Hasil Pencarian  ::  Simpan CSV :: Kembali

Hasil Pencarian

Ditemukan 149768 dokumen yang sesuai dengan query
cover
Harahap, Alvin Tagor
"Latar Belakang: Penyakit COVID-19 yang disebabkan oleh virus SARS-CoV-2 bisa menyebabkan kelainan pada paru-paru berupa pulmonary intravascular coagulation, suatu koagulopati akibat infeksi. Banyak menduga keadaan ini disebabkan oleh cytokine strorm yang salah satu komponen utamanya adalah IL-6. Sampai saat ini belum diketahui hubungan antara IL-6 dengan koagulopati pada penyakit ini.
Tujuan: Kami ingin megetahui apakah IL-6 memiliki korelasi dengan pertanda koagulopati d-Dimer, fibrinogen, dan prothrombin time, serta apakah IL-6 memiliki korelasi dengan ferritin sebagai acute phase reactant. Kami juga ingin mengetahui apakah IL-6, ferritin, fibrinogen, d-Dimer, dan PT berkorelasi dengan perburukan subjek COVID-19 derajat sedang dan berat.
Metode: Kami melakukan penelitian kohort prospektif pada pasien COVID-19 derajat sedang dan berat di suatu rumah sakit khusus yang menangani perawatan pasien COVID-19 mulai dari Juni 2020 sampai Januari 2021. Kami melakukan pemeriksaan serial IL-6, d-Dimer, fibrinogen, ferritin dan prothrombin time (PT), serta observasi keadaan pasien tersebut saat masuk rawat dan pada hari ke 14 hari atau sebelum hari ke 14 jika terjadi perbaikan, perburukan, atau pulang; mana yang lebih dahulu terjadi. Penelitian ini sudah mendapat persetujuan dari Panitia Tetap Etik Penelitian Kedokteran FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Hasil: Selama Juni 2020 sampai dengan Januari 2021 kami temukan sebanyak 374 pasien COVID-19 derajat sedang dan berat. Tujuh puluh tiga subjek masuk kriteria inklusi 61 orang termasuk kategori berat, dan 12 orang sedang. Jumlah pasien perburukan adalah 35 dari 61 pasien derajat berat, dan 1 dari 12 pasien derajat sedang. Uji korelasi Spearman antara IL-6 dengan ferritin, d-Dimer, fibrinogen, dan PT berturut-turut koefisien korelasinya 0,08 (p=0,5), -0,13 (p=0,27), 0,01 (p=0,91), 0,03 (p=0,77). Uji korelasi Spearman antara ferritin dengan d-Dimer, fibrinogen, dan PT berturut-turut 0,17 (p=0,14), 0,05 (p=0,63), dan 0,07 (p=0,51). ROC yang memiliki luas lebih dari 60% adalah selisih d-Dimer dan selisih IL-6 (74,77% dan 71,32%).
Kesimpulan: Tidak ditemukan korelasi antara IL-6 dengan d-Dimer, fibrinogen, PT. Ferritin tidak berkorelasi dengan d-Dimer, fibrinogen dan PT. IL-6 tidak berkorelasi dengan ferritin. Perubahan IL-6 dan d-Dimer dapat memprediksi perburukan pada pasien COVID-19 derajat sedang dan berat.

Background: COVID-19 disease caused by the SARS-CoV-2 virus can cause abnormalities in the lungs in the form of pulmonary intravascular coagulation, a coagulopathy due to infection. Many suspect this situation is caused by cytokine storm, one of the main components of which is IL-6. Until now, there is no known relationship between IL-6 and coagulopathy in this disease.
Objectives: We wanted to know whether IL-6 correlated with markers of d-Dimer coagulopathy, fibrinogen, and prothrombin time, and whether IL-6 correlated with ferritin as an acute phase reactant. We also wanted to find out whether IL-6, ferritin, fibrinogen, d-Dimer, and PT correlated with moderate and severe worsening of COVID-19 subjects.
Methods: We conducted a prospective cohort study of moderate and severe COVID-19 patients in a specialized hospital that treats COVID-19 patients from June 2020 to January 2021. We performed serial tests of IL-6, d-Dimer, fibrinogen, ferritin and prothrombin time (PT), as well as observing the patient's condition at the time of admission and on day 14 or before day 14 if there is improvement, worsening, or discharge; whichever happens first. This research has been approved by the Permanent Committee of Medical Research Ethics FKUI-RSUPN Cipto Mangunkusumo.
Results: During June 2020 to January 2021, we found 374 moderate and severe COVID-19 patients. Seventy-three subjects entered the inclusion criteria, 61 people were included in the heavy category, and 12 people were moderate. The number of deteriorating patients was 35 of 61 severe grade patients, and 1 of 12 moderate grade patients. Spearman correlation test between IL-6 and ferritin, d-Dimer, fibrinogen, and PT, respectively, the correlation coefficients were 0.08 (p=0.5), - 0.13 (p=0.27), 0.01 ( p=0.91), 0.03 (p=0.77). Spearman correlation test between ferritin and d-Dimer, fibrinogen, and PT was 0.17 (p=0.14), 0.05 (p=0.63), and 0.07 (p=0.51) . ROCs that have areas of more than 60% are the d-Dimer-difference and IL-6-difference (74.77% and 71.32%).
