permasalahan yang diangkat dalam tesis ini yaitu bagaimana kedudukan hukum perjanjian sewa menyewa terhadap rusaknya objek sewa akibat force majeure, bagaimana pengaturan hak opsi perjanjian sewa menyewa yang objek sewanya rusak akibat force majeure, dan bagaimana pendapat pengadilan mengenai perjanjian sewa menyewa yang dibatalkan sepihak akibat terjadinya Force Majeure. Penulisan ini menggunakan metode penelitian yuridis normatif yang mengacu pada norma-norma hukum karena penulisan didukung dengan studi kepustakaan dengan cara meneliti serta menganalisa bahan-bahan pustaka dibidang hukum. Kesimpulan dalam penelitian ini adalah perjanjian sewa menyewa tidak secara otomatis batal setelah objek sewa rusak akibat force majeure, dimana batalnya perjanjian apabila objek sewa musnah, namun jika tidak musnah maka hak opsi muncul lalu diserahkan keputusanya kepada penyewa, dan hasil putusan pengadilan kurang tepat karena dirasa tidak menimbang bukti-bukti yang dirasa sangat penting dalam perjanjian sewa menyewa yang berpekara.

ABSTRACT
A condition of force or Force Majeure may affect the smoothness of a lease agreement. It can be pose a problem to both parties, so this thesis also reviewing a judgment the Supreme Court of the Republic of Indonesia on unilateral cancellation occurred after the Force Majeure. This thesis using a normative juridical research method which refers to the legal norms because this thesis is supported by literature study which examines and analyzes library materials in the field of law. The conclusion of this study is the lease agreement is not automatically canceled after the object of the lease damaged due to force majeure, the cancellation of the lease agreement occurs if object destroyed, but if the object is not destroyed then the option appears then handed over its decision to the tenants, and the results of the court decision is not quite right because they do not consider the very important evidence in the lease agreement on the case."
2017
T46930
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Asri Putri Amanda
"Munculnya pandemi COVID-19 telah memberikan dampak amat besar pada aspek perekonomian, khususnya industri penerbangan. Efek dari pandemi ini memberikan kesulitan bagi pihak maskapai penerbangan sebagai lessee dalam memenuhi kewajiban kontrak leasing, dan perusahaan leasing sebagai lessor dihadapkan pada risiko pembayaran sewa yang tertunda atau bahkan tidak terpenuhi. Menanggapi polemik tersebut, klausul force majeure memiliki peran besar dalam memberikan suatu dasar hukum untuk menunda atau melepaskan kewajiban yang sulit atau bahkan tidak mungkin dipenuhi dalam situasi darurat seperti pandemi COVID-19. Namun demikian, penafsiran pandemi COVID-19 sebagai suatu keadaan memaksa dapat berbeda-beda. Terlebih lagi, tidak semua kontrak secara otomatis mencakup klausul force majeure, salah satunya seperti kontrak leasing pesawat udara. Akibatnya, pihak-pihak yang terlibat dalam kontrak leasing pesawat udara dihadapkan pada kompleksitas dan ketidakpastian hukum dalam menangani konsekuensi pandemi. Tujuan penelitian ini adalah untuk membahas mengenai penafsiran force majeure terhadap peristiwa pandemi COVID-19 dalam melaksanakan renegosiasi kontrak dan akibat hukum yang timbul terhadap kontrak leasing pesawat udara atas terjadinya pandemi COVID-19 sebagai force majeure. Adapun, dengan menggunakan metode doktrinal dan bahan data sekunder, kesimpulan dari penelitian ini adalah pertama, pandemi COVID-19 dapat dikategorikan sebagai force majeure relatif. Dengan kata lain, pemenuhan kewajiban debitur dapat ditangguhkan atau ditunda untuk sementara waktu hingga keadaan memaksa (pandemi COVID-19) berhenti. Setelah keadaan memaksa tersebut dinyatakan selesai, maka debitur harus melaksanakan kewajiban perjanjiannya kembali. Kedua, pelaksanaan renegosiasi kontrak leasing pesawat udara pada dasarnya tidak dilandasi dengan alasan force majeure, melainkan adanya peran lessor yang proaktif dan terbuka untuk bekerja sama mencari solusi yang memberikan keadilan bagi para pihak.

The emergence of the COVID-19 pandemic had a huge impact on economy aspects, especially the aviation industry. The effects of this pandemic have made it difficult for airlines as lessees need to fulfill their leasing contract obligations and leasing companies as lessors are faced with the risk of delayed or even incomplete rental payments from lessees. Responding to this polemic, the force majeure clause has a big role in providing a legal basis for postponing or releasing obligations that are difficult or even impossible to fulfill in emergency situations such as the COVID-19 pandemic. However, the interpretation of the COVID-19 pandemic as a force majeure event can vary. Moreover, not all contracts automatically include a force majeure clause, such as aircraft leasing contracts. Consequently, parties involved in aircraft leasing contracts grapple with legal complexities and uncertainties in addressing the consequences of the pandemic. The aim of this research is to discuss the interpretation of force majeure regarding the COVID-19 pandemic event in renegotiating contracts and the legal consequences arising on aircraft leasing contracts due to the occurrence of the COVID-19 pandemic as force majeure. Therefore, by using doctrinal method and secondary data, the conclusion drawn from this research is, firstly, that the COVID-19 pandemic can be categorized as a relative force majeure. In other words, the debtor's obligations fulfilment can be temporarily postponed or delayed until the force majeure condition (COVID-19 pandemic) ceases. Once the force majeure condition is declared over, the debtor must resume fulfilling their contractual obligations. Secondly, the renegotiation of aircraft leasing contracts is fundamentally not based on force majeure reasons, but rather on the proactive role of the lessor, who is open to collaborative solutions that ensure fairness for all parties involved."
Depok: Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>