Conclusions: No correlation was found between IL-6 and d-Dimer, fibrinogen, PT. Ferritin did not correlate with d-Dimer, fibrinogen and PT. IL-6 was not correlated with ferritin. Changes in IL-6 and d-Dimer can predict worsening in moderate and severe COVID-19 patients.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Sulfiana
"Kondisi hipoksia hipobarik dapat mengganggu kesehatan manusia dan menjadi risiko keselamatan di dunia penerbangan. Berbagai jalur pensinyalan sensitif oksigen pada tingkat seluler, dapat diaktifkan selama paparan hipoksia hipobarik intermiten (HHI). HSP sebagai chaperokine berperan dalam transduksi sinyal dan modulasi sistem imun serta terkait dengan produksi sitokin pro-inflamasi atau anti-inflamasi. Penelitian ini bertujuan menganalisis efek HHI terhadap HSP70 dan produksi sitokin pro dan anti-inflamasi. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan menggunakan jaringan hepar tikus Sprague-Dawley yang disimpan pada suhu -20°C. Tikus dibagi menjadi 5 kelompok yaitu kontrol (C), HHA, HHI1, HHI2, dan HHI3 dan diberikan paparan HHI pada ketinggian 25.000 kaki selama 5 menit. Analisis konsentrasi protein dan sitokin ditentukan dengan metode sandwich ELISA. Hasil penelitian menunjukkan terdapat perbedaan bermakna ekspresi protein HSP70 pada hepar tikus pada kelompok HHA dan HHI terhadap kontrol (p<0.05), terdapat perbedaan bermakna konsentrasi IL-10 antara kelompok HHI3 terhadap kontrol (p = 0,018), dan adanya korelasi positif dengan kekuatan korelasi sedang antara HSP70 dengan TNF-α dan IL-1β, serta korelasi positif sedang HSP70 dengan IL-10. HHI menginduksi peningkatan HSP70 sebagai mekanisme adaptasi dan memodulasi sistem imun tubuh untuk meningkatkan konsentrasi IL-10.

Hypobaric hypoxic conditions can disrupt human health and become a risk for safety of aviation. Various signaling oxygen-sensitive pathways at the cellular level can be activated during intermittent hypobaric hypoxia (IHH) exposure. HSP as a chaperokine plays a role in signal transduction and modulation of the immune system and it is associated with the production of pro-inflammatory or anti-inflammatory cytokines. This study aims to analyze the effect of IHH on HSP70 and the production of pro- and anti-inflammatory cytokines. This study was an experimental study using Sprague-Dawley rat liver tissue stored at -20°C. Rats were divided into 5 groups, they are control (C), AHH, IHH1, IHH2, and IHH3. They were exposed to IHH at altitude of 25,000 feet for 5 minutes. Analysis of protein and cytokines concentrations was determined by the sandwich ELISA method. The results showed that there was a significant difference in HSP70 protein expression in the liver of rats in the HHA and IHH groups compared to the control (p<0.05), there was a significant difference in IL-10 concentration between the IHH3 group compared to the control (p = 0.018), a positive correlation with moderate correlation strength between HSP70 with TNF-α and IL-1β, and a moderate positive correlation between HSP70 with IL-10. HHI produces an increase in HSP70 as an adaptive mechanism and modifies the immune system to raise the levels of IL-10."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
T-pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Gestina Aliska
"Terapi kortikosteroid pada pasien COVID-19 dimediasi oleh efek supresifnya terhadap regulasi respons inflamasi. Namun, hasilnya seringkali tidak dapat diprediksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi prediktor respons kortikosteroid pada pasien COVID-19 derajat sedang-berat. Penelitian ini dibagi dalam 2 tahap, tahap pertama merupakan studi kohort retrospektif yang melibatkan 244 pasien dan tahap kedua merupakan studi cross-sectional terhadap 34 pasien yang spesimen biologisnya tersimpan di RS pada awal dan hari kelima terapi kortikosteroid. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2021 hingga Oktober 2022 di RSUP dr. M.Djamil, Laboratorium Pusat Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi FK UNAND, dan Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Jawa Barat. Peneliti menganalisis berbagai variabel klinis (usia, derajat ARDS, riwayat penggunaan steroid, adanya diabetes, hipertensi, gangguan fungsi ginjal) dan laboratorium (rasio neutrofil-limfosit, kadar feritin dan D-dimer) dengan respons terhadap terapi kortikosteroid pada tahap pertama. Pada tahap kedua dilakukan penelusuran peran reseptor glukokortikoid (GR) berupa tingkat ekspresi, variasi isoform, dan mutasi ekson dengan respons klinis terhadap kortikosteroid. Ekspresi GR, isoform, dan mutasi dianalisis dengan RNA-sekuensing leukosit. Selain itu, hubungan ekspresi GR dan ekspresi I?B? dan glucocorticoid-induced leucine zipper protein (GILZ) sebagai jalur steroid juga dievaluasi. Pasien diklasifikasikan menjadi kelompok responsif dan tidak responsif berdasarkan perbaikan status klinis dan kebutuhan oksigen. Pada analisis multivariat terlihat bahwa kadar feritin dapat memprediksi respons terhadap terapi kortikosteroid (OR 2,95 [95% CI 1,33−6,53]). Kelompok responsif memiliki ekspresi GR, I?B? dan GILZ lebih tinggi pada awal dan hari kelima pemberian kortikosteroid dibandingkan pasien tidak responsif. Varian atau mutasi isoform GR tidak berkorelasi dengan respons klinis. Berdasarkan temuan tersebut disarankan bahwa kadar feritin dapat memprediksi respons steroid pada pasien COVID-19, namun perlu ditelusuri prediktor independen lainnya. Ekspresi GR, I?B? dan GILZ kemungkinan berkaitan dengan respons terapi terhadap kortikosteroid pada pasien COVID-19.Terapi kortikosteroid pada pasien COVID-19 dimediasi oleh efek supresifnya terhadap regulasi respons inflamasi. Namun, hasilnya seringkali tidak dapat diprediksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi prediktor respons kortikosteroid pada pasien COVID-19 derajat sedang-berat. Penelitian ini dibagi dalam 2 tahap, tahap pertama merupakan studi kohort retrospektif yang melibatkan 244 pasien dan tahap kedua merupakan studi cross-sectional terhadap 34 pasien yang spesimen biologisnya tersimpan di RS pada awal dan hari kelima terapi kortikosteroid. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2021 hingga Oktober 2022 di RSUP dr. M.Djamil, Laboratorium Pusat Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi FK UNAND, dan Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Jawa Barat. Peneliti menganalisis berbagai variabel klinis (usia, derajat ARDS, riwayat penggunaan steroid, adanya diabetes, hipertensi, gangguan fungsi ginjal) dan laboratorium (rasio neutrofil-limfosit, kadar feritin dan D-dimer) dengan respons terhadap terapi kortikosteroid pada tahap pertama. Pada tahap kedua dilakukan penelusuran peran reseptor glukokortikoid (GR) berupa tingkat ekspresi, variasi isoform, dan mutasi ekson dengan respons klinis terhadap kortikosteroid. Ekspresi GR, isoform, dan mutasi dianalisis dengan RNA-sekuensing leukosit. Selain itu, hubungan ekspresi GR dan ekspresi I?B? dan glucocorticoid-induced leucine zipper protein (GILZ) sebagai jalur steroid juga dievaluasi. Pasien diklasifikasikan menjadi kelompok responsif dan tidak responsif berdasarkan perbaikan status klinis dan kebutuhan oksigen. Pada analisis multivariat terlihat bahwa kadar feritin dapat memprediksi respons terhadap terapi kortikosteroid (OR 2,95 [95% CI 1,33−6,53]). Kelompok responsif memiliki ekspresi GR, I?B? dan GILZ lebih tinggi pada awal dan hari kelima pemberian kortikosteroid dibandingkan pasien tidak responsif. Varian atau mutasi isoform GR tidak berkorelasi dengan respons klinis. Berdasarkan temuan tersebut disarankan bahwa kadar feritin dapat memprediksi respons steroid pada pasien COVID-19, namun perlu ditelusuri prediktor independen lainnya. Ekspresi GR, I?B? dan GILZ kemungkinan berkaitan dengan respons terapi terhadap kortikosteroid pada pasien COVID-19.Terapi kortikosteroid pada pasien COVID-19 dimediasi oleh efek supresifnya terhadap regulasi respons inflamasi. Namun, hasilnya seringkali tidak dapat diprediksi. Penelitian ini bertujuan untuk mengeksplorasi prediktor respons kortikosteroid pada pasien COVID-19 derajat sedang-berat. Penelitian ini dibagi dalam 2 tahap, tahap pertama merupakan studi kohort retrospektif yang melibatkan 244 pasien dan tahap kedua merupakan studi cross-sectional terhadap 34 pasien yang spesimen biologisnya tersimpan di RS pada awal dan hari kelima terapi kortikosteroid. Penelitian dilakukan pada bulan Oktober 2021 hingga Oktober 2022 di RSUP dr. M.Djamil, Laboratorium Pusat Diagnostik dan Riset Penyakit Infeksi FK UNAND, dan Laboratorium Kesehatan Daerah Provinsi Jawa Barat. Peneliti menganalisis berbagai variabel klinis (usia, derajat ARDS, riwayat penggunaan steroid, adanya diabetes, hipertensi, gangguan fungsi ginjal) dan laboratorium (rasio neutrofil-limfosit, kadar feritin dan D-dimer) dengan respons terhadap terapi kortikosteroid pada tahap pertama. Pada tahap kedua dilakukan penelusuran peran reseptor glukokortikoid (GR) berupa tingkat ekspresi, variasi isoform, dan mutasi ekson dengan respons klinis terhadap kortikosteroid. Ekspresi GR, isoform, dan mutasi dianalisis dengan RNA-sekuensing leukosit. Selain itu, hubungan ekspresi GR dan ekspresi I?B? dan glucocorticoid-induced leucine zipper protein (GILZ) sebagai jalur steroid juga dievaluasi. Pasien diklasifikasikan menjadi kelompok responsif dan tidak responsif berdasarkan perbaikan status klinis dan kebutuhan oksigen. Pada analisis multivariat terlihat bahwa kadar feritin dapat memprediksi respons terhadap terapi kortikosteroid (OR 2,95 [95% CI 1,33−6,53]). Kelompok responsif memiliki ekspresi GR, I?B? dan GILZ lebih tinggi pada awal dan hari kelima pemberian kortikosteroid dibandingkan pasien tidak responsif. Varian atau mutasi isoform GR tidak berkorelasi dengan respons klinis. Berdasarkan temuan tersebut disarankan bahwa kadar feritin dapat memprediksi respons steroid pada pasien COVID-19, namun perlu ditelusuri prediktor independen lainnya. Ekspresi GR, I?B? dan GILZ kemungkinan berkaitan dengan respons terapi terhadap kortikosteroid pada pasien COVID-19.

The effect of corticosteroid therapy in COVID-19 patients is mediated by its suppressive effect on the regulations of inflammatory response. However, its clinical outcome is often unpredictable. This study aimed to explore the predictors of corticosteroid response in Moderate-Severe COVID-19 patients. This research was conducted in 2 stages, the first stage was a retrospective cohort study involving 244 moderate-severe COVID-19 patients and the second stage was a cross-sectional study of 34 COVID-19 patients whose biological specimens were stored in the hospital at the baseline and fifth days of corticosteroid therapy. The research was conducted from October 2021 to October 2022 at Dr. M.Djamil General Hospital, Laboratory of Diagnostic and Research Center for Infectious Diseases Faculty of Medicine, Universitas Andalas, and Regional Health Laboratory of West Java Province. In the first stage, a multivariate analysis was conducted between various clinical (age, degree of ARDS, history of steroid use, presence of diabetes, hypertension, impaired renal function) and laboratory variables (neutrophil-lymphocyte ratio, ferritin and D-dimer levels) with response to corticosteroid therapy. In the second stage, we attempted to explore the role of the glucocorticoid receptor (GR), such as the expression, the variation of GR isoform, and the mutations of GR exon with clinical response to corticosteroids. GR expression, isoform, and mutation were determined by RNA sequencing from white blood cells. In addition, the relationship between GR expression and the expression of I?B? and glucocorticoid-induced leucine zipper protein (GILZ) as steroid pathways was also evaluated. Based on the improvement of clinical and oxygen status, patients were classified into responder and non-responder groups. Our findings indicate that ferritin levels can predict response to corticosteroid therapy (OR 2.95 [95% CI 1.336.53]). The responder group had higher GR, I?B? dan GILZ expression at baseline and after five days of corticosteroid treatment than non-responsder group. The GR isoform variant or mutation did not correlate with clinical response. Based on this finding, we suggest that ferritin levels in covid-19 patients could predict steroid response. This study also shows that the expression of GR, I?B? and GILZ may be related to the therapeutic response to corticosteroids in COVID-19 patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
D-pdf
UI - Disertasi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Theresia Feline Husen
"Pendahuluan: Heparin dapat digunakan sebagai terapi bagi pasien COVID-19. Namun, indikasi dan efeknya masih berbeda di berbagai penelitian. Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan untuk menilai efektivitas pemberian heparin dalam menurunkan keparahan gejala klinis. Metode :Studi retrospektif dilakukan dari rekam medis pasien COVID-19 kondisi sedang-berat yang dirawat di Rumah Sakit Universitas Indonesia (RSUI). Parameter yang diperiksa adalah kondisi klinis pasien (tingkat mortalitas dan total lama perawatan), kadar D-dimer, dan trombosit pada dua kelompok, kelompok yang diberikan heparin dan yang tidak. Hasil:Penelitian ini menyertakan 110 subjek penelitian. Terdapat tingkat mortalitas yang lebih tinggi pada kelompok heparin dibandingkan kontrol (45,3% vs 5 10,9%; p<0,01). Hal ini dapat disebabkan perbedaan derajat sedang dan berat. Mayoritas kelompok heparin berkondisi berat (58,1% vs 28,2%) jika dibandingkan kontrol. Pada pengecekan laboratorium, heparin menurunkan kadar D-dimer (790 ke 500 vs 725 ke 4.475 µg/L) dan trombosit (366 ke 208x103 vs 217 ke 318x103/µL)secara signifikan (p<0,01). Kesimpulan: Kelompok heparin memiliki tingkat mortalitas yang tinggi akibat tingkat kondisi yang lebih berat, tetapi kadar D-dimer dan trombosit menurun dibandingkan kelompok kontrol.

Introduction: Heparin can be used as therapy for COVID-19 patients. However, the indications and effects still differ in various studies. Therefore, this study aims to assess the effectiveness of heparin administration in reducing the severity of clinical symptoms. Methods: A retrospective study was conducted from medical records of moderate-severe COVID-19 patients treated at the University of Indonesia Hospital (RSUI). The parameters examined were the patient's clinical condition (mortality rate and total length of treatment), D-dimer levels, and platelets in two groups, those given heparin and those not. Results: This study included 110 research subjects. There was a higher mortality rate in the heparin group compared to controls (45.3% vs 5 10.9%; p<0.01). This is due to the difference in moderate and severe degrees. The majority of the heparin group had severe conditions (58.1% 28.2%) when compared to controls. In laboratory tests, heparin reduced the levels of D-dimer (790 to 500 vs 725 to 4,475 µg/L) and platelets (366 to 208x103 vs 217 to 318x103/µL) significantly (p<0.01). Conclusion: The heparin group had a high mortality rate due to more severe conditions, but D-dimer and platelet levels decreased compared to the control group"
Depok: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2023
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Dewi Gathmyr
"Latar Belakang: Acute Kidney Injury pada COVID-19 merupakan komplikasi penting dan dikaitkan dengan peningkatan risiko kematian diduga diperantarai kondisi inflamasi dan disregulasi imun, baik di awal maupun selama perawatan. Tujuan: Untuk mengetahui hubungan antara IL-6, IL-10, TNF-" dengan AKI dan memprediksi perburukan hematuria, dan kejadian AKI Metode: Studi potong lintang dan prospektif kohort melibatkan 43 pasien COVID-19 derajad sedang dan berat yang dirawat di Rumah Sakit Pertamina Pusat di Jakarta, Indonesia dari bulan November 2020 hingga Januari 2021. Selama observasi dilakukan pemeriksaan darah lengkap, serum kreatinin, urinalisis, kadar IL-6, IL-10, TNF-" pada hari pertama dan hari ketujuh pengobatan atau sebelum hari ketujuh jika pasien meninggal atau dipulangkan, dan perubahannya di analisis. Insiden AKI ditentukan ketika perubahan serum kreatinin dan urin output memenuhi kriteria pedoman Kidney Disease Improving Global Outcomes. Uji korelasi dilakukan terhadap peningkatan sitokin dengan perubahan hematuria dan kreatinin. Uji Wilcoxon dilakukan untuk mengetahui perbedaan kadar sitokin diantara status albuminuria. Selanjutnya dilakukan uji Receiver Operator Characteristic untuk melihat kemampuan prediksi IL-6, IL-10, TNF-" terhadap perburukan hematuria dan kejadian AKI, menggunakan AUC minimal 0,7 dengan batas bawah IK 95% lebih dari 0,5 dan nilai p <0,05 Hasil: Terdapat korelasi antara peningkatan kadar serum IL-10 dengan perubahan serum kreatinin (r= -0,343; p 0,024) tetapi tidak pada perubahan IL-6 dan TNF-a. Perubahan hematuria tidak berkorelasi dengan peningkatan ketiga kadar sitokin. Juga tidak ada perbedaan dalam kadar sitokin di antara kelompok albuminuria. Kadar serum TNF-" dihari pertama perawatan dapat memprediksi AKI pada hari ke tujuh, AUC 85%; p=0,045 (IK 0,737-0,963), tetapi tidak dapat memprediksi perburukan hematuria Kesimpulan: Terdapat korelasi antara peningkatan IL-10 dengan perubahan serum kreatinin. TNF-! pada hari pertama perawatan dapat memprediksi kejadian AKI di hari ketujuh perawatan pasien COVID-19 derajat sedang dan berat.

Background: Acute Kidney Injury is an important complication and is associated with increased risk of death in COVID-19 due to inflammatory conditions and immune dysregulation, both at the beginning and during treatment. Aim: To determine the relationship between IL-6, IL-10, TNF-α with AKI and their ability to predict the worsening of hematuria, and the incidence of AKI. Methods: 43 moderate and severe COVID-19 patients treated from November 2020 to January 2021 at Pertamina Central Hospital in Jakarta, Indonesia were included in this cross-sectional and prospective cohort study. During observation, tests including complete blood count, serum creatinine, urinalysis, levels of IL-6, IL-10 and TNF-α were performed on the first and seventh day of treatment, or before day 7 if the patient died or was discharged, and the changes were analyzed. The incidence of AKI is determined when changes in serum creatinine and urine output meet the criteria in the Kidney Disease Improving Global Outcomes guidelines. Correlation test was performed on increased cytokines with changes in hematuria and creatinine. Wilcoxon test was performed to obtain differences in cytokine levels among albuminuria status. Receiver Operator Characteristic test was then carried out to see the predictive ability of IL-6, IL-10, TNF- α on the worsening of hematuria and the incidence of AKI. Results: There was a correlation between increased serum IL-10 levels with changes in serum creatinine (r= -0.343; p 0.024), but not in IL-6 and TNF-a levels. On the other hand, changes in hematuria did not correlate with an increase in the levels of the three cytokines. There was also no significant difference in the levels of cytokines among albuminuria groups. Serum TNF-! levels on the first day of treatment were able to predict AKI on the seventh day (AUC 85%; p=0.045; 95%CI 0.737-0.963), but did not predict the worsening of hematuria. Conclusion: There was a correlation between increased serum IL-10 with changes in serum creatinine. TNF-! on the first day of treatment can predict the incidence of AKI on the seventh day of treatment for moderate and severe COVID-19 patients."
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2021
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Ade Erni
"ABSTRACT
Objective : To study the eH`ect of vitamin C 1000 mg i.v and E 400 mg oral supplementation on serum c-reactive protein level as parameter of inflammation in burn patients.
Methods: This study was a one group pre post test that gave i.v 1000 mg vitamin C and oral 400 mg vitamin E supplementations to thirteen moderate-severe burn patients, with percentage of burn less than 60%, in burn unit Cipto Mangunkusumo Hospital. Data were collected using questionnaire, medical record, anthropometric measurement, dietary assessment using four consecutive days food record. Laboratory test for serum vitamin C, E and serum c-reactive protein levels- were evaluated before and after supplementations. Differences in mean values were assessed by Wilcoxon for the not normal distribution.
Results: Among thirteen subjects, Seven (53.80%) Subjects were female, median of age 35 (18-55) years. Body mass index in most subjects (69.2%) were categorized as normal. The median percentages of burn injury 22 (5~57)%, and the frequency of severe burn was 6l.50%, while the most cause of burn was flame (76.9%). Level of vitamin C after treatment was increased, but not significant. Level of vitamin E after treatment was significantly increased (p=0,016). Level of CRP after supplementation significantly increased (p=0.04).
Conclussion: There was significantly reduced of level serum CRP after four days vitamin C1000 mg i.v dan E 400 mg oral supplementations.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2009
T32877
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Muhammad Dzaky Abdillah
"Latar Belakang
Pandemi COVID-19 merupakan kejadian luar biasa yang berdampak secara global. Pandemi ini sudah banyak memakan korban terutama pada pasien yang memiliki komorbiditas. Salah satu komorbiditas tersering adalah diabetes melitus tipe 2 (DMT2). Kondisi hiperglikemia pada pasien DMT2 akan meningkatkan tingkat mortalitas pasien sehingga diperlukan suatu tatalaksana, yaitu insulin. Namun, beberapa studi melaporkan bahwa insulin ternyata berkaitan dengan meningkatnya angka mortalitas pada pasien yang mendapatkannya, tetapi masih banyak perselisihan mengenai efek dari insulin ini sendiri. Salah satu penyebab yang diduga adalah penggunaan insulin sebelum dirawat. Dalam penelitian ini, penulis secara khusus ingin melihat hubungan penggunaan insulin sebelum dirawat dengan perburukan klinis pasien DMT2 yang terinfeksi COVID-19 dan mendapatkan terapi insulin selama rawatan.
Metode
Studi kasus kontrol dengan total subjek penelitian 270 pasien yang mengalami DMT2 dan COVID-19 yang diberikan insulin. 110 subjek mengalami perburukan klinis dan 160 lainnya tidak mengalami perburukan klinis. Studi dilakukan dengan menggunakan data sekunder yang berasal dari data rekam medis pasien di RSCM Jakarta pada periode Maret 2020 – Maret 2023.
Hasil
Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara penggunaan insulin sebelum dirawat dengan perburukan profil klinis pasien (p = 0,517) dengan nilai OR 0,839 (0,493 – 1,428). Kesimpulan
Penggunaan insulin sebelum dirawat tidak berhubungan dengan perburukan klinis pada pasien DMT2 dengan infeksi COVID-19.

Introduction
The COVID-19 pandemic is a remarkable occurrence with worldwide implications. Numerous people have died as a result of this pandemic, particularly patients with comorbidities. One of the most common comorbidities is type 2 diabetes mellitus (T2DM). The high mortality risk associated with hyperglycemia in T2DM patients necessitates the use of insulin as a treatment. However, several studies indicate that insulin use is linked to higher patient death rates, yet, there is still some disagreement over the effects of insulin itself. Insulin before treatment is one of the possible causes. The study aimed to examine the link between preadmission use of insulin and clinical deterioration in T2DM patients who have COVID-19 infection and are getting insulin therapy during treatment.
Method
A case-control study included 270 research participants with COVID-19 and T2DM who received insulin. 160 patients did not have clinical deterioration, while 110 subjects did. The study was conducted using secondary data originating from patient medical records at RSCM Jakarta from March 2020 – March 2023.
Results
There was no significant relationship between insulin use before treatment and the worsening of the patient’s clinical profile (p = 0,517) with an OR value of 0,839 (0,493 – 1,428).
Conclusion
Preadmission use of insulin did not associate with clinical deterioration in T2DM patients with COVID-19 infection.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2024
S-pdf
UI - Skripsi Membership  Universitas Indonesia Library
cover
Lady Dhita Alfara
"ABSTRAK
Tujuan
Mengetahui pengaruh suplementasi vitamin C 1000 mg i.v dan E 400 mg oral selama empat hari berturut-turut terhadap kadar malondialdehid (MDA) plasma. sebagai penanda stres oksidatif pada penderita luka bakar sedang berat.
Penelitian ini merupakan one group pre post tes yang memberikan suplementasi vitamin C t 000 mg i.v dan vitamin E 400 mg oral yang pada 13 subyek penelitian yaitu penderita luka bakar kategorl sedang berat dengan luas luka bakar kurang dari 60%, yang dirawat di Unit Luka Bakar RSUPN Cipto Mangunkusumo. Data diperoleh melalui wawancara, rekam medik, pengukuran antropometri analisis asupan menggunakan metode food record, dan pemeriksaan laboratorium, berupa pemeriksaan kadar vitamin C, E serum dan MDA plasma pada sebelum dan setelah suplementasi. Analisis data untuk data berpasangan menggunakan uji t berpasangan dan uji Wilcoxon, sedangkan untuk dua kelompok tidak berpasangan menggunakan uji Mann Whitney. Batas kemaknaan pada penelitian ini ada1ah 5o/a.
Sebanyak 13 orang subyek penelitian, terdiri dari perempuan 53.85o/o, dengan median usia 32 (18 55) subyek memiliki status gizi normal (61.54%), Median luas Juka bakar adalah 22 (5-57)%, dengan kasus terbanyak adalah luka bakar berat (61.50%), dan penyebab terbanyak adalah api (76.9%). Kadar vitamin C pasca suplementasi menga!ami sedikit peningkatan yang tidak bermakna. Kadar vitamin E subyek penelitian meningkat bermakna (p=0,016) pasca suplementasi, walaupun masih dalam kategori rendah. Kadar MDA pasca supiementasi mengalami penurunan bermakna(p=O,Ol9).
"
2009
T31989
UI - Tesis Open  Universitas Indonesia Library
cover
Ruth Nadya
"Latar belakang. Pandemi akibat COVID-19 telah menyebabkan jutaan kematian di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Anak, sebagai salah satu kelompok berisiko juga rentan terinfeksi. Hingga saat ini belum ada bukti definitif pengobatan etiologi terhadap COVID-19. Pemberian vitamin C dosis tinggi, yang diketahui memiliki efek antivirus, antioksidan, antiinflamasi, dan imunomodulator, menjadi salah satu pilihan terapi potensial pada pengelolaan COVID-19. Akan tetapi, belum ada data terkait pengaruhnya pada anak dengan COVID-19 dalam mempercepat penyembuhan.
Metode. Penelitian uji klinis acak tersamar tunggal dilakukan pada anak dengan COVID-19 derajat ringan-sedang di RSCM antara Oktober 2021 sampai Maret 2022. Kelompok perlakuan diberikan vitamin C dosis maksimal, sedangkan kelompok kontrol diberikan vitamin C dosis berdasarkan angka kecukupan gizi. Luaran yang dinilai adalah durasi konversi menjadi negatif dan perbaikan gejala batuk, demam, diare, serta penggunaan oksigen. Analisis dilakukan untuk membandingkan pengaruh vitamin C yang diberikan pada kedua kelompok.
Hasil. Sebanyak 40 subjek terlibat dalam penelitian, terbagi atas 20 subjek pada kelompok perlakuan dan 20 subjek pada kelompok kontrol. Median durasi terjadinya viral clearance pada kelompok perlakuan adalah 12 hari sedangkan pada kelompok kontrol 15,5 hari (p=0,588). Durasi gejala batuk pada kelompok perlakuan dibanding kontrol memiliki median 6 dibanding 5 hari (p=0,629), pada gejala demam 2 dibanding 3 hari (p<0,05), pada keluhan diare 2 dibanding 4 hari (p=0,172), dan lama penggunaan oksigen pada kedua kelompok adalah 5 hari (p=0,647).
Simpulan. Pada penelitian ini, vitamin C oral dosis maksimal dapat mempersingkat durasi demam serta memiliki kecenderungan untuk mempercepat durasi terjadinya viral clearance dan hilangnya diare dibandingkan pemberian vitamin C dosis sesuai angka kecukupan gizi.

Background. COVID-19 pandemic has caused millions of deaths worldwide, including Indonesia. Children, as one of the risk groups are also susceptible to infection. To date, there is no definitive evidence of an etiologic treatment for COVID-19. Administration of high doses of vitamin C, which is known to have antiviral, antioxidant, anti-inflammatory, and immunomodulatory effects, is a potential therapeutic option in the management of COVID-19. However, there is no data regarding its effect in children with COVID-19 in accelerating healing.
Methods. A single-blind randomized clinical trial study was conducted on children with mild-moderate COVID-19 at Cipto Mangunkusumo hospital between October 2021 and March 2022. The treatment group was given the maximum dose of vitamin C, while the control group was given a dose of vitamin C based on recommended dietary allowance. The outcomes assessed were duration of negative conversion and improvement in symptoms of cough, fever, diarrhea, and oxygen use. An analysis was carried out to compare the effect of vitamin C administered on the two groups.
Result. A total of 40 subjects were involved in the study, divided into 20 subjects in intervention group and 20 subjects in control group. The median duration of viral clearance in the treatment group was 12 days while that in the control group was 15.5 days (p=0.588). The duration of cough symptoms in the treatment group compared to the control group had a median of 6 vs 5 days (p=0.629), for fever symptoms 2 vs 3 days (p<0.05), diarrhea complaints 2 vs 4 days (p=0.172), and duration oxygen use in both groups was 5 days (p=0.647).
Conclusion. In this study, the maximum dose of oral vitamin C can shorten the duration of fever and has a trend in accelerating the duration of viral clearance and diarrhea compared to recommended dietary allowance of vitamin C.
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2022
SP-pdf
UI - Tugas Akhir  Universitas Indonesia Library
cover
Elisa Harlean
"Latar Belakang: Cedera kepala dikaitkan dengan aktivasi kaskade koagulasi dapat menyebabkan koagulopati. Hal ini berhubungan dengan hasil akhir atau keluaran yang tidak baik pada pasien. Deteksi dini dan evaluasi berkala faktor hemostasis dibutuhkan pada pengelolaan pasien cedera kepala sedang dan berat dalam memperbaiki hasil keluaran perawatan pasien cedera kepala.
Tujuan: Diketahuinya angka kejadian prevalensi koagulopati pada pasien cedera kepala sedang berat dan hubungan gangguan hemostasis tersebut dengan hasil keluarannya.
Metode Penelitian: Penelitian ini merupakan studi ?nested case control?. Studi ini bersarang pada penelitian awal yang berupa studi komparasi potong lintang. Data hemostasis diperiksa pada hari pertama(<24 jam dari kejadian) saat di Instalasi Gawat Darurat(IGD) RSCM. Pasien cedera kepala sedang dan berat ini nantinya akan diikuti sampai akhir perawatan inap dan dinilai hasil keluaran perawatannya. Koagulopati adalah gangguan status koagulasi, dapat berupa hiperkoagulasi atau hipokoagulasi
Hasil: Terdapat 76 sampel, 38 sampel memiliki keluaran baik dan 38 sampel memiliki keluaran buruk. Pria(81,6%) lebih banyak dari wanita. Sebagian besar subjek berusia 18-50 tahun(81,6%). Koagulopati terjadi pada 34,2% pasien. Koagulopati merupakan faktor prediksi keluaran buruk pada cedera kepala (OR 4,429; 95%IK 1,569 ? 12,502; p=0,004). Hasil analisis multivariat menunjukkan urutan prioritas kemaknaan faktor yang mempengaruhi keluaran subjek cedera kepala yang terkuat berturut-turut di penelitian ini adalah usia (50,271), derajat cedera kepala (46,522), dan koagulopati (5,409). Terdapat hubungan bermakna antara beratnya derajat cedera kepala dengan terjadinya koagulopati p= 0,009.
Kesimpulan: Prevalensi koagulopati pada cedera kepala sedang berat cukup tinggi. Pasien dengan koagulopati memiliki keluaran yang lebih buruk

Background: Brain injury is associated with activation of the coagulation cascade, contributing to coagulopathy. This condition is correlated with unfavorable outcome. Early detection and evaluation of hemostatic factors are needed in treatment of moderate-severe traumatic brain injury (TBI) to improve patient outcome.
Objectives: To determined the number of prevelence coagulopathy in moderate severe TBI and the relationship of the hemostatic disorder with outcome.
Materials and Method: We did the nested case control study. Hemostatic parameters were recorded from emergency departement (ED) not exceeding 24 hours from onset of accident. Moderate-severe TBI patients were followed until the patients discharged and we assessed the outcome. Coagulopathy was defined as hypocoagulopathy or hypercoagulopathy.
Results: From 76 subjects, 38 subjects were favorable outcome and 38 subjects had unfavorable outcome. Men were higher than women (81,6%), mostly subjects were in range 18-50 years(81,6%). Coagulopathy occured in 36% of all patients. Coagulopathy was the predictor of unfavorable outcome for TBI (OR 4,429; 95%CI 1,569 ? 12,502; p=0,004). From the multivariate analysis, the priority level for TBI outcome, in order of strongest to weakest correlation, were age (50,271), severity of traumatic brain injury(46,522) and coagulopathy(5,409). There was significant correlation between severity of traumatic brain injury and coagulopathy (p= 0,009).
Conclusions: Our study confirmed a quite high prevalence of coagulopathy in patients with moderate-severe TBI. Patients with coagulopathy had poorer outcome compared to non-coagulopathy
"
Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2016
T-Pdf
UI - Tesis Membership  Universitas Indonesia Library
<<   1 2 3 4 5 6 7 8 9 10   >>